Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
-3 TAHUN KEMUDIAN-
Masa SMP pun berlalu. Tiga tahun kemudian, Dhoni dan Tiara pun lulus SMP. Dan, Tiara masih belum menyatakan perasaanya kepada Dhoni.
Perasaan takut akan ditolak mengurungkan niat Tiara untuk menyatakan perasaan. Saat SMA pun, mereka berdua bersekolah di sekolah yang sama dan kelas yang sama.
Namun, kini Tiara sedikit berubah. Berbeda saat SD dan SMP. Saat penerimaan siswa baru, Tiara tidak seaktif dulu, ia tidak langsung bersosialisasi dengan anak-anak baru. Kini ia sedikit mengerti perasaan takut Dhoni.
Rasa takut akan ditolak orang kalo terlalu menunjukkan diri. Alasan inilah yang membuat Tiara belum menyatakan perasaannya kepada Dhoni.
Tiara lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kelas ngobrol bareng Dhoni atau berkenalan dengan anak-anak baru di dalam kelas, tapi tidak seaktif dulu.
[DHONI] Kamu kenapa, Tiara? Waktu SMP dulu kamu suka banget kenalan sama orang-orang baru.
[DHONI] Kok sekarang malah sama kek aku. Jadi sedikit anti-sosial gini.
[TIARA] Yah. Mungkin aku sedikit paham alasan kamu anti-sosial. Kamu merasa kalo ketemu sama orang baru, kamu bakalan ditolak kan?
[DHONI] (Merasa heran) Bukan itu juga, sih. Tapi, kamu ada sedikit benarnya.
Sedikit kilasan masa lalunya terlintas di benaknya. Namun, Dhoni langsung menyingkirkannya.
[DHONI] Kenapa tiba-tiba kamu jadi berpikiran seperti itu?
[TIARA] Ga apa-apa. Aku kadang merasa aku harus memahami perasaan orang dulu sebelum bertindak.
[DHONI] Sikapmu ini kek bukan kamu aja, deh. Jujur aku lebih suka sikap kamu yang aktif itu, loh.
[DHONI] Kalo kamu kek gini terus aku kek gini, kita ga bakal dapat teman baru sampe lulus nanti, loh. (Tertawa)
[TIARA] (Tersipu dengan perkataan Dhoni) Ya udah. Aku bakal kenalan sama anak-anak baru.
[TIARA] Terus buat kamu, kalo udah punya keberanian. Lakuin kek biasa, oke?
[DHONI] Siap, kapten. (Lanjut menulis di buku not baloknya)
Tiara kembali menjadi dirinya yang dulu dan seperti biasa langsung mendapat teman-teman baru saat SMA. Kehidupan mereka pun berjalan normal.
Di saat yang bersamaan, Papa Tiara mendapat kasus narkotika. Papa Tiara membawa berkas-berkas kasus tersebut ke rumah untuk dipelajari.
Kasus narkotika tersebut dilapokan ada di sekitar wilayah itu.
[TIARA] (Menghampiri Papa yang sedang mempelajari berkas) Tumben Papa bawa berkas kasus ke rumah. Dapat kasus apaan, Pa?
[PAPA TIARA] Ini kasus narkotika. Laporannya bilang ada di sekitar wilayah kita ini.
[TIARA] Wah. Serem juga, dong. Terus gimana jadinya?
[PAPA TIARA] Ini masih diselidiki sama tim Papa. Ini termasuk kasus serius karena dari gembong narkoba yang buron dari lama.
[PAPA TIARA] Buat jaga-jaga, kalo ada orang asing yang nawarin sesuatu yang aneh jangan pernah terima ya. Kasih tahu Dhoni juga.
[TIARA] Siap, Papa. Jangan khawatir. Gini-gini aku kan anak polisi tahu.
Sementara itu di sisi lain, perasaan kesal yang dirasakan Dhoni masih terbawa hingga sekarang.
Walau sudah 3 tahun, Dhoni masih kesal karena kekalahannya di perlombaan tersebut.
[DHONI] Paman. Aku boleh les atau belajar piano sama orang profesional ga?
[PAMAN] (Menyerngitkan dahi) Boleh-boleh aja, sih. Permintaanmu aneh juga. Emangnya kenapa?
[DHONI] Paman ingat ga waktu SMP aku kalah dan cuman dapat juara 3?
[DHONI] Dari situ aku kesel. Aku pengen lebih jago lagi main piano.
[PAMAN] (Tertawa senang) Nah, gitu dong! Kalo kamu bilang kek gitu kan Paman senang. Ga sia-sia Paman beliin kamu piano ke rumah.
[PAMAN] Nanti Paman tanya teman-teman Paman, siapa tahu ada yang bisa bantu.
[DHONI] Terima kasih banyak, Paman. Buat lomba berikutnya aku pasti ga bakal kalah lagi.
Paman pun mencari informasi untuk Dhoni, beberapa hari kemudian Dhoni pun mendapat pelatihan dari pemain piano profesional.
Tiara yang tidak mengetahui hal tersebut datang ke rumah Dhoni untuk mengerjakan tugas bareng.
