Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
DAYU 1983 (horor-series)
Suka
Favorit
Bagikan
1. Episode 1 (Part 1) Anak Bisu
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Episode 1 ANAK BISU/A Mute Child”

 

FADE IN.

EXT. Depan rumah (dengan gaya arsitektur Jengki yang ganjil)-SIANG

Sebuah taksi berlalu. Dayu berdiri di teras depan rumah dengan satu tangan menggeret koper. Ia menengok pada anaknya, Rembulan 6 thn, yang masih berdiri mematung beberapa langkah di belakang, seperti tertahan di tempat.

 

DAYU

Kenapa? Tidak apa-apa, yuk.

 

Dayu mengulurkan tangan, perlahan disambut oleh Rembulan ragu. Sambil menggandeng tangannya, ia memijit bel.

 

MBOK IMEH

(Kedua matanya melotot sejenak)

Ah, Non Dayu akhirnya kemari.

 

Rembulan seketika bersembunyi ke balik punggung Dayu.

 

MBOK IMEH

Trus, ini siapa? Wah, ayu sekali persis ibunya.

 

DAYU

Rembulan.

 

MBOK IMEH

Bagus sekali namanya. Rembulan, tenang saja ya. Kamu pasti akan betah di sini. Ah senangnya, rumah ini pasti tidak akan sepi lagi.

 

INT. RUANG MAKAN-SIANG

Suasana meja makan begitu hening kecuali bunyi denting alat makan. 


AYAH DAYU

(pria sepuh itu mengerutkan dahi)

Kau siapa???

 

DAYU

 

MBOK IMEH

(menatap Dayu prihatin sambil menyuapi Bapak)

Non Dayu, Bapak.

 

AYAH DAYU

(tatapan kosong)

 

DAYU

(tersenyum kaku)

 

INT. DI DALAM KAMAR

Mbok Imeh mendorong masuk koper, menyilakan Dayu memasuki kamar tidurnya.

 

DAYU

Ah, tidak perlu repot, Mbok.

 

MBOK IMEH

(dengan suara lebih pelan)

Begitulah Bapak. Pikunnya makin menjadi, Non. Tapi Non Dayu nggak perlu khawatir. Di sini Non Dayu ada banyak yang bantu. Saya tinggal dulu, Non.

 

Dayu memerhatikan ruang kamar masa kecilnya.

Lewat pantulan cermin lemari, tampak Rembulan sedang menyisir rambut bonekanya.

 

FLASHBACK.

INT. RUANG KEPALA SEKOLAH-SIANG

Dayu duduk di hadapan meja kepala sekolah TK. Rembulan duduk sendiri di luar ruangan.

 

Kepala Sekolah

Ini bukan kali pertama lho, Bu. Rembulan berbuat ulah di kelas. Tadi dia baru saja menusuk lengan temannya.

 

DAYU

Dengan pensil…

 

Kepala Sekolah

(melotot)

Perlu saya ingatkan, baru minggu lalu Ibu duduk persis seperti sekarang karena Rembulan memasukkan bangkai tikus ke dalam tas temannya.

 

DAYU

Bu, tak mungkin anak saya berbuat semacam itu tanpa ada sebabnya.

 

Kepala Sekolah

Apa sebabnya? Apa Rembulan sudah bercerita?

 

DAYU

 

Kepala Sekolah

Ibu harus tahu bahwa kami, para guru di sini, wajib melindungi anak-anak lain. Kami punya tanggung jawab bukan hanya mendidik anak Ibu saja.

 

Rembulan duduk menunggu di luar ruang Kepsek, tampak mendengarkan pembicaraan di dalam.

 

EXT. SISI JALAN-SIANG

Dayu menyusuri jalan pulang bersama Rembulan. Di tengah jalan, Rembulan tiba-tiba berkata.

 

REMBULAN

Dia mencoret gambarku.

 

DAYU

(berhenti melangkah, berjongkok sejajar dengan Rembulan)

Kenapa kamu nggak lapor ke guru?

 

REMBULAN

(menggelengkan kepala kuat. Ia lalu mengangkat kedua tangan menutupi mata. Bahu kecilnya berguncang, tapi tak tampak mengeluarkan air mata)

 

DAYU

(merangkul Rembulan)

Tidak apa. Mama janji akan carikan sekolah yang baik buat Bulan. Bukan seperti sekolah tadi.

 

CONT…

Dayu mengenyahkan lamunannya. Ia kembali memerhatikan seisi kamarnya.

Di sisi jendela berbentuk bulat, terdapat sebuah ranjang lebar. Ranjang itu tampak sudah dirapikan. Dengan selimut terlipat dan seprai kuningnya—warna kesukaan Dayu. Di samping ranjang, terdapat sebuah lemari pakaian dari kayu jati. Pintu lemari itu penuh dengan stiker-stiker sanrio berumur tiga dasawarsa yang mulai menguning dan mengelupas.

Dayu membuka kenop pintu lemari dengan kedua tangan. Ruang kosong di balik daun pintu itu seketika memicu ingatan masa silam.

 

SUARA DARI INGATAN

Dayu… Ketemu kau.

 

Tiba-tiba terdengar suara dari luar kamar menimpa suara lamunannya.

 

SURTI

Siapa namamu, Nak?

 

REMBULAN

Rembulan.

 

Dayu bingung mendengar Rembulan mau menjawab pertanyaan orang asing. Penasaran, Dayu membuka pintu kamarnya lebih lebar. Mengintip dari celah pintu kamar. Tampak seorang wanita berkebaya dan bersanggul sedang mendekati Rembulan. Ada rasa ganjil menghinggapi Dayu.

Wanita itu perlahan menyadari kehadiran Dayu, menyapanya. Di sisi Mbok Imeh, perempuan muda itu dengan pelan menangkupkan satu tangannya ke depan dada.

 

SURTI

(menangkupkan sebelah tangan ke dada)

Nyonya. Saya Surti.

 

MBOK IMEH

(menghampiri)

Non Dayu. Ini yang mbok maksudkan jangan khawatir Non. Surti baru tiga hari di sini tetapi ia sangat cekatan. Selain merawat Bapak, ia bisa membantu mengasuh nak Rembulan.

 

Dayu mengangguk sopan. Melihat kembali Rembulan yang kembali membisu, asyik dengan boneka di pangkuannya.

Hari berganti malam. Dari bingkai jendela, terlihat langit berganti mendung.

 

EXT. MAKAM—SORE JELANG MAGHRIB

Dayu berdiri di samping sebuah batu nisan bertulis nama “Amara Diyanti”. Kuburan Mama. Hujan mulai turun.

Para pelayat mulai bubar. Terdengar suara memanggil nama “Dayu.”

Dayu menengok, dan mendapati sosok wanita berkebaya sambil membawa payung hitam. SURTI.

Ia baru menyadari bahwa Rembulan tidak ada di sisinya. Bukankah tadi dia berdiri di sebelahnya? Hujan makin deras.

 

DAYU

(memanggil-manggil tapi suaranya teredam derai hujan)

Bulan? Bulan!

 

Dari kejauhan, ia melihat Rembulan menghampiri sosok wanita berkebaya, berlindung di bawah payung hitamnya. Wanita itu lantas menggandeng tangannya pergi.

 

INT. KAMAR-PAGI

Dayu terbangun dari mimpi buruk semalam. Rembulan masih tertidur lelap di samping dengan posisi memunggungi Dayu. Sambil mendekap tubuh Rembulan, Dayu kembali melanjutkan tidur. Belum ingin memulai hari.

Alarm di samping meja menunjukkan waktu 7.15 WIB. Dalam gerak cepat, jarum jam bergerak sampai pukul 9-an pagi.

 

INT. RUANG KELUARGA-PAGI

Terlihat pigura besar menampilkan foto keluarga di ruang tengah. Mungkin diambil di awal tahun 1980. Sang ibu yang cantik mirip aktris lawas Ida Iasha dengan tatanan rambut disasak dan eyeliner hitam tengah duduk di bangku emas sepuhan dengan anggun. Sang ayah dengan kumis tipisnya berdiri agak serong di sisinya. Sementara seorang gadis kecil, Dayu usia 5 thn, berkepang dua dengan gaun kuning berenda berdiri di sisi sebelah sang ibu. Satu tangan Dayu kecil memeluk boneka kelinci, sementara sebelah tangannya menyentuh dengkul ibunya dengan teramat kaku. Dayu melihat-lihat berbagai foto di kabinet. Kebanyakan foto yang menampilkan ayah dan ibunya di usia muda. Juga Dayu bayi.

Di tembok juga terpajang sejumlah plakat piagam penghargaan atas profesi ayahnya. “Architect of the Year 1981.” “Outstanding Achievement for New Architect in South East Asia.”

Dari salah satu sudut jendela yang lebar, Dayu melihat Rembulan sedang berdiri di halaman. Ia melambaikan tangannya. Dayu melangkahkan kaki menuju halaman, menyambut panggilannya. Namun saat jarak mereka hanya terpaut beberapa langkah, Dayu menyadari bahwa Rembulan bukan memanggil dirinya. Pandangannya terpaku ke arah jendela di lantai atas. Ia masih melambai-lambaikan tangannya seolah menanggapi seseorang yang berdiam di sana. Dayu melempar tatapan ke arah jendela itu, tetapi tak melihat bayangan siapapun.

 

DAYU

Kau melambai ke siapa?

 

Mata Rembulan masih tertancap ke arah jendela lantai atas sampai saat Dayu menepuk pundaknya, meminta jawaban. Rembulan hanya menoleh, lalu mengacungkan telunjuknya.

Ke situ.

DAYU

(memicingkan mata)

Ada siapa?

 

Dayu memicingkan mata ke arah sana. Agak silau. Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah pagar.

 

ANGGA

Assalamualaikum.

 

DAYU

(teralihkan)

                       …

Seorang pria bertubuh tinggi gempal memasuki pekarangan.

 

ANGGA

(tangannya mengangkat sebuah paket)

Ada paket nyasar ke rumah saya.

 

DAYU

(menerima paket dengan kedua tangan)

Makasih.

 

Sebelum beranjak pergi, langkah pria itu tertahan sejenak. Ia menatap Dayu tajam seakan mengenali sesuatu.

 

ANGGA

Kau… Dayu, bukan?

 

DAYU

 

ANGGA

Saya tinggal di rumah sebelah dari lama. Dulu kita suka main bareng.

 

DAYU

(mencoba mengingat-ingat, memerhatikan dirinya lebih dekat)

Pria itu berwajah bulat, dengan cambang dan jenggot tipis. Ia mengenakan kaos oblong putih dan celana kendor selutut.

 

ANGGA

Ah ya, wajar kalau kamu lupa. Sudah lama banget, sih. Sepertinya kita perlu berkenalan lagi, kalau begitu. (mengulurkan tangan kanan gemuknya) Saya Angga. Saya tinggal persis di rumah sebelah. Eh, kau… kembali ke sini?

 

DAYU

(merasa agak tak enak karena seperti melupakan teman masa kecilnya)

Ibu saya belum lama meninggal. Saya merasa sudah semestinya kalau sekarang saya menemani ayah di sini biar gak tinggal sendiri.

 

ANGGA

(tampak terdiam sejenak)

Oh, begitu, ya. (berdeham) Saya psikolog. Yah, lebih fokus pada konseling remaja, sebetulnya. Tetapi kalau kau …

 

Ucapannya terputus saat matanya menangkap Rembulan yang berdiri beberapa meter di belakang Dayu, menatap Angga.

 

ANGGA

Ah, ini anakmu?

 

DAYU

(mengangguk)

 

Tiba-tiba terdengar suara panggilan dari arah rumah.

“Rembulaaan…”

 

SURTI

(tergopoh menghampiri)

Waktunya mandi, Nona.

 

REMBULAN

(bergerak hendak menuruti)

 

DAYU

Biar sama saya saja, Mbok. Kau urusi Bapak saja.

 

Tiba-tiba Dayu teringat pada kehadiran tetangganya yang masih berdiri di sisi pagar.

 

DAYU

Saya mesti pamit dulu ke dalam ya …

 

ANGGA

Oh ya, silakan... silakan.

 

Ketika Dayu hendak berbalik meninggalkannya, Angga menyentuh pundaknya pelan.

ANGGA

Dayu…

(menatap lekat)

Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk mengetuk pintu rumah saya.

 

DAYU

(tersenyum kaku)

Tentu… tentu. Terima kasih…eh, Angga.

 

Sambil berjalan, Dayu merengkuh pundak putrinya. Menggiring kakinya memasuki rumah.

Sesaat, pandangan Dayu menyapu kembali ke arah jendela lantai dua. Disadarinya seluruh tirai di jendela yang menghadap halaman itu tertutup.

 

INT. KAMAR--PAGI

Dayu sedang becermin depan meja rias. Tampak ia telah berganti penampilan dengan potongan rambut baru yang dipangkas lebih pendek dan modis. Mengenakan rok hitam sepan selutut, dengan atasan blus krem dan blazer hitam modis.

 

DAYU

(menoleh ke arah Rembulan sambil memoleskan lipstik)

Mama sudah cantik?

 

Rembulan

(duduk di ranjang mengangguk tipis)

 

DAYU

(terus bermonolog)

Nanti Mama janji, begitu Mama sudah mendapat pekerjaan, Mama akan carikan sekolah yang terbaik buat Bulan. Doain Mama, yah.

 

Dayu lalu hendak menyematkan bros berbentuk kupu-kupu dari berlian di saku kanan blazernya. Pemberian Bagas, sang suami, yang dibelinya saat baru menerima gaji pertamanya.

FLASHBACK

Bagas memberikan sebuah kotak cantik yang dibuka oleh Dayu.

BAGAS

Kau bagai kupu-kupu terindah yang telah mencuri hatiku. Kini setelah kutangkap, kau takkan bisa lagi pergi sekehendak hatimu.

 

CONT…

DAYU

 Ouch. Kupu-kupu sialan.

Jari telunjuk Dayu tertusuk oleh jarum penitinya. Setitik merah menyembul dari permukaan kulitnya.

Dayu mengisap luka baru itu. Lalu menyimpan kembali bros kupu-kupu itu ke dalam laci meja rias. Laci ditutupnya dengan terlalu keras hingga Rembulan menoleh kaget. Mata bulatnya menatap dengan raut bingung. Dayu memaksakan sebuah senyum ke arahnya.

 

INT. RUANG MAKAN--PAGI

Dayu melangkah ke ruang makan. Di meja makan tampak terhidang sebakul nasi goreng buatan Mbok Imeh. Di samping bakul itu, terdapat semangkok buah yang tampak asing. Kulit buahnya gelap mirip buah manggis.

 

DAYU

(mengambil satu buah dari mangkok)

            Buah apa ini, Mbok?

 

                MBOK IMEH

Itu buah jintala, Non. Dibawa Surti dari kampungnya. Seumur-umur Mbok juga baru pertama kali lihat. Katanya, buah itu memang cuma ada tumbuh di kampungnya. Aneh, ya.

 

Dayu mengambil satu buah dari mangkok, lalu mencoba mengupasnya. Begitu ia mengupas kulit luarnya, tampak daging buah berwarna merah gelap yang membusuk dan sudah dikerubungi oleh banyak sekali belatung. Tangan Dayu langsung menjatuhkannya.

 

MBOK IMEH

Lho, kenapa Non? Sayang, kok dilempar, sih.

 

DAYU

(Tiba-tiba suara berdenging memenuhi pendengarannya).

Apakah dia tidak melihatnya?

 

Tetapi sejenak kemudian, suara denging itu lenyap tiba-tiba. Dayu menyadari penglihatannya telah mengelabuinya. Di lantai hanya tampak daging buah berwarna merah berceceran di lantai. Tak ada satu pun belatung dan bau busuk.

 

MBOK IMEH

Biar saya kupas-kan yang baru, Non.

 

DAYU

(kehilangan selera makan)

Tidak, tidak usah, Mbok. Saya sudah telat, pergi dulu.

 

INT. KANTOR HRD—PAGI

KEPALA HRD

(memegang berkas CV)

Kamu sebetulnya overqualified. Apa yang membuatmu berpindah? Kau ingin menetap?

 

DAYU

Sejujurnya, saya ingin berdikari, Pak. Dan ada alasan keluarga yang mengharuskan saya untuk pindah ke luar kota.

 

KEPALA HRD

Jadi kau sudah berkeluarga? Eh, tentu ya, wanita cantik sepertimu….

 

DAYU

 

KEPALA HRD

Baik, Dayu. Kau diterima. Kau bisa mulai bekerja di sini besok.

 

DAYU

                                           Terima kasih, Pak.

 

KEPALA HRD

(menjabat tangan Dayu)

Tolong, panggil saya Mas Bimo saja.

 

 

EXT. DI DALAM MOBIL DI TENGAH JALAN

Langit mendung, hari hujan. Ibukota diguyur hujan lebat hingga malam. Dayu melirik arloji tangannya, hampir pukul delapan malam. 

Membelah jalan. Ponselnya berdering di jok samping. Tampak nama penelepon: Bagas. Dayu abaikan, tatapan tertuju ke jalan.

 

INT. RUMAH—MALAM

Dayu sampai di rumah. Lampu-lampu di rumah tampak sudah dipadamkan. Dayu membuka pintu kamar tapi tidak mendapati Rembulan di sana. “Kemana orang-orang?” batin Dayu. Kamar Papa Dayu sudah gelap, pertanda dirinya sudah tidur. Lagi pula tak mungkin Rembulan ada di sana.

 

DAYU

(mulai cemas)

Bulan… Bulan!

 

Dayu melihat jam besar di ruang tengah sudah menunjukkan waktu 9.35 malam. Lalu sayup-sayup Dayu menangkap suara-suara dari arah belakang rumah. Menyusuri lorong ke sudut belakang rumah, suara celoteh riang dan tawa Rembulan terdengar kian jelas. Suara itu ternyata berasal dari kamar Surti.

