Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dikarenakan sekolah pulang cepat diakibatkan guru-guru harus mengadakan rapat, Ezekiel memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Tidak sampai lima menit Ezekiel rebahan di kasur tersayang, ponsel Ezekiel berdering, memberitahu ada panggilan masuk.
“Halo?”
“Kiel, kamu dimana nak? Katanya pulang cepat,”
“Iya di rumah.”
“Bagus. Kalau gitu jemput Bunda sekarang di Mall. Bunda tunggu di lantai dua di tempat biasa. Oke ganteng, Bunda tunggu ya, sekarang.”
“Iya.”
Setelah mengakhiri panggilan, Ezekiel mengambil kunci mobil dan bergegas menjemput ibunya di salah satu pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumahnya. Ezekiel adalah anak penurut dan pendiam. Maka dari itu Bunda-nya lebih senang meminta tolong pada Ezekiel dibandingkan putra lainnya yang selalu mengeluh dan beralasan.
“Kiel,” panggil sang Tania.
“Iya Bund,” balas Ezekiel tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya, sedang mengendarai mobil menuju rumah.
“Kamu kapan sih bawa Anna ke rumah? Ya ampun, kamu ini gimana sih masa deketin cewek aja gak bisa,”
Ezekiel hanya mengangguk-anggukkan kepala saja tanpa membantah.
“Ih, Kiel! Dengar enggak kalau Bunda ngomong?”
“Iya dengar Bund,” sahut Ezekiel dengan nada rendah, seperti biasa.
“Perlu Bunda yang datengin rumahnya enggak? Kamu sih, Bunda juga kangen sama Ibu-nya Anna, udah setahun enggak bisa di hubungi, kamu juga ngelarang Bunda terus buat ke rumah si Anna.” Omel Tania.
“Ya Kiel enggak masalah kalau Bunda tujuannya cuma buat ketemu Ibu-nya Anna. Tapi’kan Bunda setiap ketemu Ibu-nya Anna malah bawa-bawa nama Kiel terus.” Akhirnya Ezekiel mengungkapkan isi hatinya selama ini.
Tania berdecak kesal. “Pokoknya Minggu depan kamu harus anter Bunda ke rumah Anna. Janji ya. Awas kalau ngelarang Bunda lagi.”
“Tapi Bund—”
“Janji kamu! Cepetan bilang janji!” suara Tania naik satu oktaf.
Ezekiel menghela napas. “Iya, janji.” Jawabnya pasrah.
Sesampainya di pekarangan rumah, Ezekiel membantu Tania membawa barang belanjaan ke dalam rumah. Ponsel Ezekiel kembali berdering, kali ini Arlan-lah yang menghubunginya.
“Yo?” sahut Ezekiel setelah mengangkat panggilan.
“Ze, lo mau tahu gak apa yang gue bawa sekarang?”
“Enggak.” Jawab Ezekiel cepat tanpa minat.
“Gue lagi di Villa Zenith. Lo masih sempet kalau mau nyusul sekarang. Lo mau nyusul sekarang?”
“Enggak.” Tidak perlu berpikir dua kali untuk memberi Arkan jawaban.
“Kalau gue bilang ada Anna juga disini, sendirian, kira-kira apa yang bakal terjadi ya? Lo pasti tahu Zenith sama Anna udah putus, tapi hari ini mereka lagi berduaan di Villa sebelum gue dateng.”
Ezekiel berusaha tetap setenang mungkin. “Jadi, lo mau apa?”
“Ups, ini bukan tentang mau gue, tapi tentang mau lo. Hari ini gue bawa jenga dan kartu. Lo pasti masih inget dong apa yang terjadi kalau jenga, kartu dan Anna disatukan?”
“Gue berangkat sekarang.” Ujar Ezekiel sebelum memutuskan panggilan secara sepihak.
“Bunda,” panggil Ezekiel, terburu-buru.
Tania yang sedang membereskan barang belanjaan pun menoleh. “Apa sayang?”
“Itu, eum, Kiel mau ke Bogor bareng teman-teman sekarang.” Ezekiel meminta izin.
Heran, Tania menyipitkan mata. “Say it honeslty!” titahnya.
“Anna ada di Bogor, rencananya Kiel mau jemput Anna. Ada teman-teman Kiel yang lain juga disana.”
Tania tersenyum lebar menanggapi hal itu. “Oke sayang. Go away! Kalau perlu jangan pulang malam ini juga, Bunda izinin kamu lama-lama sama Anna.”
Ezekiel hanya mengacungkan jari jempol menanggapi pesan Tania yang sebenarnya ia anggap angin lalu. Tania sangat menyukai Anna sejak lama. Apalagi ketika Tania mengetahui bahwa putra kesayanganya memiliki perasaan khusus pada Anna, membuat Tania semakin bersemangat dan menggebu-gebu.
Sebenarnya sudah sangat lama Ezekiel mengamati si kembar. Mereka aneh, seolah memiliki dua kepribadian yang berbanding terbalik. Mereka berdua seakan menjadi orang yang berbeda ketika berkaitan dengan jenga dan kartu.