[TIARA] Wih. Paman di rumah. Lagi ga ada kerjaan, Paman? (Tertawa)
[PAMAN] Deadline masih lama. Mending santai dulu sekalian nyari inspirasi.
[TIARA] Loh? Dhoninya mana, Paman?
[PAMAN] Lagi les piano.
[TIARA] Les piano? Aku ga salah denger? Kan dia udah jago main piano.
[PAMAN] Les sama orang profesional. Katanya dia kesel waktu kalah lomba pas SMP dulu.
[PAMAN] Dhoni baru kepikiran sekarang buat belajar lagi sama orang profesional. Biar nanti kalo ada lomba lagi ga kalah.
[TIARA] Widih. Dhoni udah berubah, ya. Padahal dulu ga pernah mengekspresikan perasaannya. Sekarang udah berani buat ambil langkah baru. Hebat. Hebat.
[PAMAN] Sedikit lebihnya, Paman juga berterima kasih buat kamu.
[PAMAN] Kalo ga ada kamu yang bantuin Dhoni dari kecil, Paman ga tahu tuh anak jadi apa sekarang ini. (Tertawa)
[TIARA] Ah. Ga juga, Paman. Aku cuman bantuin karena dari kecil aku juga udah tertarik sama Dhoni. (Agak tersipu)
[PAMAN] (Melihat sikap Tiara dan langsung menggodanya) Dulu waktu kecil tertarik karena pengen jadi temen.
[PAMAN] Kalo sekarang tertarik karena pengen jadi apa?
[TIARA] (Kaget dengan perkataan Om dan langsung terbata-bata) Yah.. kalo.. itu.. tetap teman kok, Paman.
[PAMAN] (Hanya tersenyum lebar) Owh. Gitu, ya. Tapi, masa hampir tiap hari datang ke sini buat ketemu Dhoni doang.
[TIARA] (Gugup dan salah tingkah) Kalo.. soal.. itu.. yah..
[PAMAN] Ah. Nanti kalo Dhoni pulang, Paman kasih tahu aja deh.
[TIARA] (Panik) Jangan! Jangan, Paman! Tolong jangan!
[PAMAN] (Tertawa terbahak-bahak) Tenang. Tenang. Becanda. Becanda. Tapi, kamu bilang sendiri kalo Dhoni itu anti-sosial kan?
[PAMAN] Kamu juga harusnya tahu kalo tuh anak kurang peka sama emosi manusia. Kalo kamu ga ngasih tahu dia perasaan kamu, dia ga bakalan tahu.
[TIARA] Iya, Paman. Kalo nanti ada keberanian sama kesempatan. Aku bakalan bilang kok ke Dhoni.
[PAMAN] Jangan lama-lama. Kalo dia direbut sama orang lain gimana?
[TIARA] Emangnya ada yang bakalan mau sama orang anti-sosial kek Dhoni?
[PAMAN] (Melihat heran dan menyerngitkan dahi) Kamu.
[TIARA] (Langsung tersipu malu dan muka merah) Ah. Udah deh, Paman. Kalo Dhoni udah pulang, aku bakal ke sini lagi.
[TIARA] Terus jangan bilang apa-apa ya ke Dhoni.
[PAMAN] (Tertawa terbahak-bahak) Tenang. Tenang. Ga bakalan bilang apa-apa kok.
Waktu pun berlalu, Dhoni makin giat berlatih pada pemain profesional. Tiara juga belum mengatakan apa-apa ke Dhoni.
Semester kedua di SMA, ada seorang siswi pindahan datang ke sekolah mereka. Dan masuk ke kelas yang sama dengan Dhoni dan Tiara.
Nama siswi pindahan itu Dian. Entah mengapa Dian langsung menghampiri Dhoni.
[DIAN] (Menghampiri Dhoni yang sedang serius menulis) Halo. Kamu Dhoni kan? Dari SMP XXX?
[DHONI] (Agak kaget) Ah. Iya benar. Kamu tahu aku?
[DIAN] Wah. Bener. Aku Dian. Aku suka banget denger permainan piano kamu dulu.
[DHONI] (Semakin kaget dan heran) Kamu pernah dengar aku main piano? Kamu denger dimana? Kamu siapa?
[DIAN] Ah. Maaf kalo tiba-tiba kek gini. Kamu ingat ga 3 tahun lalu saat perlombaan musik di daerah XXX?
[DHONI] Oohh! Iya. Iya. Aku dulu ikut perlombaan itu.
[DIAN] SMPku juga dulu salah satu yang ikut perlombaan. Dan, aku jd suporter yang ikut mendukung sekolah.
[DIAN] Nah, pas giliran kamu tampil. Aku suka banget sama permainan piano kamu. Bisa kubilang unik dan beda.
[DHONI] Kamu tahu aku dari situ ternyata. Bikin aku kaget saja.
[DIAN] Iya. Semenjak ngelihat permainan piano kamu, aku jadi tertarik sama piano. Aku udah belajar piano dari SMP.
[DIAN] Aku ga nyangka bakal ketemu kamu di sini. Kamu inspirasiku buat main piano.
