Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
DAYU 1983 (horor-series)
Suka
Favorit
Bagikan
3. Episode 2 Senandung Ajimat
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

EPISODE 2 SENANDUNG AJIMAT / A MYSTIC LULLABY

 

INT. KAMAR DAYU--PAGI

Rembulan berbaring demam di ranjang. Ada kompres menempel di dahinya. Sambil memandangi Rembulan yang berbaring sakit, pikiran Dayu kembali ke hari kejadian itu.

 

FLASHBACK

Dalam keheningan ruang kamar, tiba-tiba saja muncul sosok dari belakang. Sedikit pun tidak terdengar derap langkah kaki atau derit pintu dibuka.

SURTI

Gula jawanya habis, Nyonya.

 

Raut Surti terlihat tenang. Tidak tampak terusik sedikitpun oleh kehadiran Dayu di ruang kamarnya. Seakan-akan menantangnya.

 

DAYU

Apa ini? Bisa kau jelaskan?

 

SURTI

Itu ajimat, Nyonya. Di tempat asalku, dupa semacam itu biasa ditaruh di setiap ruangan di dalam rumah. Sebagai perlindungan supaya dijauhkan dari bala dan penyakit.

 

DAYU

(menunjukkan foto dirinya sedang terlelap dan bros kupu-kupunya)

     Lalu kenapa ada ini? Ini juga brosku! Kenapa bisa ada di sini?

 

SURTI

Maaf Nyonya, bila saya lancang… Tapi saya merasa… di rumah ini, Nyonya Dayulah yang paling butuh perlindungan.

 

DAYU

Cukup sudah saya mendengar tentang kampungmu. Sekarang, kau boleh pulang ke tempat asalmu itu!

 

CONT.

Memandang kembali Rembulan yang berbaring dengan dada turun naik. Napasnya agak cepat.

Untuk kali pertama setelah sekian lama, Rembulan akhirnya kembali bicara. Namun kata-kata yang dipilihnya bukanlah hal yang ingin didengar oleh seorang ibu manapun.

 

VOICE OVER REMBULAN

Aku benci Mama.

 

Dayu tahu akan dibutuhkan waktu untuk mengenyahkan pengaruh jampi-jampi yang ditanam oleh Surti. Tapi Dayu meyakini sepenuhnya bahwa semakin jauh dirinya, semakin mudah pula ikatan itu melemah.

 

INT. Dapur--Pagi

Di dapur, Mbok Imeh yang selalu cerewet dan penuh semangat tampak lebih banyak diam seakan tidak mengacuhkan Dayu.

 

DAYU

Mbok, saya pergi dulu. Bulan masih tidur di kamar. Saya titip dia dulu. Saya usahakan bisa pulang cepat hari ini.

 

MBOK IMEH

(mengangguk sambil mengelap piring)

 

DAYU

(tiba-tiba melihat tiga buah jintala di sisi meja. Dengan marah mengambil mangkok itu dan membuang buah-buah itu ke keranjang sampah)

Mbok, saya ingin semua yang dibawa Surti dibuang. Apapun.

 

MBOK IMEH

(mengangguk bingung)

Baik, Non.

 

DAYU

(terdengar bunyi tumit sepatu Dayu pergi meninggalkan rumah)

 

INT. KAMAR DAYU

Mbok Imeh mendatangi Rembulan yang mengigau kencang dari kamarnya. Tergopoh naik tangga. Sampai di kamar, ia melihat Rembulan terbangun dengan melotot.

 

MBOK IMEH

Tidak apa, Nak.

 

VOICE OVER DAYU

Rembulan bukan sakit biasa. Ini ulah guna-guna Surti. Butuh waktu sampai pengaruh guna-gunanya hilang.

 

Dengan gerak pelan, Mbok Imeh lalu menaruh cawan dupa ke kolong ranjang Rembulan.

 

INT. SUPERMARKET--SIANG

Lampu-lampu fluoresen putih menerangi deretan etalase barang di supermarket. Sambil mendorong troli belanja, pandangan Dayu menyapu satu demi satu lorong rak etalase.

Lagu pop cengeng yang diputar di speaker beberapa sudut supermarket mengiringi aktivitas berbelanja para pengunjung.

“Menyakitkaaan… bila cintaku dibalas dengan dusta…

Namun mencintamu takkan kusesali…”

Tiba-tiba, desahan sendu penyanyi Audy dari speaker terputus. Tertimpa oleh keresek suara yang mengganggu gendang telinga normal siapapun. Troli belanja Dayu seketika terhenti saat telinganya menangkap suara lain menyembul dari bunyi panjang keresek-keresek speaker. 

Dayu.

Suara lirih memanggil.

Lampu-lampu fluoresen mengerjap-ngerjap. Terimpit antara gelap dan terang. Meski suasana di supermarket begitu ramai, tetapi detik itu Dayu tiba-tiba merasa kesunyian begitu mencekam. Seakan semua pengunjung lain di sekitarnya buyar dan hanya dirinya sendiri yang tertinggal di bangunan supermarket yang luas itu.

“Turua wija kula sayang.

Iki sungkawa tan neda dangu.”

Lantunan lirih yang menimpa suara merdu Audy itu terdengar jauh. Seakan berasal dari frekuensi lain yang tidak semestinya tersambung.

Lagu aji-ajian itu hanya terputar sejenak sebelum lampu-lampu kembali menyala terang dan suara biduanita dari loudspeaker terdengar kembali normal. Melenyapkan bunyi keresek bising tadi.

“Oh, oh, oh,

Di mana perasaanmu?

Saat kau melakukan salah yang sama

Inikah cara dirimu

Membalas tulus cinta yang telah kuberi… oh…”

Dayu menengok ke kanan kiri. Orang-orang tampak tak terusik sedikitpun dari kesibukan berbelanja mereka. Apa hanya dia yang barusan mendengarkannya?

Dayu menyadari tengah berdiri di depan etalase berisi tumpukan buah-buahan segar. Dan di tangannya, tergenggam buah dengan kulit hitam yang sangat dikenalinya. Tubuhnya mematung dan buah jintala itu terjatuh dari tangannya. Seorang pria paruh baya tepat di sebelahnya menatap Dayu dengan pandangan bingung. Saat berlalu, ekor mata Dayu menangkap bahwa itu tumpukan buah mangga, tetapi ia sudah tak peduli.

Dengan langkah terburu, Dayu menghampiri meja kasir dengan membawa sebagian belanjaannya. Ingin segera pergi meninggalkan tempat itu.

Dengan kepala tertunduk, Dayu melihat tangan sang petugas kasir yang kembali membuat jantungnya berdebar kencang.

Tangan-tangan itu.

Ujung-ujung ruas jemarinya tidak lengkap.

Dentuman jantung Dayu terdengar hingga ke telinga.

 

PETUGAS KASIR

Pakai tas belanja dari sini, Dayu?

 

Saat mengangkat muka, Dayu melihat jelas wajah Surti yang balik menatapnya tajam.

Nyaris saja Dayu berteriak. Darahnya berdesir kencang. 

Sepersekian detik berikut, petugas kasir itu mengulang pertanyaannya.

 

PETUGAS KASIR

Pakai tas belanja dari sini, Bu?

 

Wanita muda berwajah asing di hadapan memelototi Dayu bingung sambil memindai barcode barang-barang di meja kasir.

Dayu tak menjawab. Ia berlari pergi meninggalkan supermarket itu.

Sambil membenamkan kepala ke kemudi, jantungnya masih berdegup cepat ketika ia duduk di jok mobil. Berusaha keras mengenyahkan gambar-gambar mimpi buruknya dari benak. Keringat dingin sudah menyembul dari sekujur pori-pori kulitnya.

 

VOICE OVER DAYU

Ketakutan paling mengerikan adalah kala menyadari bahwa ketika tidurku tak lagi dihantui mimpi buruk, itu tiada lain karena mimpi-mimpi burukku sudah mengejarku ke dunia nyata.

 

EXT. HALAMAN RUMAH-SORE

Mbok Imeh menyiram tanaman di halaman, sementara ayah Dayu terlihat duduk di kursi rodanya di teras. Mbok Imeh melemparkan pandangan ke arah jendela lantai atas dan terkejut. Rembulan terlihat berdiri di balik jendela. Anehnya, itu jendela kamar utama. Bukan jendela kamar yang ditempati Dayu dan Rembulan.

Mbok Imeh lalu naik tergopoh-gopoh ke lantai atas. Tapi ia mendapati pintu kamar utama terkunci. Tak mungkin Rembulan bisa masuk. Mbok Imeh lupa-lupa ingat di mana kunci kamar itu tersimpan. Tapi tiba-tiba datang Rembulan berjalan di belakang Mbok Imeh.

 

REMBULAN

Bulan lapar.

 

INT. RUANG MAKAN--SORE

Mbok Imeh menyiapkan roti yang dimakan Rembulan dengan rakusnya, seakan sudah berminggu-minggu tidak makan. Rembulan lalu melihat ke arah keranjang sampah, lalu mengambil buah jintala dari sana.

Mbok Imeh menatap dengan bingung bercampur ngeri.

 

INT. RUANG TENGAH--PAGI

Dayu berusaha mengajak Rembulan mengobati kesepiannya.

Dayu merasa lebih tenang. Merasa pengaruh jampi-jampi dari Surti semakin berkurang.

 

DAYU

Syukur, anak Mama sudah sembuh. (membelai kepalanya) Apa yang ingin Bulan lakukan hari ini? … Mau nonton kartun bareng? (tangannya menyalakan TV)

 

REMBULAN

(menggeleng pelan)

 

DAYU

(akhirnya mematikan TV)

Ah ya, Mama kemarin beli sesuatu buat Bulan.

 

Dayu lantas bersimpuh di lantai di dekat Rembulan. Menyerahkan buku mewarnai dan sekotak krayon kepadanya, meski ia tak menanggapi. Dayu sendiri membuka lembaran buku mewarnai lain di hadapannya dan mulai memilih krayon warna-warni dari dalam boks.

Kuning. Warna kesukaan Dayu. 

Setelah berlalu beberapa menit, sambil mewarnai, Dayu melirik Rembulan yang dengan ragu mengambil sebatang krayon dan mulai mengikuti gerakan Dayu. Dayu memilih untuk tak bersuara, membiarkan diri putrinya yang mengambil inisiatif sendiri.

Tampaknya semua akan baik-baik saja.

Di latar belakang, ayah Dayu duduk termenung di ruangan. Sementara itu, Mbok Imeh tengah memasak di dapur. Terdengar desis minyak goreng di wajan.

 

EXT. HALAMAN RUMAH—PETANG JELANG MAGHRIB  

Ketika matahari mulai menukik ke ufuk senja, sekawanan burung berarakan menembus langit sewarna lembayung.

Setelah memarkir mobil usai pulang dari kantor, Dayu mendapati Rembulan sedang duduk di teras depan rumah seorang diri. Dayu menghampiri Rembulan sambil mencopot sepatu hitam tumit tingginya.

 

DAYU

Bulan, Mama pulang!

(menyapa dari arah belakang)

 

Dari dekat, Dayu memerhatikan Rembulan tengah menggambari sebuah lingkaran di ubin teras dengan sepotong kapur. Dan di tangannya, terkepal butir-butir kelereng yang ganjil.

 

DAYU

(langkahnya terhenti, matanya terpaku)

Bulan… Kau sedang main a-pa?

 

Dayu baru mengenali yang tergenggam di tangan kecilnya adalah biji-biji hitam dari buah jintala. Firasatnya mulai tak enak.

Tepat ketika itu, Dayu mendengar nada pelan ganjil yang berasal dari mulut Rembulan. Ia menggumamkan nyanyian tanpa lirik.

Terhenyak, Dayu menyadari nadanya sama persis dengan yang biasa didengar dari mimpi-mimpi buruknya.

 

DAYU

(terbata)

Lagu apa … itu?

 

Matahari yang sudah kembali ke balik ufuk, membuat langit semakin gelap. Rasa ngeri semakin mencekam.

 

REMBULAN

(tiba-tiba mengangkat wajahnya)

Dia akan datang. Tidak lama lagi.

 

Rembulan mengucapkan kata-kata itu dengan senyum dingin. Ia menatap Dayu tajam seolah-olah menantangnya. Sorot matanya begitu asing. Bukan sorot mata putri yang Dayu kenali.

 

DAYU

Siapa yang akan datang? 


REMBULAN

(kembali bermain, tak acuh)

 

Dayu mencengkeram lengan Rembulan kuat, menjatuhkan biji-biji jintala dari genggamannya.

 

DAYU

(berseru dengan nada tinggi)

Siapa yang akan datang? Bilang, Bulan!

 

Butir-butir hitam yang berhamburan itu menimbulkan bunyi berdecing nyaring ke ubin teras.

 

MBOK IMEH

Nona! Hentikan!

 

Hardikan Mbok Imeh yang tiba-tiba saja datang dari sisi lain pekarangan menyentak kesadaran Dayu. Telinganya yang semula berdenging kini menangkap suara meringis yang semakin keras. Suara Rembulan menangis menahan sakit. Matanya takut menatap Dayu.

Mbok Imeh menarik tubuhnya dari cengkeraman Dayu dan memandunya kembali memasuki rumah. Meninggalkan Dayu terpaku sendiri di lantai teras.

 

INT. KAMAR MANDI--MALAM

Di cemin kabinet wastafel kamar mandi, Dayu menatap wajahnya usai membasuhnya dengan air dari keran. Wajah kuyu itu balas menatapnya. Air dari sekujur wajahnya perlahan menetes ke bak wastafel. Percikan air bening yang diikuti dengan tetes-tetes merah.

Drip… drip.

Cipratan darah mulai mengotori bak yang sama.

Dayu menyadari sumber percikan darah itu saat kembali menatap wajah yang terpampang di cermin.

Ini hanya mimisan biasa.  

Aku butuh istirahat.

Dayu lalu mengambil sebotol obat di balik kotak lemari di atas wastafel. Menenggak langsung beberapa butir. Obat yang akan membantunya tertidur pulas.

Malam ini aku ingin tidur pulas tanpa terganggu.

Bagaimana bunyi lirik itu? Yang disenandungkan oleh Rembulan barusan?

Turua wija… kula sayang.

Di dinding cermin itu, Dayu melihat mulutnya membuka dan bergerak sendiri.

 

INT. KAMAR—DINI HARI

Dayu terbangun setelah terlelap pulas sekali. Mungkin efek obat yang ditenggak semalam. Ia jadi ingat alasan dirinya membiarkan obat tidur itu lama teronggok di dalam lemari tanpa tersentuh. Memang obat itu sangat ampuh membuatnya tertidur dengan cepat, tetapi dia akan terbangun dengan rasa teler dan terdisorientasi.

Seisi rumah begitu gelap dan hening. Di luar hujan deras. Melihat langit gelap di balik jendela, Dayu baru menyadari ternyata hanya tertidur beberapa jam saja. Hari belum berganti. Sekarang tentu masih dini hari.

Saat membalikkan badan di ranjang, ia menyadari sisi sebelah ranjangnya kosong. Tempat Rembulan biasa tidur.

Ke mana dia?

Dayu terlonjak tegak di ranjang.

Saat perlahan menuruni tangga ke lantai bawah, telinganya menangkap suara desis TV yang masih dinyalakan. Seperti biasa.

Jarum jam besar di ruang tengah menunjukkan pukul 1.25.

Dengung bunyi TV yang konstan mati tiba-tiba. Seluruh listrik di rumah padam seluruhnya. Rumah menjadi hening, kecuali bunyi hujan deras menimpa genteng.

Saat itulah dari balik jendela tinggi dengan tirai yang tersingkap, Dayu mendapati sesosok anak sedang berdiri di luar. Anak perempuan dengan gaun tidurnya. Berdiri di bawah guyuran hujan dini hari.

Rembulan!

Tanpa berpikir panjang, Dayu membuka pintu dan segera melangkah ke halaman. Tak memedulikan hujan deras yang mengguyur tubuhnya.

 

DAYU

Bulan! Apa yang kaulakukan di luar?

Cepat masuk, kau bisa sakit!

 

Sebelum bisa meraihnya, Dayu merasakan ada sesuatu yang berusaha menjegal langkahnya. Tepat di belakang, separuh terselubungi kegelapan, ada sosok yang menekan pundaknya. Saat menoleh, seketika darah di sekujur tubuhnya membeku.

Surti.

Ia berada tepat di belakang Dayu, nyaris menempelinya. Telunjuknya diarahkannya ke atas, seakan sedang menunjuk sesuatu. Dayu mengenalinya dari rambut bersanggul dan corak kebaya yang selalu dikenakannya. Tetapi wajahnya, tak bisa dikenali. Wajah itu rusak sepenuhnya. Di tempat hidung semestinya berada, hanya ada lubang dengan tulang-belulang yang menyembul. Dari sana, keluar belatung-belatung hidup. Menggerogoti habis hidungnya.

Dayu menjerit kencang, tetapi teredam oleh derai hujan deras dan sahutan petir. Tak kuasa melihat sosok mengerikan itu.

 

Voice Over Rembulan

Ia akan segera datang.

 

Ya, ia datang.

Untuk menjemput Rembulan.

 

INT. RUANG TENGAH—PETANG JELANG MAGHRIB

Dayu terbangun bukan di kamar, tetapi di sofa di ruang lantai bawah.

Kusen jendela memunculkan suara berderak karena gelegar petir. Di luar hujan deras. Sama seperti dalam mimpi. Suara gelegar petir dan hujan deras memang terjadi di dunia nyata. Mungkin suaranya memasuki alam bawah sadarnya hingga terbawa ke alam mimpi.

Lewat jendela-jendela yang banyak, Dayu melihat langit di luar menampakkan cakrawala sore. Dayu terkejut. Itu berarti ia telah melewatkan satu hari penuh. Gara-gara menenggak obat tidur itu.

Sambil bangkit dari sofa, Dayu mengedarkan pandangan ke sekitar rumah.

Senyap.

Terlalu senyap untuk sore hari.

Di manakah orang-orang?

Kenapa ruangan begitu gelap?

Dayu menekan saklar lampu untuk menerangi ruangan, tetapi ia tak menyala. Listrik di rumah sepertinya padam sepenuhnya.

Rasa panik mulai kembali menjalarinya.

 

DAYU

(berseru memanggil)

Bulan! Mbok Imeh!

 

Dayu memanggil-manggil penghuni rumah, tapi tak seorang pun menyahut. Mimpi semalam membuat dirinya meyakini bahwa Surti belum pergi. Tidak, ia masih berada di sini. Bahkan makin menguatkan cengkeramannya.

Dia akan segera datang.

Bodohnya aku. Berminggu-minggu sudah berlalu sejak kepergiannya, dan aku bertanya-tanya kenapa pengaruhnya masih begitu kuat.

Karena dia tidak pernah pergi. Dia masih bertahan di rumah ini.

Dayu merasakan firasat itu. Dia bisa merasakan keberadaannya.

 

DAYU

(mulai berteriak putus asa)

Bulan! Papa!

 

Dayu berlari-lari dari satu sudut ruangan ke yang lain dengan panik.

Ketika berlari kembali menuruni tangga dalam ruangan temaram, tubuhnya membentur sesuatu.

Bukan, seseorang.

Angga!

Lega karena menemukan seseorang, Dayu menggenggam erat tubuh besarnya.

 

DAYU

(nyaris menjerit)

Di mana Bulan? Di mana dia?

 

ANGGA

Apa maksudmu?

 

DAYU

Bantu aku mencarinya. Rembulan dibawa!

 

ANGGA

(bingung)

 

DAYU

Surti sudah membawanya.

 

ANGGA

Apa?

 

DAYU

(berusaha menjernihkan omongan)

Angga, dengarkan. Firasatku benar. Surti… dia bukan pembantu biasa. Dia itu dukun.

 

ANGGA

(masih membisu menatapnya)

 

DAYU

(Berbicara lirih seperti pada dirinya sendiri)

Bulan. Dia ingin merebut Rembulan dariku.

 

ANGGA

Dayu, kau serius?

 

DAYU

(tiba-tiba teringat sesuatu)

Kau butuh bukti?... Tunggu, di sini. Akan kutunjukkan buktinya.

 

Dayu melesat menuju sofa ruang TV. Meraih ponselnya yang terbenam di antara bantal sofa.

Jemarinya memijit-mijit keypad ponsel dalam gelap. Mencari-cari antara koleksi foto yang tersimpan.

Rekaman foto terakhir. Yang diambil di kamar Surti.

Tetapi dia tidak bisa menemukannya. Folder foto terakhir di ponselnya malah menunjukkan foto di tempat kerja yang diambil dari dua bulan lalu.

Ini aneh. Seakan-akan ada yang menghapusnya.

Angga seperti bingung melihat Dayu yang semakin panik. Melihat jemarinya yang bergetar memencet-mencet tombol ponsel dengan sia-sia. Wajahnya yang diterangi sorot cahaya layar ponsel tampak sinting.

 

ANGGA

(membentak)

Dayu, sudah, cukup! (merebut ponsel itu dari kedua tangan Dayu).

Tenangkan dirimu!

 

Berbagai kilasan memori kembali berkelebat.

Dayu yang menemukan dupa beserta bros dan foto diri Dayu tertidur yang ditemukannya di kamar Surti.

Dayu yang duduk di ruangan serbaputih. Depan pintu ruangan konseling tertulis Dr. Ratna Spesialis Layanan Psikiatri.

Dayu yang melihat wajah Surti di meja kasir supermarket.

Dayu membuka lemari becermin di atas wastafel, tangannya mengambil sebuah botol obat. Menyaksikan pantulan dirinya di depan cermin dengan darah mengucur dari hidungnya.

 

Dayu dicekam kepanikan. Ia menjerit kencang.

 

INT. RUANG TENGAH—JELANG MALAM

Secangkir teh hangat yang baru saja dibuat Mbok Imeh masih mengepulkan uap hangat di atas meja. Lampu-lampu di ruangan sudah kembali menyala. Semua seakan kembali normal.

Angga menyodorkan sebuah buku sketsa gambar dengan kertas yang mulai menguning pada Dayu. Lembar yang dibukanya menunjukkan lukisan yang realis. Hanya dengan guratan pensil, tetapi ia mampu menggambarkan sosok manusia dengan cukup detail. Seorang wanita dengan sanggul dan kebaya sedang tersenyum pada seorang anak perempuan berkuncir dua di sebelahnya.

 

DAYU

(sambil memegang cangkir teh di tangan)

Kapan kau sempat menggambar Rembulan dan Surti?

 

ANGGA

Dayu, gambar ini umurnya sudah 30 tahun. Aku buat saat usiaku masih 11 tahun.

 

DAYU

(hanya menatap Angga bingung)

 

ANGGA

Wanita yang ada di gambar ini bukan Surti. Dulu kalau tak salah biasa kaupanggil…

 

DAYU

(meneruskan lirih)

Mah Darmi.

 

ANGGA

(menatap dengan mata berbinar)

Kau ingat?

Dan, ayah ibumu…

 

DAYU

Ada apa dengan Papa Mama?

 

ANGGA

Kau tentu ingat mereka telah lama meninggal?

 

Ekor mata Dayu melirik ke serangkaian pigura foto yang terpajang di seisi rumah. Pada sebuah bingkai foto besar yang terpampang di tengah ruangan. Menampilkan sebuah keluarga sempurna yang seolah-olah dibekukan oleh waktu. Seorang ayah dan ibu muda, bersama putri kecil mereka. Tidakkah aneh semua hanya memajang foto-foto mereka di usia muda? Seakan alur waktu mereka hanya terhenti di usia itu?

 

ANGGA

Selama beberapa bulan kau tinggal di rumah ini, adakah kenangan lain yang kauingat?

 

DAYU

Aku selalu membenci pertanyaan-pertanyaan ini. Kenapa orang selalu mendesakku untuk menjawab?

 

ANGGA

Kenapa kau begitu takut terhadap badai? Aku tahu ada peristiwa yang juga terjadi saat badai, bukan?

Mungkin malam itu…

 

DAYU

Saat menatapnya duduk di depanku, kusadari bahwa aku membencinya. Sama seperti yang lain. Ia hanya ingin menyaksikan kejatuhanku. Sama seperti Bagas. Sama seperti Papa. Sama seperti semua orang.

 

Dayu menutup kedua telinga rapat-rapat. Ingin membungkam dunia selebihnya.

 

Aku ingin tidur. Memisahkan diri dari realita yang salah ini.

 

Halilintar terdengar menyambar langit malam.

 

VOICE OVER DAYU

Setiap orang tentu memiliki sepotong gambar yang paling kuat membekas di ingatannya. Bisa jadi ia merupakan memori dari masa silam atau hanya fragmen dari mimpi masa kecil.

Apapun itu, aku selalu kembali ke satu momen.


 

EXT. DEPAN TERAS RUMAH—PETANG JELANG MAGHRIB

Jejak kaki berlumur tanah becek tampak meninggalkan bercak-bercak cokelat di ubin.

Langit merah semakin pekat.

Pada momen itulah, Dayu bertemu dengannya pertama kali.

Wanita bersarung jarik dan berkebaya cokelat pudar, dengan payung hitamnya. Kedua kakinya tidak beralas sepatu dan tidak terkotori tanah sedikitpun.

Wanita itu perlahan mendekat, lalu merendahkan payungnya. Ia merunduk untuk menjajari wajah Dayu.

Baru saat itulah, Dayu bisa memerhatikan wajahnya lebih jelas. Begitu melihat alis di atas kedua matanya yang gundul, Dayu pun menyadari itu bukan wajah Surti.

Usia Dayu baru tujuh tahun.

 

MAH DARMI

(memanggil dengan nama kecilnya)

Dayu.

 




BERSAMBUNG

 

 

 

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)