Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Mama, Aku Pengen Beli HP Baru!
Suka
Favorit
Bagikan
4. Air Mata

BEGIN FLASHBACK

INT. KAMAR FADI - SORE

Kegelapan tampak berkurang dengan cahaya yang masuk setelah dua kelopak mata Fadi (9) terbuka. Pandangannya masih agak kabur. Dua kelopak itu mengatup lagi sebelum kemudian terbuka untuk melihat dengan jelas.

Tampak Rian (13) tengah membaca di meja belajar, rautnya terlihat serius.

Fadi bangkit dengan mata bengkaknya di atas ranjang.

Rian berbalik dan menatapnya dengan heran, begitu pula Hari (11) yang sedang memegang pistol bambu di tangannya.

RIAN

Kamu kenapa? Kok matanya bengkak?

Fadi membuang muka ke bawah.

Rian mengernyit, makin heran.

FADI

(dengan dingin)

Gak kenapa-napa.

Fadi lalu bangkit ke rak buku mereka dan mengambil salah satu catatannya.

Hari yang sedari tadi menyimak kembali sibuk dengan mainannya, membasahkan kertas untuk dijadikan persediaan peluru sembari memasuk-masukkan bulatan kecil ke dalam rongga bambunya. Dia menyodok-nyodokkan bambu itu sebagai pemanasan.

Sementara Rian yang berharap pertanyaannya dijawab, harus puas dengan tingkah dingin sang adik dan kembali membaca buku.

Fadi sendiri mulai duduk di atas ranjang, membaca memo yang tertempel di sampul buku di tangannya.

FADI (V.O)

Catat rangkuman IPS sampai bab 5 dan hafal!

Fadi menarik napas dalam setelah membacanya. Ia menyiapkan diri untuk menghafal buku yang mulai dibuka.

Namun, baru beberapa saat membaca, ia harus menjerit kesakitan.

Di sampingnya, Hari sudah berdiri dengan wajah semringah. Pistol bambu masih di tangan, posisi penyodok pelurunya sudah mentok, tanda bahwa ialah yang baru saja menembakkan peluru ke pinggang Fadi.

Rian yang sudah berbalik dan melihat itu, kembali melirik memastikan keadaan Fadi.

Fadi yang masih meringis kesakitan membuat Rian mendesis galak ke arah Hari.

Sontak Hari menyeringai dan langsung kabur dikejar Rian.

Fadi pun melihat pintu tempat kedua kakaknya itu menghilang dengan ekspresi lemah. Ia merengut sedih seolah ingin menangis. Lalu lututnya terangkat dan menempel dengan kening.

FADI (V.O)

Tapi aku harus menghafal materi ini. Kalau tidak, ...

Fadi memeluk lutut dan mengeratkannya. Buku yang ada di tangan mulai lecek karena diremas.

Namun, Fadi harus kembali mengangkat kepala dan membaca materi yang harus dihafalnya.

FADE OUT

INT. RUANG KELAS 3 SD - SIANG

Kedua tangan Fadi seolah memagari bukunya agar tidak bergerak di atas meja.

Bibirnya fokus menghafal tanpa terdengar sembari mata yang tak sabar melihat ke pintu atau luar jendela, menunggu gurunya tiba.

Kakinya di bawah tak bisa diam, terus naik turun akibat rasa gugup bercampur semangat yang berlebihan.

Napasnya terlepas kencang saat guru yang diharapkannya tiba.

Guru 1 masuk kelas dengan wajah datar dan memberi salam.

Sepanjang kelas, Guru 1 bercerita dan menjelaskan materi kepada murid-muridnya.

Fadi menyimak dengan penantian dan penuh harapan akan diingat. Ia terlihat seperti anjing yang ingin diperhatikan dan diberi makan oleh majikannya. Namun, nihil.

BEL berbunyi, Fadi menyaksikan Guru 1 keluar tanpa bisa mencegah atau memberitahunya. Ia hanya bisa melirik tulisan kecil di bawah bukunya. "Sudah terhafal semua"

Fadi hanya menutup bukunya dengan kecewa dan memasukkannya ke dalam tas. Ia perlahan melangkah keluar dan berhenti di lorong depan kelas.

FADI (V.O)

Padahal sudah bagus hari ini

aku tidak dipanggil ke kelas 6.

Kenapa tidak ada yang ingin

melihat aku menghafal di depan kelas?

Fadi mengetatkan bibir dan menatap lemas ke arah sekitar. Ia berhenti saat melihat kakaknya sedang menembaki teman sekelas dengan pistol bambu yang kemarin ia mainkan.

Fadi mengembus napas kesal.

Tak diharapkan, Hari melihat ke arahnya.

Mata Fadi membulat memikirkan apa yang akan terjadi. Sementara Hari berseringai dan memainkan penyodok bambunya sebagai penanda.

Fadi lagi-lagi menutup mata. Gelap.

END FLASHBACK

INT. KAFE RIGHT TIME - SIANG

Fadi (21) menggeleng kencang menghilangkan ingatan yang tiba-tiba datang menyerangnya. Susah payah ia mengatur napas sebelum kemudian berusaha fokus pada laptopnya.

Sandi dan Rio yang melihat itu kemudian saling bertatapan. Rio tampak cemas dan memelas pada Sandi. Sandi sendiri tampak sedikit empati melihat apa yang baru saja terjadi pada Fadi. Namun, kenyataan bahwa menakannya sedang memelas lebih dari biasanya jauh lebih menarik perhatian baginya.

SANDI

Kalau misalnya tante mau bantuin dia,

kamu bakal ngelakuin apa buat tante?

Sandi tampak serius, Rio terkejut mendengarnya.

RIO

Maksud tante?

Sandi hanya mengangkat bahu, menganggap Rio bisa memahaminya. Rio sedikit berpikir, kali ini dia lebih tenang.

RIO (LANJUTAN)

Apa yang tante mau buat Rio lakuin?

Rio tampak serius. Sandi berseringai.

SANDI

Kamu harus berhenti berhubungan dengan

cewek-cewek seumuran tante lagi.

Atau yang lebih muda,

istri orang atau apapun itu.

Sandi lebih serius, Rio lebih terkejut dan tampak tak terima. Ia menggeleng.

RIO

Kalau itu, Rio gak bisa. Rio gamau.

Rio mendekap tangan di dada, memandang ke arah lain, asal bukan tantenya. Sandi menggeleng sambil tersenyum miring, sudah ia duga.

SANDI

Kalau begitu, tante gak bisa bantu.

Karena kamu tahu, sebagai seorang psikolog,

ini hal yang mengecewakan bahwa tante

gak bisa mendidik ponakan tante sendiri

buat gak melakukan hal negatif

terhadap kehidupan keluarga orang lain.

Rio tampak mencebik, ia tak bisa menutup telinga dari perkataan Sandi. Lantas menatapnya balik dengan wajah serius.

RIO

Kok tante jadi ngomongin ini sih?

SANDI

(menggeleng acuh)

This is my first priority!

Rio mengepalkan tangannya. Sandi yang melihat itu, mengembuskan napasnya, mencoba menenangkan dirinya sedikit.

SANDI (LANJUTAN)

(cukup tenang)

Kalau gak gitu, kamu harus balik

ngobrol lagi sama Mami-Papi kamu.

Rio tak suka dengan ide itu.

RIO

Hell! No! I won’t do that.

SANDI

(santai)

Then, you lose your chances!

RIO

(mencebik)

Tante, ah, gak seru!

Rio tampak cemberut lalu bangkit menuju Fadi.

Fadi sedang mengarahkan kursor ke arah menu Wifi di laptopnya. Rio yang menghampirinya melihat itu dan menepuk pundak Fadi. Fadi melirik.

RIO

Lu, mau pesen apa?

Fadi agak berpikir.

FADI

Paling murah apa?

Rio mendecak, ia menunjukkan ketidaksukaannya dengan jelas. Fadi agak salah tingkah dengan itu.

RIO

Lu minum kopi, gak?

Fadi menggeleng.

RIO (LANJUTAN)

Terus apa?

FADI

(sedikit berpikir)

Jus buah gitu ada gak?

RIO

Suka avocado?

FADI

(mengangguk)

Boleh.

RIO

Ok. Ntar sekalian gue tanyain dulu password wifinya.

FADI

Thanks.

Rio melangkah meninggalkan Fadi. Sandi dengan saksama mengamati gerak-gerik ponakannya. Lantas fokus pada Fadi saat tak melihat Rio. Lalu melirik laptopnya sambil memikirkan sesuatu, tentang karyanya di masa lalu. Dan kembali mengamati Fadi.

INT. KANTOR BANK - SIANG

Rian (25) melirik jam tangan, masuk jam istirahat. Ia kemudian merogoh ponsel di saku celana dan mencari kontak Fadi di dalamnya. Laki-laki itu menekan tombol pemanggil via aplikasi perpesanan, dering ponsel memanggil ia tunggu hingga ponsel berhenti.

Rian kemudian kembali menggunakan pemanggil biasa. Panggilan itu menyampaikan pesan nomor yang dituju sedang tidak aktif. Membuat alis Rian bertaut.

Ia menatap ke depan seolah menerawang memikirkan sesuatu. Ia lantas mengutak-atik ponsel dan menemukan kontak atas nama Dava di grup aplikasi perpesanan. Ia mencoba meneleponnya. Dering berbunyi saat ia menunggu untuk terhubung.

BEGIN INTERCUT

INT. KAMAR KOS DAVA - SIANG

Dava sedang tertidur di kasurnya. Ponselnya sedang dicolok pengisi daya. Yuda yang sedang fokus main game di bibir pintu kamarnya, depan kamar Dava, mendengar panggilan itu dan masuk kamar Dava untuk mengecek.

Ia melihat Dava yang sangat lelap dan mengecek nama pemanggil "Bang Rian". Yuda menunjukkan wajah paham sambil sesekali fokus pada gamenya.

Di sisi lain, Rian tampak cemas menunggu panggilannya untuk diangkat.

Lalu Yuda duduk hendak mengangkat telepon. Namun, panggilan itu berakhir. Ia pun urung menelpon balik dan kembali ke gim di tangannya.

Yuda lantas memutuskan duduk di kamar itu, bila-bila ada panggilan lain lagi.

END INTERCUT

Rian tampak kecewa mendapati panggilannya yang terus tak dijawab. Ia kemudian mengirim pesan ke akun pesan Fadi.

RIAN (DALAM PESAN)

Di, gimana kabar? Kenapa gak ngangkat telepon?

Telepon balik kalau dah lihat ini.

Ia kemudian menarik napas dalam, berharap Fadi akan melihat pesannya. Teman kerjanya kemudian datang mengajaknya makan siang.

INT. KAFE RIGHT TIME - SIANG

Rio datang memberi secarik kertas untuk Fadi. Fadi meliriknya.

RIO

Nih, passwordnya.

Pesenannya nanti, ya, masih dibikin.

Fadi mengangguk paham.

RIO (LANJUTAN)

Yaudah, kamu lanjut dulu.

FADI

(melebarkan senyum)

Makasih, ya!

Rio hanya membalas dengan senyuman sebelum kembali lagi ke tantenya, Sandi yang sedang tersenyum hangat melihat mereka. Rio agak tidak nyaman dengan tatapan sang tante, tapi dia tetap berjalan dan duduk di depan wanita itu.

RIO

Padahal tadi aku niat mau minta duit juga ama tante.

SANDI

(agak terkejut, masih tersenyum)

Tapi?

RIO

Ya, itu ... tante bikin badmood.

Sandi mengeluarkan kekehan kecilnya. Rio tampak semakin cemberut, Sandi pun kembali berusaha serius lagi.

SANDI

Well, tell me why you want to help him so much!

(subtitle: Yaudah, kasih tahu tante

kenapa kamu pengen banget bantuin dia!)

Sandi penuh dengan tatapan penasaran. Rio menyadari pertanyaaan itu tulus lantas mencoba menenangkan diri dan bersiap menceritakan pikirannya.

RIO

Sejauh aku hidup, aku mungkin pernah ketemu

teman yang hidupnya itu berantakan.

Broken home, dianiaya, atau apapun itu.

Tapi, gak ada yang selemah Fadi saat ini.

Rio melirik Fadi, Sandi juga mengikutinya, penuh dengan empati.

RIO (LANJUTAN)

Fadi itu lemahnya beda.

Kalau aku mau ngasih bantuan,

dia selalu terlihat ragu buat nerima,

kadang nolak, seakan takut aku minta balasan.

(jeda) Dia bisa dibilang gak bisa apa-apa.

Umur segitu aja dia gak bisa bawa motor.

Sandi melirik ekspresi Rio saat mengatakannya. Rio masih menatap Fadi dengan empati dan seolah tak rela dengan itu.

RIO (LANJUTAN)

Pernah aku nyobain mie masakan dia,

Rio agak terkekeh, Sandi tertarik mengamati.

RIO (LANJUTAN)

dia nyampur mie sama krupuk udang yang udah digoreng,

campur sosis dan telur.

Ditambahin wortel setengah matang gitu juga.

Rasanya unik, ada mie, ada kenyal kerupuk yang direbus,

ada rasa daging dari sosis, kegurihan telur dan renyahnya wortel.

Itu mi instan terenak yang pernah aku rasa.

Dan tante tahu?

Pas aku minta dia bikin lagi, dia geleng, gak mau.

Katanya takut aku gak suka.

Padahal aku yang minta.

Rio tersenyum miris di wajahnya. Sandi heran mendengarnya.

Ia kemudian melirik Fadi yang sedari tadi ditatap oleh Rio. Fadi yang merasa ditatap, pelan-melan melirik ke arah mereka. Sandi dan Rio membalas dengan senyuman seolah tak ada apa-apa. Lalu mereka saling berhadapan sekali lagi, meninggalkan Fadi dengan kebingungannya.

RIO (LANJUTAN)

(menatap meja)

Dia pernah nyanyi-nyanyi sendirian,

kayak orang gila, sariosa suara kepala.

Rio agak tertawa. Sandi memicingkan mata.

RIO (LANJUTAN)

Terus tiba-tiba dia nangis, sejadi-jadinya.

Aku lari ke kamarnya, aku ketuk pintu,

dia gak berhenti nangis.

Aku masuk karena pintunya gak dikunci.

Tatapannya saat lihat aku masuk, air matanya,

aku pengen banget nangis bareng dia.

Tapi aku sadar harus jadi yang kuat saat itu.

Terus dia nangis sampe ketiduran.

Mata Sandi membulat, ada kilau berkaca di sana.

Sandi segera membuka laptopnya, mencari sesuatu dengan wajah semakin sedih. Lalu air matanya menetes tanpa izin.

Sandi menangis, mengarahkan laptop ke depan Rio. Sebuah penggalan kisah yang ia tulis: Kisah yang Tak Bisa Dipercaya.

(CU) "Dan dia kembali hening, hanya sedikit terisak yang semakin lama semakin terdengar menyedihkan. Pilu, membuatku tak tahan bila tak segera duduk di sampingnya. Mencoba menguatkannya dengan mengusap punggungnya. Memberi sedikit semangat dengan kata-kata tak jelas seperti, ’Ada aku di sini. Kau boleh berteriak sesukamu. Menangislah kalau itu membuatmu sedikit lega! Aku akan ada di sini kapan pun kamu butuhkan.’"

Rio yang membaca itu mulai berkaca-kaca. Sandi memberikan senyumannya yang seolah hanya itu yang bisa dia berikan.

SANDI

Dulu, bertahun-tahun lalu, ada seorang pria bernama Alif

yang datang dan menceritakan kisah ini.

Dia mendengarkan tangisan pria lainnya

yang bernama Arif hingga pria itu tertidur.

Sejak kejadian itu, Alif mengaku

akan selalu ada di sisi Arif.

Ia merasa harus selalu ada untuk Arif.

Dan mereka benar-benar mirip dengan kalian.

Rio yang menyadarinya, mengusap air mata dengan samar, berharap Fadi tidak sadar. Sandi melihat ponakannya dengan terkekeh, ada miris dalam hatinya.

SANDI (LANJUTAN)

Siapa yang tahu kejadian memilukan itu

malah dirasakan oleh ponakan tante sendiri.

Rio kembali sendu mendengarnya. Sandi kemudian mengeluarkan tisu sebelum seorang pelayan datang dan membawa pesanan Rio kepada mereka.

Sementara Fadi tampak tersenyum membaca sebuah pesan masuk ke akun whatsapp-nya.

NANA (DALAM PESAN)

Di, kamu ada nyimpen foto-foto kita

pas ikut lomba waktu SMP gak?

FADI (DALAM PESAN BEBERAPA SAAT LALU)

Kayaknya, enggak, deh. Emang kenapa?

NANA (DALAM PESAN)

Enggak sih, kangen aja sama masa-masa lomba kita dulu.

FADI (DALAM PESAN)

Wkwk. Aku juga kangen sih, lumayan.

NANA (DALAM PESAN)

Aku kangen banget.

Pengen rasanya kembali ke masa-masa itu.

Masa-masa kejayaan, hehehe.

Fadi tersenyum melihatnya. Ia kemudian teringat akan sesuatu. Tentang masa remaja yang mengantarnya lebih dekat dengan Nana. Dan ingatan itu membuat ekspresinya tampak lemah.

DISSOLVE TO

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar