Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
KOMPLEKSITAS
Suka
Favorit
Bagikan
10. Dhoni dan Cinta

-SAAT INI-

Waktu berlalu. Kontes tinggal sebulan lagi. Persiapan pun dilakukan oleh Dian dan Dhoni. Mereka giat berlatih. Begitu pula dengan Dhoni yang masih berkutat pada penyelesaian musik dangdutnya.

[DHONI] Aahh! Masih ada yang kurang. Masih belum sempurna. Tapi apa yang kurang? (Kesal dan menggaruk-garuk kepala) 

[DIAN] (Tertawa kecil) Sudah. Sudah. Coba santai aja bentar. Terlalu banyak mikirin kek gitu juga ga bagus buat kamu sendiri. 

[DHONI] Ake ke depan kalo gitu bentar. Nyari angin. 

Dhoni keluar ke arah teras rumah dan melihat-lihat sekitar. Dhoni memandang ke arah rumah Tiara. Hari itu tak ada perkuliahan. Biasanya jika tidak ada perkuliahan, Tiara lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah.

Namun, hari ini tak ada tanda-tanda Tiara di rumah. Dhoni pun heran namun tak terlalu memikirkannya. Dhoni duduk di depan teras sambil berusaha membenahi pikirannya.

Dian pun datang menghampiri. 

[DIAN] Ya ampun. Kamu masih mikirin lagumu? 

[DHONI] Entah kenapa ga bisa berhenti buat mikirin itu. Lagunya memang kedengarannya sempurna, tapi entah apa yang kurang. Benar kata instrukturku, dangdut itu rumit. 

[DIAN] Lagian kamu, gila banget pengen bikin lagu dangdut pake piano. Ditambah lagi kamu kan orangnya anti-sosial sama ga pekaan. Lagu dangdut yang bagus tuh ga bisa kalo ga pake perasaan. 

[DHONI] Ga kamu, ga Paman, ga Tiara. Kalian bilang aku kurang punya perasaan. Perasaan gimana yang kalian maksud? 

[DIAN] (Tertawa) Kamu nih bener-bener, ya. Emang betul kata Tiara. Kamu tuh tipe yang ga bakal ngeh kalo ga dikasih tahu. 

[DHONI] Ya, maap. Kamu sendiri yang bilang aku anti sosial sama ga pekaan. 

[DIAN] Kamu tuh kurang cinta, Dhoni. Kurang cinta. 

[DHONI] Cinta? Maksudnya? Yang bagaimana? Jujur aku ga ngerti. 

[DIAN] (Terkejut) Hah? Kamu ga pernah merasakan cinta gitu? 

[DHONI] (Muka bingung) Hmmm.. 

[DIAN] Cinta itu kek kamu punya seseorang yang selalu baik sama kamu, selalu ada buat kamu, terus entah mengapa kamu nyaman banget sama seseorang itu. 

[DHONI] Kalo kamu bilang kek gitu, satu-satunya yang memenuhi semua omonganmu cuman satu di pikiranku. 

[DIAN] (Agak kaget) Eh? Ada? Siapa? 

[DHONI] (Dengan sangat polos) Paman. 

[DIAN] (Tertegun, kemudian menarik nafas disertai tawa lirih) Ya ampun. Dhon. Dhon. Kamu ini beneran ga pekaan, ya. 

[DHONI] Iya, deh. Maap. Maap. Terus kamu sendiri gimana? Punya orang yang kek gitu?

Entah apa yang merasuki Dian, sepertinya saat ditanya seperti itu pikirannya melayang jauh. Dian tersenyum malu tanpa sadar lawan bicaranya siapa.

[DIAN] Ya. Ada. 

[DHONI] Siapa? 

[DIAN] (Melihat ke arah Dhoni) Kamu.

Entah karena banyak latihan, entah karena memikirkan kontes yang tinggal sebentar lagi, entah karena terlalu lama memendam rasa pada Dhoni, Dian menjawab tanpa berpikir. 

Sedetik kemudian, Dian sadar kepada siapa dia bicara. Dia pun memegang mulutnya, seolah keceplosan ngomong. Dhoni pun tertegun mendengar jawaban Dian. 

Tanpa berkata apa-apa. Dian mengambil barangnya dan segera pulang meninggalkan Dhoni yang masih diam tertegun. Dian berlari seolah entah menyesal karena keceplosan ngomong atau terlalu malu melihat Dhoni setelah tidak sengaja mengungkapkan cintanya. 