Pintu kamarnya terbuka secelah sehingga bisa diintip. Dalam temaram ruang kamarnya itu, Dayu melihat berbagai bayangan besar di temboknya. Bentuk-bentuk bayangan itu berasal dari kelihaian jemari tangan Surti yang dipertontonkannya pada Rembulan.

DAYU

(berseru dengan nada tinggi)

Ada apa ini?

 

Tawa dari kamar seketika terputus. Surti dan Rembulan tampak kaget.

DAYU

(kesal)

Mbok, ini sudah jauh lewat jam tidur Rembulan. Kenapa dia bukan di kamarnya? Kan saya sudah tegaskan Bulan sudah harus TIDUR DI KAMARNYA jam 9. Kenapa masih diajak main di sini?

 

SURTI

Maaf, Nyonya. Tadi Rembulan takut mendengar bunyi petir, jadi saya temani di sini.

 

DAYU

(tegas)

Jangan sampai diulangi lagi.

 

Badan Rembulan menjengit saat Dayu meraih lengannya.

Saat melangkah menyusuri lorong yang gelap sambil menggiring Rembulan, mata Dayu menangkap bayangan gelap tubuh anaknya yang memanjang di dinding. Rembulan serupa dengan bayangan itu. Kembali bungkam sepenuhnya.Tak ada tawa cekikikan seperti yang didengarnya tadi.

 

INT. KAMAR—TENGAH MALAM

Dayu terbangun dari tidur, melirik beker menunjukkan tepat pukul 1.25. Merasa perut melilit, ia bangkit dari ranjang.

Sementara Rembulan masih tertidur pulas di sebelahnya.

Dayu kaget begitu turun ke lantai bawah. Di tengah seluruh ruangan rumah yang gelap gulita, lampu di ruang makan menyala terang benderang. Seperti ada kesibukan di sana. Papa bahkan sedang duduk di meja makan.

SURTI

(tersenyum)

Lapar, Nyonya?

Surti tiba-tiba datang dari arah dapur. Kedua tangannya membawa sebuah panci bertelinga yang masih menguarkan uap panas.

 

SURTI

(tersenyum)

Silakan dimakan, Dayu. Ini soto istimewa dari resep Ibu di kampung.

 

Surti menempatkan pantat panci itu ke tengah meja. Cahaya lampu malam hari itu menyorot ke arah mukanya dengan ganjil.

Dayu merasa aneh mendengar namanya disebut demikian. Tanpa embel-embel Non atau Nyonya atau Bu seperti biasa. Tetapi ia segera mengenyahkan perasaan ganjil itu begitu melihat sepanci soto yang terhidang di meja. Dengan irisan kol, potongan tomat, dan suwiran daging ayam. 

 

DAYU

Hm, kelihatannya enak. Eh, maaf kalau saya tadi agak terlalu keras. Hanya saja, saya lagi capek sementara Rembulan itu …

 

SURTI

Tidak apa, Nyonya. Silakan.

 

Sambil melempar senyum kaku, Dayu menarik sebuah kursi di kepala meja makan, tepat di seberang kursi ayahnya.

Dengan cekatan, Surti menyendokkan kuah soto dari panci ke dalam mangkok baru sebelum menyerahkannya kepada Dayu. Surti kemudian mengambil posisi ke sisi Ayah Dayu, hendak menyuapinya.

Ayah terlihat seperti masih setengah tidur. Matanya membuka tetapi tampak kosong.

Sruput.

Kuah soto kuning menetes ke dagu sang ayah. Surti membiarkannya saja, sama sekali tak berusaha mengelap dagunya. Perut Dayu seketika terasa mual. Ia mengalihkan tatapan ke mangkoknya sendiri.

Saat baru hendak mengangkat sendok untuk suapan pertama, Dayu dicekam rasa ngeri hingga menjatuhkan mangkok sotonya. Sendok kuah sotonya itu memuat sebuah potongan jari manusia utuh. Lengkap dengan kukunya.

PRANG!!!

Mangkok keramik itu pecah berkeping-keping ke lantai. Seluruh kuah panas sotonya menyiram pangkuan Dayu sebelum tumpah berhamburan ke lantai.

 

SURTI

(bertanya dengan suara yang terlalu tenang. Satu tangannya masih terangkat memegangi sendok, hendak menyuapi ayah Dayu)

Kenapa, Nyonya?

 

Dayu melihat ayahnya dengan tatapan kosong. Di benak Dayu masih tergambar jelas seruas jari manusia utuh.

Lalu suasana hening, selain detak jam kukuk dan suara statis TV yang dibiarkan menyala.



BERSAMBUNG

 


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)