INT. AUDITORIUM TEATER AMPHI — SIANG
ANIKKA dan BARA memasuki pintu gerbang auditorium tempat akan ditampilkannya teater kertas.
Auditorium itu cukup besar namun apapun yang ditunjukkan di atas panggung tetap terlihat jelas di manapun pengunjung memilih duduk, panggungnya berbentuk setengah lingkaran berada di sisi seberang gerbang masuk. Gerbang masuk berada di atas sedangkan panggung di bawah, dengan kursi-kursi duduk ditata menurun seperti terasering menghadap panggung, suasana ruangan sendu akibat lampunya yang temaram berpendar oranye mendorong penonton lebih fokus memperhatikan bayangan apapun yang akan ditampilkan di panggung nanti.
Mata Anikka dan Bara menyisir auditorium, area tengah masih banyak yang belum terisi dan mereka pun beranjak turun mengisi ruang kosong itu.
CUT TO:
INT. AUDITORIUM TEATER AMPHI - PANGGUNG — SIANG
Cahaya remang di belakang layar panggung muncul, menarik perhatian pengunjung untuk sunyi dalam angsuran singkat, lapisan layar kertas besar yang polos menunjukkan bahwa ia terdiri dari beberapa lapisan, menimpa di atas satu lapisan yang berada di atas lapisan lain yang juga berada di atas lapisan lain, entah berapa jumlah lapisannya tidak ada yang bisa memastikan dengan jelas, yang pasti lapisan-lapisan ini dalam kebersamaannya mewujudkan latar pemandangan yang sama berlapis-lapis memukaunya. Yang tak terlihat sedari awal sebenarnya sudah kasat mata, hanya perlu sedikit penerangan saja terkadang.
Suara narator bergaung, tegas dan bijak terdengar di telinga, namun emosi sendu dari getaran halus pita suaranya lebih kentara beresonansi di hati pendengar. Wujudnya tidak terlihat.
NARATOR
Pada suatu masa, tidak jauh dari masa kita saat ini, namun tidak terlalu dekat untuk bisa melekat di ingatan banyak orang. Di pulau yang benar adanya, tapi saya sendiri sebagai pencerita yang tahu segalanya tidak tahu ada di mana, hiduplah seorang anak laki-laki. Ia masih belia, umurnya pasti belum lama menyentuh angka belasan. Anak ini tidak tahu pasti umurnya atau tentang banyak hal lainnya. Pada suatu hari ia tersadar kalau umurnya sudah sekian saja, dan saat kesadaran semakin banyak yang muncul ke permukaan...
Muncul sosok boneka kertas berbentuk anak laki-laki makin membesar seakan sedang berjalan mendekat.
KARA
Dari dulu... cuma ada aku ya?
Suara sang Anak Laki-laki polos tanpa kesedihan, naif tapi tidak optimis.
NARATOR
Anak ini, yang bernama Kara, tiba-tiba sadar bahwa ia dari dulu sudah sendiri. Tidak ada keluarga atau orang tua. Ia bisa bertahan hidup dengan mandiri. Rasanya ia juga tidak perlu bantuan orang lain. Ia mampu mengumpulkan ranting sendiri, mengolah bahan makanan sendiri dari hutan dan laut, juga memperbaiki gubuk tempat tidur, yang jelas lebih tua dari dirinya. Gubuknya sederhana dan dengan bantuan ranting kering ia tidak pernah merasa kedinginan di dalamnya, akan tetapi sekarang ia mulai membeku merasakan dinginnya kesendirian. Tidak ada orang lain selain dirinya di pulau yang membentang luas itu, kecuali satu. Sosok ini sebenarnya tidak tepat disebut sebagai orang sebab ia adalah Dewi Adores, dewi yang bersemayam di danau air terjun kecil tempat sang anak laki-laki mengambil air segar tiap paginya.
Lapisan-lapisan kertas di layar mulai surut digantikan dengan lapisan-lapisan lain, menyimulasi transisi perubahan latar pemandangan, dari halaman gubuk kecil menjadi kaki gunung untuk sesaat lalu kembali bergerak berubah menjadi air terjun dengan tumbuhan rindang berkilau menghiasi pinggiran kolam besar. Sosok Dewi Adores dan Kara terlihat berhadapan.
DEWI ADORES
Apa yang terjadi nak? Aku tidak pernah melihat garis kesedihan mendalam di wajahmu yang seharusnya masih belia tidak ditinggali kerutan?
Suara Dewi Adores seindah lira, penuh kasih sayang. Namun suaranya selalu menyisakan sedikit gema halus menurunkan hawa keibuan Dewi Adores sekaligus menegaskan posisi kedewataannya.
KARA
Aku... Merasa sendirian, Dewi.
Wujud kertas Kara terlihat sedang mengumpulkan air dengan ember kayu dari kolam.
DEWI ADORES
Mengapa begitu nak? Sedangkan aku selalu ada di sini untuk kau kunjungi, dan setiap paginya kita selalu bertemu bercengkerama.
KARA
Tapi Dewi, aku hanya bisa melihat Dewi saat Matahari tidak bersinar terlalu terang, sebaliknya saat hujan deras aku tidak bisa mendaki gunung karena tapaknya terlalu berbahaya bagi tubuhku yang lemah ini. Dan Dewi.. Dewi terbelengg-
NARATOR
Kara memotong ucapannya, ia takut menyinggung Dewi Adores. Ia tidak ingin Dewi marah lebih-lebih jika Dewi kemudian menolak bertatap muka dengannya. Kara memang sudah seorang diri namun ia tidak ingin merasa jauh lebih sepi. Ia merasa tidak sanggup kehilangan Dewi Adores. Dewi Adores masih diam menunggu Kara menyelesaikan ceritanya. Karena tidak berani melihat ekspresi Dewi Adores, Kara dengan gugup mencangkup air dari kolam lalu membenamkan wajah ke telapak tangan. Air itu sejuk menyentuh seluruh permukaan wajahnya, masih memberi kesegaran.
KARA
Dewi... tidak bisa terlepas dari kolam ini maksudku. Aku tidak pernah sepi saat bersama Dewi. Namun Dewi, aku sungguh tersiksa oleh sunyi saat tidur di gubuk tempat aku merasa paling nyaman setelah pulang dari kolam ini. Aku bingung, karena sebelumnya aku tidak pernah didatangi perasaan halus yang lebih menggerogoti daripada rasa lapar di musim kering.
NARATOR
Dewi Adores tidak langsung menjawab Kara, ia paham benar apa yang dirasakan yuana di depannya. Kara tahu bahwa sang Dewi mengerti perasaannya saat melihat warna kolam yang berganti-ganti halus. Ia bisa melihat pantulan bola matanya ikut berubah warna di permukaan air.
Lapisan kertas yang menjadi penanda warna kolam berganti-ganti bagaikan kaleidoskop, menjatuhkan cahaya penuh bius tidak hanya ke badan para penonton namun juga ke bola mata mereka yang jernih dan tidak berkedip.
DEWI ADORES
Nak, tahan kesenduanmu saat ini dan dengarlah petunjuk dariku ini. Aku bisa membantu melenyapkan rasa sepimu, namun hanya untuk sesaat,
Wujud kertas Kara di layar yang tadinya duduk lesu menunduk, mengangkat kepalanya cepat dan duduk tegak.
DEWI ADORES (CONT'D)
Dengar nak, aku ingin kau mengumpulkan 4 benda. Setelah ini kau kumpulkan, aku akan mendatangkan teman untuk membelenggu sepi darimu. Namun kuperingatkan bahwa aku tidak sehebat yang kau duga, aku tidak mampu mengabulkan permintaan ini untuk waktu yang lama, kemampuanku terbatas dan hawa hidupku jauh lebih terbatas, pada musim kemarau semua akan raib menguap. Aku harap sepi sudah sepenuhnya hilang dari benakmu nanti.
NARATOR
Dewi Adores pun memberitahu apa saja hal yang harus Kara kumpulkan, juga ritus apa yang harus ia laksanakan setelahnya.
Layar kertas menunjukkan satu per satu wujud benda yang harus Kara kumpulkan dan di mana benda itu bisa ditemukan saat Narator menyebut masing-masing nama benda.
NARATOR (CONT'D)
Pertama, ia harus mengambil satu batu api dari kaki Gunung Abu. Batu itu tidak boleh lebih besar dari telapak tangannya, dan tidak boleh yang terbakar terang. Yang harus diambil adalah batu yang hanya memendarkan api lemah dari retakan-retakan pada permukaannya. Kedua, ia harus memetik setangkai bunga kamelia yang tumbuh di atas pucuk tertinggi pohon pinus daun duri. Kamelia yang dipetik harus yang tidak memiliki warna, bunga kamelia yang memungkinkan mata tetap melihat apa yang dihalangi oleh kehadirannya. Ketiga, carilah keong sebesar bola mata dengan garis saling bersilang pada permukannya di Laut Asam-Manis Pantai Garam. Terakhir, yang paling utama, carilah ranting kayu kering berwarna hijau segar. Ranting itu haruslah sepanjang tangan dan tidak memiliki cabang lain mencuat darinya. Ambillah ranting yang sudah terlepas dari pohon asalnya, terbaring di antara ranting-ranting lain di pangkal batang terbawah.
DEWI ADORES
Setelah itu, letakkan masing-masing benda itu di salah satu gubukmu. Taruhlah batu api berseberangan dengan ranting hijau, dan kamelia tak berwarna berseberangan dengan keong silang. Tidurlah di sudut kau meletakkan ranting hijau dan taruhlah juga bantalmu tepat di atasnya.
NARATOR
Dewi Adores menyelesaikan petunjuknya dengan memberitahu kaul untuk Kara. Petunjuknya sudah rampung, dan Dewi Adores pun berucap,
DEWI ADORES
Ingat sekali lagi Nak, ini tidak bertahan selamanya.
KARA
Terima kasih banyak Dewi, akan aku turuti sesuai dengan petunjuk Dewi secepatnya. Terima kasih Dewi, Terima kasih.
Wujud kertas Kara melompat-lompat saat mengucapkan rasa terima kasih, ada cahaya yang lebih terang berpendar-pendar di sekitar siluet wujudnya.
NARATOR
Kara turun gunung dengan riang dan penuh tenaga, jingkat-jingkatnya itu menumpahkan sedikit air dari ember tiap hentakan tapi si Anak Laki-laki tidak terlalu menghiraukan, padahal ia tahu tidak semudah itu perjalanan yang harus di tempuh setiap paginya untuk menimba air segar. Di pikirannya ia membayangkan akan kembali bersusah payah mendaki gunung, namun kali ini didampingi oleh seorang teman.
Lapisan-lapisan kertas yang saling menimpa kembali berganti menjadi turunan bukit, saat Kara berandai-andai ada wujud siluet kertas lain serupa dirinya muncul dengan warna yang lebih pudar dari warnanya. Latar berubah kembali menjadi tanah datar rindang, kemudian halaman gubuk, dan terakhir ruang tidur Kara.
NARATOR (CONT'D)
Saat beranjak tidur Kara masih dapat merasakan sepi merayap mendekatinya. Namun, ia kembali teringat bayangan yang muncul di pikirannya saat turun gunung tadi. Si Anak Laki-laki tidur nyenyak di malam ini.
Di layar ada bayangan hitam agak bundar bergelombang membesar-mengecil (undulating) bergerak mendekati Kara, namun saat siluet yang sebelumnya terlihat ketika Kara turun gunung muncul, bayangan hitam itu hilang.
NARATOR
Esok hari ketika sinar pagi mulai menyentuh kulit, Kara bangun dengan segar dan langsung beranjak pergi menuju Gunung Abu. Ia bergerak dengan cepat, tidak berhenti untuk beristirahat, matanya hanya tertuju ke pilar abu yang membumbung pelan dari kejauhan, Ia juga tidak berhenti untuk makan hanya memetik buah atau beri yang kebetulan ada di jalur perjalanannya.
Layar menunjukkan Kara berlari menembus banyak latar pemandangan dengan kepala menenggak ke atas, terkadang gerak tangannya sambil memasukkan sesuatu ke mulut masih sambil belari. Layar pemandangan berubah menjadi kaki sebuah gunung yang penuh retakan yang berpendar, Kara terlihat merangkak meraba-raba.
NARATOR (CONT'D)
Bahkan panas api yang memanggang perlahan telapak kaki dan tangannya tidak ia hiraukan, dan tentu rasa sakit yang kecil nan bertambah dirasakan benar oleh Kara karena tetes air mata terkadang jatuh dari bola matanya, memunculkan asap ketika bertemu dengan tanah di bawah. Namun, wajahnya tegar tidak berubah. Hatinya penuh rasa kegirangan saat menemukan batu sesuai yang dikatakan Dewi Adores sampai ia tidak sadar menempelkan batu itu ke dada kirinya. Batu itu meninggalkan bekas yang tidak pernah hilang dari baju Kara.
Layar menunjukkan transisi pemandangan yang sama dengan saat Kara berangkat ke Gunung Api, yang berbeda hanya urutan muncul, arah wujud kertas Kara berjalan, dan postur Kara yang berjalan lemah agak membungkuk. Terakhir, terlihat Kara jatuh telungkup di atas tempat tidur dengan salah satu jari tidak terlepas dari batu api. Tampilan batu api dan jari ditunjukkan ulang dengan ukuran lebih besar. Layar berubah menjadi keesokan harinya menunjukkan Kara sedang memanjat pohon pinus daun duri, ada beberapa duri yang mencuat darinya dan awan-awan kertas juga pucuk-pucuk pohon terlihat menghiasi latar.
NARATOR
Kara seakan memiliki sumber tenaga yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Ia mampu menarik dirinya untuk langsung memanjat pohon duri saat fajar baru mulai menyingsing. Ia terus saja memanjat dan memanjat. Kali ini, menemukan kamelia tak berwarna tidak sesulit meraba-raba tanah mencari batu api. Kamelia sudah terlihat dari kejauhan, yang diperlukan hanya kesabaran dan keinginan yang kuat untuk terus naik ke atas. Dan Kara pun terus memanjat, memanjat, dan lanjut memanjat. Banyak daun pinus duri yang menusuk dirinya. Namun ia terus memanjat. Bahkan ia merasa bersyukur tangan dan kakinya kemarin sempat melepuh, karena kulitnya sekarang menebal sehingga rasa sakit yang ia rasakan jauh berkurang. Ketika matahari tepat di tengah, ujung tangan si Anak Laki-laki sudah menyentuh batang bunga kamelia.
Layar berubah menjadi kolam Dewi Adores, warna kolamnya berpendar cemas, Kara tergeletak penuh lelah, ia menimba air dengan tangan untuk minum.
DEWI ADORES
Beristirahatlah, nak. Tergesa-gesa bukanlah jalannya.
KARA
Tidak Dewi. Aku bisa merasakan bahwa hari kian panas tiap harinya. Musim kering akan datang lebih cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Aku tidak ingin waktu terbuang percuma. Aku harus menyelesaikan ini secepatnya.
NARATOR
Dewi Adores tidak membalas ucapan Kara. Dewi tidak tahu harus menjawab apa, dan si yuana juga sudah terbaring pulas dalam tidurnya.
Layar menunjukkan Kara sedang menyelam mendekati kumpulan karang besar dengan lubang-lubang berbentuk persegi, tangannya masuk ke salah satu lubang dan langsung mengeluarkan keong dengan motif garis bersilangan. Lapisan-lapisan kertas di layar bertransisi menjadi hutan rindang, Kara terlihat membungkuk menggeser tumpukan ranting dengan kedua tangan, untuk beberapa waktu hanya itu yang terlihat hingga perlahan-lahan rantai hijau naik dari bawah dan tangan Kara menembus tumpukan ranting.
NARATOR
Tidak sulit bagi Kara untuk menemukan keong bersilang, ia sudah sering menyelam di Laut Asam-Manis dan tahu di mana keong itu pasti berada. Di luar dugaannya, mencari ranting hijau tak bercabang adalah yang tersulit, ia melewati entah berapa hari. Namun ia jelas akan mendapatkannya. Itu sudah pasti. Semua perihal waktu saja.
Layar berubah menunjukkan tampilan dalam gubuk, Kara telah menaruh semua benda di sudut ruangan, ia sudah berbaring bersiap-siap tidur.
KARA
Semua cahaya ada waktunya, semua kabut ada masanya, yang hilang di mata tetap ada di kepala, yang di depan dan di belakang semuanya adalah sama.
NARATOR
Dan setelah sekian lama siang berganti malam ditemani nyenyak. Si Anak Laki-laki kembali tidur membawa sedikit harap cemas.
Layar menggelap, dan tetap gelap selama satu menit penuh, lalu tiba-tiba layar kertas kembali menjadi terang, menunjukkan suasana yang sama dengan sebelumnya dengan sedikit perubahaan. Batu api, kamelia tak berwana, dan keong bersilang sudah digantikan dengan sosok anak-anak. Batu api dan kamelia berwujud perempuan, perawakan mereka identik, yang berbeda hanya rambut dengan batu api lebih pendek dibandingkan kamelia, motif baju batu api terhias percikan-percikan bunga api sedangkan kamelia adalah bunga-bunga kamelia kecil dengan semua variasi warna. Wujud kertas keong silang seperti Kara, ia lebih tinggi, dan bajunya tidak berwarna hijau layaknya Kara melainkan garis saling menyilang membentuk pola kotak-kotak.
NARATOR
Senang bukan kepalang si Anak Laki-laki saat melihat ada orang lain bersamanya di dalam gubuk. Mereka langsung akrab, dan melakukan semuanya bersama-sama.
Layar menunjukkan keempat anak tersebut dalam berbagai macam kegiatan, menimba air ke kolam Dewi Adores, mengumpulkan ranting di hutan, bermain di pantai, memanjat pohon, menyelam di laut, memasak makanan, memperbaiki gubuk. Pemandangan juga berganti menjadi siang atau malam, musim-musim juga tergambarkan berubah.
NARATOR
Sepi rasanya hilang di benak Kara terganti riang dan kejenakaan bersama teman-teman akrabnya. Melewati hari, melewati musim. Baik cuaca panas, dingin, hujan deras maupun badai, tetap senang bukan susah yang ia rasakan. Bahkan saat Dewi Adores mulai jarang mewujud saat mereka menimba air, rasa sedih yang dirasakan hanya sesaat tertutupi kehadiran tiga anak lainnya. Semua terus berlanjut.
Layar mengulang pemandangan sebelumnya dengan sedikit variasi berbeda dan lebih singkat. Sosok Dewi Adores tidak lagi ada saat pemandangan memperlihatkan kolam air terjun, yang lebih pelan arus jatuhnya juga lebih kecil ukuran kolamnya.
NARATOR
Hingga pagi paling panas dalam hidup Kara membangunkannya penuh peluh. Dan mereka semua lenyap tak berbekas. Hanya dia yang tersisa. Tidak ada siapa-siapa selain dia. Ia mencari kemana-mana, tapi usahanya tidak membawa hasil. Ia putus asa dan beranjak ke kolam, namun hari itu sangat terang tanpa awan sama sekali menghiasi. Alhasil, wujud Dewi Adores tidak akan muncul. Ia pulang dengan lesu. Si Anak Laki-laki merasa dadanya sesak seperti tertimpa saat tidur.
