Halaman ini mengandung Konten Dewasa. Jika usia kamu dibawah 18 tahun, mohon untuk tidak mengakses halaman ini
Fitur ini untuk akun Premium
Upgrade ke premium untuk fitur lengkap Kwikku
Baca karya premium
Lebih banyak diskon
Fitur lebih banyak
Waktunya berkarya
Jangan tunggu nanti tapi sekarang. Hari ini menentukan siapa kamu 5 sampai 10 tahun kedepan
Hallo Author
Kunjungi halaman author untuk memublikasikan karyamu di Kwikku, mulai dari Novel, Webtoon, Flash Fiction, Cover Book, dan Skrip Film
Kami mencoba menghargai author dari tindakan "Pembajakan", dan kami juga mengharapkan Anda demikian
Paket Berlangganan
Dengan menjadi bagian dari pengguna berlangganan. Kamu bisa mengakses berbagai manfaat yang kami berikan. Selain itu kamu juga bisa membaca ribuan cerita berbayar (yang berpartisipasi) tanpa perlu biaya tambahan
Kamu akan diarahkan ke Aplikasi Kwikku...
Unduh kwikku untuk akses yang lebih mudah
Scan untuk mengakses karya atau profil secara langsung.
Namaku Brendi. Bukan nama dari doa, tapi dari botol yang menggelinding di malam kelahiranku— saat ibu berdarah dan ayah tertawa.
Aku dilahirkan di antara dua pukulan: satu untuk ibu, satu untuk dunia yang katanya terlalu bising bagi orang seperti ayahku.
Sejak kecil aku tahu: menangis adalah kesalahan. Bukan karena aku kuat, tapi karena setiap tangis dianggap bunyi sumbang yang bisa mempermalukan nama ayah di telinga tetangga.
"Anak laki-laki gak boleh merengek," katanya. "Orang pikir aku gagal." Jadi aku diam.
Aku belajar menelan air mata seperti menelan duri. Perihnya masih di tenggorokan, tapi tak boleh keluar jadi suara.
Dan sejak saat itu, aku belajar seni yang pahit— tersenyum, bahkan saat berdarah. Senyum yang tipis, tapi penuh retak.
Senyum yang membuat mereka mengira aku baik-baik saja, padahal di baliknya, ada amarah yang duduk bersila, menunggu waktu untuk meledak.
Ayahku bernama Akbar. Tapi tak ada kebesaran di tangannya, selain luka yang ia tinggalkan.
Ibuku Novi. Namanya seperti pagi, tapi hidupnya adalah senja yang tak pernah selesai.
Kadang aku ingin bertanya pada Tuhan, kenapa anak-anak tidak bisa memilih dari rahim siapa mereka keluar, dan dari tangan siapa mereka belajar tentang cinta.
Tapi itu pertanyaan yang terlalu mewah, bagi anak sepuluh tahun yang hanya tahu satu cara: tersenyum. . . agar tidak dibunuh malam itu juga.