[DHONI] (Tersipu malu dan bangga) Ah. Terima kasih. Aku jadi ga tahu kudu bilang apa. Hehe. Ga nyangka aku bakal mengispirasi orang buat main piano.
[DIAN] Aku masih belajar piano sampe sekarang. Tapi, aku masih minder dengan kemampuan pianoku. Aku takut kalo didengar banyak orang.
[DHONI] (Mengingat kata-kata Tiara) Ga boleh kek gitu. Kamu tuh harus percaya sama kemampuanmu sendiri.
[DHONI] Jangan minder, kalo kamu merasa kamu bisa maka tunjukkan. Percaya dirilah dan jangan takut untuk menunjukkan kepada orang-orang.
[DIAN] (Terharu) Terima kasih. Baru kamu yang ngomong kek gitu samaku. Aku jadi senang.
[DHONI] Kalo gitu kenapa kita ga lihat kemampuan pianomu? Di ruang musik ada piano. Coba mainkan.
[DIAN] Kita boleh pake ruang musik? Bukannya cuman buat anggota ekskul musik doang, ya?
[DHONI] Tenang. Aku salah satu anggota ekskul musik. Nanti aku yang bilang sama guru pembimbing. Jadi ga ada masalah.
Mereka pun masuk ke ruang musik dengan izin guru pembimbing. Di ruang musik, Dian yang main piano.
Dian memainkan beberapa lagu klasik. Lagu dasar yang biasa dipakai pemula piano. Memang terdengar ada beberapa miss, namun secara keseluruhan masih enak didengar.
Giliran Dhoni yang main piano. Terdengar sekali perbedaan permainan piano Dian dan Dhoni. Dian semakin kagum dengan permainan piano Dhoni.
[DIAN] (Bertepuk tangan) Wah. Hebat. Hebat. Kelihatan banget jauhnya level kita. Aku jadi tambah minder.
[DHONI] Jangan gitu. Setiap orang punya waktunya masing-masing. Kalo buat kamu mungkin tidak sekarang. Kalo kamu giat latihan pasti bisa, kok.
[DIAN] Wah, kalo gitu kamu bisa dong ajarin aku. Biar aku lebih mahir lagi main pianonya. Kalo kamu ada waktu kosong, kapan-kapan ajarin aku.
[DHONI] Ga masalah. Secara tidak langsung aku nanti punya murid. (Tertawa)
Kemudian, Tiara muncul dengan membawa jajanan.
[TIARA] Sudah kuduga kamu di sini. Ketebak banget. Nih kubawain jajanan.
[TIARA] (Melihat Dian) Ah. Kamu murid baru itu kan?
[TIARA] (Mengulurkan tangan) Halo, aku Tiara. Lagi ngapain di sini?
[DIAN] (Menjabat tangan Tiara dan bersalaman) Halo. Aku Dian. Aku lagi minta diajarin sama Dhoni. Kamu juga anggota ekskul musik?
[TIARA] Oh, bukan. Aku ke sini cuman pengen ngadem sama main aja. Aku suka ngedengerin permainan piano Dhoni.
[DIAN] Hee.. Sama dong. Ini barusan aku mainin piano terus Dhoni. Kelihatan banget bedanya level kami. (Tertawa)
[TIARA] (Ikutan tertawa) Yah. Itu karena Dhoni udah main piano dari kami masih SD.
[DIAN] Kamu udah ngedengerin permainan piano Dhoni dari kecil. Ihh. Senangnya. Kalian saudaraan, ya?
[DHONI] Oh, bukan. Kami cuman teman dari kecil. Kebetulan rumah kami juga deketan banget. Karena itu dari kecil Tiara udah ngedengerin aku dari kecil.
[TIARA] Hampir tiap hari aku dengerin Dhoni main piano.
[DIAN] Hee. Gitu, toh. Berarti kamu bisa main piano, dong?
[TIARA] Ah. Kalo itu nggak. Aku cuman suka ngedengerin doang. Kalo niat buat main ga ada sama sekali.
[DIAN] Kalo kamu suka dengerin piano berarti keknya kita bakal bisa jadi temen akrab, deh.
[TIARA] Yoi. Aku juga suka sama aura kamu. Keknya kita bakal jadi temen akrab, nih.
[DIAN] Mulai sekarang, kalo ada waktu kosong aku minta diajarin sama Dhoni di sini. Mampir-mampir ya. Dengerin permainan pianoku.
[TIARA] Oh jelas dong. Kita bisa jadi akrab kek gini semua berkat Dhoni. Kita kudu ngucapin terima kasih ke Dhoni.
[DIAN & TIARA] (Bersamaan) Terima kasih, Dhoni.
[DHONI] (Tertawa) Kalian berdua gaje. Serius, deh.
Mulai dari saat itu, mereka bertiga menjadi teman akrab. Sering jalan bareng, belajar bareng, nongkrong bareng, dan bermain piano.
Masa SMA mereka pun berjalan dengan normal. Tiara juga masih belum menyatakan perasaaanya ke Dhoni. Tanpa disadari juga, benih-benih cinta Dian kepada Dhoni juga tumbuh.