Layar awalnya menunjukkan 4 anak di sudutnya masing-masing lalu dalam sekejap hanya wujud Kara yang tersisa. Latar berganti-ganti dari gubuk, ke gunung api, ke hutan pinus, ke pantai, ke hutan lagi, lalu ke gubuk. Di setiap latar si anak menoleh ke kanan-kiri. Pemandangan berubah menjadi latar kolam Adores tanpa Dewi Adores, Kara terlihat lesu. Latar berubah menjadi gubuk, bayangan bundar yang tadi sempat terlihat sekarang muncul kembali, ia juga ada di tempat tidur bersama si Anak Laki-laki.
NARATOR
Esoknya Kara berniat naik ke kolam namun hari itu jauh lebih terang daripada kemarin, ia yakin Dewi Adores tidak bisa muncul lagi hari ini. Dengan penuh nelangsa ia menunggu awan mendung datang agar ia bisa memohon kepada Dewi lagi. Langit terus saja terang benderang. Terdorong putus asa juga rasa sesak di dada, Kara mencoba mengumpulkan kembali benda-benda ritus.
Layar menunjukkan Kara duduk memeluk lutut di sebelah gubuk dengan sinar matahari yang kentara wujudnya. Kemudian, latar menunjukkan ulang potongan-potongan singkat cerita saat Kara mengumpulkan benda-benda ritusnya.
NARATOR
Ia berhasil mendapatkan semua benda ritus dengan lebih mudah. Sekarang hanya perlu menunggu matahari menjadi kusam agar ia dapat bertemu Dewi Adores. Namun, itu yang tidak didapatkannya. Hari terus saja berkilau nyalang. Hari kembali berganti, Kara masih ingin sekali menghadirkan temannya lagi, tapi ritus yang dilakukan tidak membawa hasil. Siang berganti malam, ia mulai mengikhlaskan kehadiran teman-temannya, dan berbicara lagi dengan Dewi Adores. Minggu demi minggu terus terlewati, Dewi Adores tidak pernah mewujud, kolamnya sudah kering kerontang, dan awan rasanya punah dari muka bumi.
Layar kertas di panggung menunjukkan si Anak yang bolak-balik naik dan turun gunung ke kolam Dewi Adores. Ekspresinya perlahan berubah dari sedih menjadi datar. Layar berubah, hanya ada 4 wujud yang terlihat. Matahari di salah satu sudut atas, Kara, gubuk, dan bayangan hitam yang tak jelas bentuknya. Setiap latar menunjukkan pergantian hari dan musim, ukuran wujud matahari, Kara, dan bayangan hitam membesar sedikit demi sedikit sedangkan gubuk terlihat makin reyot dan makin banyak lubangnya. Saat wujud Kara berganti menjadi siluet tubuh agak dewasa, bayangan hitam menjadi lebih kecil setiap pergantian hari namun matahari masih tetap membesar perlahan dan gubuk semakin rusak.
NARATOR
Kara menghabiskan banyak waktu di depan gubuk menatap kabut di ufuk nun jauh di sana, yang kian menipis rasanya makin lama ia tatap. Dan benar saja, suatu hari kabut tidak lagi ada dan terlihat bayang sebuah pulau nun jauh di sana. Si Anak Laki-laki yang baru melewati masa remajanya tidak pernah terpikirkan ada pulau lain. Ia pun bertekad keluar dari pulau.
Layar menunjukkan Kara menebang pohon, menarik akar gantung yang menjalar dari pohon, dan membangun perahunya sendiri.
NARATOR
Ia langsung berlayar menerabas ombak yang kian ganas, tapi dengan fisiknya yang lebih matang itu bukan tantangan.
Latar menunjukkan banyak gelombang bergulung-gulung dengan Kara berdiri dalam perahu di tengah layar. Ombak-ombak yang mendekati perahunya pecah sebelum menyentuh perahu.
NARATOR
Tibalah Ia di sebuah pulau asing, pulau itu terisi banyak gubuk dengan berbagai ukuran. Ada sesosok pria mendekatinya. Kara tertegun, orang itu mirip sekali dengan Keong Silang, namun lebih dewasa. Kara bertanya apakah ia bernama Keong Silang, tapi orang itu menggeleng dan berkata bahwa ia baru pertama kali melihat Kara. Ia pun dengan ramah mengantarkan Kara berkeliling pulau. Awalnya Kara hanya ingin pergi dari pulaunya, namun setelah bertemu orang yang mirip dengan Keong Silang ia bertekad mencari kembaran fisik Batu Api dan Kamelia Tak Berwarna. Apapun yang diucapkan oleh orang di sampingnya hanya sebatas lewat telinga. Kara pun mulai hidup layaknya orang-orang di pulau itu, ia berteman baik dengan laki-laki mirip Keong Silang, juga dengan orang desa pada umumnya. Hidup menjadi lebih baik, namun ia merasa ada sesuatu yang kurang. Di saat lenggang Kara pergi berkeliling, memperhatikan setiap wajah yang dilewatinya, menelisik alis yang seperti ini, senyum yang seperti itu, bentuk pipi tertentu, mencari bentuk yang familiar di ingatan masa kecilnya. Dan benar saja, ia berhasil menemukan perempuan yang mirip Kamelia Tak Berwarna. Lalu mereka pun menjadi bertiga sekarang. Semua kembali berulang, tapi Batu Api tidak pernah ditemukan, mau berapa kali pun hal yang sama dilakukan, berapa pun usaha yang dikeluarkan. Sebenarnya, semua semakin menjadi lebih baik untuk Kara, tapi perasaan bahwa ada sesuatu yang kurang tetap mengganjal hatinya. Di suatu malam ia menemukan dirinya berdiri di depan sebuah perahu.
Layar menunjukkan Kara sampai ke pantai dan didekati seorang laki-laki. Layar berubah menunjukkan Kara berbincang dengan laki-laki mirip Keong Silang, lalu berubah menjadi latar tempat-tempat di desa dengan mereka berdua berjalan berdampingan, lalu transisi ke kegiatan Kara di desa tiap harinya. Awalnya hanya ada ia dan laki-laki mirip Keong Silang, namun kemudian mereka menjadi tiga setelah bertemu perempuan mirip Kamelia Tak Berwarna. Hari terus berganti, dan wujud orang kertas tetap bertiga. Tiba-tiba wujud Kara tidak lagi bersemangat saat bersama dua temannya, latar belakang dan kedua temannya seakan meleleh, berubah dari latar pedesaan menjadi pantai berperahu dan hanya Si Anak Laki-laki yang tersisa.
NARATOR
Kara menatap ke arah pulau asalnya. Matanya kosong, tapi pikirannya tidak, walaupun begitu ia sama sekali tidak teringat apa yang dipikirkannya. Saat sadar ia sudah berada di tengah laut, dan kali ini tidak ada gelombang sedikit pun. Tidak lama ia pun sampai di pulau dan berdiri di depan gubuk lamanya. Kara memperhatikan satu per satu sudut ruangan, satu sudut terlihat lebih gelap dari lainnya, dan ia berjalan ke sana. Di sudut itu masih tergeletak ranting hijau tanpa cabang. Ia mengambilnya dan berbaring di sana. Pelan-pelan mata Kara terasa memberat. Malam itu, akhirnya ia merasa tidur yang paling nyenyak dan nyaman semasa hidupnya.
Layar pelan-pelan menggelap. Irama pengantar tidur sendu yang berputar sejak Kara naik perahu masih berputar beberapa saat setelah layar menjadi hitam. Lampu Auditorium dihidupkan, semuanya menjadi terang benderang. Sosok Narator muncul di atas panggung, membungkuk berterima kasih ke arah penonton, ada bekas batu api di bajunya.