Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Hai, Anna. Akting lo masih jelek ya.”
“Ze, lo—" Anna terdiam sebentar, berusaha memahami situasi.
Anna menyenggol lengan Ezekiel seraya tertawa geli. “Stress ya lo ngira gue Anna, jelas-jelas gue Zenith ganteng gini, bisa-bisanya lo manggil gue Anna.”
Berusaha mencairkan suasana, Anna duduk di pinggir ranjang. Menepuk sampingnya, memberi kode agar Ezekiel duduk di sebelahnya. “Sini,”
Ezekiel jalan perlahan mendekati Anna, tiba-tiba Ezekiel menarik kerah Anna dan membisikkan sesuatu, “lo gak pintar berpura-pura di depan gue, Annastasia.”
“Aiooo, kalian lagi ngapain?” tiba-tiba secara bersamaan Arlan dan Arkan masuk ke dalam kamar. Sebisa mungkin Ezekiel dn Anna menyembunyikan rasa terkejut mereka.
“Alay lo. Gue tidur duluan, ngantuk,”
Di dalam kamar terdapat dua ranjang sorong. Anna tidur di kasur atas, sementara Ezekiel di bawah. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, tidak ada yang berminat untuk begadang di malam ini.
Lelah karena hari ini terasa lebih panjang daripada hari-hari sebelumnya dan banyak sekali hal aneh yang terjadi hari ini, tidak membutuhkan waktu lama untuk Anna masuk ke dalam mimpinya. Si kembar juga tidak lama menyusul Anna ke dalam mimpi.
Dalam keadaan hening dan gelap, Ezekiel tidak bisa tidur, tidak ada rasa kantuk sedikit pun. Otaknya terus berputar menyusun adegan demi adegan, kata demi kata yang terjadi hari ini diantara Anna dan Zenith. Benar-benar tidak masuk akal jika hal itu sungguhan terjadi.
Ezekiel mengubah posisinya menjadi duduk, memperhatikan Anna yang sedang terlelap dengan damai. Berteman dekat dengan Zenith sejak kecil, tentu saja Ezekiel hapal setengah mati mulai dari kebiasaan kecil hingga kebiasaan tidur Zenith sekalipun.
Tidak ada sejarahnya Zenith tidur cantik seperti malam ini.
Sadar kondisi dan situasi, Ezekiel semakin tidak bisa tidur. Walau berbeda kasur, tetap saja rasanya Ezekiel seperti sedang tidur seranjang dengan Anna sungguhan meskipun berwujud Zenith. Astaga, Ezekiel tidak bisa melakukan hal itu. Tidur dengan damai di sebelah Anna seolah tidak terjadi apa-apa.
Ezekiel menghela napas kesekian kalinya. Pada akhirnya, Ezekiel memutuskan tetap terjaga untuk menjaga Anna.
***
Tanpa perlu mandi pagi dan sarapan di Villa, mereka berlima memutuskan untuk langsung pulang. Dikarenakna Zenith tidak membawa kendaraan, akhirnya Zenith dan Anna ikut pulang bersama Ezekiel.
Tidak sanggup mengemudi mobil pagi ini, Ezekiel menyerahkan kunci mobil pada Zenith.
“Kita ngobrol di jalan, sambil nyari sarapan. Gue ngantuk banget.”
Anna memberikan kode kepada Zenith jika Ezekiel telah mengetahui rahasia mereka. Anna dan Zenith berdebat menggunakan bahasa isyarat. Jika Ezekiel tidak segera melerai mereka, mungkin perdebatan ini tidak akan habisnya.
Ezekiel menyembulkan kepalanya melalui jendela mobil. “Cepetan masuk, ributnya di dalam mobil aja.”
Selama Zenith mengendarai mobil, sebisa mungkin Ezekiel menjaga kesadarannya karena kantuk pagi ini terasa sangat berat, efek semalam. Ezekiel tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. kesempatan dimana mereka bertiga berada dalam ruang yang sama untuk waktu yang cukup lama.
“Gak usah berpura-pura, gue udah tau semuanya.” Ezekiel memecah keheningan.
“Na, masa baru sehari lo udah bocorin aja ke dia?” Zenith tidak bisa lagi menutupi rahasia dan terus bertingkah sebagai Anna untuk saat ini.
“Enak aja lo. Gue juga semalem kaget waktu dia tiba-tiba bilang akting gue jelek. Lo berdua udah temenan dari kecil’kan, dengan IQ seratus lima puluh Ezekiel gak mungkin kalau dia enggak sadar kalau tingkah lo beda,” balas Anna tak mau kalah.
“Tapi kan gue—”
Ezekiel mengangkat tangan kanannya. Memberi perintah untuk diam melalui isyarat. Hal itu berhasil membungkam mulut Anna dan Zenith dalam sekejap.
“Berhenti ributin sesuatu yang enggak guna. Bukan masalah gue tau darimana sekarang, tapi emang sikap kalian kelihatan jelas. Mulai dari Anna yang masih canggung sampai Zenith yang tetap slengean. Kelihatan jelas.”
“Terus, gue harus gimana Ze? Gak mungkin dong selamanya gue ada di tubuh Zenith,” Anna mulai putus asa.
“Kok lo kedengerannya kayak gak suka gitu sih Na ada di tubuh gue? Lagian juga gue’kan enggak jelek-jelek amat, gue masih punya banyak fans yang suka sama ketampanan gue, terus juga gue kaya, gue—”
“Terus lo suka kalau selamanya lo terjebak di badan gue? Terus berpura-pura bertingkah sebagai gue, padahal lo sendiri tahu kalau sifat kita aja bertolak belakang,” potong Anna cepat.
Zenith menciut. “Ya enggak juga,” jawabnya pelan.
“Lo, harus sedikit belajar bohong Zen. Enggak semua tentang hidup gue bisa lo ungkapin dengan jujur ke dunia luar,”
“Tapi kan berbohong itu dosa Na.” Balas Zenith lurus. Sangat lurus.
Zenith memang memiliki tampang macho dan sikap yang gantleman. Tapi untuk urusan sifat sangat berbeda, tampang hanya untuk menipu. Sebenarnya Zenith adalah orang yang jujur dan apa adanya. Sangat menjunjung tinggi kejujuran.
Berbeda dengan Anna yang memiliki banyak hal yang harus ia sembunyikan dari dunia luar. Tidak sembarang orang boleh mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan Anna. Sebesar itu lah tekad Anna untuk melindungi dirinya sendiri dari dunia luar.
Apabila orang-orang mengetahui kondisi Anna yang sebenarnya, pasti tidak sedikit orang yang akan memandangnya rendah dan remeh. Anna tidak ingin berada dalam posisi seperti itu.
Akibat sifat Zenith yang menjunjung tinggi kejujuran, membuat mereka kerapkali sering bertengkar. Jika sewaktu-waktu Zenith mengetahui kebohongan Anna, maka Zenith akan marah besar dan tidak akan dengan mudah memaafkan Anna.
Tak habis pikir dengan sifat Zenith yang satu ini, Anna mengusap wajahnya secara kasar. “Gue paham kenapa kita harus bertukar jiwa kayak gini,”
“Kenapa?” Zenith melirik Anna melalui kaca kecil.
“Biar lo tahu rasanya jadi gue, biar lo besok-besok enggak mutusin hubungan dengan sepihak tanpa mau ngertiin posisi pacar.” Jawab Anna sarkastik.
Ezekiel tersenyum mendengar jawaban yang diberikan Anna. Muncul rasa kepuasan ketika mendengarnya. Sementara Zenith terbungkam, tidak bisa membalas.
Tidak ingin kembali berdebat, Anna mengambil ponselnya lalu berselancar di dunia maya.
“Wow. Kita kembali jadi topik pembicaraan setelah setahun enggak ada rumor,” ujar Anna tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel. “Terbukti ya, hidup gue tentram kalau enggak berurusan sama kalian.” Sambungnya.
Ezekiel yang hampir tertidur pun kembali terjaga akibat perkataan Anna. “Kenapa Na?”
“Arlan, update di Instagram kalau kita main Jenga kemarin di Vila. Orang-orang mulai nyerang gue lagi, kepo tentang ini dan itu. Mereka enggak terima kalau gue doang satu-satunya cewek yang bisa main jenga bareng kalian. Padahal gue juga gak mau kali main gituan,”
“Pantesan notif HP gue rame dari tadi, gue belum buka HP soalnya.” Sahut Zenith.
“Apa hebatnya sih main jenga bareng kalian,” cibir Anna. Sebesar itu rasa tidak sukanya terhadap permainan ini.
“Si kembar juara internasional dalam permainan jenga, itu hebatnya.” Balas Zenith.
Anna dan Ezekiel saling bertukar pandang melalui cermin lalu kompak menggelengkan kepalanya tak acuh. Tidak menanggapi ocehan Zenith.
Sadar jika di abaikan, Zenith kembali berbicara. “Loh, benerkan? Gue gak salah. Mereka emang hebat.”
“Up to you Zenith.”
***
Mobil putih Ezekiel berhenti di depan rumah Zenith. Ezekiel terbangun, melihat sekitar dimana mereka berada. Masih mengumpulkan nyawa, Ezekiel menunjuk Zenith.
“Anna, kok lo ikut turun? Gue udah janji ke Bunda buat anterin lo pulang,”
Anna yang sudah turun dari mobil terlebih dahulu menahan tawa. Tak terima dengan apa yang sahabatnya katakan, Zenith mengambil botol air lalu membasahi wajah Ezekiel menggunakan air.
“Bangun bang! Sahur! Lo beneran mau nganterin gue balik?”
Ezekiel mengerjapkan mata berulang kali. Mata Ezekiel sukses membulat sempurna ketika teringat jika sosok yang ia anggap Anna ini adalah Zenith. Tangan Ezekiel meraih kerah baju Zenith.
“Gue tunggu lo keluar dari badan Anna. Tangan gue udah gatel buat nonjok lo.”
Zenith menepuk-nepuk bahu Ezekiel tanpa merasa takut. “Oke, gue tunggu.” Jawabnya sebelum menutup pintu mobil secara kasar.
“Lo gak ada niat ngajak gue masuk ke rumah lo? Gue masih mau tidur!”
“Gak. Gerbang rumah gue enggak terbuka buat makhluk halus kayak lo,”
“Sialan,”
Ezekiel menyembulkan kepalanya di jendela mobil. “Eh tunggu dulu.”
Anna dan Zenith yang hendak membuka gerbang pun mengurungkan niatnya. “Kenapa Ze?” sahut Anna.
“Rencana kalian selanjutnya apa?” tanya Ezekiel sedikit kikuk.
“Kepo banget sih lo,” jawab Zenith sewot.
Ezekiel menunjukkan kepalan tangannya pada Zenith. “Kok lo makin ngelunjak sih?” balas Ezekiel tak kalah sewot.
“Yaa, biar gue tahu apa yang harus gue lakuin buat bantu kalian,” nada bicara Ezekiel melunak.
“Cukup jagain Anna aja, terutama waktu Anna lagi diantara banyak cowok. Usahain meminimalisirkan nongkrong, lo kasih aja alesan apa kek yang masuk akal kalau ada yang ngajak main.”
Dari apa yang dilihat oleh Ezekiel, terlihat jelas bahwa perasaan Zenith terhadap Anna tidak pernah berubah sedikitpun. Sorot mata Zenith tidak bisa berbohong meskipun Zenith selalu mengelak dan tidak pernah memberikan jawaban ketika ditanya mengenai perasaannya pada Anna.
Dikarenakan tidak bisa berbohong, maka mengelak dan tidak menjawabnya adalah pilihan terakhir bagi Zenith.
“Tanpa lo suruh juga gue akan lakuin,” ujar Ezekiel membuat emosi Zenith kembali tersulut.
“ANAK SETAN!” maki Zenith.
“Gue cabut, bye!” Ezekiel melambaikan tangan sebelum menginjak pedal gas dan pergi dari pekarangan rumah Zenith. Masih emosi, Zenith mengangkat kakinya, bergaya sedang menendang ketika mobil Ezekiel mulai pergi.
Melihat kebersamaan Zenith dan Anna melalui spion mobil yang semakin mengecil, Ezekiel menghela napas panjang. “Tanpa lo suruh pun gue akan selalu berusaha untuk lindungi Anna.”