Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
EPISODE 1 ANAK BISU / A MUTE CHILD
JAKARTA, 2012
EXT. TERAS RUMAH DAYU — DAY
Sebuah taksi berlalu, meninggalkan Dayu (wanita 35th) yang berdiri di teras depan rumah dengan satu tangan menggeret koper. Ia menengok pada anaknya, Rembulan (6 thn), yang masih berdiri mematung beberapa langkah di belakang, seperti tertahan di tempat.
Dayu mengulurkan tangan, perlahan disambut oleh Rembulan ragu. Sambil menggandeng tangannya, ia memijit bel di dekat pintu.
Rembulan langsung bersembunyi ke balik punggung Dayu.
Bagus sekali namanya. Rembulan, tenang saja ya. Kamu pasti akan betah di sini.
Ah senangnya, rumah ini pasti enggak akan sepi lagi.
INT. RUMAH DAYU-RUANG MAKAN-DAY
Suasana meja makan begitu hening kecuali bunyi denting alat makan.
Kau siapa???
(pria sepuh yang duduk di kursi roda itu mengerutkan dahi)
(menatap Dayu prihatin sambil menyuapi Ayah Dayu)
Non Dayu, Bapak.
INT. RUMAH DAYU-KAMAR-DAY
Mbok Imeh mendorong masuk koper, menyilakan Dayu memasuki kamar tidurnya.
Ah, tidak perlu repot, Mbok.
Begitulah Bapak. Pikunnya makin menjadi, Non. Tapi Non Dayu nggak perlu khawatir.
Di sini Non Dayu ada banyak yang bantu. Saya tinggal dulu, Non.
Dayu mengangguk, lalu memerhatikan ruang kamar masa kecilnya. Ia duduk di tepi ranjang.
Lewat pantulan cermin lemari, tampak Rembulan sedang menyisir rambut bonekanya.
CUT TO:
INT. RUANG KEPALA SEKOLAH-DAY-flashback
Dayu duduk di hadapan meja Kepala Sekolah TK.
Ini bukan kali pertama lho, Bu. Rembulan berbuat ulah di kelas. Tadi dia baru saja menusuk lengan temannya.
KEPALA SEKOLAH
Bu, tak mungkin anak saya berbuat semacam itu tanpa ada sebabnya.
Rembulan duduk menunggu di luar ruang Kepsek, tampak mendengarkan pembicaraan di dalam.
EXT. TROTOAR JALAN-DAY
Dayu menyusuri jalan pulang bersama Rembulan. Di tengah jalan, Rembulan tiba-tiba berkata.
(berhenti melangkah, berjongkok sejajar dengan Rembulan)
Kenapa kamu nggak lapor ke guru?
(menggelengkan kepala kuat. Ia lalu mengangkat kedua tangan menutupi mata.
Bahu kecilnya berguncang, tapi tak tampak mengeluarkan air mata)
CUT BACK TO:
INT. RUMAH DAYU-KAMAR-DAY
Dayu mengenyahkan lamunannya. Ia kembali memerhatikan seisi kamarnya.
Di sisi jendela berbentuk bulat, terdapat sebuah ranjang lebar. Ranjang itu tampak sudah dirapikan. Dengan selimut terlipat dan seprai kuningnya—warna kesukaan Dayu. Di samping ranjang, terdapat sebuah lemari pakaian dari kayu jati. Pintu lemari itu penuh dengan stiker-stiker sanrio berumur tiga dasawarsa yang mulai menguning dan mengelupas.
Dayu membuka kenop pintu lemari dengan kedua tangan. Ruang kosong di balik daun pintu itu seketika memicu ingatan masa silam.
Lalu, perhatiannya teralih oleh suara yang terdengar dari luar kamar.
Dayu bingung mendengar Rembulan mau menjawab pertanyaan orang asing. Dari celah pintu kamarnya, Dayu mengamati lebih dekat. Tampak seorang wanita berkebaya dan bersanggul sedang mendekati Rembulan. Ada rasa ganjil menghinggapi Dayu.
Wanita berkonde itu perlahan menyadari kehadiran Dayu.
(menempelkan sebelah tangan ke dada)
Nyonya, saya Surti.
Dayu mengangguk sopan. Melihat Rembulan yang kembali membisu, asyik dengan boneka di pangkuannya.
Dari bingkai jendela, terlihat langit mulai gelap. Mendung pekat.
EXT. KUBURAN—JELANG MAGHRIB
Dayu berdiri di samping sebuah batu nisan bertulis nama “Amara Diyanti”. Kuburan ibunya. Rintik hujan mulai turun. Gerimis. Para pelayat mulai bubar. Terdengar suara memanggil nama “Dayu.”
Dayu menengok, dan mendapati sosok wanita berkebaya sambil membawa payung hitam. SURTI.
Ia baru menyadari bahwa Rembulan tidak ada di sisinya. Bukankah tadi dia berdiri di sebelahnya? Hujan makin deras.
Dari kejauhan, ia melihat Rembulan menghampiri sosok wanita berkebaya itu, berlindung di bawah payung hitamnya. Wanita itu lantas menggandeng tangannya pergi. Menjauh.
INT. RUMAH DAYU-KAMAR-DAY
Dayu terbangun. Rembulan masih tertidur lelap di samping dengan posisi memunggungi Dayu. Sambil mendekap tubuh Rembulan, Dayu kembali melanjutkan tidur. Belum ingin memulai hari.
Alarm di samping meja menunjukkan waktu 7.15 WIB. Dalam gerak cepat, jarum jam bergerak sampai pukul 9-an pagi.
INT. RUMAH DAYU-RUANG TENGAH-DAY
Dayu menuruni tangga ke lantai bawah. Tembok di tengah ruangan memajang bingkai besar sebuah foto keluarga. Mungkin diambil di awal tahun 1980. Sang ibu yang cantik mirip aktris lawas Ida Iasha dengan tatanan rambut disasak dan eyeliner hitam tengah duduk di bangku emas sepuhan dengan anggun. Sang ayah dengan kumis tipisnya berdiri agak serong di sisinya. Sementara seorang gadis kecil, Dayu usia 5 thn, berkepang dua dengan gaun kuning berenda berdiri di sisi sebelah sang ibu. Satu tangan Dayu kecil memeluk boneka kelinci, sementara sebelah tangannya menyentuh dengkul ibunya dengan kaku.
Dayu melihat-lihat berbagai bingkai foto lain yang terpajang di kabinet. Kebanyakan foto menampilkan ayah dan ibunya di usia muda. Juga Dayu bayi dan Dayu kanak-kanak.
Di tembok juga terpajang sejumlah plakat piagam penghargaan atas profesi ayahnya. “Architect of the Year 1981.” “Outstanding Achievement for New Architect in South East Asia.”
Dari salah satu sudut jendela yang lebar, Dayu melihat Rembulan sedang berdiri di halaman. Rembulan melambaikan tangannya. Dayu melangkahkan kaki menuju halaman, menyambut panggilannya.
Namun saat jarak mereka hanya terpaut beberapa langkah, Dayu menyadari bahwa Rembulan bukan memanggil dirinya. Pandangannya terpaku ke arah jendela di lantai atas. Ia masih melambai-lambaikan tangannya seolah menanggapi seseorang yang berdiam di sana. Dayu melempar tatapan ke arah jendela itu, tetapi tak melihat bayangan siapapun.
Mata Rembulan masih tertancap ke arah jendela lantai atas sampai saat Dayu menepuk pundaknya, meminta jawaban. Rembulan hanya menoleh, lalu mengacungkan telunjuknya.
Ke situ.
Dayu memicingkan mata ke arah jendela lantai atas. Agak silau. Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah pagar.
Seorang pria bertubuh tinggi gempal usia awal 40-an memasuki pekarangan.
Sebelum beranjak pergi, langkah pria itu tertahan sejenak. Ia menatap Dayu tajam seakan mengenali sesuatu.
Pria itu berwajah bulat, dengan cambang dan jenggot tipis. Ia mengenakan kaos oblong putih dan celana kendor selutut.
Ah ya, wajar kalau kamu lupa. Sudah lama banget, sih. Sepertinya kita perlu berkenalan lagi, kalau begitu. (mengulurkan tangan kanan gemuknya) Saya Angga. Saya tinggal persis di rumah sebelah. Eh, kau… kembali ke sini?
(merasa agak tak enak karena seperti melupakan teman masa kecilnya)
Ibu saya belum lama meninggal. Saya merasa sudah semestinya
kalau sekarang saya menemani ayah di sini biar gak tinggal sendiri.
(tampak terdiam sejenak)
Oh, begitu ya.
(berdeham) Saya bekerja sebagai psikolog.
Yah, lebih fokus pada konseling remaja sebetulnya. Tapi...
Ucapannya terputus saat matanya menangkap Rembulan yang berdiri beberapa meter di belakang Dayu, menatap Angga.
Ah, ini anakmu?
(mengangguk)
Rembulaaan...
Tiba-tiba terdengar suara panggilan dari arah rumah.
(tergopoh menghampiri)
Waktunya mandi, Nona.
(bergerak hendak menuruti)
Biar sama saya saja, Mbok. Kau urusi Bapak aja.
Tiba-tiba Dayu teringat pada kehadiran tetangganya yang masih berdiri di sisi pagar.
Saya mesti pamit dulu ke dalam ya …
Oh ya, silakan... silakan.
Ketika Dayu hendak berbalik meninggalkannya, Angga menyentuh pundaknya pelan.
Dayu…
(menatap lekat)
Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk mengetuk pintu rumah saya.
(tersenyum kaku)
Tentu… tentu. Terima kasih…eh, Angga.
Sambil berjalan, Dayu merengkuh pundak putrinya. Menggiring kakinya memasuki rumah.
Sesaat, pandangan Dayu menyapu kembali ke arah jendela lantai dua. Disadarinya seluruh tirai di jendela yang menghadap halaman itu tertutup.
INT. RUMAH DAYU-KAMAR-DAY
Dayu sedang becermin depan meja rias. Tampak ia telah berganti penampilan dengan potongan rambut baru yang dipangkas lebih pendek dan modis. Mengenakan rok hitam sepan selutut, dengan atasan blus krem dan blazer hitam modis.
(menoleh ke arah Rembulan sambil memoleskan lipstik)
Mama sudah cantik?
(duduk di ranjang mengangguk tipis)
(terus bermonolog)
Mama janji, begitu Mama sudah mendapat pekerjaan,
Mama akan carikan sekolah yang terbaik buat Bulan.
Doain Mama, yah.
Dayu lalu hendak menyematkan bros berbentuk kupu-kupu dari berlian di saku kanan blazernya. Pemberian Bagas, sang suami, yang dibelinya saat baru menerima gaji pertamanya.
CUT TO:
INT. RUMAH DAYU DULU-DAY-flashback
Bagas (pria berumur awal 30-an) memberikan sebuah kotak cantik yang dibuka oleh Dayu. Tampak sebuah bros kupu-kupu cantik.
Kau bagai kupu-kupu terindah yang telah mencuri hatiku. Kini setelah kutangkap, kau takkan bisa lagi pergi sekehendak hatimu.
CUT BACK TO:
Ouch.
Jari telunjuk Dayu tertusuk oleh jarum penitinya. Setitik merah menyembul dari permukaan kulitnya.
Kupu-kupu sialan.
Dayu mengisap luka baru itu. Lalu menyimpan kembali bros kupu-kupu itu ke dalam laci meja rias. Laci ditutupnya dengan terlalu keras hingga Rembulan menoleh kaget. Mata bulatnya menatap dengan raut bingung. Dayu memaksakan sebuah senyum ke arahnya.
INT. RUMAH DAYU-RUANG MAKAN-DAY
Dayu melangkah ke ruang makan. Di meja makan tampak terhidang sebakul nasi goreng buatan Mbok Imeh. Di samping bakul itu, terdapat semangkok buah yang tampak asing. Kulit buahnya gelap mirip buah manggis.
(mengambil satu buah dari mangkok)
Buah apa ini, Mbok?
Itu buah jintala, Non. Dibawa Surti dari kampungnya. Seumur-umur Mbok juga baru pertama kali lihat. Katanya, buah itu memang cuma ada tumbuh di kampungnya. Aneh, ya.
Dayu mengambil satu buah dari mangkok, lalu mencoba mengupasnya. Begitu ia mengupas kulit luarnya, tampak daging buah berwarna merah gelap yang membusuk dan sudah dikerubungi oleh banyak sekali belatung. Tangan Dayu langsung menjatuhkannya.
Lho, kenapa Non? Sayang, kok dilempar, sih.
(Tiba-tiba suara berdenging memenuhi pendengarannya).
Tetapi sejenak kemudian, suara denging itu lenyap tiba-tiba. Dayu menyadari penglihatannya telah mengelabuinya. Di lantai hanya tampak daging buah berwarna merah berceceran di lantai. Tak ada satu pun belatung dan bau busuk.
Biar saya kupas-kan yang baru, Non.
(kehilangan selera makan)
Gak, gak usah, Mbok. Saya sudah telat, pergi dulu.
INT. KANTOR HRD—DAY
(memegang berkas)
Kamu sebetulnya overqualified.
Apa yang membuatmu berpindah? Kau ingin menetap?
Sejujurnya, ada alasan keluarga yang mengharuskan saya
untuk pindah ke luar kota.
Saya jelas akan terus menetap di sini.
Jadi kau sudah berkeluarga?
Eh, tentu ya, wanita cantik sepertimu….
Baik, Dayu. Kau diterima. Kau bisa mulai bekerja di sini besok.
Terima kasih, Pak.
(menjabat tangan Dayu)
Tolong, panggil saya Mas Bimo saja.
EXT. DI DALAM MOBIL DI TENGAH JALAN-NIGHT
Ibukota diguyur hujan lebat hingga malam. Memegang kemudi, Dayu melirik arloji tangannya, hampir pukul delapan malam.
Ponselnya berdering di jok samping. Tampak nama penelepon: Bagas. Dayu abaikan, tatapan tertuju ke jalan.
INT. RUMAH DAYU-NIGHT
Dayu sampai di rumah. Lampu-lampu di rumah tampak sudah dipadamkan. Dayu membuka pintu kamar tapi tidak mendapati Rembulan di sana. “Kemana orang-orang?” batin Dayu. Kamar Ayah Dayu sudah gelap, pertanda dirinya sudah tidur. Lagi pula tak mungkin Rembulan ada di sana.
(mulai cemas)
Bulan… Bulan!
Dayu melihat jam besar di ruang tengah sudah menunjukkan waktu 9.35 malam. Lalu sayup-sayup Dayu menangkap suara-suara dari arah belakang rumah. Menyusuri lorong ke sudut belakang rumah, suara celoteh riang dan tawa Rembulan terdengar kian jelas. Suara itu ternyata berasal dari kamar Surti.
Pintu kamarnya terbuka secelah sehingga bisa diintip. Dalam temaram ruang kamarnya itu, Dayu melihat berbagai bayangan besar di tembok. Bentuk-bentuk bayangan itu berasal dari kelihaian jemari tangan Surti yang dipertontonkannya pada Rembulan. Mereka sedang bermain bayangan.
(berseru dengan nada tinggi sambil mendorong pintu
hingga terbuka lebar)
Ada apa ini?
Tawa dari kamar terputus. Surti dan Rembulan tampak kaget.
(kesal)
Mbok, ini sudah jauh lewat jam tidur Rembulan.
Kenapa dia bukan di kamarnya?
Kan saya sudah tegaskan Bulan sudah harus TIDUR DI KAMARNYA jam 9.
Kenapa masih diajak main di sini?
Maaf, Nyonya. Tadi Rembulan takut mendengar bunyi petir, jadi saya temani di sini.
(tegas)
Jangan sampai diulangi lagi.
Badan Rembulan menjengit saat Dayu meraih lengannya.
Saat melangkah menyusuri lorong yang gelap sambil menggiring Rembulan, mata Dayu menangkap bayangan gelap tubuh anaknya yang memanjang di dinding. Rembulan serupa dengan bayangan itu. Tak ada tawa cekikikan seperti yang didengarnya tadi. Ia kembali bungkam sepenuhnya.
INT. RUMAH DAYU-KAMAR—NIGHT
Dayu terbangun dari tidur, melirik beker menunjukkan tepat pukul 1.25. Merasa perutnya melilit, ia bangkit dari ranjang.
Sementara Rembulan masih tertidur pulas di sebelahnya. Memeluk bonekanya.
INT. RUMAH DAYU-RUANG MAKAN-NIGHT
Dayu kaget begitu turun ke lantai bawah. Di tengah seluruh ruangan rumah yang gelap gulita, lampu di ruang makan menyala terang benderang. Seperti ada kesibukan di sana. Ayahnya bahkan sedang duduk di meja makan.
(tersenyum)
Lapar, Nyonya?
Surti tiba-tiba datang dari arah dapur. Kedua tangannya membawa sebuah panci bertelinga yang masih menguarkan uap panas.
(tersenyum)
Silakan dimakan, Dayu.
Ini soto istimewa dari resep Ibu di kampung.
Surti menempatkan pantat panci itu ke tengah meja. Cahaya lampu malam hari itu menyorot ke arah mukanya dengan ganjil.
Dayu merasa aneh mendengar namanya disebut demikian. Tanpa embel-embel Nyonya atau Bu seperti biasa. Tetapi ia segera mengenyahkan perasaan ganjil itu begitu melihat sepanci soto yang terhidang di meja. Dengan irisan kol, potongan tomat, dan suwiran daging.
Hm, kelihatannya enak. Eh, maaf kalau saya tadi agak terlalu keras.
Saya cuman lagi capek, sementara Rembulan itu …
Tidak apa, Nyonya. Silakan.
Sambil melempar senyum kaku, Dayu menarik sebuah kursi di kepala meja makan, tepat di seberang kursi ayahnya.
Dengan cekatan, Surti menyendokkan kuah soto dari panci ke dalam mangkok baru sebelum menyerahkannya kepada Dayu. Surti kemudian mengambil posisi ke sisi Ayah Dayu, hendak menyuapinya.
Ayah terlihat seperti masih setengah tidur. Matanya membuka tetapi tampak kosong.
Sruput.
Kuah soto kuning menetes ke dagu sang ayah. Surti membiarkannya saja, sama sekali tak berusaha mengelap dagunya. Perut Dayu seketika terasa mual. Ia mengalihkan tatapan ke mangkoknya sendiri.
Saat baru hendak mengangkat sendok untuk suapan pertama, Dayu dicekam rasa ngeri. Sendok kuah sotonya itu memuat sebuah potongan jari manusia utuh. Lengkap dengan kukunya.
PRANG!!!
Mangkok keramik itu pecah berkeping-keping ke lantai. Seluruh kuah panas sotonya menyiram pangkuan Dayu sebelum tumpah berhamburan ke lantai.
Kenapa, Nyonya?
(bertanya dengan suara yang terlalu tenang.
Satu tangannya masih terangkat memegangi sendok, hendak menyuapi ayah Dayu)
Lalu suasana hening, selain detak jam kukuk dan suara statis TV yang dibiarkan menyala.
INT. RUMAH DAYU-KAMAR—DAY
Dayu terbangun oleh beker yang berbunyi nyaring di sisi ranjangnya. Ia merasakan pedih dan gatal di pahanya. Saat menyingkap baju tidurnya, Dayu mendapati bekas kemerahan di kulitnya seperti agak melepuh.
INT. RUMAH DAYU-DAPUR-DAY
Mbok Imeh sedang mencuci peralatan makan di bak dapur. Dayu dengan busana kerjanya melirik ke tumpukan mangkok yang menanti dicuci. Dalam benak, penciumannya masih menghirup bau anyir semalam yang menguar dari kuah soto.
(bertanya sambil lalu)
Kemarin makan malamnya soto ya, Mbok?
Tangan Dayu meraih kantong teh celup, lalu menjatuhkannya ke dalam cangkir. Merendam kantong teh itu dengan air panas dari ceret.
Iya, masa nggak tau? …
Kan habis semangkok sama Non Dayu sendiri.
(beat)
Dayu mematung. Dia merasakan darahnya kembali berdesir.
(tergelak)
Makan di malam buta kayak orang kesurupan...
Emang enak, sih. Katanya itu resep dari ibu di kampungnya.
INT. RUANG PSIKOLOG-DAY
Dayu tampak gelisah menunggu di ruang tunggu psikolog anak. Ruang itu terlalu putih dan kaku. Ia tak suka suasana warna putih yang rasanya terlampau steril itu.
Di hadapannya terdapat meja rendah bertaplak putih. Sejumlah majalah tersebar di atasnya. Parenting, Ayahbunda, majalah Bobo.
Di tembok putih di hadapannya, terdapat sebuah lukisan besar. Sekumpulan nelayan tengah menebarkan jala di laut lepas. Mungkin lukisan itu sengaja dipasang untuk meredakan kegelisahan seseorang yang dibuat menunggu, seperti dirinya. Namun alih-alih ketenangan, Dayu justru merasa semakin gelisah.
(menyodorkan formulir)
Bu Dayu? Silakan isi formulir data diri anak Anda lebih dulu.
CUT TO:
INT. KANTOR-DAY-flashback
Dulu anak kakakku punya masalah gangguan fokus parah
sampai ditolak masuk di sekolah manapun.
Tapi begitu anaknya dibawa rutin terapi ke klinik ini, luar biasa perkembangannya.
(menatap kartu nama yang diberikan temannya.
Tertulis di kartu: BIRO PSIKOLOGI ANAK DAN REMAJA Ratna Gumilar, M. Psi)
Kata gurunya dulu memang usia Rembulan sekarang
berada di masa kritis perkembangan.
Betul itu. Coba saja dulu. Nggak ada ruginya.
Biasanya pertemuan pertama cuma konsul dengan orangtua.
Sesi berikut baru observasi anak langsung.
CUT BACK TO:
INT. RUANG PSIKOLOG-DAY
Bu Ratna adalah seorang wanita yang mungkin sudah berumur lima puluhan tetapi tampak masih berjiwa belia. Rambutnya dipotong pendek model bob, dengan poni rata di atas jidatnya. Anting-anting panjang merah menjuntai dari telinga di balik rambutnya. Kacamata bifokalnya, yang biasa dikenakan orang-orang usia senja, berwarna merah jambu metalik.
(tersenyum simpul, matanya tidak ikut tersenyum)
Pagi. Ke mana ayahnya, nih? Nggak ikut?
Saya ibunya, satu-satunya yang melahirkan dan merawatnya.
Saya rasa itu sudah cukup.
Yaa… sayang sekali. Saya membutuhkan data dari kedua sisi.
(sambil menatap berlembar-lembar formulir yang sebelumnya diisi Dayu.)
CUT TO:
INT. RUMAH-DAY
Mas, kamu tuh kelewat pelit! Bahkan untuk anakmu sendiri.
Rembulan anak yang normal. Kamu yang paranoid!
Sudah cukup! Lama-lama aku bisa ikut jadi gila!
CUT BACK TO:
INT. RUANG PSIKOLOG-DAY
(menghela napas)
Baiklah, kalau begitu, Bu. Mari kita mulai saja.
Ibu bebas bercerita apa pun.
Jam di ruangan berdetak. Tik tik tik.
INT. RUMAH DAYU-NIGHT
TV masih dibiarkan menyala, meski hanya menayangkan gambar semut. Titik-titik hitam putih dan bunyi dengung statis. Dayu yang menghidupkan TV itu.
Dayu menyusuri lorong-lorong rumah masa kecilnya. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 1.25. Di rumah ini, Dayu menyadari tak seorang pun tertidur pada dini hari. Kakinya akhirnya berhenti di depan sebuah kamar di ujung lorong. Dari dalam, terdengar senandung suara orang menyanyi.
“Turua wija kula sayang
Iki sungkawa tan neda dangu.
Sesuk ajeng mantun.
Wekdal ajeng rawuh.”*[1]
[1] Lelaplah, anakku sayang.
Kesedihan ini tidak akan panjang.
Besok akan selesai.
Waktu itu akan segera datang.
Dari celah pintu yang terbuka, Dayu mengintip ke dalam. Ternyata Surti menyisiri rambut hitam panjang Rembulan sembari bersenandung. Yang mengejutkan Dayu adalah saat melihat kepala plontos milik Surti. Tak ada sanggulnya yang biasa, bahkan tak ada sehelai rambut pun tumbuh di batok kepalanya yang dipenuhi luka koreng.
Saat tatapan Dayu tertuju ke arah tembok, seketika tangannya membekap mulut agar teriakannya tidak tumpah. Persis di tembok belakang, bayangan Surti serupa genderuwo. Punggung bayangan itu berpunuk dan ukurannya sangat besar dibandingkan dengan bayangan mungil Rembulan yang tercetak di tembok depannya. Surti seakan sedang menyanyikan lagu pengantar tidur yang menenangkan, padahal kenyataannya, sosoknya hendak menelan Rembulan hidup-hidup.
Rembulan perlahan menoleh ke arah Dayu, ibunya. Ia tersenyum. Dari sela-sela giginya, menetes cairan merah. Di tangannya, tergenggam buah jintala. Senyumnya yang semakin lebar kini lebih menyerupai seringai. Ia menguarkan aura yang mengisap seluruh udara di sekitar, hingga yang tersisa di ruangan hanya hawa dingin.
Buah jintala yang semula dipegang Rembulan menggelinding ke kaki Dayu yang masih berdiri terpaku di muka pintu kamar. Dari bekas gigitannya, menyeruak satu, dua… bukan, ribuan belatung.
INT. RUMAH DAYU-RUANG TENGAH—DAY
Hari berganti pagi. Semalam adalah mimpi terburuk yang dialami Dayu selama berada di rumah itu.
Saat turun tangga, Dayu berpapasan dengan Angga di ruang tengah.
Eh, saya barusan habis membesuk ayahmu, mengantarkan barang yang dimintanya. …
Saya balik dulu, kalau gitu.
Tunggu…
(menoleh)
Mau minum dulu? Temani saya sarapan… barangkali.
(tersenyum)
Oh, boleh, boleh. Dengan senang hati.
INT. RUMAH DAYU-RUANG MAKAN-PAGI
Aku baru mengatakan ini kepada kamu saja.
Tapi aku merasa, Rembulan punya bakat.
Bukan memiliki masalah psikologis.
(tangannya mengangkat cangkir kopi ke mulut, hendak menyeruputnya)
Bakat? Maksudmu?
Iya… kemampuan untuk berhubungan dengan makhluk halus.
(nyaris memuncratkan minumannya)
Kayak indigo, maksudmu?
Ya, apalah namanya. Yang jelas,
dia bisa melihat apa yang tidak bisa kita lihat.
Itu sebabnya dia berbeda dari anak-anak kebanyakan.
Tidak mudah menjadi anak seperti Bulan.
(meletakkan cangkir kopinya ke atas meja)
Berbeda dari anak kebanyakan bagaimana, maksudmu?
Karena ia seperti anak yang... bisu?
(terdiam)
Kalau saya lihat, Rembulan anak cerdas yang memiliki daya imajinasi tinggi.
Tapi melihat interaksinya dengan pengasuhnya,
rasa-rasanya gak ada yang perlu kau khawatirkan.
Surti bukan temannya.
(tegas)
Aku tak percaya padanya. Dia... aneh.
Karena penampilannya?
(matanya menerawang, memainkan kalung di lehernya)
Bukan… bukan itu.
Apakah menurutmu kamu agak cemburu dengan kedekatan antara mereka?
(menatap lawan bicaranya tajam)
Kau perlu tahu, firasat seorang Ibu selalu benar.
INT. RUMAH DAYU-DAPUR—DAY
(memasuki ruang dapur)
Mbok Minah!
Lha kok Minah ... Imeh, nama saya, Non.
Oh iya, Mbok Imeh. Mbok, aku mau nanya.
Kalau Surti itu, baru ya kerja di sini?
Iya, Non. Yah, sejak Bapak kondisi pikirannya begitu…
(bertanya sambil mulai celingak-celinguk)
Dia tuh asalnya dari mana, Mbok?
Apa yah nama kampungnya?
Kampung Waru atau apa gitu… di pelosok banget, yang jelas.
Pasti Non Dayu juga enggak pernah dengar.
Wong saya aja yang udah banyak jalan-jalan sekeliling Jawa ini enggak tau.
Diam-diam, tangan Dayu memindahkan sebuah toples berisi bongkahan gula jawa ke sudut lemari yang tersembunyi.
Terdengar suara derit pintu terbuka. Dayu menjulurkan kepala. Suara itu berasal dari arah pintu kamar Papa. Tak lama kemudian, tampak Surti tergopoh-gopoh memasuki ruang dapur sembari membawa tumpukan piring kotor.
(berkata lantang sambil memeriksa laci rak dapur)
Yah, gula jawanya habis, nih.
Bisa tolong belikan ke warung, Mbok Surti?
Biar saya saja yang belikan, Non.
Biasa juga sama saya.
Nggak bisa. Em… saya butuh Mbok Imeh di sini …
untuk beberes yang lain.
(tiba-tiba menyahut dengan suara pelan)
Baik, Nyonya.
Dayu mengintip Surti yang melangkah keluar dari pagar rumah. Tanpa menyiakan waktu, Dayu segera beranjak meninggalkan ruang dapur.
Saya mesti beberes apa Non?
(hanya melirik tanpa menghentikan langkah)
Ah itu, tolong bersihkan debu di kolong-kolong sofa.
Dengan langkah-langkah cepat, Dayu bergerak menyusuri koridor menuju kamar di ujung lorong. Kamar Surti.
Bulu kuduknya tiba-tiba meremang saat kakinya tiba di muka pintu, merasakan sensasi yang sama dari mimpi buruknya semalam.
Dayu memutar kenop pintu, bersyukur pintu kamarnya tidak dikunci. Pintu itu berderit membuka. Ruang kamarnya yang berukuran sekitar 3 x 3 meter hanya berisi satu ranjang dan satu lemari pakaian. Dalam penglihatan mata, tidak ada hal aneh apapun yang tertangkap. Tetapi lambat laun, penciuman Dayu menangkap bebauan aneh.
Sesaat berikutnya, mata Dayu menangkap objek yang seharusnya ditelusurinya. Satu-satunya furnitur di kamar itu dengan pintu tertutup. Sebuah lemari.
Begitu pintu lemari itu dibuka, bau tajam segera menyerbu penciumannya. Di kolong yang sejajar dengan penglihatan matanya, tampak setumpuk lipatan baju. Tetapi di kolong lemari bawah, Dayu menemukan sebuah cawan kecil berisi dupa menyala. Sumber bau aneh itu.
Di atas cawan kecil berisi dupa itu, ada sebuah benda dengan bentuk yang sangat Dayu kenali. Bros berbentuk kupu-kupu perak dan biru. Bros miliknya.
Tetapi yang membuatnya paling bergidik, adalah saat melihat selembar foto yang terselip di bawah cawan dupa. Foto dirinya dari jarak dekat (close up) saat sedang tidur di kamarnya.
Siapa yang bisa mengambil foto ini? (beat)
Dengan jantung berdebar, Dayu malah mengangkat ponsel. Lalu mengarahkannya ke benda-benda mistik di dalam lemari itu.
Dalam keheningan ruang kamar itu, tiba-tiba saja muncul sosok orang dari belakang. Sedikit pun tidak terdengar derap langkah kaki atau derit pintu dibuka.
Jantung Dayu serasa copot. Surti sudah berdiri persis di belakangnya. Hape yang ada di dalam genggaman Dayu pun terlempar jatuh. Raut Surti terlihat begitu tenang.
Gula jawanya habis, Nyonya.
To be continued