Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
CEO Bucin (Draft 1)
Suka
Favorit
Bagikan
4. ACT I - Setup (Part 03)

 

31. EXT. BANDARA SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN – BALIKPAPAN – SIANG

 

Pesawat baru saja mendarat. Angin panas Balikpapan menyambut dengan aroma laut dan debu halus kota pesisir.

 

Pintu kedatangan terbuka. Arka keluar duluan, membawa koper kecil—wajahnya tegang, waspada, seperti seseorang yang baru turun dari roller coaster metafisik.

 

Danu menyusul tepat di belakang, menyeret koper besar sambil ngos-ngosan.

 

DANU

(NGEDUMEL)

Ka . . . gue ini CFO, bukan sidekick supernatural elo.
Kenapa gue harus ke Balikpapan juga sih?

 

Arka tidak menoleh.

 

ARKA

Karena gue nggak mau sial sendirian.
Kalau semesta ngaco lagi, minimal gue ada saksi hidup.

 

DANU

(SYAFAAT)

Gue ikut karena lo takut semesta nge-glitch lagi. Gitu?!

 

Arka berhenti, berbalik pelan.

 

ARKA

Nu . . . Jawab jujur.
Kalau tiba-tiba pintu bandara ngebuka sendiri dan manggil nama gue . . . lo kira gue masih mau sendirian di kota orang?

 

Danu langsung merinding.

 

DANU

Ya . . . oke sih.
Fair.

 

Mereka melangkah masuk ke area kedatangan. Suasana ramai dan terang.

 

Di atas mereka, LED bandara menampilkan: SELAMAT DATANG DI BALIKPAPAN

 

Lalu berkedip sebentar: SELAMAT DATANG, ARKA.

 

Arka dan Danu langsung BEKU.

 

DANU

(BERBISIK PANIK)

KA—KA—KA—
NAMANYA MUNCUL LAGI KA.

 

Arka menutup wajah, depresi level CEO kena margin error.

 

ARKA

Ya Tuhan . . . beneran ini?!
Gue disambut semesta?!

 

DANU

(KEPADA PENONTON)

Sebenarnya genre ini film ini apa sih?
Kenapa bikin pemainnya lebih parno daripada film horor ya?!

 

Seorang STAFF KANTOR CABANG BALIKPAPAN tiba-tiba muncul dari samping, senyum formal seperti tidak ada yang aneh.

 

STAFF DIRGA

Selamat datang, Pak Arka.
Saya, Dirga. Manajer kantor cabang.
Kami sudah siapkan transportasi dan agenda untuk besok.

 

Arka menahan diri untuk tidak nanya apakah staff ini juga dikirimin notifikasi oleh semesta.

 

ARKA

Agenda . . . ?!
Apa termasuk pengecekan kerja sama IKN?

 

STAFF DIRGA

Betul, Pak.
Pusat data dan traffic cloud sudah siap dikunjungi.
Tim Otorita IKN juga menunggu konfirmasi Anda.

 

Danu menepuk bahu Arka pelan.

 

DANU

(BERBISIK KE ARKA)

Bos . . . setidaknya ini alasan normal pertama sejak glitch dimulai.

 

Arka mengangguk . . . tapi matanya masih terfokus pada layar LED yang tadi menyebut namanya.

 

Saat mereka berjalan menuju pintu keluar . . . Layar LED kembali berkedip kecil:

SYNCHRONIZATION: 49%

TARGET ENTITY: NEARBY

 

Arka membeku lagi.

 

ARKA

(PANIK JAIM)

Nu . . . itu muncul lagi.

 

Danu menatap layar. Menghela napas panjang.

 

DANU

Bos . . . kalo synchronization itu naik sampe 50% . . .
Sumpah!
Sekarang juga gue mau beli tiket pulang ke Jakarta buat jaga-jaga.

 

Arka menatap kota Balikpapan di luar pintu bandara.

 

ARKA

(INHALE)

Ya sudah, Nu.
Kita sudah sampai.
Semoga . . . semoga nggak ada yang aneh dulu.

 

Narator masuk tipis, nyaris geli.

 

NARATOR (V.O.)

Iya, Nak.
Nggak bakal ada yang aneh-aneh . . . sampai kamu lihat, seperti apa sesorang yang menunggu kamu di kota ini.

 

CUT TO:

 

 

32. EXT. KAMPUNG ATAS AIR – BALIKPAPAN – SIANG PIRANG

 

Kilau matahari memantul di air, menciptakan shimmer seperti glitch visual alami.

 

Suara laut, kayu yang berderit, dan percikan kecil dari perahu yang lewat jadi musik latar yang tanpa disadari sinkron dengan napas LIRA WULANDARI.

 

Lira duduk santai di teras rumah panggungnya - rumah yang ia tinggali bersama IBUNYA, walau ibunya sedang bekerja shift siang di puskesmas dekat pasar.

 

Ayahnya? Kerja di luar kota sebagai teknisi kapal. Pulang hanya dua kali sebulan.

 

Lira bukan dari keluarga kaya. Tapi bukan juga yang menyedihkan.

Mereka hidup wajar—hangat, sederhana, penuh tawa yang jujur.

 

Ponselnya bergetar pelan.

“SYNCHRONIZATION: 49%”

“ARKA: ARRIVED.”

 

Lira tersenyum kecil. Senyum orang yang tahu lebih dari semesta mau akui.

 

Ia menyesap es teh tarik, memutar sedotan sambil mengamati kawasan atas air yang sudah sangat ia pahami: anak-anak main di dermaga, ibu-ibu menjemur ikan, suara perahu motor tempel lewat, dan percakapan kecil dari dapur warung sebelah.

 

Di sampingnya tergeletak tas kerja penuh kabel, powerbank tebal, dan beberapa modul presentasi.

 

Karena Lira bukan orang nganggur.

Dia pegawai freelance untuk proyek digital lokal — bikin konten, handle social media, desain asset kampanye UMKM, kadang bantu dokumentasi proyek pemerintah. Kerjaan serabutan? Iya. Tapi dia cepat, kreatif, dan nggak pernah terlambat bayar listrik.

 

Dalam beberapa bulan terakhir, ia juga ikut mengerjakan proyek kecil untuk tim komunikasi Otorita IKN - ngedit video, bikin animasi sederhana, bantu riset visual. Nggak besar bayarannya, tapi cukup buat hidup.

 

PONSEL BERGETAR LAGI.

“TARGET PROXIMITY: WITHIN 7 KM.”

 

Lira memiringkan kepala seperti mendengar gosip menarik.

 

LIRA

Tujuh kilo lagi?!
Cepet amat, Pak CEO.

 

Angin meniup rambutnya. Cahaya matahari memantul dari jendela mobil di kejauhan, membentuk garis tipis ke arah dermaga dan menghilang. Lira nggak kaget. Dia malah menyeruput minuman lagi.

 

Tetangga datang membawa tambahan es.

 

TETANGGA

Lira, ini bonus.
Kamu keliatan kayak lagi nunggu tamu penting.

 

LIRA

(SENYUM)

Iya, Bu.
Ada yang mau “datang” hari ini.

 

TETANGGA

Keluarga?

 

LIRA

Bukan.
Cuma kerjaan . . . dan sedikit masalah cinta yang nggak saya minta.

 

Tetangga bingung.

 

Lira mengangkat bahu, pasrah.

 

LIRA

Santai aja, Bu.
Saya nggak gila.
Dunianya aja yang lagi error.

 

Tetangga makin bingung dan pergi pelan-pelan.

 

Lira menatap sungai Mahakam.

Ada sesuatu yang berubah. Energinya berbeda. Seperti kota ini baru dapat tamu yang akan mengubah highlight hidupnya.

 

LIRA

Oke, Balikpapan . . . bab barunya dimulai sekarang.

 

NARATOR masuk, suaranya terdengar senang.

 

NARATOR (V.O.)

Iya, Dek.
Dan bab ini bakal rame.

 

CUT TO.

 

 

33. EXT. JALAN MENUJU PUSAT KOTA BALIKPAPAN – SORE

 

Mobil hitam melaju tenang melewati deretan ruko, baliho besar, dan pepohonan rindang yang menari pelan ditiup angin. Cahaya sore Balikpapan jatuh dari sudut rendah, membuat semuanya tampak seperti filter film festival yang mahal.

 

Di dalam mobil:

Arka yang duduk di jok belakang, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong - tapi gelisah. Danu di sampingnya, memegang tablet seperti tameng dari glitch semesta. Sementara Staff Dirga duduk di jok depan, samping sopir.

 

DANU

Bos . . . lo sadar nggak sih?
Kota ini vibe-nya beda dari Jakarta.
Tenang, tapi . . . kayak ada wangsit dramanya gitu.

 

Arka tetap menatap keluar jendela.

 

ARKA

Iya, emang tenang . . .
Tapi kayak ngumpetin sesuatu.

 

Danu mengangguk cepat.

 

DANU

Nah itu!
Kayak kota ini sengaja nunggu kita salah belok biar munculin jump scare romantis atau apa gitu.

 

Arka ngelirik Danu dengan tatapan “gue capek tapi iya juga”.

 

Di jok depan, Staff Dirga hanya senyum dikulum.

 

STAFF DIRGA (V.O)

Mentang-mentang orang IT.
Muji keindahan Balikpapan aja
pake istilah IT juga.

 

Mobil melewati Taman Bekapai. Lampu taman mulai menyala satu per satu — tapi ritmenya tidak natural, lebih seperti sinkronisasi notifikasi.

 

ARKA

Nu . . . itu . . . itu.
Kenapa lampu taman nyalanya kayak heartbeat?

 

Danu menegang.

 

DANU

Bos . . . elo jangan bilang . . . setiap lampu ini nge-sync sama perasaan seseorang . . .

 

Arka menelan ludah.

 

ARKA

. . . gue takut itu bener.

 

Mobil berbelok ke jalan menuju pesisir.

 

Di kejauhan tampak laut biru keperakan, memantulkan cahaya sore. Angin berubah. Lebih lembut. Lebih dingin. Lebih . . . mengundang.

 

Arka mencondongkan tubuh ke depan, matanya terpaku pada sesuatu jauh di horizon:

kampung atas air — rumah-rumah kayu, atap seng, pantulan air berkilau tembaga - dan di antara semuanya, teras kecil tempat Lira baru saja berdiri.

 

Arka tidak mengenal tempat itu. Tapi tubuhnya bereaksi lebih cepat dari logikanya.

 

ARKA

(KEPADA STAFF DIRGA)

Dirga . . .

 

DANU

(ANGKAT KEPALA)

Apa lagi, Bos?

 

ARKA

. . . kita bisa lewat jalan pesisir itu  nggak?

 

Staff Dirga menoleh sebentar melalui kaca spion.

 

STAFF DIRGA

Bisa, Pak.
Malah lewat situ . . . lebih cepat sampai ke hotel.

 

Danu menyipitkan mata.

DANU

Bos . . . lo nggak kenal sama daerah itu kan?

 

ARKA

(JUJUR, PELAN)

 . . . nggak.
Tapi kayak ada yang narik.

 

BEAT.

 

Danu langsung memasang seatbelt lebih kencang, takut ada glitch dadakan.

 

DANU

Oke.
Tapi kalo tiba-tiba ada ikan lompat ke kaca mobil sambil bilang “hai” . . . gue beneran balik ke Jakarta.

 

Arka tidak menjawab. Karena matanya terpaku pada sesuatu di kejauhan:

 

sekelebat cahaya kecil di antara rumah-rumah panggung. Bukan pantulan. Bukan lampu. Lebih seperti . . . jejak keberadaan seseorang.

 

Narator muncul tipis, seperti suara dari balik ombak.

 

NARATOR (V.O.)

Tenang, Nak.
Setiap langkahmu . . . memang sedang diarahkan ke sana.

 

Mobil terus melaju, lebih dekat ke garis pesisir. Lebih dekat ke kampung atas air. Lebih dekat ke tempat Lira berada.

 

Di kaca jendela mobil Arka muncul teks tipis, halus, cuma untuknya:

SYNCHRONIZATION: 52%

TARGET ENTITY WITHIN RANGE.

 

Arka memejam mata, menahan napas yang tiba-tiba berat.

 

ARKA (V.O.)

(BERBISIK HALUS, JUJUR)

. . . kenapa gue jadi deg-degan ya?

 

CUT TO:

 

 

34. INT. RUMAH PANGGUNG LIRA – SORE

 

Rumah kayu bergoyang pelan diterpa angin laut, aroma dapur dan wangi kayu basah bercampur lembut.

 

Hiasan sederhana - foto keluarga kecil, kipas angin tua, dan tumpukan kain laundry yang belum disetrika - memberi nuansa rumah yang hidup.

 

Lira baru saja masuk membawa gelas es teh tarik kedua. Dia meletakkan tas kerjanya di sudut ruangan.

 

Di dapur kecil, IBU LIRA, wanita hangat dengan rambut disanggul sederhana dan celemek motif bunga, sedang menggoreng pisang kipas untuk jualan sore.

 

IBU LIRA

Liraaa . . . !
Kamu tadi duduk di luar lama amat. Nunggu siapa sih?

 

Lira memutar badannya.

 

LIRA

Nggak nunggu siapa-siapa, Bu.
Cuma menikmati angin laut aja.

 

Ibu Lira menghentikan gorengan, memandang anaknya dengan tatapan klasik ibu-ibu Indonesia yang sudah hafal sifat anaknya.

 

IBU LIRA

Hmm . . . 
Biasanya kalo kamu cuma duduk selama itu . . . kalau nggak lagi mikir . . . pasti lagi naksir sesuatu atau seseorang.

 

Lira terbatuk, hampir tersedak udara.

 

LIRA

Ih, Bu!
Nggak ada itu.
Serius.

 

Ibunya kembali menggoreng sambil ngomel tipis.

 

IBU LIRA

Kenapa sewot kayak gitu?
Ibu kan cuma nebak-nebak aja.
Lagian . . . kapan lagi kamu mau bawa cowok untuk dikenalkan ke ibu, sebagai pacar kamu, Nak?
Masa anak gadis umur segini belum ada yang . . .

 

PONSEL LIRA BERGETAR. Keduanya berhenti bicara.

Di layar:

"SYNCHRONIZATION: 52%"

"TARGET APPROACHING LOCATION RADIUS."

Lira mengangkat alis.

 

LIRA

 . . . Bu, kayaknya omongan soal pacar kita tunda dulu ya?!

 

Ibunya menoleh bingung.

 

IBU LIRA

Apa itu, Nak?
Aplikasi kerja?
Kok bahas radius segala?

 

LIRA

Nggak tau, Bu . . .
Ini kayak GPS tapi . . . lebih melo seperti semua sinetron striping yang nggak tau . . . kapan hilang peredarannya dari semua tv swasta nasional.

 

Ibunya meletakkan spatula, menyeka tangan.

 

IBU LIRA

Lira . . . apa sih yang kurang dari kamu, sampai nggak ada cowok yang naksir?
Padahal . . . kamu tuh cantik, pinter, kerja rajin.
Kalo cuma nunggu bola aja di rumah, sampai kapanpun ya nggak bakal ada cowok yang mau jadi pacar kamu, Nak.

 

Lira menahan senyum kecil.

 

LIRA

Iya, Ibuku Sayang.
Tapi . . . gimana kalo ternyata Lira hanya diam . . . tau-tau ada seorang CEO Jakarta yang datang ke rumah ini . . . kayak cerita drama pendek vertikal yang sering Ibu tonton di HP Ibu?!

 

Ibu Lira menatap anaknya lama, bingung, lalu mengibaskan tangan.

 

IBU LIRA

Udah ah . . . Ibu pusing.
Ngomong sama kamu itu . . . ibu nggak pernah menang.

 

Lira tertawa kecil.

 

Tiba-tiba angin mengayun tirai jendela kuat sekali. Tidak normal. Tidak kencang. Seolah ada sesuatu yang mendekat.

 

Lira menoleh ke luar. Deburan suara ombak sungai Mahakam lebih jelas. Cahaya matahari sedikit meredup, lalu kembali terang—seperti efek blink kamera.

 

Dia merinding samar.

 

LIRA

(PELAN)

 . . . dia makin deket.

 

IBU LIRA

(BINGUNG)

Siapa, Nak?

 

Lira memandang ibunya. Ragu. Jujur. Tapi tidak sepenuhnya siap menjelaskan.

 

LIRA

Seseorang yang . . . kayaknya bakal bikin ibu tambah cerewet nanti.

 

Ibunya berdecak.

 

IBU LIRA

Alaahhh! Paling juga temen kerja kamu . . . yang itu lagi . . . itu lagi.

 

Lira tersenyum pelan. Senyum orang yang tahu ibunya bakal kaget banget nanti.

 

NARATOR muncul pelan, nada kayak mau nahan ngakak.

 

NARATOR (V.O.)

Ibu Lira . . . sabar ya.
Siap-siap pingsan aja, Bu.
Calon menantu ibu sebentar lagi nyampe di kota Balikpapan.
Dan beneran . . . orangnya kayak di cerita drama pendek vertikal yang sering ibu Lira tonton di HP Ibu.
Tinggal realitasnya aja yang mau muter ke arah mana.

 

Lira kembali menatap jendela. Angin bergerak lagi, membawa sekelebat bayangan . . . entah siapa. Tapi terasa.

 

LIRA

(BERBISIK)

. . . selamat datang, Pak CEO.

 

CUT TO.

 

 


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)