Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
13. INT. KERETA – PAGI – PRESENT
Maudy membalik halaman buku. Hansi memutar-mutar pulpen di tangannya, menghela nafas panjang, lalu kembali menatap Maudy.
HANSI
Apa kata pengganti untuk minta maaf?
Maudy menatap Hansi, Hansi memberi tanda agar Maudy melepas headsetnya. Maudy melepas sebelah headsetnya.
HANSI
Aku sedang menulis surat. Surat permintaan maaf. Kamu tahu kata yang lebih baik selain minta maaf?
Maudy terdiam sejenak, lanjut membalik halaman buku.
MAUDY
Ampun?
Mendengar jawaban Maudy Hansi tertawa kecil, Maudy menatap Hansi heran.
HANSI
Ini bukan surat buat Tuhan.
MAUDY
(Menghela nafas kesal)
Aku nggak tahu. Katakan saja kalau kamu menyesal.
HANSI
(Mengerutkan dahi)
Gitu, ya?
Hansi kembali menulis surat, Maudy kembali membaca buku. Setiap kali melakukan kesalahan saat menulis surat, Hansi melipat kertasnya menjadi bentuk burung bangau. Diam-diam Maudy memperhatikan Hansi melakukan hal itu.
14. INT/EXT. STASIUN KERETA API – PAGI
Kereta singgah di stasiun. Beberapa penumpang turun dan beberapa penumpang naik. Maudy melepas headset, menggulungnya, lalu memasukannya ke dalam saku. Hansi melipat-lipat kertas menjadi burung bangau. Maudy melirik meja kecil di samping jendela, terdapat tiga buah burung bangau di sana.
HANSI
Menurutmu aneh nggak kalau aku mengirim surat seperti ini? (Menunjukan lipatan kertas berbentuk burung bangau)
MAUDY
Tergantung.
HANSI
Tergantung?
MAUDY
Cowok apa cewek?
HANSI
(Mengerutkan dahi)
Nggak mungkin aku repot-repot menulis surat kalau buat cowok.
MAUDY
Cewek juga belum tentu mau.
HANSI
Maksudmu?
MAUDY
Kalau niatmu meminta maaf, lakukan dengan tepat. Isi surat lebih penting dibanding bentuknya.
HANSI
Gitu, ya?
Kereta kembali berjalan. Hansi mengambil kertas baru dari dalam tas, lalu kembali menulis surat. Sementara itu, Maudy kembali membaca buku.
HANSI (CONT’D)
Hansi. (beat) Namaku Hansi.
Maudy kembali menatap Hansi.
HANSI (CONT’D)
Kamu pasti menganggapku orang yang payah, kan?
MAUDY
Sejak awal kamu udah terlihat payah.
HANSI
Maaf untuk yang tadi.
MAUDY
Lupaian saja.
HANSI
Apa perempuan suka kalau laki-laki merendahkan dirinya? Semacam mengaku kalau dia bodoh?
MAUDY
Aku nggak suka laki-laki yang bodoh. (beat) Tapi kalau kamu ingin meminta maaf, lebih baik kamu mengakui kebodohanmu.
HANSI
Maaf, aku sangat bodoh sudah mengambil kursimu. (beat) Gitu, ya?
Maudy tersenyum simpul.
HANSI (CONT’D)
Kuliah?
MAUDY
(Menggeleng)
Sudah lulus tahun lalu.
HANSI
Kerja?
MAUDY
Iya, desainer interior.
HANSI
(Kagum)
Serius? Padahal kalau kamu mengaku penulis atau editor aku pasti percaya.
MAUDY
(Tersenyum remeh)
Aku nggak bisa menulis, juga nggak paham kaidah kepenulisan.
HANSI
Kalau kubilang aku seorang penulis kamu pasti nggak percaya.
MAUDY
Kedengarannya memang sulit dipercaya.
HANSI
Miris, kan? Seorang penulis tapi nggak bisa nulis surat.
MAUDY
Novel, puisi, artikel?
HANSI
Novel. Buku itu (Menunjuk Buku Norwegian Wood milik Maudy) Aku sangat menyukainya. Waktu pertama kali baca kupikir aku bisa menulis sesuatu semacam itu. Tapi dugaanku salah. Dua kali menulis novel, dua-duanya nggak lolos penerbitan. (beat) Padahal tadinya aku mau minta maaf pakai novel buatanku.
MAUDY
Pacarmu?
HANSI
Bukan, kami cuma temen waktu SMA.
MAUDY
Tapi bukan temen biasa, kan?
HANSI
Kenapa gitu?
MAUDY
Kalau temen biasa kamu nggak mungkin serepot ini buat minta maaf.
HANSI.
Bisa dibilang dulu aku menyukainya. Tapi itu dulu, bulan depan dia menikah dengan pria lain. Beberapa hal terjadi, agak rumit untuk dijelaskan. Intinya aku ingin meminta maaf. (Tertawa remeh) Dipikir-pikir aku ini pengecut, ya? Meminta maaf pakai surat.
MAUDY
(Tersenyum kecil, lalu kembali membaca buku)
Maudy... Namaku.
Hansi menatap Maudy, lalu ikut tersenyum.
