Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Marwan mengenakan kaos yang digunting lengannya, duduk di meja makan, sedang menerima telfon dari Hendri, teman lamanya yang bekerja di sekolah SMA lain, yang akan menjadi sekolah Nuril selanjutnya.
“Si Hikmat masih ngilang belum tau kemana.
Ya.. hampir seratus juta lah uang gue di si bajingan itu.
Udah kok kalo lapor polisi!
Hmm?
Bini gue?..”
Marwan terlihat ragu akan menjawab. Ia tidak ingin orang tahu ia korban selingkuh.
“Baik dia, sehat.
Oke deh, nanti gue kabarin kalo anaknya udah siap semuanya!
Iya dia masih ada urusan yang harus diselesain. Iya secepatnya! Minggu depan kira-kira!
Jangan lupa bantuin gue jual rumah ya. Gue mau pindah!
Ada persenan buat lo!
Oke, makasih Hen!”
Marwan menutup telfon. Ia mencari Nuril.
“Nuril?!” Nuril tidak mendengar. Marwan keluar, ke belakang rumah dimana Nuril berada.
Marwan berjalan pelan-pelan, memperhatikan Nuril yang asik latihan, memukul, menggebuk dan sesekali menerjeng samsak pohonnya sampai pohon bergoyang. Nuril kini lebih gemuk. Gerakan Nuril tidak kaku lagi, ia terlihat seperti orang yang benar-benar bisa berkelahi.
“Wow.. Pukulan bagus itu! Kamu udah bisa berantem sekarang!?”
Nuril berhenti memukul, ia terengah-engah, menunduk. Ia berbalik.
“Enggak tau Pak.. Aku masih takut..”
“Kenapa?”
“Setiap kali mereka ganggu aku, aku enggak bisa gerak. Tangaku gemeteran, dan aku panik.”
Marwan mendekat pada Nuril. Ia mengangkat dagu Nuril, menatapnya tegas, berusaha meyakinkan Nuril.
“Bapak juga sering gemetar sebelum berantem, tapi setelah Bapak lepaskan, Bapak lebih tenang. Bahkan Bapak kira, selama ini tuhan menjaga tinju Bapak.” Jelas Marwan.
Marwan mengepalkan tinjunya, menatapnya. Nuril juga menatap tinju Marwan.
Karena sekali dia dipake, orang pergi ke rumah sakit, hampir mati! Jadi, bilang sama Bapak! Apa yang menyelamatkan orang-orang ini dari tinju kamu tadi?” Tanya Marwan sambil menatap Nuril dengan yakin.
Nuril merasa tersanjung, termotivasi. Ia menatap tangannya.
“Aku akan coba buat enggak mikir macem-macem ketika tanganku mau gerak.” Ujar Nuril.
“Berhentilah mikir pukul atau jangan, mulailah mikirin cara menjatuhkan mereka dengan satu pukulan!” Kata Marwan lagi.
“Oke, aku akan pukul dia sampe dia pingsan. Lalu aku pulang. Satu pukulan enggak akan bikin aku dikeluarin dari sekolah kan!?” Sahut Nuril.
“Lho? Enggak apa-apa dikeluarin dari sekolah. Bapak enggak marah. Masalah cari sekolah baru itu urusan Bapak. Bapak pengen kamu lepaskan Rem yang nempel dalam diri kamu! Tabrak aja! Enggak ada larangan! Asal.. Tangan kosong, dan jangan sampai mereka mati. Kita harus kasih kesempatan orang untuk berubah, bagaimanapun juga.” Jelas Marwan lagi.
Nuril terdiam sebentar.
“Tapi aku udah ikhlas Pak.. Aku mungkin ngelawan lebih dari satu orang pada akhirnya. Itu enggak akan terhindarkan. Kalau aku kalah, aku harap Bapak enggak kecewa.”
“Hey Nuril! Kalo kamu kalah ngelawan orang yang lebih gede, atau lebih dari satu orang, itu bukan kalah! Sekarang kamu ngerti, betapa pengecutnya mereka kan?” Marwan tertawa kecil.
Nuril sekarang yakin ia harus melawan.
“Oke! Apa aku cukup mengintimidasi?”
“Ya, tapi mereka belum tau seberapa berbahaya kamu..”
Marwan dan Nuril bertatapan.
----
Nuril sedang dicukur oleh Marwan. Ia mengubah gaya rambutnya cepak, seperti tentara.
“Kamu akan berpakaian kayak mereka. Jangan sisir rambutmu rapih-rapih! Kamu harus terlihat seperti orang yang enggak peduli apapun lagi kecuali jadi yang terbengis!” Kata Marwan sambil memotong rambut Nuril.
****
Malam itu, Nuril berdiri di depan cermin, ia menatap dirinya sendiri. Lalu tangan kiri Nuril memegang alis kirinya, tangan kanannya menggores alis kirinya dengan silet. Bulir darah menetes. Nuril terlihat menahan sakit. Ia mengelapnya dengan kaos bekas.
Ia mengingat kata-kata Marwan.
“Seperti yang Bapak bilang, semua orang punya luka, dan setiap luka punya cerita. Beritahu mereka, kamu punya luka! Biarkan mereka menebak-nebak cerita dibaliknya!”
****
Cuaca mendung, gelap tanpa bintang. Terdengar suara gledek, hujan akan datang. Nuril berdiri di depan samsak pohon. Sobekan di alisnya sudah ia tutup dengan plast kecil, namun ia membiarkan sedikit bagian lukanya tetap terlihat untuk membuat orang ngeri.
Nuril menempel gambar foto wajah seseorang di samsak pohon. Ia melakban foto itu dengan rekat. Foto itu bukan foto Buyung, atau Anom, melainkan foto dirinya sendiri yang mesti ia kalahkan. Ia memang marah pada dirinya sendiri yang membiarkannya menjadi olok-olok orang lain selama ini.
Hujan pun turun, agak deras. Nuril melempar lakban sembarangan, lalu memasang posisi kuda-kuda. Seperti akan menyerang. Muncul suara Bapaknya di kepalanya.
“Kamu tau musuhmu siapa. Dia bisa disentuh, bisa dikalahkan.”
Nuril pun menubruk pohon sambil berteriak. Pohon bergoyang lumayan keras.
Nuril dalam basah kuyupnya memukuli pohon. Lalu Nuril mundur beberapa langkah lagi, lalu ia menerjang, menubruk pohon itu lagi.
“Mereka pikir, hanya karena mereka berani memukul, mereka hebat? Ternyata, kalau semua orang menggunakan tinjunya juga, mereka bukan apa-apa! Mereka yang doyan mukul itu bukan jagoan, mereka cuma enggak punya kendali! Mereka sakit! Kirim mereka ke rumah sakit! Tunjukan mereka rasanya Enggak aman!”
“Arghhhh!” Nuril berlari menerjang pohon sekuat tenaga.