Dian berlari hingga menabrak Tiara yang kebetulan juga sedang jalan pulang.

[TIARA] Eh. Dian? Kok buru-buru? Kenapa? 

[DIAN] (Dengan sedikit panik) Ah. Tiara. Ga apa-apa. Cuman udah selesai latihan. Oiya, aku pulang dulua ya. (Lanjut berlari)

Tiara yang bingung pun sampai di depan rumah melihat Dhoni diam tertegun di teras.

[TIARA] (Menghampiri dan menepuk Dhoni) Hoi. Hoi. Sadar. Jangan melamun. Melamun itu tindakan kriminal. Nanti ditangkap papaku, loh. 

[DHONI] (Agak ling-lung) Ah. Tiara. Udah pulang. Dari mana aja? 

[TIARA] Tadi ngurus berkas ini-itu. Tadi aku liat Dian pulang sambil lari kek gitu. Kenapa?

Dhoni menunjukkan tanda gelisah. Tiara pun langsung menyadari ada sesuatu yang aneh.

[TIARA] Kalian berdua berantem? 

[DHONI] Ah. Enggak, kok. Enggak. 

[TIARA] Terus kenapa? Sampe Dian lari buru-buru kek gitu?

Dhoni pun hanya diam tanpa menjawab. Tiara yang sudah hafal dengan sikap Dhoni pun tak melanjutkan pertanyaannya.

[TIARA] Sebenarnya hari ini aku mau ngasih tahu sesuatu ke kamu.

[TIARA] Tapi, kalo kamu lagi kek gini mungkin besok-besok aja. Pokoknya cepat baikan ya sama Dian.

Tiara masuk ke rumahnya dan Dhoni juga masuk ke dalam rumah. Malamnya, Paman pulang melihat Dhoni sedang terduduk melamun.

[PAMAN] Leh. Kenapa kamu? Pertama kalinya kulihat kamu melamun. Apa yang terjadi? 

[DHONI] (Melihat dengan tatapan bingung) Paman tahu cinta? Pernah cinta pada seseorang? 

[PAMAN] (Agak kaget sampai mengangkat alis) Wow. Pertanyaan aneh. Kalo kamu nanya gitu. Yahh. Sedikit-lebih Paman tahu. Lagian, kok tiba-tiba kamu nanya gituan? 

[PAMAN] (Seperti menyadari sesuatu) Ahh! Ada yang nyatain cinta ke kamu, ya? 

[DHONI] Iya, Paman. Ada. 

[PAMAN] (Terlihat senang) Widih! Serius? Siapa? Siapa? Ceritain.

Paman hanya tahu bahwa Tiara mencintai Dhoni. Sehingga Paman mengharapkan jawaban Tiara saat bertanya seperti itu.

[DHONI] Dian, Paman. Yang sering latihan piano di sini. 

[PAMAN] (Kecewa namun berusaha agar tidak kelihatan) Oh. Tak terduga. Sangat tidak terduga. Kapan dia bilang? 

[DHONI] Tadi siang. Pas lagi latihan. Terus dia langsung pulang gitu. 

[DHONI] Jujur, Paman. Sekarang aku bingung. Aku harus gimana? 

[PAMAN] (Menarik nafas dan menepuk kepala Dhoni) Ada baiknya kamu segera menjawab perasaannya. 

[DHONI] Jawab yang kek gimana, Paman? Paman sendiri yang bilang aku ga ngerti emosi dan perasaan. Dan, Paman lebih tahu dari siapapun kenapa aku jadi kek gini. 

[PAMAN] Ya, Paman tahu. Sebenarnya ini langkah bagus buat kamu juga. Buat ngerti lebih dalam emosi manusia. 

[PAMAN] Lagian setelah kamu tinggal bareng Paman, sedikit-banyak kamu sudah mulai mengerti emosi manusia, bukan? Kamu sendiri yang merasakan.

Dhoni hanya melihat Paman.

[PAMAN] Setelah Paman bawa kamu pergi dari orang tuamu yang berengsek itu. Kehidupanmu sudah jauh lebih baik, bukan?

[PAMAN] Kamu sudah tidak takut lagi pada orang, bisa lancar ngomong sama orang lain, mendapat teman, mengetahui bakatmu, dikagumi karena bakatmu, dan sekarang sudah punya banyak teman. Yahh. Walaupun masih sedikit anti-sosial. (Tertawa kecil)

Dhoni pun ikut tertawa mendengar itu. Semua yang dikatakan Paman memang benar.