15. INT. STASIUN – RUANG TUNGGU – MALAM – FLASHBACK.
Maudy dan Ibunya duduk bersebelahan. Beberapa orang tertidur di kursi, beberapa orang menonton televise di pojokan.
IBU MAUDY.
(Menoleh ke arah Maudy)
Kamu yakin nggak ada niatan pulang?
MAUDY
(Menatap ke depan)
Untuk sekarang nggak ada
IBU MAUDY
Kalau akhir tahun nanti? Barang cuma sehari dua hari.
MAUDY
Belum tahu. Tahun depan aku lulus. Jadi banyak yang harus diurus.
Ibu Maudy terdiam. Tampak jam dinding mendekati pukul setengah dua belas.
MAUDY (CONT’D)
Minggu depan aku mulai bekerja di minimarket. Jadi Ibu nggak perlu kirim uang lagi.
IBU MAUDY
(Kaget)
Kenapa?
MAUDY
Umurku sudah dua puluh satu. Aku bisa hidup mandiri.
IBU MAUDY
(Mengeluh)
Kamu udah besar, ya....
Ibu Maudy mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kotak kecil berwarna cokat dan sebuah surat. Ibu Maudy memberikan kedua benda tersebut pada Maudy.
IBU MAUDY
Mungkin agak terlambat, tapi selamat ulang tahun.
Maudy menatap kedua benda itu, tampak ingin menolaknya.
IBU MAUDY
Terimalah, kalau nggak Ibu akan mengirimu uang setiap minggu.
MAUDY
(Terpaksa)
M-makasih.
Ibu Maudy tersenyum, tapi tampak menahan tangis.
IBU MAUDY
Ibu ke kamar mandi dulu.
Ibu Maudy pergi ke kamar mandi meninggalkan Maudy. Maudy mendesah kecil menatap hadiah pemberian Ibunya. Maudy menatap tas Ibunya yang terletak di sebelahnya. Maudy menengok ke kanan dan ke kiri, lalu MEMASUKAN KEMBALI HADIAH PEMBERIAN IBUNYA KE DALAM TAS.
16. INT. TOILET KERETA – PAG – PRESENT
Maudy menatap wajahnya lekat-lekat di cermin, mengatur nafas, lalu mencuci muka.
17. INT/EXT. KERETA – PAGI
Maudy dan Hansi sibuk melakukan kegiatannya masing-masing.Kereta kembali berhenti di stasiun. Beberapa penumpang turun dan naik. Salah seorang penumpang yang naik (Penumpang #1) menghampiri Hansi.
PENUMPANG #1
Mas, boleh lihat tiketnya?
HANSI
(Bingung)
Ya?
PENUMPANG #1
Itu kursi saya, kayaknya mas salah tempat duduk.
HANSI
Oh, maaf (Membereskan barangnya, lalu pindah ke samping Maudy)
MAUDY
(Menahan tawa, sambil terus membaca buku)
Kamu sungguh payah.
HANSI
(Berbisik lirih)
Habisnya aku suka duduk di dekat jendela.
MAUDY
Yang sekarang bener kursimu?
HANSI
Harusnya.
PENUMPANG #1
Ini punya mas? (Menunjukan kertas burung bangau)
Hansi tampak malu, lalu mengambilnya tanpa mengatakan apapun. Maudy tertawa kecil.
LATER
Kereta kembali berjalan melewati persawahan. Penumpang #1 tertidur. Hansi mengeluh karena tidak puas dengan tulisannya, lalu kembali melipat kertas menjadi burung bangau.
MAUDY
(Melirik Hansi)
Kenapa lagi?
HANSI
Setelah kubaca tulisanku payah banget. Yang begini nggak mungkin berhasil.
Maudy melirik tumpukan burung bangau kertas yang ada di sekitar Hansi. Seorang anak perempuan yang duduk di kursi seberang juga mengamati burung bangau kertas tersebut. Hansi yang menyadarinya segera menegur anak tersebut.
HANSI
Kamu mau?
Anak perempuan itu mengangguk.
HANSI
Berapa?
ANAK PEREMPUAN
(Melipat jarinya menunjukan angka dua)
Dua
HANSI
(Mengambil burung bangau kertas, lalu memberikannya sambil tersenyum)
Nah, ambilah.
Anak perempuan itu menerimanya, lalu tersenyum senang.
IBU ANAK KECIL
(Mengangguk sedikit)
Makasih.
Hansi dan Maudy tersenyum.
HANSI
(Menoleh ke arah Maudy)
Kamu mau juga?
Maudy menggeleng, lalu kembali membaca buku. Hansi merogoh ponsel dari saku, lalu menunjukan sebuah foto kepada Maudy. Dalam foto tersebut, tampak seorang gadis cantik berambut pendek sebahu dengan latar sebuah danau. Gadis dalam foto tersebut tampak tersenyum muram ke arah kamera.(CU) Foto dalam layar ponsel.
HANSI
Namanya Alya..
MAUDY
Dia cantik.
HANSI
(Mengangguk)
Kebanyakan orang pasti bilang gitu. Dia yang kuceritakan tadi, murid pindahan waktu aku SMA.