Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
INT. RUANG RAWAT ADRIA – SORE
Adria terbangun.
Hanya saja, dia sendiri, tidak ada Gayatri ataupun Pak Brata.
Tidak ada siapapun.
CU. Air mata mulai berjatuhan.
Air mata tanpa suara yang terasa sangat sesak.
Setelah Adria tahu bahwa dia tidak akan lama lagi mati.
Cut to:
EXT. TAMAN RUMAH SAKIT – PAGI (seminggu setelahnya)
Adria bermain dengan anak-anak yang didiagnosis kanker dengan rambutnya yang sudah diplontos habis.
CU. Adria terlihat mulai menerima kenyataan dengan terus tersenyum.
Gayatri dan Pak Brata melihat Adria dengan tatapan haru.
Cut to:
INT. RUMAH SAKIT – MALAM (BERBULAN BULAN KEMUDIAN)
Adria yang terus muntah dan tubuh semakin kurus.
Gayatri dengan sabar merawat Adria, karena memang Rumah sakit tersebut tidak terlalu jauh dari apartemen dan kantor.
CU. Gayatri yang terkadang menangis di kamar mandi tanpa sepengetahuan Adria.
Cut to:
EXT. STUDIONYA ARSA – SORE
Gayatri menunggu Arsa di depan studionya.
CU. Arsa yang menyadari itu dan berlagak seperti tidak kenal.
Arsa membuka pintu studionya tapi Gayatri menahannya.
GAYATRI:
Gue engga tau hati nurani lo kemana,
Yang gue tau lo emang bajingan.
Arsa menatap Gayatri dengan kerut berkening.
ARSA:
Lo engga tau apa apa.
Pergi.
Arsa hendak masuk ke studionya lagi sebelum Gayatri mengguyurkan air ke kepala Arsa. Bagian atas kepalanya basah kuyup.
Dengan kasar Arsa menampis tangan Gayatri dan mengcengkeramnya erat.
Gayatri juga tak kalah kasar, ia menempis cengkraman tangan Arsa.
GAYATRI:
sampah kaya lo emang
Gak pantes buat Adria.
CU. Raut muka Arsa berubah merah dan tegang.
ARSA:
GUE BILANG LO GAK TAU APA APA!!!
Dia ataupun lo engga tau rasanya jadi gue!!!
GAYATRI:
Gue engga perlu tau rasanya jadi lo.
Lo cuma bocah yang ngerengek marah
ke tuhan dan dunia.
Gayatri mengeluarkan copy hasil tes lab, rontgent dan pemeriksaan Adria kemudian melemparkanya ke muka Arsa.
GAYATRI:
Kenapa Tuhan harus ambil nyawa Adria?
kenapa bukan lo?
Gayatri meninggalkan Arsa dan melaju dengan mobilnya.
CU. Arsa dengan raut bingung, mengambil hasil tes yang berserakan di tanah.
CU. Mata Arsa membulat penuh.
Cut to:
EXT. PARKIRAN RUMAH SAKIT – AS BEFORE
Arsa dengan tergesa masuk ke rumah sakit ketika ia melihat Pak Akbar baru saja keluar membawa map hasil periksa laboratorium milik Kakek Rajasa.
CU. Arsa dengan kening mengurat dan mata membulat.
ARSA:
Lo ngapain disini?
jangan – jangan ini semua karena kakek?
hah?
JAWAB!
PAK AKBAR:
(jeda)
Maksud Tuan apa?
Saya disini untuk ambil hasil
check up bulanan Kakek.
ARSA:
Engga mungkin!!
Ini semua pasti karena Kakek!!
Dia uda bunuh semua orang
yang gue sayang!!!
Arsa mengcengkeram kerah leher kemeja Pak Akbar sampai kusut.
PAK AKBAR:
(jeda)
Tuan,
Mungkin sudah saatnya Tuan tahu yang
sebenarnya terjadi di malam itu.
Arsa yang menatap Pak Akbar di mata dengan bingung.
Cut to:
INT. RUANG RAWAT ADRIA – AS BEFORE
Sudah banyak alat terpasang di tubuh Adria, beberapa perawat dan dokter sibuk dengan background suara cardiograph yang terus berbunyi nyaring.
CU. Gayatri menangis histeris di luar ruang rawat Adria.
Cut to:
INT. KAFETARIA RUMAH SAKIT – AS BEFORE
Pak Akbar dan Arsa saling menatap satu sama lain.
Arsa tidak menyentuh sama sekali kopi yang Pak Akbar belikan.
Pak Akbar mulai menceritakan apa yang terjadi hari itu, persis dengan apa yang diceritakan Kakek Rajasa.
CU. Arsa dengan mata membulat penuh seperti tidak percaya.
Kupingnya mendengung seketika.
Cut to:
INT. RUMAH SAKIT – AS BEFORE
Dengan efek slow motion, Arsa berlari dari kafetaria, melewati banyak lorong, melewati banyak bangsal, melewati banyak pasien.
CU. Arsa dengan mata basah dan sesekali menghapus air mata yang terjatuh di pipinya.
Cut to:
INT. RUANG RAWAT ADRIA – AS BEFORE
Ruangan tersebut diisi dengan tangisan Gayatri.
Dokter Reyhan dan perawat sedang berdiri mengelilingi kasur dengan Gayatri yang menangis histeris, mencengkeram erat kain putih yang menutupi tubuh terbujur kaku.
CU. Arsa dengan hati mencelos, sekujur tubuhnya bergetar.
CU. Adria, terbujur kaku, menutup mata, dengan penutup kepala menutupi rambutnya yang habis, kantung mata yang terlihat jelas dan tubuh yang kurus kering.
CU. Arsa merasa dunia gelap.
Dissolve to:
INT. GALERI LUKISAN – PANDORA ARTS CENTRE (beberapa tahun kemudian)
Arsa melukis dengan duduk di depan easel.
CU. Lukisan portrait, sebuah wajah yang familiar, sedang tersenyum lebar.
Sesudahya, dia menggantungkan lukisan tersebut, di samping lukisan kedua orangtua.
CU. Arsa tersenyum sedikit.
Raut wajahnya melembut.
CU. Kakek Rajasa dan Pak Akbar mengagetkan Arsa dengan kehadiran mereka.
ARSA:
Kakek?
Kakek Rajasa hanya tersenyum.
KAKEK RAJASA:
Kakek mau jemput cucu
Kakek satu-satunya.
Takutnya dia lupa janji
makan malam bareng kakeknya
yang sudah renta ini…
ARSA:
Ck.
Aku bisa kesana sendiri kek.
Aku masih ingat jalan pulang ke rumah
KAKEK RAJASA:
Semenjak kau bilang
tidak mau tinggal sama kakek,
dan lebih milih tinggal di studio,
Tidak ada satu hari pun
Kakek rasa kesepian.
Pak Akbar dan Arsa saling bertukar pandang.
CU. Arsa tersenyum.
ARSA:
Iya, kan aku sudah bilang
bakal balik ke rumah lagi
lagi proses beres – beres Kek.
KAKEK RAJASA:
Syukurlah.
ARSA:
Yaahh, meskipun kayanya
Aku bakal tetep lebih sering tidur
Di studio sih.
Kakek Rajasa dan Arsa saling melempar tawa.
Pak Akbar juga tersenyum lega.
KAKEK RAJASA:
Ya udah.
Ayo kita pulang.
ARSA:
Dibilang kakek duluan aja.
Aku mau ke mampir dulu ke suatu tempat.
KAKEK RAJASA:
Kemana?
Biar kakek antar.
Arsa hanya menjawab dengan senyuman terlembut yang pernah dia tunjukkan.
CUT TO:
EXT. PEMAKAMAN – AS BEFORE
Arsa meletakkan seikat bunga mawar putih segar di atas gundukan tanah berumput hijau dengan nisan tertulis “ADRIA EMMA PERMATA”
CU. Tangan Arsa yang mengelus lembut nisan tersebut.
ARSA:
Sore Adria.
Aku bawain mawar putih kali ini.
Semoga kamu suka.
Arsa berlama – lama disana sambil terus menunduk seperti mengucap doa.
Karena langit semakin gelap, Arsa beranjak menuju mobilnya.
NARRATOR:
Masalah yang membentang seluas samudera di masa depan generasi sekarang itu bukan tentang uang, kekuasaan ataupun cinta. Tapi, waktu.
CU. Arsa dengan senyum ikhlas sambil memandang lurus ke depan.
NARRATOR:
Selagi nyawa masih di dalam raga. Jangan pernah berpikir untuk menyerah. Sekelam apapun masa lalu mu, masa depanmu bisa saja menyilaukan seperti matahari. Karena tentang Sang waktu, siapa yang tahu?
THE END