[PAMAN] Sedikit demi sedikit juga kamu merasakan emosi. Senang. Saat kamu bermain piano. Sedih. Ternyata kamu kalah di kontes pertamamu. Kesal. Karena ternyata banyak orang yang lebih berbakat. Gembira. Saat kamu menang.

[PAMAN] Kemudian dari semua itu, ada yang mencintaimu. Bukankah itu hebat? Kehidupanmu sudah sangat lebih baik dari kehiupan yang dulu. 

[DHONI] Dari dulu aku pengen tanya ini, Paman. Mungkin sekarang waktu yang tepat. 

[PAMAN] Kenapa? Mau nanya apa? 

[DHONI] Kenapa dulu Paman bawa aku pergi, membesarkanku, dan merawatku hingga saat ini? Padahal aku bukan siapa-siapa Paman. 

[PAMAN] Hush. Kamu ini ngomong apa sih. Kamu itu keponakanku. Keponakan kandung. Keponakanku yang hebat. Jangan bilang kamu bukan siapa-siapaku. 

[PAMAN] Lagian, jawaban dari pertanyaanmu itu bukannya sudah jelas? Dari pembicaraan kita barusan harusnya kamu sudah tahu jawabannya.

Paman melihat Dhoni dengan tatapan lembut.

[PAMAN] Karena Paman mencintaimu. Percaya atau tidak, kita berdua punya banyak sekali kesamaan. Karena itu pula, Paman nekat bawa kamu pergi. 

[DHONI] Memangnya apa kesamaan aku sama Paman?

.

.

.

.

.

Malam itu, setelah mendengar cerita Paman. Dhoni pun membulatkan tekad untuk menjawab perasaan Dian.

Di sisi lain, malam yang sama. Tiara sebenarnya hari itu berniat memberitahu Dhoni tentang pilihannya ke luar negeri namun terhentikan oleh kejadian tadi.

[PAPA TIARA] Eh? Kamu belum ngasih tahu Dhoni? Kan tanggal keberangkatanmu persis sama dengan tanggal kontesnya Dhoni. Kamu gimana sih? 

[TIARA] Yah. Tadi Dhoni lagi serius latihan. Aku ga mau ganggu dia. Lagian pasti besok kukasih tahu, kok. Tenang aja, pah. 

[TIARA] Oiya. Ngomong-ngomong gimana kasus papa? Keknya makin serius. 

[PAPA TIARA] Iya. Beberapa minggu lalu papa diberi tahu bahwa ada pergerakan dari sindikatnya. Berkat kerja sama dengan tim pusat, markasnya juga berhasil ditemukan.

[PAPA TIARA] Sekarang tinggal nunggu waktu aja sampai mereka melakukan pergerakan lagi. 

[TIARA] Terus ketua sindikatnya gimana? Yang kata papa buronan dari lama. 

[PAPA TIARA] Ya. Menurut informasi yang dikumpulkan sama tim papa, ketuanya itu sepasang suami-istri gitu. Mereka yang buron sampai hampir 8 tahun itu.

[PAPA TIARA] Mereka cukup lihai menutupi jejak mereka dan sering berpindah-pindah kota. Makanya sampai sekarang susah dilacak. 

[PAPA TIARA] Dan, kalo mereka melakukan pergerakan. Maka tim gabungan pusat dan tim papa akan melakukan penggerebekan. 

[TIARA] Berarti nanti papa ikutan dalam penggerebekan itu? Wih. Nanti tolong videoin ya, pah. Buat pamer ke temen-temen. (Tertawa) 

[PAPA TIARA] (Tertawa juga) Yang ada kamu yang papa tangkap karena ganggu tugas papa.

Beberapa minggu kemudian, Dhoni memanggil Dian untuk bertemu. Dhoni sudah membulatkan tekad untuk menjawab Dian.

[DHONI] Dian. Maaf ya soal waktu itu. Aku ga tahu harus ngerspon gimana. 

[DIAN] Ah, engga. Aku yang harus minta maaf. Pasti jadi pikiranmu ya. Ganggu latihan kamu. Padahal kontes udah dekat. 

[DIAN] Lagian waktu itu aku keceplosan. Munkin karena aku kecapekan. Dan, mumpung di sini. Boleh ga aku nyatain lagi. Kali ini dengan serius.

