93 INT. RUMAH MUDITA - RUANG MAKAN - MORNING
AYAH MUDITA
Kamu bilang apa, Dit?
AYAH MUDITA berhenti makan. Dia menaruh sendok dan garpunya di piring sarapannya.
Terlihat MUDITA sedang duduk di meja makan bersama dengan AYAH MUDITA dan IBU MUDITA. Di meja makan terlihat ada omulette rice dan susu yang disajikan sebagai sarapan.
MUDITA
Aku bilang, aku nggak ikut pindah ke Medan. Aku tetep di Jakarta aja, Yah.
(BEAT)
Seenggaknya sampai aku lulus SMA, yah. Nanti aku bisa cari kampus di Medan, baru aku pindah ke Medan dan tinggal sama Ayah dan Ibu lagi.
IBU MUDITA
Kamu yakin?
MUDITA
Yakin, Bu.
(BEAT)
Setelah aku pikir-pikir, udah nanggung kalau aku ikut pindah. Kalau aku ikut pindah ke Medan, berarti aku di Medan cuman kelas 12 aja. Pasti udah ada kelompok-kelompok pertemanan yang kebentuk di sekolah baruku itu, akan susah buat aku berbaur. Pembelajarannya juga mungkin ada yang beda dengan di sekolahku sekarang.
(BEAT)
Jadi, ya, aku pikir lebih baik kalau aku tetep di Jakarta sampai lulus SMA.
IBU MUDITA mengangguk pelan lalu melirik ke AYAH MUDITA. MUDITA juga diam menatap AYAH MUDITA. Semua terdiam.
AYAH MUDITA
...Kenapa baru sekarang kamu bahas ini?
MUDITA
Sejujurnya dari awal Ayah bilang soal pindah itu aku udah kepikiran hal ini, Yah.
(BEAT)
Tapi waktu itu aku masih ragu.
(BEAT)
Sekarang aku bisa bahas ini ke Ayah karena aku udah yakin. Aku udah pikirin ini dengan matang, aku udah yakin kalau ini adalah keputusan yang paling tepat.
AYAH MUDITA
...Tapi apa bisa kamu sendirian di Jakarta? Masak sendiri? Cuci baju sendiri? Urus semuanya sendiri?
MUDITA
Bisa, Yah. Tenang saja.
AYAH MUDITA
Tapi--
IBU MUDITA
Oke, Dit, kamu boleh tetep di Jakarta sampai lulus SMA.
(BEAT)
Tapi kamu nggak boleh ngeluh selama setahun itu, ya? Ini keputusan kamu, Ibu gak mau denger nanti kamu ngeluh dan minta ikut ke Medan di tengah-tengah.
MUDITA
(tersenyum)
Siap, Bu!
AYAH MUDITA menatap IBU MUDITA dengan tatapan tidak setuju, tetapi dia tidak mengatakan apapun.
MUDITA dan IBU MUDITA lalu melanjutkan makan sarapannya. AYAH MUDITA terdiam sejenak lalu ikut melanjutkan makann sarapannya.
CUT TO:
94 EXT. RUMAH MUDITA - TERAS - MORNING
MUDITA sudah mengenakan seragam lengkap dengan ranselnya. Dia mencium tangan AYAH MUDITA dan IBU MUDITA bergantian. Dia lalu berdiri dan tersenyum.
MUDITA
Yah, Bu, aku berangkat.
IBU MUDITA
(tersenyum dan mengelus lembut kepala MUDITA)
Ya, hati-hati di jalan.
MUDITA berjalan keluar dari area rumah.
AYAH MUDITA
Kamu yakin?
IBU MUDITA
(menoleh ke AYAH MUDITA)
Yakin soal apa?
AYAH MUDITA
Soal Dita tetep tinggal di Jakarta sampai lulus SMA.
IBU MUDITA
Ooh... Yakin.
AYAH MUDITA
Tapi Dita belum pernah ngerasain tinggal sendirian, apa dia bener-bener bisa?
IBU MUDITA
Entah...
(BEAT)
Ibu, sih, yakin dia bisa.
AYAH MUDITA
Ayah tetep lebih setuju kalau Dita ikut sama kita ke Medan...
IBU MUDITA
Ibu juga maunya begitu.
