Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
EPISODE 3 TETANGGA BARU / A NEW NEIGHBOUR
Jakarta, 1983
EXT. HALAMAN LUAR-DAY
Sebuah konstruksi rumah sedang dibangun oleh sejumlah pekerja.
INT. RUMAH ANGGA-DAY
(melihat dari balik jendela rumahnya)
Wah, wah… siapa sangka,
kita akan kedatangan tetangga arsitek kenamaan di Indonesia.
Ayah Angga menaruh majalah yang baru dibacanya ke atas meja. Covernya menampilkan profil tokoh Hassan Soerya.
(sedang duduk baca komik Superman menoleh)
Nanti Bunda undang ke acara arisan ibu-ibu komplek.
Jangan lupa bikin puding buah, Bun.
(tersenyum) Tentu.
Hari-hari berlalu. Rumah baru itu pun selesai dibangun. Truk angkut datang di depan rumah. Lalu tetangga mulai mengisi rumah sebelah.
INT. RUMAH ANGGA-RUANG MAKAN—DAY
Bunda sama sekali nggak ngerti sama tetangga baru kita itu.
Sebagai pendatang baru, sudah semestinya ia datang kemari
buat memperkenalkan diri.
(melipat koran)
Ya begitulah… orang pintar seringkali agak-agak eksentrik.
Ah, bilang aja arsitek gendeng. Gak tahu tata krama bertetangga.
Liat aja rumah barunya itu. Orang-orang bilang itu Rumah Alien.
(mengoles selai ke roti dengan cemberut)
Jadi, puding buahnya ga jadi bikin, Bunda?
Enggak. (masih manyun)
(tiba-tiba nyeletuk keluar topik)
Eh, ada berapa anak di rumah baru itu?
Satu. Anak perempuan.
Semua orang di meja makan menatap Angga. Mungkin kaget karena selama ini Angga dikenal paling kuper yang selalu menghabiskan waktu di kamar. Kenapa dia bisa tahu tentang tetangga baru itu lebih dulu?
INT. RUMAH ANGGA-KAMAR-DAY
Beberapa hari setelah rumah sebelah itu dihuni, Angga yang sedang duduk di meja belajarnya melihat kemunculan seorang gadis kecil di pekarangan sebelah. Jendela kamar Angga yang terletak di lantai dua memang menghadap langsung ke arah halaman tetangga. Angga menaksir usianya mungkin baru enam atau tujuh tahun. Gadis kecil itu tampak asyik bermain sendiri, hanya ditemani oleh boneka kelinci yang selalu dibawanya. Rambut panjangnya tergerai berantakan, poninya nyaris menutupi sebelah wajahnya.
Sama seperti sang ayah dahulu, Angga mengintip penasaran kesibukan anak baru itu dari jendela kamarnya.
Kami tak pernah lagi mengangkat topik
tentang keluarga tetangga baru kami itu
sampai suatu hari datang sebuah kabar duka.
INT. RUMAH HASSAN SOERYA-RUANG TAMU-DAY
Angga bersama ayah ibunya dengan pakaian serbahitam untuk kali pertama menginjakkan kaki ke rumah tetangga sebelah. Mereka hadir untuk menyampaikan belasungkawa atas kepergian istri Hassan Soerya yang bahkan tidak pernah mereka temui. Ibu Angga jadi membawakan puding buah andalannya.
Puding rasa bersalah, menurut Angga. Bukan puding perkenalan.
Angga tahu Bundanya merasa bersalah karena dahulu sering membicarakan hal yang buruk tentang ibu rumah sebelah. Berkata-kata pedas tentangnya, terutama pada sesama ibu komplek yang gemar berkumpul.
“Masa’ udah anak cuma satu-satunya, nggak bisa diurusin. Ditemani bermain sekali-kali kek. Padahal ada, tuh, seharian di rumah.”
Ibu Angga memang tidak pernah tahu akan kondisi penyakitnya karena ia terlihat masih sangat muda dan bugar. Tak ada yang tahu.
Penghuni rumah sebelah memang memilih untuk menutup diri dari dunia luar.
Kami turut berduka. Eh, kami tinggal persis di sebelah.
Kalau kalian butuh apa-apa... apa-apa juga,
eh jangan sungkan…
(agak kikuk dan grogi seperti ketemu sang idola).
(dengan tatapan kosong, mengangguk)
(menyodorkan puding buah yang kemudian diambil
oleh putrinya yang berdiri di sebelah ayah).
Manis sekali kamu, nak. Siapa namamu?
Dayu.
(menerima puding dengan kedua tangan,
lalu pergi ke belakang rumah)
(terisak) Maaf, saya permisi dulu.
Oh, silakan silakan (berdeham).
Ia lalu pergi meninggalkan para tamu, sementara Ayah dan Ibu Angga saling tatap. Angga hanya diam memerhatikan.
INT. RUMAH ANGGA-KAMAR-DAY
Angga sedang asyik menggambar sendiri di kamar. Dari balik jendela kamarnya, di sela-sela ranting dan dedaunan pohon mangga, terlihat seorang anak perempuan berjalan memasuki pekarangan sambil menyeret boneka kelincinya. Kali ini rambutnya dikuncir dua dengan rapi, tidak dibiarkan tergerai kusut.
CUT TO:
INT. RUMAH ANGGA-DAY-flashback
Ibunya sepulang dari rumah duka memanggil ketika Angga hendak naik ke kamar menyusul langkah kakak-kakaknya.
Adek, sini. Coba kapan-kapan kau kenalan dengan si Dayu itu.
Kasian dia tinggal di rumah sebesar itu sendiri aja.
Sama kayak kamu.
Angga hanya mengangguk pelan, bingung mesti menjawab apa sebelum meneruskan langkahnya. Kakak-kakaknya hanya nyengir jahil. Sukurin, emang enak.
CUT TO:
EXT. AREA KOMPLEK-DAY-flashback
Angga bermain lomba lari bersama teman-teman sekomplek. Tim Angga kalah.
Ah, kamu sih gendut… Jadi kalah kita.
Angga merasa serba salah tapi ga sudi disalah-salahkan. Apalagi diejek seperti itu.
Udah, gak usah ajak si bagong itu lagi.
Saat si anak itu berbalik meninggalkan Angga, batu kerikil terlempar mengenai pantatnya. Angga yang membidiknya.
Ouw. Sakit, kunyuk.
(berbalik sambil usap-usap pantat).
Tapi ia urung melawan, karena badannya kalah besar dari Angga.
Udah, udah… kita tinggalin aja.
Dasar bagong.
CUT BACK TO:
INT. RUMAH ANGGA-KAMAR-DAY
Di tengah lamunan Angga, mendadak terdengar suara celoteh dan tawa dari halaman sebelah. Suara ocehan gadis kecil itu kini ditingkahi oleh suara lain. Saat mencondongkan badan mendekati jendela, Angga mendapati anak tetangga itu tidak sendiri.
Ada sosok lain yang hadir di sisinya. Seorang wanita dengan rambut dikonde, mengenakan jarik motif batik dan kebaya cokelat pudar. Mungkin pengasuh barunya. Untuk menemaninya agar anak itu tidak terlalu kesepian.
Kenapa kamu tidak seperti kakak-kakakmu yang lain?
Mau sampai kapan kamu menghabiskan waktu sendiri terus di kamar, Dek?
Angga meletakkan buku gambarnya, lalu mengambil bola.
EXT. HALAMAN RUMAH DAYU-DAY
Angga menyelinap masuk lewat pagar besi rendah tetangga, berpura-pura hendak mengambil bola yang tadi dilemparnya ke dalam. Suara anak tetangga dan pengasuhnya terhenti. Kini keduanya mengamati Angga.
Permisi. Aku lagi nyari bolaku … heh???
Angga terperanjat saat melihat pengasuh berkebaya itu dari jarak dekat.
Selain wajahnya yang tak beralis, beberapa jari tangannya seperti terpotong. Hal yang tidak terlihat dari kejauhan jendela kamarnya.
(bertanya polos)
Eh... Jarimu kenapa?
(beat)
(terdiam sesaat)
(menyesal telah bertanya. Bunda tentu akan menegurku
dan mengingatkanku akan tata krama
saat berkenalan dengan orang asing.)
(berucap seperti malu-malu)
Digigit monster.
...
(bersuara dengan pelan)
Taringnya runcing.
(terkekeh, lalu menatap Angga)
Aku tahu kamu.
Kamu kan anak yang suka mengintip dari rumah sebelah.
(salah tingkah, antara kesal bercampur malu)
Tapi Dayu ternyata mengulurkan tangannya.
Aku Dayu.
Semenjak hari perkenalan itu, di waktu sore aku sering kali
akan mendatangi pekarangan mereka melewatkan jam tayang
kartun favoritku Bugs Bunny tiap sore.
Bukan Dayu, tapi sosok Mah Darmilah yang lebih menarik bagiku.
Mah Darmi suka sekali menceritakan kisah-kisah angker dari kampungnya.
EXT. HALAMAN RUMAH DAYU-DAY
Tahukah kalian?
Di kampung Mah Darmi, ada satu jenis buah yang hanya tumbuh di sana.
Warga kampung Mah Darmi menamainya… jin-ta-la.
Angga dan Dayu mencobai buah jintala itu. Dayu terkekeh ketika cairan merahnya menetes ke dagu dan memenuhi giginya. Angga lalu mengejar Dayu berperan sebagai vampir (dengan gigi taring plastik putih yang dulu populer) sementara Dayu menjerit-jerit kabur.
CUT TO:
Karena kami senang mendengarkan cerita-cerita seramnya,
suatu saat Mah Darmi pernah menyuruh kami
untuk menggambarkan hal yang menjadi ketakutan terbesar kami.
Angga menggambarkan sesosok monster dengan taring, mata merah, berpunuk. Serupa genderuwo raksasa. Sementara Dayu, ternyata hanya mengguratkan garis-garis tebal dengan krayon hitam. Hanya seperti gambar corat-coret. Begitu selesai menggambar, Angga dan Dayu mengangkat kertas gambarnya untuk dilihat oleh Mah Darmi.
Coba tunjukkan gambar kalian.
Apa yang paling kau takuti?
Genderuwo.
Kenapa? Karena suka menculik anak nakal?
(tersenyum jahil, lalu beralih pada Dayu)
Kalau Dayu? Apa itu?
Tapi Dayu tak bisa menjawab. Ia tak bisa menjelaskan ketakutan terbesarnya adalah pada kegelapan dan keheningan.
Mah Darmi menepuk kedua kepala mereka, lalu menyodorkan kotak korek api. Angga dan Dayu masing-masing menyalakan batang korek itu lalu membakar kertas gambar mereka.
Angga melirik, ada pembantu lain di rumah Dayu--Mbok Minah--yang melihat. Tatapannya seakan tidak suka.
Nah, hilang sudah. Tak ada lagi yang perlu kau takuti.
Perlahan, kertas-kertas “menakutkan” itu terbakar hingga yang menyisa hanya abu gosong.
EXT. HALAMAN RUMAH DAYU—DAY
Angga sedang duduk di rumput halaman, sibuk menggambar rumah aneh di hadapannya. Tiba-tiba terdengar suara dari belakang punggungnya.
Kau berbakat, ya.
Hassan tersenyum sambil menunduk melihat sketsa gambar Angga. Pria bertubuh jangkung dan berkumis tipis itu adalah pemilik sekaligus perancang rumah alien itu. Ayah Dayu. Usianya mungkin di awal 40. Penampilannya cukup necis. Dia mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung ke siku dan celana pantofel hitam. Sepatu hitamnya tersemir licin.
Jarang sekali sosoknya terlihat meski rumah mereka bersebelah. Suara baritonnya terdengar begitu lembut di telinga.
(ragu dan malu)
Eh… makasih.
(tersenyum)
Kau tahu apa hal yang menarik dari rumah ini?
(menggeleng)
(wajahnya didongakkan ke arah bangunan rumah di depan)
Rumah ini tidak seperti yang terlihat mata saja.
(menatap bingung)
(menautkan kedua tangan ke balik pungung seraya menjelaskan)
Dari sudut yang berbeda, kau akan selalu dapati
hal-hal yang baru dan berbeda dari rumah ini.
Meski objeknya sama, bergantung posisimu,
seakan yang kau gambar itu rumah-rumah yang berbeda.
(jeda. tersenyum melihat kebingungan di wajah Angga)
Kau pandai menangkap detail-detailnya ke dalam gambarmu itu.
Itu yang namanya bakat.
Harus kuakui, Ayah Dayu memang memiliki kharisma tersendiri.
Hassan Soerya memujiku.
Hal yang bahkan tak pernah dilakukan oleh ayah kandungku sendiri.
Ayah Angga pulang ke rumah pada malam hari, menaruh tas kerjanya ke atas meja, melonggarkan dasinya. Di atas meja terpajang foto keluarga: Ayah, Ibu, ketiga kakak perempuan dan Angga sendiri.
INT. RUMAH ANGGA-KAMAR—DAY
Minggu pagi. Angga masih duduk di ranjang main gamewatch dengan piama.
(melongokkan kepala dari pintu kamar Angga)
Dek, Bunda panggil tuh. Nggak denger?
Kita semua mau pergi ke supermarket. Kamu nggak mau ikut?
(menggeleng, masih fokus dengan gamewatch)
Terserah.
(terdengar suara keras saat pintu kamar sudah ditutup)
Nggak mau ikut katanya, Bun!
Terdengar suara pelan ibu Angga masih mengomel-ngomel.
Angga meneruskan bermain.
EXT. HALAMAN RUMAH DAYU—DAY
Angga membuka pagar pekarangan rumah Dayu dengan santai seperti sudah biasa sambil mengepit buku gambar besarnya.
Tapi kali itu ia hanya mendapati Dayu tengah sendiri. Tanpa ditemani Mah Darmi seperti biasa. Di tangannya tergenggam sebuah ketapel. Langkahnya seperti mengendap-endap. Angga meletakkan bukunya dan memilih untuk mengintipnya sejenak.
Dayu mendekati sebuah sangkar burung yang tengah ditaruh di tanah. Sangkar itu memuat sepasang burung nuri cantik dengan bulu tiga warna. Biru, kuning dan merah. Angga baru menyadari, Dayu hendak membidiknya dengan ketapel di tangannya.
Namun sebelum Angga bersuara, aksinya sudah dihentikan oleh Mbok Minah sang pembantu rumah.
Non, apa-apaan.
Kalau sampai Bapak tahu burung nurinya mati… Anak nakal.
Bukannya lebih baik burungnya mati
daripada terkurung terus di dalam sangkar?
Sembarangan!
(tampak habis kesabaran)
Angga terkekeh dalam hati.
Angga lalu mengendap mengikuti Mbok Minah ke arah dapur. Terdengar perbincangan cukup sengit dari arah ruang dapur itu. Mbok Minah si pembantu tua bertubuh gempal terdengar masih mengomel. Di sebelahnya ada Pak Jumadin, sopir Pak Hassan Soerya.
Heh, nyusahin aja. Gak tau napa, takut saya deket-deket anak itu.
Baru kemarin ngebakar rumah semut, asapnya sampai masuk semua ke dalam rumah…
eh barusan mau nembakin burung Bapak yang mahal itu pake batu.
Kasian, masih kecil, mungkin kurang perhatian.
Ibunya udah meninggal, bapaknya sibuk.
Ah, emang bakat gendeng aja. Non Dayu itu.
Gak jauh-jauh dari ibunya. Sampeyan apa enggak inget
gimana dulu ibunya suka jerit-jerit cuma liat cermin.
Mbok Minah kemudian memelankan suara seakan mendadak takut ada yang mendengar. Angga harus berkonsentrasi lebih keras untuk menangkap omongannya.
Bapak tuh juga makin aneh-aneh aja.
Mosok orang cacat buta huruf kayak Darmi itu dia pekerjakan.
Gak ngerti lagi saya. Saya sih jelas gak akan lama lagi kerja di sini, Mas.
INT. RUMAH ANGGA-RUANG TENGAH-DAY
Di ruang tengah, Angga menonton kartun Looney Tunes sementara ibunya sedang khusyu membaca majalah wanita ibukota, Femina dengan sampul aktris Marissa Haque.
Bunda, ibunya Dayu meninggal karena apa?
Kata ibu-ibu komplek sih sakit epilepsi.
Kasian yah, padahal masih muda.
Oh… Kalau pengasuh Dayu itu kenapa?
(masih fokus dengan majalahnya)
Kenapa apanya?
Jari-jari tangannya buntung.
Alis matanya botak.
(beralih memerhatikan Angga)
Oh, begitu, ya. Punya penyakit barangkali.
Kamu nggak usah main ke rumah sebelah lagi ya.
Takut ketularan.
(kembali membuka majalahnya)
Angga menyesal telah bertanya.
INT. RUMAH DAYU-DAY
Angga dan Dayu sedang bermain petak umpet. Angga mendapat tugas mencari. Dayu meringkuk di bawah meja kerja ayahnya. Sudah beberapa lama Angga mencari-cari, tiba-tiba Dayu keluar dari ruang kerja ayahnya. Sempat kejar-kejaran dengan Angga.
Hong!
(menepuk pilar tembok yang menjadi pusat benteng)
Curang! Curang!
Kan aturannya nggak boleh sembunyi
di ruang-ruang yang pintunya ketutup.
Kata siapa? Aturan siapa?
Aku sama Mah Darmi!
(meminta Mah Darmi membelanya)
Nggak, kan, Mah Darmi.
Mah Darmi, Dayu yang bener kan?
Sudah. Sekarang Mah Darmi yang jaga.
Kalian cepat sembunyi!
Ogah!
Ih. Gitu amat kalo kalah.
Dasar bagong.
(memutar kembali tumitnya)
Apa kau bilang tadi?
(menanggapi dengan ketus)
Kamu kan udah gede masa gak malu masih main petak umpet?
Kamu gak punya teman?
(mendekati lalu mendorong Dayu)
Dayu jatuh terjerembap, lalu bangkit dan menggigiti lengan Angga.
Dibutuhkan ketenangan Mah Darmi ditambah tenaga Pak Jumadin untuk memisahkan keduanya. Baru nanti saat sudah kembali ke kamar, Angga merasa malu sendiri. Melawan anak perempuan jauh di bawah umurnya.
Apa kamu tidak punya teman?
INT. RUMAH ANGGA-KAMAR-DAY
Angga duduk di meja belajar mengerjakan PR. Tiba-tiba sebutir biji jintala dilempar memasuki jendela kamarnya. Ada sehelai kertas yang membungkusnya. Begitu membuka lembar kertas itu, Angga tersenyum kecut. Angga tahu bukan Dayu yang melempar, melainkan Mah Darmi. Hebat. Ia sudah bisa menulis pesan dengan empat huruf kapital. MAAF.
Kamu mesti lebih sabar menghadapi Dayu.
Tidak perlu dimasukkan ke hati omongannya.
Dia masih anak kecil.
Angga lantas menutup jendela beserta hordennya, masih kesal.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka kencang.
Ayo Dek, sebentar lagi kita berangkat ya.
(menengok tirai yang ditutup)
Siang begini, kok jendela-jendela ditutup.
(menghampiri jendela, lalu menarik buka horden)
Ayo, Pak Sopir udah nunggu.
Angga lalu mengemas kotak catur yang baru dibelikan oleh ibunya. Kegiatan baru yang diperkenalkannya pada putranya. Angga juga sudah didaftarkan masuk ke dalam klub, dan pertemuan pertama diadakan hari itu.
Saat naik mobil, Angga memandang ke arah pekarangan rumah sebelah. Melihat Dayu dengan Mah Darmi dalam gerak lambat. Entah sedang bermain apa.
INT. HALAMAN RUMAH DAYU-DAY
Mah Darmi berjalan di pekarangan rumput tanpa alas kaki, tergopoh-gopoh mengejar Dayu.
Dayu, masuk yuk. Sudah terlalu sore.
Besok main lagi.
Dayu tampak sedang memainkan butir-butir jintala di teras rumah dengan krayon hitam.
CUT TO:
INT. RUMAH ANGGA-KAMAR-NIGHT
Hujan deras malam hari. Angga bersiap tidur di ranjang. Di luar jendela, terlihat hujan deras dan petir menyambar-nyambar.
Suatu waktu, sosok Mah Darmi tak pernah lagi terlihat dari balik jendelaku.
Kapan tepatnya ia pergi, entah.
Yang kuingat, hari-hari itu langit selalu kelabu
dan hujan badai membuatku mesti terkurung seharian di dalam rumah.
Kalender di meja belajar menunjukkan bulan November tahun 1983.
INT. RUMAH ANGGA-RUANG TENGAH-DAY
Program Dunia Dalam Berita di TVRI sedang ditayangkan di TV.
Keraskan volumenya!
Sari berita penting.
Bangkai pesawat Garuda tujuan Singapura
telah ditemukan setelah tiga hari menghilang dari radar.
Dipastikan seluruh awak penumpang tewas.
Layar TV kemudian menampilkan daftar nama penumpang.
Nama Hassan Soerya tercatat sebagai salah satunya.
(membekap mulut)
Ya Tuhan… malang sekali.
(mengusap wajah sedih)
(bengong)
EXT. KUBURAN-DAY
Angga dan keluarganya kembali datang melayat. Berpakaian serbahitam di antara para pelayat lain. Angga melihat sekilas wajah Dayu tampak pucat. Peti jenazah kosong kemudian diturunkan ke liang lahat. Tertulis di batu nisan Hassan Soerya 1942-1983. Bersandingan dengan kuburan mendiang ibu Dayu. Angga membaca batu nisan yang terpahat di sebelahnya. Amara Diyanti 1949-1983. Secangkul demi secangkul tanah jatuh menimpa peti mati tanpa jasad itu.
EXT. TERAS RUMAH DAYU-DAY
Dayu dijemput oleh orang dewasa, paman dan bibinya lalu masuk ke dalam mobil.
Dayu sempat mendongak sebelum masuk mobil tetapi tidak memberi isyarat perpisahan sama sekali. Tampak Angga mengintip dari balik jendela kamarnya.
CUT TO:
INT. RUMAH ANGGA-DAY
Angga turun tangga mendengar omongan ibunya di ruang tengah, sedang berbicara dengan ayahnya. Nada bicaranya serius.
Sepertinya Dayu akan ikut pamannya ke Sukabumi.
Ckck… Kasihan sekali nasib anak itu.
Dulu ibunya, sekarang ayahnya…
Angga terduduk di anak tangga. Diam. (beat)
(AWAL LAGU)
EXT. HALAMAN RUMAH HASSAN SOERYA
Ada plang Rumah DIJUAL di pagar rumah Dayu. Rumah yang kini kosong. Tetangga sebelah rumah Angga seakan menghilang tanpa ada bekasnya. Setelah Mah Darmi, lalu Pak Hassan Soerya. Dan kini, Dayu.
Di tengah cahaya menyilaukan, Ayah Angga berkacak pinggang mengamati rumah Hassan Soerya.
Plang “DIJUAL” dicabut. Ayah Angga membuka pintu rumah itu dengan kunci di tangannya.
Bunda semula keberatan dan menganggapnya rumah pembawa sial.
Tetapi Ayah tidak pernah percaya pada takhayul.
Yang dia tahu, harga yang ditawarkan jauh dari harga pasar,
dan sang arsitek mendiang Hassan Soerya adalah sosok yang masih sangat dikaguminya.
(AKHIR LAGU)
30 TAHUN KEMUDIAN
JAKARTA 2012
Angga dewasa berjalan ke ruang tengah. Tampak bingkai-bingkai foto telah berganti. Ada foto ayah dan ibunya yang sudah sepuh menghadiri wisuda S3 kakak Angga ke-1. Ada foto kakak Angga ke-2 berdiri di samping seorang menteri. Foto kakak Angga ke-3 sedang berlibur di Pegunungan Alpen Swiss.
Angga menghampiri sang ayah yang sudah pikun dan kini duduk di atas kursi rodanya.
Sayup-sayup terdengar bunyi bel dari arah pintu depan. Mbok Imeh lalu memanggil.
(datang tergopoh)
Pak, ada tamu.
Siapa?
Enggak tau. Orangnya… aneh.
CUT TO:
Angga mendatangi pintu depan. Pintu dibuka dengan gerak lambat. Tampak sesosok wanita berpakaian kebaya dan bersarung jarik. Dengan rambut dikepang dua.
Betapa terkejutnya Angga melihat rupanya. Tamu itu mirip sekali dengan seseorang yang pernah ada di dalam masa kecilnya.
To be continued