Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari ini sekolah sudah kembali normal. Ternyata hal yang paling sulit dari menjadi seorang Zenith adalah terlalu menarik perhatian. Sejak menginjakkan kaki di gerbang sekolah pun, Anna sudah merasa kesulitan.
“Zen!” Derryn berlari dari jauh dan langsung merangkul Zenith secara heboh.
“Kaget anjrit!”
“Hai Kak Zen!” sapa salah seorang adik kelas manis.
Anna hanya melambaikan tangannya pada adik kelas yang tidak ia ketahui namanya. Begitupu dengan Derryn yang ikut melambaikan tangannya.
“Lo kenal?” yang dimaksud Anna adalah gadis tadi.
“Lah ilah bocah. Masa lo udah lupa lagi sih? Dia Karina, adik kelas yang nembak lo Minggu kemarin.”
“Oh.” Anna bingung hendak memberikan respon apa karena sedikit terkejut dengan penjelasan Derryn. Tidak disangka, mantan kekasihnya ini begitu di idolakan oleh kaum hawa.
“Ah oh ah oh. Galon dari si Anna sih lo, sampai cewek yang baru nembak lo kemaren sore aja udah lo lupain,” oceh Derryn.
Anna tertawa garing. “Apaan sih lo bawa-bawa Anna mulu, ayo ke kelas.”
***
Berbanding terbalik, pagi ini telah mencetak sejarah masa sekolah dalam hidup Zenith. Tidak ada seorangpun yang menyapa Zenith sepanjang perjalanan mulai dari gerbang hingga kelas.
Zenith sangat tahu, Anna adalah hadis yang tertutup dan tidak suka berinteraksi dengan banyak orang. Bahkan jumlah teman akrab Anna bisa di hitung menggunakan jari. Tentu saja Zenith mengenal teman-teman baik Anna dengan baik.
Walau hubungan mereka telah kandas satu tahun lalu, tidak jarang Zenith masih bertanya pada teman-teman yang akrab dengan Anna mengenai kabar mantan kekasih kesayangannya.
Pada akhirnya, hari ini Zenith tidak perlu bertanya lagi kepada teman-teman Anna mengenai kabar mantan kekasihnya. Sebab, tubuh Anna kini telah menjadi miliknya.
Kedua telinga Zenith tertutupi oleh airpods dan Zenith berjalan mengikuti irama lagu Leave The Door Open. Menikmati pagi yang tenang.
“Anna!”
“I’m leave the door open girl~” Zenith bersenandung mengikuti lagu. Mengabaikan seseorang yang tengah memanggil Anna di belakangnya. Zenith mendadak lupa bahwa dirinya tengah menjadi Anna saking menikmati lagu jazz yang menemani pagi indahnya.
“You’re so sweet, so taste—bangsat!” Refleks Zenith menutup mulutnya ketika tidak sengaja mengumpat. Zenith terkejut dengan sosok Inara yang menepuk bahunya.
Inara yang baru pertama kali mendengar sosok Anna mengumpat seperti itu membuatnya tertawa renyah.
“Kelamaan main sama Zenith and the gank ya lo kemarin sampai keceplosan ngomong kasar,”
Zenith tertawa kaku. “Iya kayaknya, sorry.” Cengirnya.
Inara menggandeng Zenith dan membawanya pergi ke kelas mereka.
“Anna,” panggil Inara di tengah perjalanan mereka.
“Hah? Eh, iya, apa?”
“Lo hutang penjelasan sama gue.” Mengurungkan niat untuk segera masuk ke dalam kelas, Inara menarik Zenith ke taman sekolah.
Tidak mengerti apa yang Inara maksudkan, Zenith hanya mengernyitkan dahinya melihat ekspresi berbinar Inara.
“Lo kenapa?” tanya Zenith. Takut teman baik Anna yang satu ini kenapa-napa.
“Lo salah makan obat, atau ketempelan?” tanya Zenith lagi.
Inara menggelengkan kepala dan lebih merapatkan diri pada Zenith. Hal itu membuat Zenith refleks sedikit mundur berpindah tempat duduk. Walau dirinya sudah berada di dalam tubuh Anna, tetap saja ia merasa tidak nyaman apabila sedekat ini posisinya dengan perempuan lain.
“Lo hutang cerita kenapa Zenith bisa nyariin lo kemarin, kenapa lo bisa cabut dari sekolah, kenapa lo bisa berakhir main jenga dan kartu di Villa bareng Ezekiel?” Inara menghujani Zenith dengan pertanyaan.
Zenith masih menatap Inara dengan tatapan bingung. “Gue harus jelasin semuanya ke elo?”
Inara mengangguk dengana antusias. “Of course.”
“Pertanyaan lo kebanyakan. Gue harus jawab yang darimana dulu?”
“Terserah lo, pokoknya lo harus jawab semuanya,” Inara tidak melunturkan rasa antusiasnya sedikitpun.
“Gue…” Zenith sangat bingung hendak menceritakan apa, bagaimana dan mulai darimana. Tentu saja Zenith tidak bisa menjelaskan secara jujur dan detail apa yang sebenarnya terjadi. Bisa-bisa semuanya akan menjadi lebih buruk. Cukup Ezekiel yang mengetahui kebenaran diantara dirinya dan Anna.
Ternyata Anna benar. Zenith baru sadar bahwa ada benarnya Anna menyuruhnya untuk sedikit belajar berbohong. Terlalu jujur pada dunia juga tidak selamanya akan menjadi kebaikan.
“Oh ya, lo masih suka sama Ezekiel’kan? Kemarin Ezekiel nanyain lo. Dia minta sampaikan kalau hari ini dia mau ketemu sama lo.”
‘Ya Tuhan maafin Zenith. Pasti Zenith berdosa banget. Zenith yakin Ezekiel enggak keberatan sama omongan Zenith, jadi Zenith juga yakin kalau Tuhan enggak keberatan sama dusta Zenith kali ini. Maafin Zenith, Ya Tuhan.’ sesal Zenith dalam hati.
Berhasil tertipu, Inara membulatkan matanya. Gadis ceria itu dibuat semakin bersemangat.
“Lo serius? Lo enggak bercanda’kan kalau Ezekiel ngajakin gue buat ketemu sama dia?”
Zenith mengangguk dengan lesu.
“Assa! Akhirnya hari ini tiba juga setelah beribu purnama!” Inara mencium pipi Zenith untuk membagi rasa senangnya. Hal itu membuat mata Zenith membulat sempurna.
“Saranghae uri cingu! Na, nomu nomu saranghe!”
Inara sampai loncat-loncat kegirangan. Sesenang itu karena orang yang telah di idolakannya sejak lama memberikannya notice.
Zenith yang tidak mengerti apa yang Inara bicarakan hanya bisa mengerutkan dahi. “Cingu? Cingur kali ah. Nomu-nomu? Bahasa anak mana sih itu,”
***
Waktu istirahat akhirnya telah tiba. Anna dan Ezekiel yang tengah mengobrol santai di ujung koridor lantai paling atas harus menjeda percakapan mereka ketika melihat kedatangan Zenith dan Inara.
Di belakang Inara, Zenith menangkupkan kedua telapak tangannya. Memberi kode pada Ezekiel dan Anna untuk membantunya kali ini saja. Raut wajah Zenith saat ini sudah sangat memelas.
Tanpa ekspresi, Ezekiel menatap Inara dan Zenith secara bergantian.
“Hai Ze,” sapa Inara kaku. Tidak bisa ditutupi bahwa Inara sedang gugup saat ini. “Kata Anna, lo mau ketemu sama gue. Ada apa?” tanya Inara kaku bak robot.
Anna berusaha menahan tawa. Baru kali ini Anna melihat teman baiknya yang ceria berubah menjadi robot dalam sekejap. Seandainya hari ini ia tidak berada di dalam tubuh Zenith, sudah sejak tadi Anna menggoda Inara.
Tidak ingin terlibat, Anna menepuk bahu Inara kemudian membisikkan sesuatu sebelum berlalu menjauh dari Ezekiel. Tidak ingin jadi penghalang. “Good luck.”
Di belakang Inara, Anna dan Zenith kompak mengepalkan kedua tangan. Memberikan kode semangat untuk Ezekiel yang harus membereskan kekacauan Anna dan Zenith.
Ezekiel memaksakan diri untuk tersenyum pada Inara. “Oh, iya. Inara ya?”
Mendadak jadi satu tim yang kompak, Anna dan Zenith bertos ria sebelum meninggalkan Ezekiel dan Inara dengan perasaan gembira.
Di dalam hati, Ezekiel mulai membuat perhitungan dengan Zenith. Bisa-bisanya Zenith menjadikannya sebagai kambing hitam kepada orang yang sangat ia benci.
‘Sial banget gue hari ini.’