Dhoni hanya melihat seakan mempersilakan Dian untuk ngomong.

[DIAN] (Menarik nafas dan melihat serius ke arah Dhoni) Dari pertama kali aku melihatmu, saat bermain piano di kontes itu. Tak pernah kulihat orang bermain piano dengan sangat indah seperti itu.

[DIAN] Mulai dari saat itu kamu meberikanku tujuan. Yaitu bermain piano dan saat itu pula aku sudah tertarik padamu. Kukira aku takkan bisa bertemu denganmu lagi. 

[DIAN] Tapi, betapa beruntungnya aku begitu tahu ternyata saat SMA kita satu sekolah. Dan lebih beruntung lagi, saat kamu mau ngajarin aku piano.

[DIAN] Semakin kamu sering mengajariku, semakin kurasa aku punya perasaan padamu.

[DIAN] Tanpa kusadari, aku sangat suka melihat permainan pianomu. Aku sangat suka dengan kehadiranmu. Aku sangat nyaman berada di sekitarmu.

[DIAN] Aku jatuh cinta pada kamu, Dhoni. 

[DHONI] (Terdiam kemudian melihat lembut ke arah Dian) Terima kasih, Dian. Terima kasih banyak.

[DHONI] Aku tak pernah tahu ada yang mencintaiku dengan alasan yang sangat sederhana seperti itu. 

[DHONI] Seperti yang kamu tahu sendiri, aku ini anti-sosial. Tak peka perasaan orang. Bahkan aku juga ga ngerti emosi manusia itu gimana.

[DHONI] Karena itu, aku ga tahu harus bagaimana ngerespon kamu. 

[DHONI] Dan, karena itu pula. Sampai aku mengerti apa itu cinta, maukah kamu menunggu jawabanku? Maukah kamu tetap bersikap seperti biasa? 

[DIAN] (Tersenyum lembut) Tentu saja. Sampai kamu mengerti apa itu cinta, aku akan menunggu jawabanmu.

Dian dan Dhoni pun tersenyum satu sama lain. Mereka berlaku layaknya biasa mereka. Dhoni melanjutkan rutinitasnya.

Dan, Dian pada hari yang sama pergi menemui Tiara di rumahnya.

[TIARA] Dian. Tumben. Masuk. Di luar panas. 

[DIAN] (Diajak langsung masuk ke kamar Tiara) Yo. Lagi pengen main aja. Udah lama aku ga main ke rumahmu. Dhoni juga lagi berlatih sama instrukturnya. 

[TIARA] Gimana perkembangan buat kontes kalian nanti? Tinggal 2 minggu lagi kan? Semangat! 

[DIAN] Hehe. Terima kasih. Oiya. Tiara. Sebenarnya ada yang pengen aku omongin sama kamu- (Tiba-tiba terhenti melihat beberapa lembaran yang terserak di meja belajar Tiara)

Dian mengambil dan melihat lembaran tersebut. Lembaran tersebut adalah surat-surat pengurusan visa dan pemberitahuan Tiara telah diterima di universitas luar negeri.

[DIAN] Kamu lanjut ke luar negeri? Kamu gak bilang-bilang?

Tiara tak sempat menyimpan berkas-berkas tersebut dan tak menyangka akan segera dilihat Dian.

[DIAN] Tanggal keberangkaanmu sama dengan tanggal kontes kami. Kamu sudah kasih tahu Dhoni? 

[TIARA] (Dengan nada menyesal) Maaf. Harusnya kubilang lebih cepat. Tapi, aku selalu ga pernah dapat waktu yang pas buat bilang ke kalian.

[TIARA] Lagian daripada itu, tadi kamu bilang mau ngomong sesuatu. 

[DIAN] (Melihat ke luar dari jendela) Mungkin ada baiknya kita ngobrol sambil jalan. Kamu masih harus ngurus visa kan?

[DIAN] Aku temenin ke kantor imigrasi. Lagian di luar juga ga panas-panas amat. 

[TIARA] Oke, deh.

Di hari yang sama pula, penggerebekan sindikat narkoba dilakukan oleh tim pusat dan tim papa Tiara. Lokasi markas sindikat narkoba tersebut berada di dalam gang-gang kecil tempat pemukiman warga.

Dan, juga merupakan jalanan yang setiap hari dilalui jika ingin menuju kantor imigrasi.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar