Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
DAYU 1983 (horor-series)
Suka
Favorit
Bagikan
2. Episode 1 (Part 2) Anak Bisu
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator


INT. KAMAR—PAGI

Dayu terbangun oleh beker yang berbunyi nyaring di sisi ranjangnya. Ia merasakan pedih dan gatal di pahanya. Saat menyingkap baju tidurnya, Dayu mendapati bekas kemerahan di kulitnya seperti agak melepuh.

 

INT. DAPUR--PAGI

Mbok Imeh sedang mencuci peralatan makan di bak dapur. Dayu dengan busana kerjanya melirik ke tumpukan mangkok yang menanti dicuci. Dalam benak, penciumannya masih menghirup bau anyir semalam yang menguar dari kuah soto.

 

DAYU

(bertanya sambil lalu)

Kemarin makan malamnya soto ya, Mbok?

 

Tangan Dayu meraih kantong teh celup, lalu menjatuhkannya ke dalam cangkir. Merendam kantong teh itu dengan air panas dari ceret.

 

Mbok Imeh

Iya, masa nggak tau? … Kan habis semangkok sama Non Dayu sendiri.

 

Dayu mematung. Dia merasakan darahnya kembali berdesir.

 

Mbok Imeh

(tergelak di latar belakang)

Makan di malam buta seperti orang kesurupan … Memang enak, sih. Katanya itu resep dari ibu di kampungnya.

 

INT. RUANG PSIKOLOG--SIANG

Dayu tampak gelisah menunggu di ruang tunggu psikolog anak. Ruang itu terlalu putih dan kaku. Ia tak suka suasana warna putih steril itu.

Di hadapannya terdapat meja rendah bertaplak putih. Sejumlah majalah tersebar di atasnya. Parenting, Ayahbunda, majalah Bobo. Di tembok putih di hadapannya, terdapat sebuah lukisan besar. Sekumpulan nelayan tengah menebarkan jala di laut lepas. Mungkin lukisan itu sengaja dipasang untuk meredakan kegelisahan seseorang yang dibuat menunggu, seperti dirinya. Namun alih-alih ketenangan, Dayu justru merasa semakin gelisah.

PETUGAS

(menyodorkan formulir)

Bu Dayu? Silakan isi formulir data diri anak Anda lebih dulu.

 

FLASHBACK

INT. RUANG KANTOR--PAGI

TEMAN KERJA DAYU

Dulu anak kakakku punya masalah gangguan fokus parah sampai ditolak masuk sekolah manapun. Tapi begitu anaknya dibawa rutin terapi ke klinik ini, luar biasa perkembangannya. 

 

DAYU

(menatap kartu nama yang diberikan temannya)

Kata gurunya dulu memang usia Rembulan sekarang berada di masa kritis perkembangan.

 

TEMAN KERJA DAYU

Betul itu. Coba saja dulu. Nggak ada ruginya. Biasanya pertemuan pertama hanya konsul dengan orangtua. Sesi berikut baru observasi anak langsung.

 

LANJUT…

INT. RUANG PSIKOLOG--SIANG

Bu Ratna adalah seorang wanita yang mungkin sudah berumur lima puluhan tetapi tampak masih berjiwa belia. Rambutnya dipotong pendek model bob, dengan poni rata di atas jidatnya. Anting-anting panjang merah menjuntai dari telinga di balik rambutnya. Kacamata bifokalnya, yang biasa dikenakan orang-orang usia senja, berwarna merah jambu metalik.

     

BU RATNA

(tersenyum simpul, matanya tidak ikut tersenyum)

Pagi. Ke mana ayahnya, nih? Nggak ikut?

 

DAYU

Saya ibunya, satu-satunya yang melahirkan dan merawatnya. Saya rasa itu sudah cukup.

 

BU RATNA

Yaa… sayang sekali. Saya membutuhkan data dari kedua sisi.

(sambil menatap berlembar-lembar formulir yang sebelumnya diisi Dayu.)

 

FLASHBACK

DAYU

Mas, kamu tuh kelewat pelit! Bahkan untuk anakmu sendiri.

 

BAGAS

Rembulan anak yang normal. Kamu yang paranoid!

 

DAYU

Sudah cukup! Lama-lama aku bisa ikut jadi gila!

 

LANJUT.

Bu Ratna

(menghela napas)

Baiklah, kalau begitu, Bu. Mari kita mulai saja. Ibu bebas bercerita apa pun.

 

DAYU

(mengelap wajahnya, tersenyum masam)

 

Bu Ratna

[Masih menatap lurus dengan senyum basa-basi]

 

 

INT. RUMAH—DINI HARI

TV masih dibiarkan menyala, meski hanya menayangkan gambar semut. Titik-titik hitam putih dan bunyi dengung statis. Dayu menyusuri lorong-lorong rumah masa kecilnya. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 1.25. Di rumah ini, Dayu menyadari tak seorang pun tertidur pada dini hari. Kakinya akhirnya berhenti di depan sebuah kamar di ujung lorong. Dari dalam, terdengar senandung suara orang menyanyi.

 

“Turua wija kula sayang.

Iki sungkawa tan neda dangu.

Sesuk ajeng mantun.

Wekdal ajeng rawuh.”*[1]

 

Dari celah pintu yang terbuka, Dayu mengintip ke dalam. Ternyata Surti menyisiri rambut hitam panjang Rembulan sembari bersenandung. Yang mengejutkan Dayu adalah saat melihat kepala plontos milik Surti. Tak ada sanggulnya yang biasa, bahkan tak ada sehelai rambut pun tumbuh di batok kepalanya yang dipenuhi luka koreng.

Saat tatapan Dayu tertuju ke arah tembok, seketika tangannya membekap mulut agar teriakannya tidak tumpah. Persis di tembok belakang, bayangan Surti serupa genderuwo. Punggung bayangan itu berpunuk dan ukurannya sangat besar dibandingkan dengan bayangan mungil Rembulan di depannya. Surti seakan sedang menyanyikan lagu pengantar tidur yang menenangkan, padahal kenyataannya, sosoknya hendak menelan Rembulan hidup-hidup.

Rembulan perlahan menoleh ke arah Dayu, ibunya. Ia tersenyum. Dari sela-sela giginya, menetes cairan merah. Di tangannya, tergenggam buah jintala. Senyumnya yang semakin lebar kini lebih menyerupai seringai. Ia menguarkan aura yang mengisap seluruh udara di sekitar, hingga yang tersisa di ruangan hanya hawa dingin. 

Buah jintala yang semula dipegang Rembulan menggelinding ke kaki Dayu yang masih berdiri terpaku di muka pintu kamar. Dari bekas gigitannya, menyeruak satu, dua… bukan, ribuan belatung.

 

INT. RUANG TENGAH—PAGI DI AKHIR PEKAN

Hari berganti pagi.

Saat turun tangga, Dayu berpapasan dengan Angga di ruang tengah.

 

ANGGA

Eh, saya barusan habis membesuk ayahmu, mengantarkan barang yang dimintanya. … Saya balik dulu, kalau gitu.

 

DAYU

Tunggu…

 

ANGGA

(menoleh)

 

DAYU

Mau minum dulu? Temani saya sarapan… barangkali.

 

ANGGA

(tersenyum)

Oh, boleh. Dengan senang hati.

 

INT. RUANG MAKAN-PAGI

DAYU

Aku baru mengatakan ini kepada kamu saja. Tapi aku merasa, Rembulan punya bakat. Bukan memiliki masalah kejiwaan.

 

ANGGA

(tangannya mengangkat cangkir kopi ke mulut, hendak menyeruputnya)

Bakat? Maksudmu?

 

DAYU

Iya… kemampuan untuk berhubungan dengan makhluk halus.

 

ANGGA

(nyaris memuncratkan minumannya)

Kayak indigo, maksudmu?

 

DAYU

Ya, apalah namanya. Yang jelas, dia bisa melihat apa yang tidak bisa kita lihat. Itu sebabnya dia berbeda dari anak-anak kebanyakan. Tidak mudah menjadi anak seperti Bulan.

 

ANGGA

(meletakkan cangkir kopinya ke atas meja)

Berbeda dari anak kebanyakan bagaimana, maksudmu?

 Karena ia seperti anak yang… bisu?

 

DAYU

(terdiam)

 

ANGGA

Kalau saya lihat, Rembulan anak cerdas yang memiliki daya imajinasi tinggi. Tapi melihat interaksinya dengan pengasuhnya, rasa-rasanya gak ada yang perlu kaukhawatirkan.

 

DAYU

(tegas)

Surti bukan temannya. Aku tak percaya padanya. Dia… aneh.

 

ANGGA

Karena penampilannya?

 

DAYU

(matanya menerawang, memainkan kalung di lehernya)

Bukan… bukan itu.

 

ANGGA

Apakah menurutmu kamu agak cemburu dengan kedekatan antara mereka?

 

DAYU

(menatap lawan bicaranya tajam)

Kau perlu tahu, firasat seorang Ibu selalu benar.

 

INT. DAPUR—JELANG SIANG

DAYU

(memasuki ruang dapur)

Mbok Minah!

 

MBOk IMEH

Lha kok Minah ... Imeh, nama saya, Non.

 

DAYU

(menepuk jidat)

Oh iya, Mbok Imeh. Mbok, aku mau nanya. Kalau Surti itu, baru ya kerja di sini?

 

MBOK IMEH

Iya, Non. Yah, sejak Bapak kondisi pikirannya begitu…

 

DAYU

(bertanya sambil mulai celingak-celinguk)

Dia tuh asalnya dari mana, Mbok?

 

MBOK IMEH

Apa yah nama kampungnya? Kampung Waru atau apa gitu… di pelosok banget, yang jelas. Pasti Non Dayu juga enggak pernah dengar. Wong saya aja yang udah banyak jalan-jalan sekeliling Jawa ini enggak tau.

 

Diam-diam, tangan Dayu memindahkan sebuah toples berisi bongkahan gula jawa ke sudut lemari yang tersembunyi.

Tiba-tiba terdengar suara derit pintu terbuka. Dayu menjulurkan kepala. Suara itu berasal dari arah pintu kamar Papa. Tak lama kemudian, tampak Surti tergopoh-gopoh memasuki ruang dapur sembari membawa tumpukan piring kotor.

 

DAYU

(berkata lantang sambil memeriksa laci rak dapur)

Yah, gula jawanya habis, nih. Bisa tolong belikan ke warung, Mbok Surti?

 

MBOK IMEH

Biar saya saja yang belikan, Non. Biasa juga sama saya.

 

DAYU

Nggak bisa. Em… saya butuh Mbok Imeh di sini … untuk beberes yang lain.

 

SURTI

(tiba-tiba menyahut dengan suara pelan)

Baik, Nyonya.

 

Beberapa menit kemudian, dari balik celah jendela, Dayu mengintip Surti yang melangkah keluar dari pagar rumah. Tanpa menyiakan waktu, Dayu segera beranjak meninggalkan ruang dapur.

Mbok IMEH

(masih memanggil di belakang)

Saya mesti beberes apa Non?

 

DAYU

(hanya melirik tanpa menghentikan langkah)

Ah itu, tolong bersihkan debu di kolong-kolong sofa.

 

Dengan langkah-langkah cepat, Dayu bergerak menyusuri koridor menuju kamar di ujung lorong. Kamar Surti.

Bulu kuduknya tiba-tiba meremang saat kakinya tiba di muka pintu, merasakan sensasi yang sama dari mimpi buruknya semalam.

Dayu memutar kenop pintu, bersyukur pintu kamarnya tidak dikunci. Pintu itu berderit membuka. Ruang kamarnya yang berukuran sekitar 3 x 3 meter hanya berisi satu ranjang dan satu lemari pakaian. Dalam penglihatan mata, tidak ada hal aneh apapun yang tertangkap. Tetapi lambat laun, penciuman Dayu menangkap bebauan aneh.

Sesaat berikutnya, mata Dayu menangkap objek yang seharusnya ditelusurinya. Satu-satunya furnitur di kamar itu dengan pintu tertutup. Sebuah lemari.

Begitu pintu lemari itu dibuka, bau tajam segera menyerbu penciumannya. Di kolong yang sejajar dengan penglihatan matanya, tampak setumpuk lipatan baju. Tetapi di kolong lemari bawah, Dayu menemukan sebuah cawan kecil berisi dupa menyala. Sumber bau aneh itu.

Di atas cawan kecil berisi dupa itu, ada sebuah benda dengan bentuk yang sangat Dayu kenali. Bros berbentuk kupu-kupu perak dan biru. Bros miliknya.

Tetapi yang membuatnya paling bergidik, adalah saat melihat selembar foto yang terselip di bawah cawan dupa. Foto dirinya dari jarak dekat saat sedang tidur di kamarnya.

Siapa yang bisa mengambil foto ini?

Dengan jantung bertalu-talu, Dayu malah mengangkat ponsel. Lalu mengarahkannya ke benda-benda mistik di dalam lemari itu. Setidaknya ia mendapatkan bukti, jika ada orang yang tidak memercayai ucapannya.

Dalam keheningan ruang kamar itu, tiba-tiba saja muncul sosok orang dari belakang. Sedikit pun tidak terdengar derap langkah kaki atau derit pintu dibuka.

Jantung Dayu serasa copot. Surti sudah berdiri persis di belakangnya. Hape yang ada di dalam genggaman Dayu pun terlempar jatuh. Raut Surti terlihat begitu tenang.

 

SURTI

Gula jawanya habis, Nyonya.

 

 

 

TO BE CONTINUED

 

 

 

 


[1] Lelaplah, anakku sayang.

Kesedihan ini tidak akan panjang.

Besok akan selesai.

Waktu itu akan segera datang.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)