Permainan yang terkahir mereka mainkan berhasil menguras emosi Ezekiel. Berulang kali Ezekiel berusaha mengakhiri permainan jenga, tubuhnya terasa sakit dan hal buruk akan terjadi. Seperti kejadian Anna di laut. Kejadian satu tahun lalu.
Selepas kejadian di laut, mereka berlima—Ezekiel, Zenith, Arkan, Arlan dan Derryn—tetap berteman seperti biasa tanpa pernah mengungkit kejadian laut. Mereka pun hanya bermain kartu remi biasa untuk membunuh rasa bosan. Tidak ada lagi jenga dan kartu. Rumor buruk tentang permainan itu pun semakin lama semakin memudar.
Siapa sangka jika permainan ini akan kembali dimainkan lagi?
“Sial.” Ezekiel memukul setir mobil, melampiaskan amarahnya.
Sesampainya di pekarangan Villa yang sudah tidak asing lagi, Ezekiel terburu-buru turun dari mobil dan masuk ke dalam. Dilihatnya sosok yang ia cari tengah duduk santai di sofa.
“Anna, lo kenapa bisa disini?” Ezekiel melewati Arkan dan menarik tangan Zenith.
“Anna, ayo pulang.” Lanjutnya.
“Anna lo gak aman disini, hubungan lo sama Zenith udah gak kayak dulu kecuali kalau hari ini kalian balikan. Lo—”
“Please, sit down Ezekiel. Gue ngundang lo bukan buat lo ngajak Anna pulang.”
Mendengar interupsi Arlan, Ezekiel tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk manis dan mengikuti permainan hingga selesai. Sepanjang permainan, Ezekiel tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari Zenith (tubuh Anna). Hafal betul dengan kebiasaan kecil Anna, tentu saja Ezekiel menyadari bahwa ada yang berbeda.
Awalnya Ezekiel kira tingkah Anna berbeda karena ada Zenith di dekatnya. Tapi lama kelamaan Ezekiel sadar bahwa kebiasaan kecil itu bukan kebiasaan Anna, melainkan Zenith. Sepanjang hari Ezekiel terus mengikuti Anna, mencari kesempatan untuk berbicara. Bahkan gaya bicara Anna pun sedikit berbeda dan terdengar lebih slengean daripada biasanya.
Hari sudah berganti malam, Ezekiel yang sedang menikmati secangkir teh panas teralih perhatiannya ketika melihat tubuh Zenith pergi keluar Villa di susul oleh tubuh Anna. Penasaran apakah mereka sungguh kembali menjalin asamara lagi atau tidak, Ezekiel membuntuti mereka diam-diam.
“Gila. Ini baru hari pertama. Sampai kapan kayak gini?”
Dahi Ezekiel mengerut mendengar helaan napas suara bariton itu. ‘Hari pertama? Apanya? Hari balikan?’
“Sorry, gue gak tahu kalau jadinya bakal kayak gini. Rencananya gue mau ngajak lo pulang sore, tapi siapa sangka mereka malah nyusul kemari. Gue juga enggak bawa kendaraan, udah malam cari taksi susah di tengah gunung kayak gini. Besok pagi gue anter lo pulang.”
Ezekiel semakin dibuat terheran-heran. ‘Dugaan gue gak salah, ini bukan lagi gaya bicara Anna, tapi Zenith. Anna enggak selurus dan sejujur Zenith.’
“Gue ada di tubuh lo, gak perlu khawatir. Siapa juga yang mau nyulik badan segede ini,”
Hampir saja Ezekiel tersedak oleh ludahnya sendiri. ‘Ada apa ini? Tubuh tertukar? Jiwa tertukar?’
“Lo kenapa dingin-dingin kayak gini di luar? Gak nyaman di dalam?”
“Udah pasti gue ngerasa gak nyaman, apalagi ada si kembar. Kita harus cari cara supaya kembali seperti semula.”
“Tapi seandainya hari ini jiwa kita enggak tertukar, udah pasti kita masih bertingkah sebagai strangers.”
Ezekiel menganga, terkejut setengah mati. ‘What? It’s no make sanse!’
“Zenith,” tegur Anna.
“Kalau gue boleh egois, sejujurnya gue cukup menikmati jadi lo. Gue jadi tahu gimana tentang gue dari sudut pandang lo, gue juga jadi tahu hal-hal yang belum gue mengerti waktu masih jadi pacar lo,”
Tidak ingin dengar lebih lanjut, Ezekiel memutuskan untuk pergi ke kamar dan menunggu kedatangan Anna.
Ketika Anna membuka pintu kamar, ia dikejutkan dengan Ezekiel yang tengah berdiri bersandar di samping pintu.
“Hai, Anna. Akting lo masih jelek ya.” Sapa Ezekiel dengan tenang.
Anna tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Belum genap 24 jam hal ini terjadi, Anna dibuat terkejut setengah mati karena rahasia telah terbongkar oleh Ezekiel.
“Ze, lo—"