(BEAT)
Tapi, Yah, ini keputusan Dita. Dan ini pertama kalinya Dita mengambil keputusan sendiri. Biasanya dia selalu menyerahkan keputusan ke kita dan hanya ikut saja.
AYAH MUDITA
Tapi--
IBU MUDITA
Ibu tahu Ayah khawatir, tapi Dita sudah besar, Yah.
(BEAT)
Dengan dia berani mengambil keputusan, dia akan belajar untuk bertanggung jawab. Dengan dia tinggal sendiri, dia akan belajar untuk jadi lebih mandiri.
(BEAT)
Biarkan saja, Yah. Anggap ini proses pendewasaannya.
AYAH MUDITA terdiam. Raut mukanya masih terlihat ragu.
CUT TO:
95 INT. SMA ARIYA SACCA - RUANG KELAS - NOON
SAKYA berdiri dari bangkunya. CHRISTIAN yang menyadari itu ikut berdiri dan menepuk pundaknya. SAKYA menoleh ke belakang.
CHRISTIAN
Lo mau langsung balik?
SAKYA
Nggak.
CHRISTIAN
Basket, yuk.
SAKYA
Duh, nggak dulu, deh.
CHRISTIAN
Apa? Alesan klasik lo lagi? Lagi mode hemat tenaga?
SAKYA
(menggeleng)
Kali ini beda. Gue udah ada janji.
CHRISTIAN
Janji? Sama Dita?
SAKYA
Iya.
(BEAT)
Gue mau minta diajarin Fisika sama Dita hari ini.
CHRISTIAN
Hah?! Apa lo bilang?
(BEAT)
Lo minta... Diajarin Fisika?!
SAKYA
Kenapa memangnya?
CHRISTIAN
Aneh aja denger lo mau belajar. Apalagi inisiatif minta diajarin...
SAKYA
Gue udah dapet peringatan dari Pak Fajar, Chris. Bisa-bisa beneran gak naik kelas gue nanti kalau gak dari sekarang perbaikin nilai gue.
CHRISTIAN
(tersenyum jahil)
Bukannya lo cuman mau berduaan sama Dita?
SAKYA
Itu bonus.
(tertawa kecil)
CUT TO:
96 INT. SMA ARIYA SACCA - PERPUSTAKAAN - NOON
SAKYA dan MUDITA duduk bersampingan di salah satu meja perpustakaan. Di depan mereka tampak ada buku tulis dan buku cetak Fisika yang terbuka. SAKYA tampak mengerjakan sesuatu di buku tulisnya sementara MUDITA tampak mengajarinya.
SAKYA berhenti menulis. Dia menaruh bolpoinnya dan merenggangkan badannya.
MUDITA
Tuh, kamu bisa, kan, Sak. Memang kamunya aja yang selama ini males.
SAKYA
(tertawa kecil)
Soalnya lo jago ngajarnya, Dit, makanya orang sebego gue pun bisa ngerti.
(BEAT)
Makasih, ya, Dit, udah mau ngajarin gue.
MUDITA
(mengangguk kecil)
...Makasih juga, ya, Sak.
SAKYA
Em? Makasih kenapa?
MUDITA
Karena omongan kamu, aku jadi berani buat bilang ke orang tuaku soal kemauan aku yang sebenernya.
SAKYA
Soal lo maunya tetep di Jakarta aja sampai lulus SMA?
MUDITA
(mengangguk)
Iya.
SAKYA
(tersenyum)
Bagus, deh, kalau lo udah berani buat jujur ke orang tua lo.
MUDITA tersenyum.
CUT TO FLASHBACK:
97 EXT. JEMBATAN PENYEBERANGAN - NOON
MUDITA
Kamu bilang apa tadi?
SAKYA
...Maaf, ya.
MUDITA memegang kepala SAKYA dan membalikkannya sehingga tatapan mereka bertemu.
MUDITA
Kalau kamu memang mau minta maaf, seenggaknya tatap mata lawan bicara kamu.
SAKYA
...Maaf, ya, Dit.
(BEAT)
Gue selama ini pengecut. Gue selama ini terikat sama masa lalu gue, sama trauma gue. Gue takut untuk ngerasain sakit hati lagi, takut ngerasain perpisahan dengan orang yang gue sayangin lagi.
(BEAT)
Gue gak takut untuk bahagia, tapi gue takut sama apa yang akan menjadi akhir dari kebahagiaan itu. Dan karena itu, gue malah milih buat ngejauh dari lo.
MUDITA
Sakya...
SAKYA memegang tangan MUDITA dan menurunkannya dari kepalanya. Dia memegang erat tangan MUDITA.
SAKYA
Tapi gue akan coba berubah. Gue akan coba untuk menghadapi itu semua.
(BEAT)
Dan gue harap lo bakal ada di sisi gue untuk ngeliat itu semua, untuk ngeliat Sakya yang baru.
MUDITA
(tersenyum)
Dengan senang hati, Sak.
SAKYA
(tersenyum kecil)
Tapi untuk itu, lo juga harus berubah, Dit.
MUDITA
Maksud kamu?
SAKYA
Gue diceritain Chris. Keluarga lo mau pindah ke Medan, kan?
MUDITA
...Iya.
SAKYA
Lo maunya tetep stay di sini, kan, Dit? Tapi lo gak berani buat ngomong itu ke orang tua lo, kan?
MUDITA hanya terdiam. Dia sedikit menunduk.
MUDITA
Chris cerita semuanya, ya?
SAKYA
(tertawa kecil)
Iya.
(BEAT)
Emang Chris itu dari dulu agak ember orangnya. Paling gak bisa jaha rahasia.
MUDITA
Berarti kamu juga udah denger alesan aku suka kamu?
SAKYA
(mengangguk)
Iya, gue udah denger.
MUDITA
...Aku aneh, ya?
SAKYA
(menggelengkan kepala)
Nggak, kok.
MUDITA
Tapi...
SAKYA
Dit, kalau lo ngerasa diri lo aneh, berarti lo sebenarnya tau apa yang salah sama diri lo. Dan menurut gue itu gak apa-apa. Memang gak mudah untuk berubah. Gue juga ngalamin kesusahan itu, kesusahan buat mau berubah.
(BEAT)
Tapi, gue mulai sekarang akan coba sebisa gue untuk berubah, untuk mengatasi ketakutan gue atas masa lalu gue. Dan gua ingin lo juga coba untuk berubah, Dit.
(BEAT)
Jujur aja, pertemuan gue sama lo bikin gue berani untuk berubah. Banyak hal yang jadi gue pikirin dan renungin. Dan gue harap, gue juga bisa jadi alesan dan kekuatan buat lo berubah.
(BEAT)
Buat lo lebih berani jujur ke orang lain, buat lo lebih berani kasih liat diri lo yang sebenarnya.
CUT BACK TO:
98 INT. SMA ARIYA SACCA - PERPUSTAKAAN - NOON
SAKYA
Gimana rasanya jujur, Dit? Gimana rasanya berani ngomong apa adanya, berani kasih liat diri lo yang sebenernya?
MUDITA
Hm...
(berpikir sejenak)
Awalnya aku masih ragu sama takut. Tapi ternyata nggak semenyeramkan yang aku pikir. Ibu nerima-nerima aja, Ayah agak ragu tapi gak terlalu ngebantah gimana juga. Ternyata, aku gak ditolak dan dipertanyakan sekalipun aku jujur dan ada adanya.
(BEAT)
Jujur dan jadi diri sendiri itu ternyata lebih mudah daripada yang selama ini aku pikirkan. Dan juga bikin lega.
SAKYA
Gue juga ngerasa gitu.
(BEAT)
Kalau ternyata, bahagia itu gak semenyeramkan yang selama ini gue takutin. Kalau ternyata, gue bisa bahagia dengan normalnya, tanpa harus takut kehilangan.
SAKYA dan MUDITA saling bertatapan lalu tersenyum.
SAKYA
Makasih, Dit. Udah ngajarin gue, bahwa gue, sama seperti semua orang lainnya, boleh untuk bahagia.
MUDITA tersenyum, tampak raut mukanya sedikit merona merah.
SAKYA memajukan kepalanya sedikit dan menyentuhkan dahinya dengan dahi MUDITA. Mereka berdua saling bertatapan dan tersenyum.
CUT TO BLACK: