Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
DAYU 1983 (horor-series)
Suka
Favorit
Bagikan
4. IBU PULANG-Episode 4

EPISODE 4 IBU PULANG / MOMMY’S HOME


EXT. KAMPUNG WARU-DAY

Sebuah perkampungan dengan rumah-rumah berdinding anyaman bambu dan atap ijuk tampak jelas belum tersentuh teknologi. Warga hilir-mudik dengan kesibukan masing-masing, tetapi terlihat ada yang ganjil dari rupa para warga itu.


OS SURTI DEWASA

Konon dipercaya bahwa di dunia ini, ada tujuh pintu menuju neraka.

Salah satu pintu itu, adalah kampung kami yang berada tepat di cekungan lembah.

Seluruh penghuni kampung kami telah dijatuhi vonis sebagai manusia-manusia buangan.

Manusia-manusia yang dikutuk.

Sebagian dari kami tak memiliki hidung, jari atau kaki.

Akibat gangguan iblis atas dosa-dosa yang pernah dilakukan.

Wabah, toh, tak lain sebuah kutukan.


EXT. PENDOPO DESA-FLASHBACK-1867


DOKTER DESA

Kami belum tahu pasti bagaimana penularannya,

tetapi kita harus segera mengambil tindakan cepat

untuk menghentikannya dari menjalar ke desa-desa lain.


WEDANA

Apa saranmu?


DOKTER DESA

Pisahkan yang terjangkit. Isolasi!


EXT. KAMPUNG WARU-DAY

Warga berkebun singkong. Warga bahu-membahu membangun rumah.


OS SURTI DEWASA

Kami diasingkan dari dunia sepenuhnya

karena semua memercayai bahwa apa yang kami sentuh,

bahkan apa yang kami lihat, bisa menerima kutukan kami.

Pihak wedana menjanjikan bahwa pemukiman yang diisolir itu

hanya akan berlangsung sementara.

Nyatanya, musim dan tahu berganti,

sementara kami terus menyaksikan generasi-generasi baru lahir dan tumbuh di sana.

Manusia-manusia baru yang bahkan tak pernah melihat

dan menginjakkan kaki di dunia luar.


Tangisan bayi baru lahir, ditimang-timang ibunya.


OS SURTI DEWASA

Seiring waktu, bantuan yang dibutuhkan kian jarang datang.

Semakin banyak jumlah kami di dalam, semakin takut orang di luar.

Akhirnya, kampung isolasi telah berganti menjadi kampung yang dihapuskan.

Dunia telah melupakan kami.


EXT. SAUNG PERTEMUAN DI KAMPUNG WARU-DAY


TETUA

Kita adalah manusia-manusia terpilih, bukan terbuang.

Mustahil ini kutukan, karena di sini kita saksikan sendiri

alam begitu murahnya menjamin kehidupan kita semua.

(mengangkat buah jintala, lalu mengedarkannya ke para warga)

Makanlah. Ini buah yang dihadirkan alam untuk menangkal bala.


Wajah-wajah warga desa yang duduk bersila menyimak dengan khusyu.


CUT TO:


INT. RUMAH DI KAMPUNG WARU-DAY

Ibu-ibu mengantarkan tidur anak-anak dengan lagu ajimat pelindung dari malapetaka.

“Turua wija kula sayang.

Iki sungkawa tan neda dangu.

Sesuk ajeng mantun.

Wekdal ajeng rawuh.”


OS SURTI DEWASA

Tak ada yang tahu siapa yang merapalkan mantra lagu itu pertama kali.

Hanya bahwa para wanita dewasa telah menerimanya turun-temurun dari nenek mereka,

dan akan mereka teruskan kepada keturunan mereka.

Di setiap malam, mereka akan merapalkan lantunan itu

sembari mengusap ubun-ubun anak yang belum menginjak usia dewasa.

Berharap jiwa mereka yang masih suci dari dosa

diperkenankan lolos dari malapetaka yang sama.

Terbebas dari kutukan yang diwariskan.

Namaku Surti.

Dari garis keturunanku, aku adalah orang pertama

yang lolos dari kutukan itu.


INT. RUMAH SURTI-DAY

Nek Sinah yang buta, memanggil.


NEK SINAH

Surti. (kedua bola matanya putih, telunjuknya mengacung)

Ambilkan keranjang Nenek dari serambi depan.


Surti kecil berjalan ke serambi. Terdengar suara ayah dan ibunya yang baru kembali dari luar sedang berbincang sengit. Urung ke beranda, Surti memilih menguping pembicaraan.


ABAH

Kita gak bisa hidup begini terus.

(pulang sambil menggotong kayu bakar di punggung, napasnya tersengal)


MAH DARMI

Abah yakin bisa? Dengan kesehatan Abah sekarang?...

Tanpa jimat perlindungan dari tetua?


ABAH

Sayang sekali. Karena semakin banyak yang meninggalkan tempat ini,

tetua sudah nggak lagi memberi restu. (menghela napas)

Tapi tidak apa. Ingat, kita masih punya ini.

(menunjukkan sekantong buah jintala yang diikatkan ke sabuk pinggangnya)


MAH DARMI

(masih khawatir)

Tapi yang lain gak balik.


ABAH

Abah janji akan kembali.

Kita gak bisa hidup begini terus.

Demi kamu, dan Surti.


MAH DARMI

(mengecup dan menempelkan tangan sang suami ke pipi)

Kapan?


ABAH

Besok. (mengelus kepala istri)

Abah janji akan kembali pulang membawakan pesanan.

Garam dan…


MAH DARMI

Gula jawa.


OS SURTI DEWASA

Keesokan pagi, Abah benar berangkat.

Berhari-hari kami tak menerima kabar darinya.

Sampai suatu malam…


INT. SERAMBI RUMAH SURTI-DAY

Abah pulang dalam kondisi lemah. Masih memanggul tumpukan kayu bakar yang tak berhasil ditukarnya dengan apapun. Wajahnya kuyu. Ibu dan Surti kecil segera menyambutnya dengan cemas.


OS SURTI DEWASA

Sepulang dari luar, kesehatan Abah semakin buruk.


Menurut tabib desa, paru-paru Abah sudah tinggal separuh saja. Sampai suatu hari ia meninggalkan kami untuk selamanya.

Abah berbaring kaku di dipan. Di sisinya, ada tabib merapalkan doa sambil memegangi kening dinginnya. Ibu menangis dalam diam. Nek Surti bergeming seperti biasa, duduk di pojok dipan.


EXT. LADANG DESA-DAY

Ibu mengambil alih tugas Abah. Berladang singkong dan mengumpulkan kayu bakar.

Kepergian Abah untuk selamanya bersamaan dengan periode kemarau tahun ketiga saat kampung Waru mengalami gagal panen. Hal itu semakin menguatkan tekad Ibu untuk menguji nasib keluar dari kampung. Ketidakmujuran Abah membawa hasil dari luar kampung alih-alih menyurutkan semangat Ibu, malah menyetirnya untuk berpikir bahwa takdir menyuruh dirinya untuk merantau lebih jauh. Keluar dari area yang masih mengenal sejarah kampungnya. Itulah kemampuan yang tidak dimiliki oleh suaminya. Bukankah ia memiliki fisik yang lebih prima? Meski dengan keterbatasannya, Ibu meyakini akan ada yang mau menerima dirinya.


MAH DARMI

Surti, kau percaya Ibu kan?

Dalam waktu dekat Ibu berencana pergi keluar.

Menggantikan tugas Abah. Belum tau waktunya kapan.

Kau temani Nek Sinah di sini.


SURTI

Jangan Bu. Surti takut.

Takut Ibu nggak bisa pulang lagi.


MAH DARMI

Nggak akan. Ibu janji.

Kau tahu kenapa Ibu bisa begitu yakin?


Karena ini (menunjukkan kalung dengan jimat batu). Ibu sudah dapat restu. Ibu juga lebih sehat dari Abah. Ibu bisa pergi lebih jauh, keluar dari kampung sebelah yang masih mengenal sejarah kampung kita ini.

Ibu lalu mulai menyanyikan Turua Wija sambil mengusap ubun-ubun kepala anaknya. Menenangkan Surti.


INT. RUMAH SURTI-DAY

Pagi itu Surti kecil terbangun oleh kokokan ayam seperti biasa, tetapi tak bisa menemukan Ibu. Gembolan berisi sebagian pakaian yang selalu ditaruhnya di sisi dipan tidur sudah tak ada.

Ibu memilih pergi dalam keheningan sebelum waktu fajar. Di saat semua penghuni rumah dan warga masih terlelap.


EXT. DEPAN RUMAH SURTI-DAY

Surti berlari keluar rumah dengan bertelanjang kaki, berharap masih bisa melihat sosok ibunya. Mencegatnya dan membatalkan kepergiannya. Tetapi sia-sia saja.

Melihat Surti yang meraung-raung di luar rumah seraya memanggil ibu, Bu Randu, penghuni rumah depan segera menghampiri.


IBU RANDU

Ibumu sudah pergi. Tapi nanti kembali lagi. (menatap iba)

Kau tunggu. Ibumu nanti akan kembali pulang untuk menjemputmu.


SURTI

(sesenggukan)


Dengan pasrah, Surti kecil membiarkan dirinya dituntun kembali memasuki rumah. Tangisnya tidak diladeni oleh Nek Sinah yang juga sudah terbangun lebih awal dan kini duduk di depan serambi.


NEK SINAH

Surti, sudah kau beri makan ayam?

(bertanya datar)


Meski begitu, suara tegas Nek Sinah mencegahnya dari terus-menerus meratapi kepergian Ibu. Ia berlaku seolah tidak terjadi apa-apa.


OS SURTI

Sepeninggal Ibu, barulah aku merasakan hidup dalam kutukan yang sesungguhnya.


EXT. KEBUN SINGKONG-DAY

Ibu Randu dengan bayi di kantong punggungnya sedang memetik daun-daun melinjo untuk dimakan. Tiba-tiba putranya Randu datang sambil menangis kencang.


IBU RANDU

Kamu dipatuk?... Mana telurnya?


RANDU

(menangis makin kencang)


SURTI

Biar sama aku saja.

(menaruh kayu bakar, lalu berlari)


Sampai di kandang, Surti menowel sedikit sayap induk ayam yang sedang duduk mengerami telurnya sehingga berpindah dari duduknya. Surti lalu dengan cekatan memungut dua butir telur. Memasukkannya ke kain bajunya.


SURTI

Dapet!

(memperlihatkan empat telur di dalamnya)


IBU RANDU

Wah, pintar kau, Nak. Makasih.


SURTI

(tersenyum cerah)


Surti beranjak makin besar. Ia menyaksikan semakin banyak rumah-rumah beratapkan daun rumbia dan berdinding bambu dibiarkan kosong tak berpenghuni.

Sayangnya, begitu Surti mulai menginjak remaja, sikap Nek Sinah semakin tak terkendali. Semua yang ia lakukan seakan selalu salah. Umurnya yang semakin renta juga menambah kerumitan baru. Nek Sinah mulai pikun. Sering kali ia salah menyebut nama Surti dengan nama ibunya. Terkadang ia juga akan mengamuk tak terkendali tanpa sebab apapun.


INT. RUMAH SURTI-DAY


NEK SINAH

Aaaaaa… haaaa…

(Terdengar suara Nek Sinah mengerang panjang)


SURTI REMAJA

Ada apa, Nek?

(menghampiri)


Surti melihat Nek Sinah tengah mengunyah buah jintala mentah dengan tatapan kosong. Daging merah tumpah di sela-sela giginya. Dengan bola mata tersaput kabut putih, Nek Sinah menumpahkan ludah merahnya ke sekujur muka Surti.


NEK SINAH

Dunia ini sudah dikutuk. Kau anak terkutuk.

(meludahkan cairan merah dari jintala ke Surti)

Kenapa kau pergi meninggalkanku???


SURTI REMAJA

Aku nggak ninggalin Nenek.

(mulai menangis lirih)

Nggak akan.


NEK SINAH

Aaaa… terkutuk kau, Darmi.

(kembali mengerang)


Lambat laun, Surti mempelajari cara untuk bertahan hidup dengannya. Surti memerhatikan dengan mata jelinya bahwa bila kedua tangan neneknya sibuk menganyam serabut rotan, Nek Sinah bisa terpaku seharian dengan tenang. Karena itulah, ia harus selalu memastikan akar-akaran selalu tersedia di bilik kamar di samping dipannya.


INT. RUMAH SURTI-DAY


SURTI REMAJA

Pagi, Nek.

(Tangan Surti mengambil mangkok buah jintala,

lalu menukarnya dengan jalinan akar rotan di sisi dipan.)


NEK SINAH

Aa…

(baru bangun sambil mengusap-usap pipi)


SURTI REMAJA

Surti berangkat dulu, Nek.


Nek Surti masih duduk terpaku, lalu perlahan mengambil wadah di sisi dipannya. Tangannya mulai menjalin lincah akar rotan itu.


EXT. TEPI KEBUN-DAY


RANDU DEWASA

Maaf, Ti. Tapi kesempatan ini mungkin ga akan datang lagi.


SURTI DEWASA

Kamu sudah janji. Nggak akan pernah pergi.


RANDU

Ti, tolong mengerti aku. Ibu udah nggak ada.

Apa yang menahanku di sini?


SURTI

Ada aku. Dan… calon anak kita.

(ia mengambil tangan Randu dan menaruhnya di perutnya.

Ia bisa merasakan tangan Randu yang bergetar.

Ia tahu, Randu tidak yakin… untuk jadi seorang ayah.)


RANDU

Maaf, Ti. Tapi…

(lama menimbang)

Ikut aku. Kita bisa pergi bersama.


SURTI

Randu… aku nggak mungkin ninggalin Nenek yang buta dan setengah lumpuh.


RANDU

Nenek sinting itu?


SURTI

Jangan bilang begitu.

Dia satu-satunya yang menemaniku terus.


RANDU

Terserah kaulah. Aku tetap pergi… Maaf.


SURTI

Randu! Aku nggak perlu maafmu!

Kau masih saja pengecut!

(menangis)


Saat itu, rumah-rumah kosong yang ditinggal penghuni semakin banyak.


EXT. KEBUN SINGKONG-DAY

Saat memetik singkong, Surti mengaduh. Darah mengalir dari selangkangan, menuruni betisnya. Ia jatuh terduduk, tangannya meremas perutnya. Detik itu juga ia sudah tahu. Bahwa ia telah kehilangan jabang bayi di dalam perutnya. Kehilangannya yang kedua.


OS SURTI DEWASA

Mungkin memang jalan terbaik baginya dengan tidak terlahir ke dunia.

Lagi pula, kehidupan seperti apa yang bisa kuhadirkan baginya?

Bukankah benar perkataan Nek Sinah?


OS NEK SINAH

Dunia ini sudah terkutuk.


EXT. TEPI DESA-DAY

Pohon-pohon jintala diyakini sebagai para penunggu desa yang bisu.

Mereka menghadirkan buah-buah magis untuk melindungi para penghuni.

Di antara salah satu penunggu tua itu, sebuah jintala matang terjatuh.

Ia tergolek begitu saja di hamparan tanah gelap.

Membusuk.


INT. RUMAH SURTI-DAY

Di atas dipan yang biasa, jalinan rotan terlepas dari tangan Nek Sinah. Ia menutup matanya. Mengakhiri usianya.


SURTI

Surti berangkat, Nek.


Sejenak, ia memerhatikan Nek Sinah. Mata butanya terbuka, tetapi kedua tangannya kaku. Surti menghampirinya, lalu memosisikan kembali akar rotan ke tangannya.

Hari mulai gelap. Nek Sinah masih di posisi semula.


SURTI

Surti pulang, Nek.

(kali ini tidak menghampirinya)


Hari berikut.


SURTI

Surti pergi… Nek…


Baru di hari ketiga kali ini, Surti menghampiri Nek Sinah yang terbujur kaku. Kulitnya begitu dingin. Perlahan Surti merapat ke pangkuannya. Melingkarkan tangan nenek ke seputar lehernya. Air mata Surti membasahi badan Nek Sinah.


SURTI

Turua wija kula sayang

(bersenandung lirih sambil membelai ubun-ubun sang Nenek)


EXT. KUBURAN-DAY

Sejumlah orang menggali tanah. Mengubur jasad Nek Sinah di dalamnya.


TETUA

(menghampiri Surti)

Kalau kau butuh apa-apa, Nak, kautahu kemana bisa mencari.


Surti hanya berdiri mematung tanpa menunjukkan emosi sedikitpun.


INT. RUMAH SURTI-DAY

Rumah yang kini ditinggalinya sendiri begitu hening. Surti perlahan menghampiri dipan tempat Nek Sinah dulu biasa berbaring dan bekerja menganyam keranjang rotan. Duduk di dipan itu, ketika kepalanya didongakkan, mata Surti menangkap seutas tali menggantung dari kasau penyangga atap. Serupa tali serabut rotan hasil anyaman tangan Nek Sinah. Menyerupai jeratan untuk leher. Entah siapa yang mengikatkannya di sana. Rasanya tak mungkin Nek Sinah yang setengah tubuhnya sudah lumpuh. Mungkinkan itu peninggalan terakhir dari ibunya? Atau sebuah ajakan untuk menyusulnya?

Surti lalu menaruh dingklik tepat di bawah, dan melingkarkan akar rotan itu ke seputar lehernya. Menjerat lehernya.

Selamat tinggal, dunia terkutuk.

Ia merasakan tenggorokannya tercekik dan kakinya mulai menyepak. Upaya pertahanan diri terakhir. Tiba-tiba tali akar yang sudah getas itu terputus. Seketika menjatuhkan tubuhnya ke atas dipan.

Surti terbatuk-batuk sambil mencengkeram lehernya.

Saat pandangan kaburnya kembali, ia menyadari dipan telah bergeser oleh hempasan tubuhnya. Di bawah dipan itulah, terselip selembar kertas yang mencuri penglihatannya.

Saat menggenggam kertas bertuliskan aksara asing itu di tangannya, Surti seketika tahu bahwa kertas itu merupakan tulisan tangan ibunya dan ia mengandung pesan darinya.


INT. RUMAH TETUA-DAY

Pak Tua, ia biasa dipanggil. Seolah-olah manusia yang paling dihormati di kampung itu tak pernah memiliki nama. Rambut, jenggot dan alisnya putih sepenuhnya. Sementara baju yang dikenakannya sewarna jelaga dari atas sampai ke bawah.

Mata batinnya yang tajam membuatnya mampu menerawang melampaui dunia di kampungnya. Meski kini yang mendatanginya tinggal segelintir, ia tetap bertahan dengan gelar dan perannya itu.

Petang itu Surti menghadirkan surat yang ditemukannya ke hadapannya, juga secarik pakaian yang dahulu sering dikenakan ibunya. Sehelai kebaya lusuh yang lama tersimpan di dasar lemari Nek Sinah.

Surti tahu petunjuk lebih akan sangat berguna bagi sang dukun untuk menghadirkan sebuah jawaban.

Kedua tangan keriput Tetua dengan urat-urat menonjol itu memegangi sehelai surat itu. Kedua matanya dipejamkan rapat. Pesan yang terkandung di dalam tulisan Ibu diterjemahkannya dengan meraba dan mengendusnya.

Ia lalu melakukan gerakan yang sama dengan kebaya lusuh itu. Menghirupnya dengan mata terpejam rapat.

Asap kemenyan menguar dari satu sudut ruangan. Menebarkan aroma mistis yang pekat, sekaligus membuat pedih mata Surti.

Setelah beberapa lama, sang dukun meletakkan secarik kain itu. Tangannya lantas kembali memungut suratnya. Ia mengulang gerakan yang sama dengan begitu khusyu dan terukur. Bergantian, disentuh dan dihirupnya antara selembar kertas dengan kain kembang-kembang lusuh itu. Diulanginya sampai dua kali, seolah ia masih menantikan kedatangan sebuah wangsit.

Surti menunggu penuh antisipasi.

Entah berapa lama waktu telah berlalu di ruangan itu ketika ia akhirnya mengakhiri sesi meditasinya, membuka matanya dan menatap Surti.


PAK TUA

Wajahmu mirip dengannya.

... Dia tidak ada lagi di sini.


SURTI

Benar, Pak Tua.

Dia sudah pergi dari kampung hampir tiga puluh tahun lalu.

(mulai tak sabar.)


PAK TUA

Bukan…


SURTI

...


PAK TUA

Ia masih ada di rumah itu.

Tetapi saya tak bisa menjangkaunya…


SURTI

...


PAK TUA

Ia terkunci di sana.


SURTI

Di rumah mana, Pak Tua?

Ke mana aku harus mencarinya?


Surti akhirnya bisa kembali menemukan suaranya. Tetapi pertanyaan bertubi-tubi Surti sudah tak lagi ditanggapinya. Sorot mata tuanya yang mulai tersaput katarak memberi isyarat cukup. Ia telah menuntaskan pesannya. Hanya sampai situ yang bisa ia ungkapkan.


CUT TO:


INT. RUMAH SURTI-DAY-flashback


OS MAH DARMI

(bicara pada Surti kecil)

Kau tahu, ikatan terkuat yang ada di dunia?

Itulah tali jiwa antara seorang ibu dengan anaknya.

Kekuatan gaib sekalipun tak bisa patahkan.

Ingat itu.


CUT BACK TO:


INT. RUMAH SURTI-DAY

Sepulang dari rumah tetua, Surti kembali sering memimpikan Ibu.

Mimpinya tentang Ibu semalam masih terasa begitu nyata begitu Surti terjaga di awal fajar hari itu. Sosoknya begitu jelas seakan wajahnya berada tepat di depan dan bisa diraba, meski ingatannya akan Ibu mentok di usianya yang kedelapan.

Sepasang mata sayunya. Tanpa alis.

Hidung kecilnya yang sesekali meneteskan darah. Sisa-sisa dari penyakit kutukan yang terus dibawanya. Bau asam tubuhnya yang melekat di kebaya lusuhnya dan selalu terhirup saat dia berbaring di sisi Surti sembari membelai-belai kepalanya sampai pulas terlelap.

Samar-samar penglihatan Surti menangkap sekelebat sosok di depan ranjang. Ibu melambaikan tangannya, menyapa dari kaki dipan. Sontak Surti terduduk tegak. Jantungnya berdebar kencang.


SURTI

(berucap lirih)

Ibu pulang.


Namun ketika berkas cahaya fajar perlahan masuk lewat kisi-kisi jendela, Surti menyadari penglihatan telah menipunya. Objek halusinasinya itu bersumber dari sehelai kebaya Ibu yang menggantung di kaitan besi daun pintu. Kain itulah yang seakan melambai-lambai ingin menyampaikan pesan. Ia baru ingat bahwa baju ibu itu sempat ia gantungkan di sana sepulang dari rumah sang dukun.


CUT TO:


INT. RUMAH TETUA-DAY-flashback


PAK TUA

Ia menunggumu.

(telunjuk bengkoknya mengarah ke aksara asing yang tertera di lembar amplop)


Rupanya ibu menuliskan petunjuk keberadaannya di sana.

Mimpi-mimpi yang Surti alami jelas merupakan sebuah isyarat dari Ibu.

Percuma saja dirinya terus menunggu.

Setelah tiga puluh tahun berlalu, Ibu ingin dijemput pulang.


VO SURTI

Ibu, aku akan datang menjemputmu.



To be continued





Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)