Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sari sibuk dengan handphonenya, duduk di pinggir Kasur, di dalam kamar. Ia sendirian, Nuril belum pulang sekolah dan Marwan masih bekerja. Sari terlihat agak gelisah. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari luar. Pintu samping tepatnya. Ia keluar kamar, membukakan pintu. Sambil berjalan membenahi rambutnya, memastikan rapih.
Sari membuka pintu lalu tersenyum manis. Itu Anom yang dilihatnya berdiri di pintu. Keduanya saling melempar senyum. Sari menengok ke sekitar samping rumah, kanan-kiri.
“Ada apa Bang Anom?” Tanya Sari.
“Obe ada? Eh, Marwan maksudnya. Mau minta air panas, mau bikin kopi. Air masih mati di rumah Abang.” Jawab Anom, lembut, tidak seperti kesehariannya.
“Oh boleh, masuk aja Bang! Obe masih kerja, pulang malam.” Sari membimbing Anom masuk rumah. Anom mengikuti di belakang, tidak lupa membawa sandalnya masuk ke dalam.
Bukannya ke dapur dan memasak air, Sari justru menuju kamar, menunggu di pintu selagi Anom mengunci pintu samping. Anom pun menaruh gelas yang ia bawa sebagai alibidi meja makan, dan menghampiri Sari di kamar. Sari menutup puntu, lalu terdengarlah suara musik dangdut koplo.
----
Shift pagi-siang.
Suasana pantry sepi. Marwan sedang memasak air panas di teko. Bentuk teko mirip piala. Marwan berdiri di depan kompor, sambil melamun menatap teko tersebut.
Tak lama, air mendidih, teko bercuit. Tangan Rindi menyelinap diantara tangan dan perut Marwan, mematikan kompor. Suara teko berhenti, Marwan tersadar. Ia menoleh dan melihat Rindi, lengkap berseragam, siap bekerja.
“Lho.. Rin?!”
“Gajadi terapinya! Laki gue malah ngambek.. Lo lagi ngelamunin apa sih? Ampe air panas depan mata enggak digubris.”
“Oh.. enggak kok, enggak ada. Eh terus gimana?” Marwan mengembalikan topik ke cerita Rindi. Rindi mearpikan gelas-gelas dan piring, mengelap meja, mengerjakan apapun di depannya, sambil menggerutu.
“Laki gue gak mau. Alesannya enggak enak badan, malah minta dienakin ke bini! Itu pun dia yang enak sendiri!” Jelas Rindi. Tangannya masih sibuk.
“Nih gue kasih tau ya Wan! Kalo mau jadi laki-laki brengsek, seenggaknya lo jago di kasur! Dikira gue enggak punya pengalaman apa?! Cowok-cowok gue dulu perasaan jago-jago, kenapa gue dapet laki yang loyo! Udah loyo, egois lagi!” Lanjut Rindi menggerutu.
“Mudah-mudahan laki lo mau berubah deh..”
“Ya gue sih masih ngusahain supaya dia mau pergi ke terapi. Soalnya katanya manjur sih, banyak pengguna yang berenti juga setelah di terapi.”
“Hmm.. Coba aja lo bujuk lagi nanti.” Sahut Marwan.
“Iya. Yaudah lo siap-siap pulang gih!”
“Oke.. Lo bilang aja kalo jadi bawa laki lo terapi. Tar gue gantiin shift lo lagi.”
“He’eh Wan, makasih banyak ya Wan!”
“oh iya, terus.. Hati-hati, lo sekarang dimandorin si Mukni. Kalo ada apa-apa bilang gue.”
“Oke, Wan.. Mudah-mudahan lancer malem ini.”
Marwan duduk di sofa, mulai berkemas, bersiap-siap pulang. Ia mulai melonggarkan tali-tali sepatunya. Datang Mukni bersama satu orang housekeeper dan. Mereka masuk pantry, dan dengan ganjen menggoda Rindi dengan sapa’annya. Rindi juga menanggapi mereka dengan nada genit. Marwan hanya memperhatikan diam-diam. Lalu Mukni pergi ke kompor, mendapati termos berisi air panas.
“Mbak Rindi, kemana aja ditungguin dari tadi.” Kata security, menggoda Rindi.
“Iya, baru aja diomongin. Enggak kangen kita apa?” Sambung salah satu Housekeeper.
“Ah bisa aja lo berdua!” Jawab Rindi.
“Wah ada air panas nih. Ngopi-ngopi! Rin, bikini kopi Rin!”
Rindi dengan segan langsung menuruti permintaan Mukni, mengambil 3 buah cangkir. Marwan memperhatikan Mukni dengan sinis.
“Awas pecah lagi gelasnya!” Ujar Mukni.
----
Nuril duduk di salah satu bilik warnet. Seperti biasa, setelah bosan bermain game online ia pasti langsung melanjutkan gambarnya, karyanya, masterpiece-nya, yaitu gambar wajah Dina, gadis pujaannya. Adapun ritual-ritual sampingan yang ia tambahkan untuk menambah warna gelora ketika ia melukis wajah itu, ia memutar lagu kesukaannya, “How Deep Is Your Love” milik The Beegees. Ia menyetel lagu itu, mendegarkannya lewat headphone.
Lagu sudah siap!
Selanjutnya ia membuka halaman Instagram Dina, dengan foto close up wajah Dina yang cukup jelas untuk dia lukis. Nuril lalu mulai menggoreskan pensilnya di kertas. Tak jarang badannya ikut bergoyang seiring irama lagu. Dia benar-benar jatuh cinta. Setiap 4 sampai 5 goresan ia berhenti, tertegun memandang wajah itu. Garis tipis tergambar di kertasnya, membentuk wajah yang sama persis seperti wajah di layar komputernya. Tahan, resapi lagi, Nuril memandang lagi foto tersebut. Lalu Ia mendekatkan wajahnya ke monitor, mungkin sedikit kecupan akan lebih komplit. Ia mendekat.. mendekat.. Mata mereka bertatatapan, salah satu tangan Nuril menyentuh monitor, membayangkan membelai pipi Dina selagi wajahnya mendekat. Sampai akhirnya ia melihat bayangan dua manusia di belakangnya, mengintip ke biliknya. Celaka! Nuril menoleh, disana ada Viskah dan Fajar, merekam apa yang sedang ia lakukan sambil tertawa-tawa.
“Hahaha Ngapain lo! Parah Foto si dina dijadiin bahan!” Sahut Viskah. Fajar yang memegang HP dan merekam. Nuril panik. Ia tergesa keluar bilik berusaha mengejar.
“Stop!!!” Nuril berteriak, mengejar Viskah dan Fajar yang terpingkal-pingkal, berjalan meninggalkan warnet sambil menonton video hasil rekaman tadi.
Mereka berdua berhenti, Nuril memegangi tangan Viskah.
“Eh hapus dong! Itu tadi gue cuman ngeliat foto doang.. Hapus please!” Nuril mengemis.
“Enggak! Apaan.. Enak aja hapus-hapus!” Sahut Viskah.
“Wah parah sih, foto si Dina dijadiin bahan!” Kata Fajar.
“Selera lu..” Viskah bertepuk tangan, seakan salut.
“Kenapa tuh seleranya?” Tanya Fajar.
“Enggak tau diri! Hahahhaa” Jawab Viskah. Ia dan Fajar tertawa.
“Ini enggak kayak yang kalian liat! Kalian salah paham!” Ujar Nuril yang panik.
“Jadi kita salah liat? Yaudah kita tanya pendapat anak-anak kelas yah, menurut mereka gimana.” Ancam Fajar.
“Jangan please! Jangan!!! Gue mohon!” Nuril merapatkan kedua telapak tangannya.
“Dih apaan lo nyembah kita?” Ejek Viskah.
Nuril dalam tekanan berpikir.
“Gue beliin rokok buat kalian! Tapi tolong jangan disebar! Please..!!!”
Viskah dan Fajar bertatapan, tersenyum jahat.
“Nah gitu dong! Boleh.. cepetan!”
“Oke! Tapi jangan disebar! Gue mohon!”
“Iyaaa! Udah beliin aja dulu rokoknya!”
Nuril pun melangkah berjalan ke warung, ragu-ragu, sesekali menoleh memastikan.
“Hapus jangan?”
“Jangan lah!”
“Momen langka ye?”
“Iye..”
“Yaudah kirimin ke grup kita dulu, dia pasti minta hapus!”
“Kalo si Buyung liat abis tuh anak.”
“Iya sih.. Si Buyung kan juga naksir si Dina.”
“Eh, tapi si Buyung tau lah si obe bukan saingan. Hahaha!”
“Iya sih..”
Nuril datang berlari, mengenggam sebungkus rokok. Ia menghampiri Viskah dan Fajar yang menunggu depan warnet sambil cengengesan. Nuril memberikan rokok.
“Ini rokoknya, sekarang please videonya hapus ya!” Pinta Nuril, mengiba.
“Lho kok cuma sebungkus?! Kita kan berdua!” Tanya Viskah, sinis.
“Lah iya!? Wah kita sebar ke grup kelas ini sih!” Sahut Fajar.
“Bro please jangan! Duit gue habis, tinggal segitunya.. Enggak ada duit lagi.. Please bro hapus bro, nanti orang mikir macem-macem! Kan gue enggak ngapa-ngapain juga..” Pinta Nuril lagi, menarik-narik lengan Viskah dan Fajar.
Nuril mencoba merebut handphone dan menghapusnya sendiri, namun Viskah mengelak dan mendorong Nuril menjauh.
“Apaan sih! Yaudah kenapa panik banget kalo emang enggak ngapa-ngapain?!” Sentak Viskah.
“Tau lu! Gua kirim ke si Buyung ah, dia kan ngegebet si dina!” Ancam Viskah.
“Iya bener lo! Wah parah, si Buyung marah sih ini.” Sahut Fajar.
“Jangan bilang ke is Buyung juga bro, tolong! Sumpah! Gue udah bilang gue cuma iseng mau lukis si Dina!” Nuril merengek, ketakutan. Viskah merasa cukup. Bukan iba, hanya lelah ingin pergi.
“Iya udah ini udah dihapus! Berisik banget si!”
“Tuh! Tuh! Mana enggak ada. Udah di hapus!”
“Beneran!?” Nuril merasa ragu.
“Ya itu liat!” Fajar menyodorkan handphone. Nuril menengok, melihat galeri handphone Fajar. Ia tidak menemukan videonya.
“Bener ya? Duh! Tolong banget jangan bilang-bilang Buyung juga ya?! Please!!!” Sambung Nuril.
“Iya udah, panik banget dah. Cabut gih sana!” Sentak Fajar.
Nuril tentu saja tidak mudah yakin. Ia tetap di tempat, menatap dua anak itu.
“Lah! Cabut sana! Kita mau ngerokok dulu!”
Nuril pun pergi perlahan, masih terengah-engah, sesekali menoleh ke belakang, lalu mencoba untuk yakin, meskipun dalam langkahnya ia tetap menyayangkan mengapa ini terjadi. Ia marah, entah pada siapa.
“Fuck!!!” Katanya menggeram, namun tidak bersuara.
Ia kembali masuk warnet. Sementara itu, di depan Warnet, ketika Nuril sudah masu, dua anak itu berbicara satu sama lain lagi.
“Udah ada di whats app genk kan?”
“Udah! Hhaha..”
----
Marwan pulang ke rumah. Masih siang, batal menggantikan Rindi. Ia mendorong motornya yang mogok. Wajahnya terlihat kesal dan lelah setelah mendorong motor. Sekitar 5 langkah dari rumahnya ia berhenti. Marwan meninggalkan motornya disitu. Ia melangkah perlahan ke rumah. Semakin dekat semakin terdengar suara musik dangdut koplo, senyap-senyap dari dalam rumah. Marwan mulai curiga. Ia teringat kesaksian Nuril. Marwan melangkah lagi ke pintu, membuka kunci pintu dengan kunci yang ia pegang sendiri. Ia masuk, dan melihat pintu kamar tertutup. Suara musik dangdut agak keras terdengar dari dalam. Marwan maju, langkah demi langkah, menuju pintu kamar. Wajahnya tegang, cemas. Situasi ini persis seperti situasi yang digambarkan oleh Nuril soal isu perselingkuhan Sari. Lalu ia membuka pintu kamar.
Hanya ada Sari sedang tidur.
Marwan merasa lega. Setidaknya tidak ada hal yang tidak ingin ia lihat hari itu. Marwan melangkah lagi keluar kamar untuk melepas jaket dan kaos kakinya. Namun kecurigaannya tidak padam, setelah menyadari kamar sudah wangi pengharum ruangan.
“Supaya enggak meninggalkan bau?” Tanya Marwan dalam hati. Marwan melangkah ke ruang tengah sambil memikirkan hal tersebut. Lalu ia duduk di sofa, terdiam, mengatur nafas.
Sari masuk kamar, sama-sama sudah siap tidur.
Sebelum naik ke ranjang, Sari kembali menyemprotkan pengharum ruangan di kamar.
“Enggak usah keseringan disemprot, bau!” Ujar Marwan, smabil matanya tidak pindah dari layar handphonenya. Sari tidak menjawab, hanya menaruh botol pengharum ruangan semprot di meja riasnya.
Lantas Sari naik ke Kasur, melewati Marwan tanpa kata, lalu berbaring terlentang dan memejamkan mata.
Marwan menatap piala masa kecilnya di dekat meja rias Sari. Piala yang sudah berdebu itu. Ia berencana membuangnya, karena seringkali benda itu muncul di mimpi buruknya.
Marwan pun membaringkan badannya di Kasur, lalu terdiam menatap langit-angit. Sari pura-pura tidur, sementara Marwan masih berkutat dengan pikirannya. Hening.
Lalu Marwan mengubah poisisi tidurnya, menghadap Sari, memandangi Sari. Sari yang menyadari itu, langsung mengubah posisi jadi memunggungi Marwan. Marwan hanya terdiam, memandangi Tatto bunga matahari di punggung Sari. Foto yang menghiasi masa muda mereka dulu, kenangan malam itu, ketika asmara mereka sedang merekah-merekahnya. Malam ini Marwan hanya bisa melihat tatto itu, dan seakan tidur dengan orang lain yang tidak ia kenal di ranjangnya.