Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
EPISODE 5 PETAK UMPET / HIDE AND SEEK
Jakarta 1983
INT. RUMAH DAYU-DAY
(Penonton menyaksikan dari sudut pandang Mah Darmi. Scene 1.)
Bermain petak umpet, mencari jejak Dayu. Menapaki tangga, menyusuri ruang kamar yang tampak kosong.
Dayu, aku tahu di mana kau sembunyi.
Sebuah lemari besar menjulang di hadapan. Dengan kedua tangan, ia membuka pintu lemari itu.
Ketemu!
Dayu kecil tertawa-tawa geli.
CUT TO:
(Penonton menyaksikan dari sudut pandang Mah Darmi. Scene 2.)
Jari-jari buntung menyisiri rambut Dayu. Bayang-bayang keduanya tercipta di tembok kamar.
Dayu, dengan gaun tidurnya, menyodorkan sebuah buku cerita.
Bacain, Mah.
(menatap buku dongeng yang disodorkan Dayu)
Mah Darmi gak bisa baca. Mau panggil Bapak?
(menggeleng)
Begini saja, Mah Darmi punya dongeng lain.
Mau dengar?
(mengangguk penuh semangat)
Kisah ini terjadi di waktu yang lampau.
Dayu yang matanya sudah mengantuk tiba-tiba melotot (ke arah kamera/Mah Darmi)
Kenapa?
(menunjuk ke hidung)
Oh, ini biasa.
(mengelap tetesan darah dari hidungnya)
Dayu udah ngantuk kayaknya ya. Dayu bobo ya.
Dayu memejamkan mata sambil merapatkan boneka kelinci ke pelukannya.
Turua Wija kula sayang…
FADE OUT.
INT. RUMAH DAYU-DAY
Seminggu telah berlalu setelah kepergian Mama.
Orang-orang banyak sekali yang mencemaskan kondisiku setelah Mama meninggal.
Padahal semestinya mereka lebih mengkhawatirkan nasib Papa
setelah ditinggal pergi Mama, bukan aku.
Dayu kecil berjalan di antara lorong kamar.
Dari celah pintu kamar utama (kamar ayah ibunya), Dayu melihat sang ayah bengong menatap foto Mama. Tidak menangis atau meratap. Tatapannya kosong. Ia juga sering menyemprotkan parfum Mama di sepenjuru ruangan seakan mengawetkan kehadirannya di rumah.
Mama, adalah wanita paling egois yang kutahu.
Mama tidak pernah mengajakku bermain, menyanyikan lagu,
menyisiri rambutku seperti yang dilakukan Mah Darmi.
CUT TO:
INT. DEPAN PINTU KAMAR UTAMA-DAY-flashback
Dayu menghampiri pintu kamar yang ditutup sambil membawa buku cerita. Ia mengetuk pintu.
Mama..
Ayah Dayu yang keluar kamar.
Mamamu butuh istirahat dulu, Sayang. Papa saja yang temani bermain.
(melirik arlojinya)
Tapi nanti sore ya, setelah Papa pulang rapat.
CUT TO:
INT. DEPAN PINTU KAMAR UTAMA-DAY-flashback
Pintu kamar utama ditutup. Dayu kecil ingin mengetuk sambil membawa boneka kelinci di pelukan.
Ma…
(muncul dari arah belakang sambil membawa keranjang cucian.
Berkata pelan tapi tegas)
Mamamu gak mau diganggu dulu. Main di luar sana.
CUT TO:
EXT. TERAS RUMAH DAYU-SORE JELANG MAGHRIB
Gerimis turun. Mah Darmi mendekati Dayu untuk pertama kali.
Tepat di hari Mama dikuburkan, Mah Darmi hadir di hidupku.
Hari itu aku kehilangan Mama, tetapi Tuhan telah menggantinya dengan kehadiran mama baru.
Mama yang lebih baik.
EXT. HALAMAN RUMAH DAYU-DAY
Boleh aku ikut main?
Dayu menatap Mah Darmi yang berdiri di samping Angga.
CUT TO:
INT. RUMAH DAYU-DAY
(melapor ke Mah Darmi)
Dayu, tuh, curang.
Kalah ya kalah aja.
(nada menegur)
Dayu… (beat)
Dayu kesal karena Mah Darmi tampak lebih membela Angga daripada dirinya. Sebenarnya masalah Dayu bukan dengan Angga. Lebih karena Dayu tak mau membagi Mamahnya dengan siapapun.
INT. RUMAH DAYU-DAY
Dayu, boleh Mah Darmi minta tolong?
Dayu sedang menggambar di kertas.
Tulisin surat.
Buat siapa Mah?
Buat anak dan ibu di kampung. (beat)
CUT TO:
INT. RUMAH DAYU-DAY
Dayu menulis di kertas. “Untuk Anak Jelek.”
Kertas yang sudah terlipat itu diberikannya kepada Mah Darmi (setengah hati).
(dengan mata berbinar menatap surat itu)
Dayu memang anak pinter.
Mah Darmi lalu menorehkan alamat di amplop surat itu dengan menyalin tulisan alamat di surat korespondensi Pak Hassan Soerya. Ia tidak menuliskan alamat kampung Waru.
Mah Darmi kemudian menitipkan surat itu kepada pria penjaja sapu keliling yang berdiri di gerbang rumah. Wajahnya familier. Pria paruh baya bertopi jerami itu salah satu warga kampung Waru.
Mbok Minah sambil menyapu menatap sinis akan keganjilan Mah Darmi yang berbicara dengan pria aneh itu.
EXT. HALAMAN RUMAH-DAY
Dayu kecil berputar-putar di halaman, kedua tangannya terulur bagai baling-baling. Saat mendongak, ia menangkap seberkas pantulan cahaya dari arah atas jendela kamar lantai dua. Sepintas seakan rumah itu memiliki tiga lantai.
Dayu berhenti memutar, tangannya menaungi matanya yang menyipit. Memandanginya. (beat)
INT. RUMAH DAYU-KAMAR MAH DARMI-DAY
Saat Dayu masuk ke kamar, ia mendapati Mah Darmi sedang sibuk berkemas.
Mah, mau pergi?
(menunjuk buntalan tas anyaman berisikan tiga helai kain).
Iya Dayu, Mah Darmi sebentar lagi harus pulang.
Pulang? Kemana?
Di sini kan rumah Mamah sekarang.
Benar, di sini Mah Darmi ada rumah.
Ada neng Dayu yang Mah Darmi sayang…
Tapi Mah Darmi juga punya rumah jauh di sana.
Dan anak Mamah sekarang lagi sakit.
Bo’ong. Bagaimana Mamah bisa tau?
(memegangi kalung jimatnya di leher)
Itu karena ada tali kuat yang mengikat jiwa anak dengan ibunya.
Kemanapun sang ibu pergi, sejauh apapun,
keduanya akan terus terhubung.
(beat)
Dayu terdiam. Boneka kelincinya dipeluknya lebih erat.
CUT BACK TO:
EXT. HALAMAN RUMAH DAYU-DAY
Dayu berputar di tempat, tampak merenung. Bola matanya diclose-up menatap ke dinding lantai atas rumah.
Tali jiwa mama dengan anaknya?
JAKARTA, 2012
INT. KAMAR DAYU—NIGHT
Bunyi desis statis televisi.
Dayu, kemari… Aku selalu tahu di mana kau sembunyi…
Dini hari. Dayu membuka mata. Terbangun dari tidurnya. Angka beker yang berkedip-kedip di samping meja menunjukkan pukul 1.25. Matanya nyalang menatap langit-langit kamar.
Barusan seperti terdengar suara-suara berdebuk serta getaran dari plafon seperti derap kaki orang berlarian. Disusul oleh tawa cekikikan. Seperti ada yang tengah bermain kejar-kejaran dari lantai atas kamar Dayu.
Tetapi itu mustahil, pikirnya. Tidak ada lantai di atas kamarnya.
Sret… sret … sreeet.
Kali ini telinganya tentu tak salah dengar. Ini bukan mimpi. Dayu sudah terjaga sepenuhnya. Di benaknya kembali berkelebat sejumlah ingatan.
CUT TO:
EXT. HALAMAN RUMAH DAYU-DAY-flashback
Dayu menghampiri Rembulan yang sedang melambaikan tangan ke arah jendela tepat di lantai atas kamar ini. Itu hari pertama kedatangan mereka di rumah ini.
(menghampiri Rembulan)
Lihat siapa?
CUT TO:
EXT. HALAMAN RUMAH DAYU-NIGHT-flashback mimpi
Dini hari di bawah derai hujan, wanita berwajah seram dan berbaju kebaya yang dikiranya Surti juga mengacungkan telunjuknya ke arah jendela kecil berbentuk setengah lingkaran itu. Tepat di atas kamarnya.
Dayuuu… Aku tahu di mana kau sembunyi.
Mata tak beralis itu, menatap dari kolong meja.
Seketika seorang gadis kecil melompat dari tempat persembunyian, tertawa cekikkan.
Dayu akhirnya menyadari sepenuh hati, bayangan dan rasa itu berasal dari penggalan memorinya sendiri.
EXT. HALAMAN RUMAH DAYU-DAY
Beberapa buah mangga busuk tergolek di atas rumput. Buah-buah itu telah rontok digerogoti ulat sejak di pohon. Sekawanan lalat buah kini berputar-putar mengitarinya, menggerogoti daging bonyok itu. Dengung sayap serangga itu seakan menghipnotis Dayu yang berdiri di dekatnya.
Dayu!
(memanggil Dayu dari lamunan transnya)
Sudah beberapa lama Angga berdiri di muka bangunan rumah, memelototi satu sudut eksterior rumah. Jendela kecil berbentuk kipas di atas lantai dua. Pada pagi hari, jendela itu serupa pantulan cermin yang menyilaukan. Tetapi di sore hari seperti sekarang, ia tampak kusam dan menyaru dengan dinding luar sehingga akan mudah luput dari perhatian.
Angga dengan menggenggam buku sketsa di tangannya mengamati bangunan rumah dari luar. Sudah berulang kali Angga melangkah keluar masuk ke lantai dua rumah itu. Dari dalam, tak dilihatnya ada aksen jendela yang dari luar terlihat berbentuk kipas itu.
Rumah Hassan Soerya memang memiliki banyak kolong udara dan jendela dengan berbagai bentuk geometri. Anehnya, tak pernah ada yang menghitungnya. Kali ini, Angga betul-betul mencoba meniliknya dari luar, untuk kemudian dicocokkannya saat berada di dalam ruangan. Digambarnya muka bangunan rumah itu secara mendetail di buku sketsa yang dipegang di tangannya.
(Dengan satu tangan menggaruk dagu dan sebelah tangan menggenggam buku sketsanya,
menoleh ke Dayu).
Sekarang masalahnya, kalau benar ada lantai tiga seperti keyakinanmu,
trus di mana letak jalan masuknya?
Mendung pekat sudah menggantung di langit timur. Tentu tak lama lagi, badai akan segera datang. Cuaca yang selalu membuat Dayu gelisah.
Angga lantas menutup buku gambarnya dengan keras, lalu kembali melangkah memasuki rumah. Dayu mengikuti langkahnya. Sebagai seorang tetangga yang sudah puluhan tahun tak bertemu, Dayu menganggap aneh melihat Angga seakan cukup mengenali seluk-beluk rumah masa kecilnya. Angga langsung melesat menaiki tangga menuju lantai atas.
Di lantai itu, terdapat dua kamar. Kamar yang ditempati Dayu dan kamar utama yang dahulu merupakan kamar orangtua. Kamar Ayah Dayu telah dipindahkan ke lantai dasar karena mobilitas tubuhnya yang kini terbatas di kursi rodanya.
Angga dan Dayu akhirnya tiba di muka pintu satu ruangan yang belum dimasuki. Keduanya beradu tatap sejenak. Kamar utama.
Angga mencoba memutar kenop pintunya. Tentu saja terkunci.
Saat itu, gelegar petir mulai terdengar bersahut-sahutan di kejauhan.
Angga dengan gesit menghampiri sebuah laci bufet meja di ruang tengah. Tangannya mengaduk-aduk isi laci meja itu sampai ditemukannya apa yang dicarinya.
Ah! (mengacungkan sebuah anak kunci ke arah Dayu).
Ini barangkali?
Anak kunci yang digenggamnya itu segera dimasukkan ke lubangnya. Begitu pintu kamar itu mengayun terbuka, bulu kuduk Dayu meremang seketika. (beat) Interior ruang kamar itu membuat Dayu terperangah. Ruangan itu persis seperti tampilan kamar Mama yang ada di dalam ingatannya. Seakan-akan waktu membeku di ruangan ini. Sebuah ranjang besar, lemari, gorden. Semua dengan warna putih.
Warna yang paling Dayu benci.
Selama ini Dayu merasa tak pernah memasuki kamar Mamanya. Kamar Mama hampir selalu terkunci, dan dia tak pernah diperkenankan memasukinya. Namun perasaan gelisah yang menyergap membuatnya kembali meragukannya. Dayu menyadari, dia jelas pernah melangkah masuk ke dalamnya. Tata ruang di kamar Mama ini jelas pernah ada di benaknya.
Sementara Angga menatap ke arah plafon kamar, Dayu dengan pelan bergerak menuju sebuah lemari dari kayu jati yang mendominasi di ujung ruangan. Ia merasa seakan dituntun ke arah lemari itu oleh tali-tali tak kasat mata. Lemari itu.
Dayu, aku tahu di mana kau sembunyi.
Dari dulu, Dayu selalu menganggap pintu lemari itu sebagai lorong menuju dunia lain. Ketika Dayu meraih dan membuka kenop pintu lemari itu, Angga menghentikan langkahnya. Kini ia memerhatikan Dayu sepenuhnya. Alih-alih pakaian, lemari itu justru berisi banyak tumpukan kotak. Dayu mendorong seluruh kotak itu keluar sampai panel dinding lemari tampak sepenuhnya.
Meski tak tahu apa-apa, Angga ikut menggasak isi lemari. Ia menuruti isyarat dari Dayu seakan percaya sepenuhnya pada naluri dari masa kecilnya.
Angga mengetuk-ngetuk dinding lemari itu dengan buku-buku jarinya sambil menekan daun telinganya ke dinding. Pada satu bagian ketukannya, terdengar suara kopong. Tanpa kenop, tanpa petunjuk yang menandakan fungsinya, keduanya tahu bahwa mereka baru saja menemukan pintu masuknya.
(berucap lirih seperti ke diri sendiri)
Ck ck ck… arsitek gendeng.
Guntur terdengar menggelegar tepat ketika Angga mengerahkan segenap bobot tubuhnya untuk mendobrak dinding tipuan itu. Ketika panel dinding lemari itu akhirnya membuka, tersibaklah keberadaan sisi dalam sebuah ruangan. Ruangan sempit yang menampakkan sebuah anak tangga.
(napas tersengal)
Binggo. Inilah yang kita cari.
Jalan ke lantai atas.
Senter dari hape yang digenggam oleh Angga menyorot ke ruang di balik panel lemari itu. Melihat anak tangga itu, Dayu seakan terpaku di tempat. Tetapi Angga yang berada tepat di belakang, mendesak Dayu untuk terus bergerak maju. Bagai menghormati tuan rumah, Angga mempersilakan Dayu untuk menapaki tangga yang tampak reyot itu lebih dulu.
Begitu kaki Dayu sampai di beberapa anak tangga terakhir, matanya menangkap landasan serupa loteng. Gelap sekali. Tidak ada apapun yang bisa dilihat sampai cahaya dari hape Angga dari arah belakang menyoroti apa yang ada di depan mata.
Sebuah daun pintu mungil.
Di pintu itu, menggantung sebuah gembok karatan dengan anak kunci yang tertancap.
Angga memerhatikan gembok itu.
Gak terkunci? (beat)
Dayu hanya bisa menggeleng lemah. Tetapi di dalam benaknya, terputar sebuah rekaman gambar. Kali ini begitu jelas.
Gembok itu. Tangan kecilku yang menguncinya. Juga meninggalkan kuncinya tertancap di gembok.
Melihat Dayu yang hanya mematung, Angga mengambil inisiatif. Karena sudah terselimuti lapisan karat, tidak mudah untuk memutar anak kunci dan membuka gembok itu.
Terdengar bunyi dentang nyaring sebelum gembok karatan beserta anak kunci itu terpelanting ke lantai di dekat kaki Dayu. Meski di luar hujan deras, Dayu melihat keringat sudah membasahi tengkuk dan dahi Angga. Juga tercetak jelas di ketiak dan punggung kausnya.
Keriut daun pintu yang digeser membuka terdengar begitu memekakkan di tengah keheningan ruang loteng itu.
Derap kaki berlari diiringi tawa cekikikan memantulkan gema dari masa lalu di sepenjuru ruangan itu.
Bau busuk dan apak langsung menyergap penciuman. Ruangan itu tentu sudah lama tidak dibuka dan bertemu cahaya. Udara di ruangan itu telah terperangkap selama puluhan tahun.
Uhuk. Uhuk.
Tangan Angga membekap hidung begitu melangkah memasuki ruangan. Karena plafonnya yang rendah, Angga yang berbadan besar mesti merunduk sembari berjalan. Ruangan gelap pekat. Ia menemukan saklar lampu, tetapi bohlamnya sudah tak berfungsi.
Di ruangan ini nyaris tidak ada jendela, kecuali satu buah.
Jendela berbentuk kipas yang selama ini hanya dikira sebagai kolong cahaya kreasi eksentrik sang arsitek.
Sementara Angga melangkah masuk dengan perlahan, matanya berusaha menyapu isi ruangan dengan cepat.
Di dindingnya, banyak tergantung cermin-cermin berbagai ukuran yang kini terlihat kusam. Ada pula benda-benda yang tertutupi kain seprai keabuan. Dahulu mungkin berwarna putih.
(menyibak kain dengan sebelah tangan
sementara tangan satu lagi memegang senter dari hape)
Ini apaan? (uhuk)
Ketika kain tersibak, debu bertebaran ke sepenjuru ruang. Lagi-lagi, cermin dengan dudukannya. Cermin, cermin, dan cermin.
Angga meneruskan mengamati seputar ruangan sampai kakinya tiba-tiba terantuk sesuatu. Semula ia menyangka itu bangkai seekor binatang yang berbulu. Sampai ia menyadari itu adalah sebuah boneka. Boneka kelinci berbaju kuning yang kini sudah berganti kecokelatan. Boneka kesayangan Dayu kecil yang nyaris selalu dibawanya kemanapun, bahkan terabadikan dalam potret keluarga di lantai bawah.
Angga menoleh memanggil Dayu.
Dayu… Ini …
(memegangi boneka)
Barulah ketika itu Angga menyadari bahwa Dayu masih terpaku di tempat. Tampak belum beranjak sesenti pun dari muka pintu. Wajahnya pucat seperti habis melihat hantu. Angga mengikuti kemana tatapan mata Dayu terjurus.
Tepat di bawah jendela kipas itu, tampak seonggok mayat manusia yang menjadi sumber bau busuk di ruangan itu.
Napas Angga seketika tercekat ketika mengarahkan senter hape ke depan jendela. Dari arah muka pintu, Angga mendengar suara rintihan yang perlahan berganti menjadi jeritan.
Rembulanku… BULAAAN!!!
Dayu tak kuasa menutup mata dan menangis sejadi-jadinya. Beberapa saat ia tak mampu mendengar seruan Angga sampai nadanya sudah meninggi.
Bukan, Dayu. Lihat! LIHAT!!!
Angga membentak sampai Dayu membuka mata dan menyaksikan apa yang semestinya ia saksikan sejak lama.
Di bawah sorot cahaya hape yang diarahkan Angga, tampak jelas kerangka itu bukan jasad anak yang baru meninggal. Helai-helai rambut masih menyisa di kepala tengkoraknya. Sementara dagingnya tampak sudah habis digerogoti belatung.
Kain kebaya cokelat pudar dan jarik yang menempel di tubuh jasad itulah yang paling mereka kenali. Juga kalung jimat batu yang selalu dikenakan di lehernya.
Posisinya aneh, menurut Angga. Ia tampak sudah menyiapkan diri akan kedatangan ajalnya. Membaringkan tubuhnya di satu sudut yang jauh dari deretan cermin dengan kedua tangan disedekapkan.
Di sana, tepat di bawah jendela lengkung itu, terbujur Mah Darmi.
Atau, sisa-sisanya.
EXT. TERAS RUMAH DAYU-DAY
Gerimis baru saja reda. Gumpalan awan perlahan menyibak langit, menghadirkan bentangan merah senja. Ronanya menyapu seluruh ruang.
Dayu melihat bercak tanah tercetak di ubin teraso teras. Jejak kakinya.
Dayu.
Wanita berkebaya cokelat pudar dan bersanggul berdiri di hadapan Dayu. Sosoknya menguarkan aura yang seakan melenyapkan waktu dan ruang. Menyedot perhatian Dayu sepenuhnya.
Ia lantas membungkuk ke arah Dayu. Payung hitam yang selalu menutupi sebagian besar wajahnya terangkat.
Aura wajah wanita tak beralis itu tampak begitu cerah. Wanita yang paling Dayu sayang.
Yang biasa dia panggil, Mamah. Kali ini Mah Darmi menatap mata Dayu lekat-lekat seakan ingin menanam sebuah pesan ke alam bawah sadarnya.
Ada sepotong momen yang mengikat sepanjang kehidupanmu.
Inilah saatnya untuk membebaskan diri dari belenggu waktu itu.
Dayu, terima kasih. Kau sudah begitu berani.
JAKARTA, 1983
EXT. HALAMAN RUMAH DAYU-DAY
Dayu kecil kembali berputar-putar di tempat sambil mendongak ke jendela atas. Close-up ke bola matanya.
CUT TO:
Ketika melihat anak kunci karatan yang menggantung di lubang gembok ruang rahasia itu, peti hitam yang dikubur di dalam pikiran Dayu menguak lebar. Sebelum pintu ruangan itu dibuka, mata Dayu sudah menyaksikannya.
Rentetan gambar seperti potongan film yang diputar.
…
CUT TO:
INT. RUMAH DAYU-DAY
Tumit kecil Dayu melangkah dengan berjinjit, hendak menghampiri kamar Mama. Namun langkahnya terhenti mendengar hardikan dari Mbok Minah.
Mau apa kau masuk kamar situ? Nanti Bapamu marah.
Anak nakal… Gak tahu orang lagi susah.
Dengan langkah berat, Dayu mengurungkan rencananya. Bertolak pergi.
Sepanjang malam itu, Dayu tak bisa tidur.
Kemarahannya pada Mah Darmi sudah mengempis. Ia sempat marah besar karena merasa Mah Darmi telah mengkhianatinya. Bukankah Dayu sudah menuruti untuk menuliskan surat supaya Mah Darmi tenang dan tidak mengusiknya tentang pulang kampung? Nyatanya, ia tetap memaksa untuk pulang. Demi bertemu anaknya.
Tentu aksi Dayu mengunci dirinya kemarin sudah cukup membuatnya jera. Tetapi lantas keraguan dan ketakutan mulai menggantikannya.
Apakah Mbok Minah akan mengadukan perbuatanku pada Papa?
Aku tak pernah melihatnya marah, tetapi apakah Mah Darmi kini akan membenciku?
Apakah Mah Darmi justru akan semakin terdorong untuk meninggalkanku segera?
Aku tak mau menatap kebencian itu di matanya. Aku takkan bisa.
Dia satu-satunya orang yang menyayangiku. Dia tak boleh memarahiku.
CUT TO:
INT. RUMAH DAYU-RUANG TENGAH-DAY
TVRI menayangkan berita kecelakaan pesawat. Papa jatuh bersama pesawatnya.
Pundak Dayu kecil direngkuh kuat oleh seorang paman atau bibi yang tak begitu dia kenal.
Papamu sudah pergi… untuk menemani Mamamu.
Dayu jadi anak yang kuat, yah. Jadi anak yang baik.
CUT TO:
EXT. KUBURAN-DAY
Peti kosong tanpa jenazah diturunkan ke liang lahat. Orang-orang berpakaian serba hitam mengitari Dayu, untuk kedua kali. Dayu kecil berdiri dengan tatapan kosong.
CUT TO:
INT. RUMAH DAYU-DAY
Usai penguburan dan setelah satu demi satu pengunjung berpakaian hitam meninggalkan rumah, Dayu kembali mengendap-endap memasuki kamar Mama. Hendak mendatangi kamar rahasia itu.
Begitu pintu dibuka, Dayu mendapati Mah Darmi dalam kondisi tergolek di lantai.
Tak bisa membangunkannya, Dayu panik dan berlari sampai terkencing-kencing. Libi si boneka kelinci kesayangan terjatuh. Boneka yang menjadi saksi atas kepengecutan dirinya.
Saat itu Dayu tak pernah tahu bahwa ia akan terus melarikan diri seumur hidupnya. Dayu membiarkan anak kunci itu menggantung di lubang kunci gembok. Berharap akan ada seseorang yang datang untuk membukakan pintu.
Tetapi orang itu tak pernah datang.
CUT TO:
Koper—dunia lama Dayu—yang sudah beres dikemas ditutup. Di benak Dayu, kembali tampak peti mati kosong yang ditutup.
Dayu, kau harus menyesuaikan diri di tempat baru.
Jangan nakal. Bibi sudah bersedia mengasuhmu.
Dayu yang sudah berpakaian pergi rapi dengan rambut dikuncir dua terduduk diam. Close-up ke matanya yang kosong.
JAKARTA, 2012
EXT. KUBURAN-DAY
Darmi Bhanuwati 1941-1983.
Sebuah nama terpahat di papan kayu yang terpancang untuk sementara sebelum digantikan dengan batu nisan yang permanen.
Angga berjongkok mengusap papan kayu di atas kuburan itu, sementara Dayu berdiri kaku. Angga mendongak memerhatikan reaksi Dayu.
Penguburan yang hanya dihadiri sedikit sekali orang.
Burung-burung beterbangan. Langit hari itu membentang cerah.
[CLOSE-UP] Di tangan Dayu tergenggam kalung jimat yang selalu dikenakan Mah Darmi.
INT. KAMAR RAHASIA-DAY
Sambil memegang senter dari hape, Angga menemukan tumpukan kliping tebal berdebu. Beberapa judulnya terbaca:
The effectiveness of mirror theurapy and its reflection to human brainwiring (By: Prof J. Weindrich)
A Method: Observing Geometrical Pattern in Curing Delusion and Insomnia
Schizofrenic, Manic, Sleep Disturbance
Mata Angga melebar. Lalu ia menemukan sebuah buku jurnal bersampul kulit dengan nama Amara Diyanti. Ibunda Dayu. Meski begitu, tulisan tangan Hassan Soeryalah yang mengisi lembaran buku dengan kertas yang mulai menguning itu. Angga meyakini jurnal yang terisi hampir penuh itu akan menjawab teka-teki keberadaan ruangan rahasia yang ia temukan.
Ketika membuka jurnal tulisan tangan Hassan Soerya itulah, segala kebenaran terkuak.
[ENTRI JURNAL]
12 Februari 1983
Hari ke-1
Hari pertama pemberian terapi. Percobaan awal berjalan dengan lancar. Setelah pemberian setrum listrik oleh dokter-dokter bedebah yang merusak sebagian daya ingatnya, saya meyakini Cintaku akan sembuh dan pulih seperti sediakala.
INT. RUMAH DAYU
Tampak mata Amara kosong akibat obat-obatan kejiwaan yang dikonsumsi di bangsal RSJ.
Hari ke-8
Genap seminggu seluruh konsumsi obat-obatannya dihentikan.
Cahaya kembali ke matanya seakan-akan Cintaku tahu cara untuk hidup kembali.
Terapi lanjutan akan dimulai.
Terapi cermin…
Angga melihat selain sebagai diari yang mencatat perkembangan mental Amara, buku jurnal ini tampak juga menorehkan pikiran acak sang suami. Di beberapa halaman, ada coretan gambar berbagai pola geometri.
Lalu, ada tulisan tentang konsep yang tidak ia mengeri.
Ilmu psikiatri pseudosains apakah ini? (membekap mulut)
Dia seorang arsitek, demi Tuhan.
(Mata Angga lalu melotot membaca lembaran berikut).
Hari ke-31
Cintaku kembali menunjukkan gejala halusinasi. Terapi harus lebih diintensifkan.
INT. RUANG RAHASIA-DAY
Tampak Hassan sedang menjalankan upaya terapi. Ia mengarahkan cermin ke arah jendela setengah lingkaran ruang rahasia, menciptakan pantulan kerlap-kerlip di karpet.
[Close-Up] ke kerlap-kerlip mata Amara.
Amara mulai mengamuk dan berteriak-teriak di kamar kedap suara itu.
Cermin lalu ditutupi.
Angga mulai membalik-balik lembar jurnal dengan kalut. Lembaran jurnal banyak dibiarkan kosong. Tulisan Pak Soerya terlihat semakin berantakan. Jelas menandakan kondisi psikologisnya sendiri. Terlihat jelas guratan keputusasaan di lembar-lembar terakhir.
Terbaca:
Respon: …mual … keluhan sakit kepala semakin sering … Berkeringat…Insomnia
Beberapa halaman dibiarkan kosong. Kosong, kosong, kosong. Apakah di sini dia mulai meragukan tindakannya?
Lalu, di lembar terakhir, tulisan tangannya kembali mencuat.
Ya Tuhan, ampunilah aku.
Semua terlambat sudah.
Tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk Cintaku.
Memang benar. Cinta bisa membuatmu gila. Anehnya, Angga merasa, kesintingan tindakannya sama sekali tak disadarinya. Mata Angga tak kuasa berkaca-kaca menatap goresan terakhir tangan alm Hassan Soerya di lembar jurnalnya.
Tulisan tangan terakhir di jurnalnya:
Di dunia yang berbeda nanti, aku akan tetap mencintaimu.
Amara-ku.
Tampak ruang hampa dengan cermin-cermin berdebu. Ruang rahasia yang ditinggalkan.
Wajah sang istri saat masih sehat, tersenyum lebar dipotret oleh sang suami.
[LAGU MENYAYAT]
EXT. TERAS RUMAH-DAY
Ayo, makan, Bapak. Sedikit lagi ya.
Di teras, tampak Mbok Imeh sedang sibuk menyuapi Ayah Angga yang duduk dengan tatapan kosong di atas kursi rodanya. Seperti anak kecil, si pria sepuh itu menantikan sendok yang diluncurkan oleh Mbok Imeh menuju mulutnya.
INT. RUMAH DAYU/ANGGA-KAMAR LANTAI BAWAH-DAY
Angga yang sedang duduk di meja tulisnya sejenak menoleh ke arah jendela yang memandang ke arah pekarangan. Samar-samar masih terdengar suara Mbok Imeh.
Ia lalu menghidupkan komputer. Terpampang di layar sebuah blog berjudul Prof Misteri. Blog yang Angga ciptakan dan asuh sendiri hingga kini sudah meraup lebih dari seratus ribu pengguna aktif. Menjadi portal cerita misteri nomor satu di tanah air.
“Penemuan Mayat Sejak Tahun 1983 di sebuah Kamar Rahasia.”
CUT TO:
INT. RUMAH ANGGA-DAY-flashback
Kedatangan Surti ke rumah baru terjadi beberapa bulan lalu. Wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan Mah Darmi. Juga penampilannya. Hanya alis di atas mata yang membedakan keduanya.
(mengulurkan surat yang tampak lusuh)
(menatap surat dengan bingung)
Tolong saya.
Saya mencari … IBU.
Angga menyadari kendati alamat rumahnya yang tertera di sampul amplop surat yang dibawanya, dahulu, alamat itu merupakan rumah Dayu. Tempat kediaman Mah Darmi.
Isi surat terbaca:
Mamah akan pulang.
Tungu Mamah.
Lalu di sudut bawah kertas, alih-alih dibubuhi tanda tangan penulis, mata Angga menangkap tulisan yang aneh.
Untuk anak jelekk. MAMAH.
Angga segera mengenali isi surat itu merupakan tulisan tangan Dayu saat kecil.
CUT BACK TO:
INT. RUMAH ANGGA-KAMAR-DAY
Mata Angga menatap layar monitor. Membuka laman facebook. Sebuah profil akun bernama Bulan24 tercatat di facebook. Ada foto Dayu bersama Bagas dan Rembulan.
Angga mengirim pesan.
CUT TO:
EXT. HALAMAN RUMAH ANGGA-DAY
Pertemuan di pekarangan. Angga melakoni peran berpura-pura sebagai tetangga sebelah yang ingin mengantarkan paket salah kirim.
Dayu?
(menatap bingung)
Ibuku baru saja meninggal. Jadi saya akan temani ayah. Di sini.
CUT TO:
INT. RUMAH ANGGA-DAY
Saat mati lampu di rumah, Dayu berteriak panik mencari-cari orang rumah. Angga memutuskan saklar yang memutuskan aliran listrik di sepenjuru rumah, meminta Mbok Imeh untuk diam di kamar, sementara dia memunculkan diri.
(nyaris menuburuk Dayu dalam keremangan ruangan)
Ada apa ini?
Angga...
Angga membuka buku teori kejiwaan. Ada tulisan skizofrenia. Ciri: insomnia, halusinasi, paranoid.
Aku meyakini bahwa karyamulah yang akan mengekalkanmu.
Yang akan memberimu sebuah nama besar.
Mungkin sepanjang hidupku, aku selalu diremehkan dan dipandang sebagai pecundang.
Aku tak pernah bisa mengenyangkan obsesi ibuku. Aku sudah tahu itu sedari dini.
Tetapi kini aku meyakini sepenuhnya bahwa di alam sana,
entah itu di surga atau neraka, Bunda akan tersenyum bangga melihat prestasiku.
Bahwa aku pun mampu menorehkan nama bagi diriku sendiri.
Aku yakin tak seorang pun bisa memalingkan muka
dari membaca kisah nyata luar biasa yang kutulis dan kupublikasikan ini.
Di ruang tengah Rumah Angga, tampak foto-foto kakak Angga yang sukses.
Kembali ke Blof Prof Misteri.
Di dekat meja tulisnya, tersandar sebuah cermin tinggi. Salah satu cermin yang diturunkan dari ruang rahasia lantai atas. Sekejap saja, pantulan yang tercipta di muka cermin itu menipu mata. Tampak sorot mata sendu Mah Darmi di sana. Tetapi sesaat berikut, ia telah berganti sepenuhnya menjadi sorot mata tajam, dengan dahi lebar dan jenggot halus di dagu. Ah, mungkin ini hanya akibat dari pikiran-pikiran liarnya.
Meski gemar mencari dan mengumpulkan kisah-kisah misteri, tak pernah sedikit pun Angga memercayai keberadaan makhluk halus. Apalagi arwah-arwah penasaran yang kembali datang untuk menghantui anak keturunannya.
Di pantulan cermin itu, bibir Angga membentuk sudut melengkung. Mengulas senyuman yang lambat laun lebih menyerupai seringai.
(pfft) Nggak ada yang namanya arwah penasaran.
Angga menekan tombol unggah yang terpampang di layar.
INT. KAMAR MAMA-DAY
Mamaaa! Mamaku cantik sekali.
Seruan ceria dari putrinya memutus lamunan Dayu. Dengan lincah, ia melompat ke atas ranjang Dayu. Kedua tangan kecilnya mengalungi lehernya.
Mama, sudah sehat? (tatap penuh harap).
Dayu mengangguk pelan. Senang menyaksikan binar matanya mencerah seketika.
Ini.
(Sebelah tangannya mengangsurkan sebuah buku).
Terkadang pada binar mata Rembulan, Dayu bisa menyaksikan dirinya di masa kecil. Selalu menantikan saat pintu kamar Mama dibuka. Dayu membayangkan Mamanya akan membiarkan dirinya naik ke atas ranjangnya dan menyisiri rambut panjangnya. Dayu kecil punya banyak sekali cerita yang ingin disampaikan pada Mamanya.
Pintu kamar Dayu (di kamar Mamanya dulu yang serba putih) terbuka secelah. Terlihat Bagas (sang suami) berdiri tepat di pintu luar kamar. Tubuhnya yang bersandar ke tembok merosot, air matanya mengalir. Menatap istrinya mengoceh sendiri.
(membelai rambut boneka milik Rembulan yang bersandar di sisi ranjang sebelahnya)
Turua wija kula sayang.
Iki sungkawa tan neda dangu.
EXT. PANGKALAN BUS ANTARKOTA-DAY
Matahari siang sudah berada tepat di atas ubun-ubun kepala. Di sela-sela kerumunan penumpang dan pedagang asongan pangkalan, tampak seorang wanita bercepol dan berkebaya menggandeng tangan anak perempuan berkuncir. Wanita itu adalah Surti. Ia menyandang satu gembolan besar yang tersampir di pundaknya. Setelah bertanya sana-sini, ia akhirnya memilih masuk ke dalam sebuah omprengan berwarna hijau gelap yang diyakini akan membawa mereka ke tujuan.
Surti memilihkan jok di sisi jendela untuk sang anak. Dibukanya lebar-lebar jendelanya. Membiarkan udara pengap bus yang terperangkap mengalir keluar.
Anak itu tampak melamun selama beberapa saat sebelum mencubit lengan Surti.
Suara itu… gak ganggu lagi.
Aku gak lagi dengar panggilannya.
(menatap lekat sang anak)
CUT TO:
EXT. TERAS RUMAH DAYU-DAY
Di teras rumah, Rembulan terpaku di tempat, enggan beranjak sementara Dayu memanggilnya untuk memasuki rumah.
Sebenarnya yang dahulu membuatnya enggan beranjak bukan karena Rembulan takut pada kakeknya seperti yang dikira Dayu, tapi karena ada sosok asing yang memanggil-manggilnya sejak hari pertama kedatangannya. Sosok Mah Darmi yang ia saksikan tengah melambaikan tangan menyapa kehadirannya dari jendela kamar lantai dua.
(tatapan menerawang seakan bicara sendiri)
Tali jiwa yang kuat.
Mungkin itu karena ia sudah menemukan apa yang dicarinya, ya, Mah.
(kembali menoleh, tersenyum)
Sepertinya begitu.
Surti membelai kepala Rembulan, sementara sang anak tersenyum menatapnya.
Mesin bus yang sejak tadi menggerung-gerung akhirnya mulai melaju.
Kita sekarang pergi ke mana?
Pertama-tama, kau harus mengisi perut dulu
(mengeluarkan pisau dari dalam tas, lalu mengupas
dan memberikan potongan buah jintala kepadanya).
Bersiaplah, Sayang, karena kita akan menempuh perjalanan yang jauh.
Anak itu tak lagi bertanya. Hanya menyandarkan kepalanya ke pundak Surti, percaya sepenuhnya.
Bus meluncur makin cepat, meninggalkan ingar-bingar dan kesemrawutan pangkalan bus di sudut kota.
Semakin jauh bus melaju, semakin ringan hati Surti. Ia tak pernah pergi jauh sebelumnya sehingga asing dengan perasaan yang tumbuh di hatinya.
Kerinduan untuk pulang.
Kedatanganku sudah tertulis di dalam buku takdir.
Aku hanya menjemput takdirku.
Dan kau pun, takdirmu.
Mobil melaju kian jauh.
INT. RUMAH DAYU-DAY-flashback
Rembulan bersembunyi di dalam lemari baju sambil menutup kedua telinga mendengar jeritan ibunya saat bertengkar dengan ayahnya (Dayu dengan Bagas). Perseteruan antara ayah dan ibunya cukup sering ia saksikan. Ia muak merasa terjepit di antara keduanya.
Tiba-tiba tangan seseorang terulur membuka pintu lemari, mencengkeram kedua pundaknya.
Ketemu!!!
The end