Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Anna mengerutkan dahi mendengar suara dering alarm yang berbeda dari biasanya. Tangan Anna meraba-raba atas nakas untuk mematikan alarm. Setelah mematikan alarm, Anna duduk sambil berusaha mengumpulkan seluruh nyawanya.
Sadar jika berada di kamar berbeda, Anna membulatkan mata terkejut. Rasa kantuknya menghilang seketika.
“Gue dimana?”
Refleks Anna menutup mulutnya, kembali dibuat terkejut mendengar suaranya sendiri yang menjadi bariton.
Anna mengambil ponsel dan membuka kamera. Melihat yang dilihat ternyata wajah mantan kekasihnya, Zenith, Anna langsung kehilangan kesadaran.
***
BRAK! BRAK! BRAK!
Mendengar gebrakan pintu berulang kali membuat Zenith terbangun.
“BANGUN LO! CEPETAN MASAKIN GUE!”
Zenith yang terbiasa bangun dalam suasana damai kali ini dikejutkan dengan hal tak biasa. Setelah mengumpulkan seluruh kesadarannya, Zenith menjadi panik menyadari dirinya berada di kamar berbeda. Terlebih lagi sehabis mendengarkan teriakan tadi.
“Gue dimana? Gue di culik?”
Zenith kembali dibuat terkejut karena suara bariton kebanggannya hilang. Ketika Zenith menundukkan kepala, melihat dadanya, Zenith semakin terkejut dan memegang dadanya.
“Sejak kapan dada gue jadi segede jablay?” Tanyanya mendramatisir keadaan, padahal tidak sebesar itu. Hanya saja ini pertama kalinya memegang dada perempuan, terlebih lagi kali ini punya dirinya sendiri.
Melihat kaca di sudut ruangan, cepat-cepat Zenith menghampiri kaca. “Anjir! Kenapa gue yang ngaca malah jadi si Nana yang muncul?”
Zenith menggerakan anggota tubuh ke kiri kanan dan membuat gerakan lainnya. Berusaha memastikan jika di cermin ini adalah dirinya sendiri.
Masih belum percaya, Zenith menggampar pipinya sendiri. “Anjir, sakit!”
Tak kunjung keluar kamar, seorang pria dari depan kamar kembali menggedor pintu. “CEPETAN ANNA! GUE LAPER!”
Rasa terkejut Zenith digantikan dengan amarah dalam sekejap. Zenith bergegas keluar kamar dan tertegun melihat seorang pria berkepala tiga yang kini sedang berkacak pinggang.
“Lo siapa?” tanya Zenith bingung. Pasalnya, selama Zenith menjalin hubungan dengan Anna, Zenith tidak pernah sekalipun dikenalkan dan bertemu dengan pria ini.
“LO BUTA? GUE ABANG LO! CEPETAN MASAK!” Randy menarik Zenith secara kasar.
Jika tidak ingat Anna, mungkin Zenith sudah meninju wajah Randy saat ini.
“Zenith, sabar, lo masih sayang sama Anna’kan? Lo gak boleh bringas sebelum ketemu Anna hari ini,” gumam Zenith pelan, berusaha menahan dirinya sendiri.
Zenith memasang sebuah senyuman manis yang dipaksakan. “Abangku yang paling ganteng, duduk dulu ya. Gue mau gosok gigi sebentar sebelum nyiapin sarapan enak buat lo.”
Sebelum Randy menjawab, Zenith sudah terlebih dahulu lari ke kamar mandi. Di depan kaca wastafel, Zenith hanya berani menggosok gigi, tidak berani untuk membasuh tubuhnya.
“Zenith sadar, lo jangan berani mesum, ini badan Anna,”
“Tapi kan masa sih seorang Zenith gak mandi ke sekolah?”
“Ah, bodo amat, gue tetep wangi walau belum mandi.”
“Gila, gimana caranya gue mandi tanpa gue pegang dan liat badan ini?”
“Argh, bisa gila gue!”
Zenith bersiap-siap menggunakan seragam dengan baju tidur yang masih melekat pada tubuhnya. Zenith juga sedikit berdandan sebab ia tidak buta soal perawatan kulit wajah, terutama pada wajah wanita. Selepas itu, barulah Zenith kembali terjun ke dapur untuk memasak.
Masakan Zenith yang buat pagi ini hanya telur dadar dan semangkuk mie. Hanya makanan instant yang bisa dibuatnya.
“Selamat menikmati abangku yang ganteng.”
Setelah meletakkan piring dan mangkuk di atas meja makan, Zenith langsung berlari secepat kilat keluar rumah untuk menghindari bahaya.
Benar saja, dari depan rumah Zenith masih bisa mendengar suara murka Randy.
“ANNA! DASAR KURANG AJAR LO!”
Zenith tertawa sepanjang jalan. “Emang enak makan mie telor kesiram botol garem. Siapa suruh lo berani macem-macem sama gue?”
***
Sesampainya di sekolah, Zenith langsung berlari mencari tubuhnya sendiri, alias Anna. Sudah setahun mereka tidak bertegur sapa. Takdir macam apa ini yang mempertemukan kembali mereka dengan cara konyol?
Padahal Zenith sudah berulang kali membayangkan pertemuan dengan mantan yang penuh gaya dan berkelas. Siapa sangka jika jadinya seperti ini?
Tempat pertama yang Zenith datangi adalah kelas Anna yang terletak di lantai paling atas. “Eh, lo ada ada yang liat gue gak?”
Penghuni kelas yang baru terisi setengah kapasitas, serempak menoleh bingung pada Zenith.
“Eh, liat Anna,” koreksi Zenith, membuat teman-teman kelas semakin kebingungan.
“Ah, maksud gue liat si Zenith, ada yang tau gak dimana?” Saat itu juga Zenith menyadari kebodohannya, untuk apa mencari tubuh dirinya di kelas Anna?
“Gue liat tadi pagi masuk gerbang, gue gak tau lagi kemana,” sahut salah satu teman kelas Anna.
“Oh oke, thank’s bro.” ujar Zenith lalu kembali berlari mencari Anna.
Zenith terus berlari mengelilingi sekolah. Berlari menggunakan rok membuatnya kesulitan. Seandainya ini bukan sekolah, mungkin Zenith sudah membuka rok ini sejak tadi. Langkah kaki Zenith terhenti ketika melihat tubuh dirinya yang paling tampan sedang duduk termenung di bawah pohon. Zenith kembali melangkah dengan tenang.
“Ternyata gue gak cocok ya kalau duduk ngelamun gitu,” itulah kata pertama yang Zenith ucapkan setelah satu tahun perpisahan mereka.
Anna mendongkakkan kepala, tak bisa menutupi rasa terkejut karena jiwa dan tubuhnya sendiri benar-benar sudah terpisah. Rasa canggung memang tidak bisa di hindarkan, akan tetapi rasa itu terkalahkan oleh rasa panik dan terkejut.
“Zenith? Yang ada ditubuh gue itu, bener lo kan Zenith?”
Zenith menganggukkan kepala. Membenarkan hal itu. Sementara Anna menghela napas.
“Itu, lo, kenapa kayak gembel sih, baju tidur gue keliatan banget, eh maksudnya baju tidur lo.”
Menentukan kepemilikan saja dalam kondisi seperti ini, mereka tidak menyangka akan sesulit ini.
“Oh ini, gue gak mandi pagi ini. Gila aja gue mandi dengan tubuh lo,” jawab Zenith dengan nada santai, kemudian Zenith menyadari sesuatu.
“Lo, jangan bilang lo udah mandi?” Zenith menyipitkan mata.
“Gue emang mandi pagi ini. Lo bayangin, segila apa gue cuma buat mandi?”
“OH GOD! LO MESUM BANGET! LO—”
PLAK!
Jika Anna tidak cepat memukul bibir Zenith, maka rumor baru tentang mereka akan kembali tersebar.
“Zenith sadar! Ini masih di sekolah!”
Anna menghembuskan napas. “Oke, sorry, gue baru bisa berpikir jernih sekarang. Jadi apa yang harus kita lakuin?”
“Banyak banget yang harus kita bicarain. Kita harus cabut sekarang sebelum bel masuk bunyi,” Zenith menggenggam tangan Anna dan membawanya pergi.
Sebelum Zenith melangkah lebih jauh, Anna segera melepaskan genggaman tangan mereka. “Jangan pegangan tangan. Gue gak mau ada gosip muncul kalau gue agresif sama mantan sendiri.”
Menyadari dirinya menggunakan pakaian perempuan, membuat Zenith lebih cepat sadar bahwa dirinya harus mengendalikan diri.
“Oke. Kita jalan berpisah. Gue tunggu lo di depan sekolah.”