Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi, esok harinya.
Anak-anak sekolah ramai masuk gerbang.
Nuril berdiri di depan gerbang terlihat takut. Marwan dibelakangnya, menunggu di atas motor, memastikan Nuril masuk gerbang. Banyak siswa yang menatap Nuril dengan tatapan aneh, sambil berbisik-bisik, berjalan masuk gerbang sekolah. Perasaan Nuril sudah tidak karuan.
“Sana masuk! Bapak akan disini sampai gerbang ditutup.”
Nuril menoleh pada Marwan. Marwan menatap Nuril balik, meyakinkan Nuril.
“Ayo! Beranilah! Ini cuma sekolahan.”
Nuril pun pasrah, ia melangkah masuk gerbang sekolah, pelan-pelan. Tak lama gerbang sekolah ditutup satpam. Marwan pun pergi.
----
Di jalan besar depan komplek rumah.
Mobil Anom berhenti agak lama di pinggir jalan, tidak langsung masuk jalanan kecil menuju komplek.
Lalu pintu kiri mobil terbuka, Sari keluar dari mobil Anom. Sari memperhatikan sekitar, berhati-hati, berusaha agar tidak ada yang melihat.
Sayangnya, Marwan sudah disana lebih dulu. Ia bahkan sedang mengintip dari warung jamu Hendi yang masih tutup. Hendi sendiri masih terlihat mengantuk, duduk di kursi belakang meja jamunya, sambil merokok, dan ngopi. Ia terlihat heran. Hendi mengajaknya bicara, Marwan tetap fokus mengintip.
“Udah saya duga, Abang tuh intel.” Hendi menggelengkan kepala, seraya kagum.
“Keliatan ya?” Jawab Marwan.
“Baru nyadar hari ini sih..!”
“Berarti penyamaran saya berhasil ya?”
“Iya Bang! Hampir terkecoh saya! Hahah..”
“Jangan bilang siapa-siapa ya!” Sahut Marwan.
Lalu Marwan melihat Sari masih berdiam di tempat ia turun, sementara mobil Anom masuk ke komplek rumah duluan.
“Hmm..” Marwan menyeringai.
“Betul.. Jangan bareng, nanti orang curiga. Pinter istriku!” Kata Marwan dalam hati.
“Iya Bang, aman! Emang ngintai apaan Bang? Bandar? Terrorist? Abang intel bagian apa?” Kata Hendi tiba-tiba.
“Situ mau tau? Tapi jangan bilang siapa-siapa ya!” Ujar Marwan.
“Enggak akan Bang, suwer!” Hendi mengangkat telunjuk dan jari tengahnya.
“Ok.. Bukan! saya bukan intel!” Marwan tersenyum konyol.
Hendi tertdiam sebentar, bingung, sampai akhirnya ia menyadari ia sudah tertipu.
“Ah si Abang saya kira serius! Terus.. Kalo bukan intel, kenapa mesti ngumpet-ngumpet Bang?”
Marwan tidak menjawab. Ia mengalihkan pembicaraan.
“Ngomong-ngomong, kita belum kenal. Nama situ siapa Bang?” Tanya Marwan.
“Saya Hendi. Saya udah setahunan disini. Sering liat Abang, tapi Abang jarang main kemari.”
“Saya Marwan..
Setelah satu tahun dagang di kampung ini, menurut situ Hen, yang megang kampung ini siapa?”
“Ya.. kepala desa lah Bang.” Jawab Hendi.
“Halahhh.. Emang situ kenal kepala desanya siapa?”
“Enggak terlalu sih. Tapi paling yang diturut banget sama kampung ini si Bang Anom sih.”
“Ahha! Pinter.”
Masih di tempatnya mengintip, Marwan melihat Sari di sisi jalan tadi, sedang membuka HP-nya, seperti mengetik pesan.
Tiba-tiba handphone Marwan sendiri yang berbunyi, rupanya Sari mengirim pesan padanya. Handphone Marwan berbunyi, Sari mengiriminya pesan. Ia membukanya.
“Dh brngkat kerja?”
“Udah, Shift pagi.”
“Oh, ok. Aq ga masak, ini lg ngerias.”
“Ya.”
Marwan mengintip lagi. Ia melihat Sari sedang membaca pesan darinya dan mengetik lagi. Mengetahui rumah aman, Sari pun mulai berjalan masuk komplek.
Mata Marwan mengikuti pergerakan Sari. Hendi masih mengajaknya bicara.
“Bang ngomong-ngomong, obatnya manjur?”
“Manjur. Tapi ternyata masalahnya bukan itu.”
“Lalu masalahnya apa?” Tanya Hendi. Marwan menoleh padsnys, agak melotot. Pertanyaannya terlampau jauh. Hendi buang muka, menyadari ia salah.
Marwan mengintai Sari lagi, sampai Sari masuk rumah.
Tiba-tiba Hendi sudah berada di sampingnya, ikut mengintip. Ia tidak melihat apa-apa, bingung.
****
Nuril duduk di bangkunya, sendirian. Orang-orang berbisik-bisik tentang Video Nuril, plus menatapnya aneh. Diantara hiruk-pikuk suasana jam istirahat yang ramai, Viskah menyodorkan layarhandphone ke semua anak di kelas, wajah Nuril, memutar video Nuril sambil tertawa, mengejek.
Dengan seringai jahat Buyung menatap Nuril dari kursinya. Bahkan Dina diantara teman-temannya menatap Nuril dengan tatapan benci, jijik. Buyung menghampiri Dina, lalu berbisik menghasud Dina, menjelek-jelekan Nuril. Mereka menatap Nuril benci bersama-sama. Nuril mati hari itu.
Buyung meminta izin mengambil air mineral gelas milik Dina, lalu Buyung melempar air mineral gelas ke wajah Nuril ketika lengah. Orang-orang menyeringai, puas. Nuril mengibas-ngibas buku gambarnya yang kebasahan. Nuril yang sudah tidak tahan lagi pun keluar kelas. Ia pergi ke toilet, lalu menangis disana.
Sepulang sekolah, Nuril digiring Buyung ke basecampnya. Ia tidak bisa minta tolong. Ia pasrah, ia pikir kejadian buruk apapun yang akan terjadi padanya hari itu, akan membuat Bapaknya percaya bahwa ia menderita.
Nuril disuruh masuk ke basecamp rumah kosong itu. Ia di dorong ke tengah, lalu Buyung Dkk mengelilinginya. Nuril ketakutan. Tiba-tiba Buyung menendang pinggul Nuril sampai Nuril jatuh berguling-guling di tanah. Viskah dan Fajar memegangi masing-masing satu tangan Nuril, lalu mendudukan Nuril di sebuah kursi. Lalu Buyung mengambil gunting dan menggunting seragam Nuril sampai sobek-sobek.
Buyung dan Viscah menginjak-injak paha Nuril saat duduk. Celana Nuril kotor. Nuril menangis, menunduk, berusaha tidak bersuara. Buyung mendekatkan mulutnya ke telinga Nuril, lalu berbisik.
“Udah siap manggil gue Om?
Udah siap hidup begini setiap hari? Hah?”
Nuril menoleh menatap Buyung, merasa terhina. Lalu Buyung menampari wajah Nuril.
Sementara itu di tempat lain, tepatnya di rumah, Sari memasang wajah manis nan menggodanya, mengenakan daster, duduk bersandar di ranjang. Ada Anom berjalan mendekat ke arahnya. Sari tersipu malu, lalu merebahkan dirinya jadi terlentang. Perselingkuhan itu berlanjut, selagi Marwan tidak ada. Rupanya asmara di hotel malam tadi belum cukup.
----
Marwan duduk di meja telfon, ditemani segelas kopi di depannya. Pikirannya tidak tenang. Masalah menghampirinya bersamaan, menuntutnya sebagai seorang Ayah dan seorang Suami, untuk segera mengatasinya. Rencana selalu ada, tapi entah bagaimana. Sementara itu tiba-tiba Telfon berbunyi, membuyarkan lamunan Marwan.
“Ya? VCI? Oke, Thankyou.
Order taker menginformasikan bahwa kamar yang baru dibersihkan sudah lolos inspeksi supervisor. Marwan menutup telfon. Lalu berdiam lagi.
Di pantry saat itu ada Rindi mencuci piring dan gelas di wastafel, dan ada dua orang karyawan lain(housekeeper & Security). Kendati demikian Marwan merasa sunyi, sendiri, hanya ditemani beban pikirannya, dan perasaan-perasaan akibat egonya yang terluka.
Mereka, seorang housekeeper dan security mengobrol di sofa. Sambil mencuci piring, Rindi ikut masuk ke obrolan.
“Mantan gue beranak kemarin.” Kata si housekeeper muda.
“Terus? Anaknya mirip siapa? Mirip situ enggak?” Sahut Security.
“Lumayan, hehe..” Jawabnya.
“Yah, jelek dong?” Rindi ikut menanggapi dengan candaan. Mereka tertawa.
“Emaknya yang jelek!” Kata si Housekeeper muda, membela diri.
“Yah, udah mantan aje dijelek-jelekin, dulu pas pacaran lengket banget kayak nasi keinjek kaki.” Kata si security.
“Eh.. Seriusan Bang, emang emaknya enggak cakep-cakep amat kok. Apalagi sekarang abis hamil.”
“Ada kok yang abis hamil masih cakep!” Ujar Rindi.
“Iya. Bini gue juga masih lumayan cakep, meskipun masih cakepan Mbak Rindi sih. Mau gantiin istri saya enggak Mbak?” Si security menggoda Rindi. Rindi tertawa. Ia selesai mencuci, lalu bergabung di sofa. Marwan melirik, merasa cemburu pada Rindi yang tidak biasa menelantarkannya sendirian.
“Situ kira saya pelakor! Saya punya laki kali! Biarpun laki saya surem!” Jawab Rindi.
“Lakinya Mbak Rindi, suruh sama istri saya aja! Tukeran!” Kata si security lagi, belum menyerah.
“Study banding gitu?” Tanya Rindi.
Ditengah-tengah obrolan mereka, suara telfon depan Marwan berbunyi lagi, panggilan lain dari order taker.
Marwan mengangkat telfon tanpa gairah.
“Ya, halo?.. Kamar 39 VD, oke!.. Ada lagi?.. Galon lobby? Oke.”
Marwan menutup telfon. Ia memberitahukan status kamar yang mesti dibersihkan.
“Kamar 39 VD! Galon lobby habis.”
Rindi bangun dari sofa dengan sigap.
“Mau dibantuin enggak Mbak? Mumpung tamu lagi sepi nih!” Kata Security.
“Pasang galon aja sana di lobby!”
“Nah, saya yang bantuin Mbak Rindi kalo gitu.” Sahut housekeeper muda.
“Udah.. Santai kok! Kan lagi sepi..”
Marwan terlihat tidak suka Rindi digoda. Ia bangun dari kursinya, langsung mengajak Rindi.
“Ayo sama gue!” Ajak Marwan. Rindi langsung mengikuti Marwan.
Marwan mendorong kereta troli berisi perlengkapan room service. Rindi berjalan di sampingnya. Marwan terlihat tidak bergairah. Rindi yang menyadari hal tersebut pun bertanya,
“Pak Mandor kenapa jutek banget dari tadi? Ngelamun terus! Ada masalah ya?”
“Gapapa..”
“Ah bohong lo! Kayak gue baru kenal kemarin aja! Ngomong-ngomong makasih ye, bingung gue kalo udah berhadapan ama anak-anak, ngegodain mulu, pada modus..”
“Makanya gue pengen lo fokus kerja aja, jangan tanggepin keganjenan mereka.” Jawab Marwan. Rindi menatap Marwan sambil tersenyum jahil.
“Kenapa? Pak mandor cemburu?”
“Hmm? Cemburu apaan?! Udah gila lo!” Marwan membantah, agak salah tingkah.
“Becanda Wan! Kali aja cemburu..”
Mereka sampai di depan kamar. Rindi mengetuk pintu.
“Housekeeping!” Rindi membuka pintu terbuka, mereka masuk dan mengerjakan pekerjaan mereka.
****
Marwan dengan motornya pulang menuju rumah. Saat melewati pos ronda, ia melihat Anom disana namun Marwan terus melaju ke rumah. Marwan memarkir motornya dan masuk rumah lalu masuk. Pintu tidak dikunci.
Ruang tengah gelap. Cahaya hanya dari lampu kamar karena pintunya terbuka. Terlihat Sari, sedang memakai cream di wajahnya, di depan kaca.
Sambil membuka jaket dan kaos kakinya di sofa, ia menatap Sari. Sari menoleh pada Marwan sesekali, merasa tidak nyaman. Sari akhirnya bicara.
“Si Nuril belum pulang!”
“kemana dia?”
Marwan pergi ke kamar, mengambil kaos dari lemarinya, lalu keluar kamar lagi.
“Belum pulang dari sekolah.”
Marwan merogoh saku, mengambil handphonenya dan mencoba menelfon Nuril, namun terdengar suara getaran handphone dari dalam tasnya sendiri. Ia lupa masih menyita HP Nuril sejak semalam. Marwan pun keluar rumah, berdiri di teras. Marwan melihat sekeliling rumah, menantikan Nuril, namun Nuril tidak juga muncul. Ia mulai cemas. Lalu Marwan melihat Anom dan Otto di pos ronda. Marwan berniat pergi menghampiri mereka, namun ia menyalakan rokok terlebih dahulu untuk menyembunyikan gugup.
Anom dan Otto duduk di pinggir pos, bersandar. Mereka mengobrol, bersama 2 orang Bapa-bapak lainnya. Anom sedang bercerita kisah heroik tentang dirinya sendiri.
“Jadi saya datengin dulu kan kantornya si Rakyat Laskar Pancasila ini.. Ibaratnya petinggi ormas saling ketemu lah. Saya mewakili Patriot. Pas saya samperin ke kantornya, enggak ada yang berani macem-macem!” Jelas Anom.
Terdengar senyap-senyap suara decak kagum orang-orang di pos ronda.
“Terus akhirnya gimana tuh? Enggak sampe ribut kan?”
“Ya kita mah sebetulnya ribut siap, kekeluargaan siap! Tapi aman kok! Langsung bikin surat perjanjian pembagian proyek. Udah, kelar! Jadi emang beneran harus saya yang turun tangan dulu..” Jelas Anom lagi. Anom menyalakan rokoknya.
“Ngomong-ngomong enggak ada kopi ini? Sepet banget!” Kata Anom.
“Ah air mati lagi di rumah saya.” Kata seorang warga yang biasa dipanggil Douglas.
Marwan tiba di pos ronda. Semua orang memandangnya. Marwan duduk sebelah Anom, dekat-dekat. Ia ingin terbiasa dengan Anom.
“Ngapain ente?” Tanya Anom.
“Si Buyung udah pulang belom?” Tanya Marwan, pelan.
“Kenapa emangnya? Belom!”
“Oh.. Ini si Nuril juga belom pulang soalnya..”
“Mungkin maennya sama si Buyung, barengan!” Jawab Anom.
Marwan membayangkan Nuril bermain dengan Buyung adalah aneh dan tidak mungkin, karena keduanya berada di dunia yang jauh berbeda.
“Situ yakin?” Tanya Marwan.
“Ya enggak tau! Cuman kan mereka satu sekolah, mungkin bareng. Atau ada apa kali, tugas kelompok. Santai aja lah, baru jam delapan! Dan ngomong-ngomong, si Buyung udah saya kasih tau dia supaya jangan mau disuruh beli miras sama abang-abangannya.” Sahut Anom, sinis.
“Bagus!!” Sahut Otto.
Marwan terdiam, tidak bisa berhenti memikirkan Nuril.
“Be, rumah lo air bagus kan?” Tanya Anom tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan.
“Kadang-kadang.” Jawab Marwan.
“Bikin kopi lah Be! Kita ngopi sini.. Bikin buat yang ngeronda. Lo kan jarang ronda. Percuma dijulukin OBE kalo enggak pernah bikini kita kopi. Pasti enak kopi buatan lu Be..” Pinta Anom.
Bapak-bapak lain tertawa kecil. Marwan menyembunyikan tangannya yang mulai bergetar lagi, karena tersinggung setelah dipertegas soal OBE, nama panggilannya.
“Ada kopi kan?” Tanya Anom. Marwan menganggukan kepala.
“Yaudah bikin dah! Tar gue diganti buat kopinya..
Tuh siapa yang mau kopi, sekalian!” Tawar Anom pada semua.
“Be, gue satu Be! Yang manis!” Kata Douglas.
Anom menawarkan Otto.
“Enggak mau Pak?”
“Kebetulan asam lambung lagi kumat.” Jawab Otto.
Salah seorang warga pamit diri.
“Saya duluan Bapak-bapak.. Mari..”
Kini hanya ada Anom, Otto, Douglas dan Marwan sendiri.
“Wah gimana.. Yaudah dua berarti Be! Item semua.” Kata Anom.
Marwan bangun, berdiri pelan. Ia mulai melangkah walau berat, menahan sakit hati. Ia baru berjalan beberapa langkah, Anom memanggilnya lagi. Marwan berhenti, lalu menoleh.
“Buruan ya Be, jangan pake lama!”
Sungguh kalimat terakhir itu membuat marahnya semakin besar. "Dia pikir aku ini apa?! Bisa-bisanya dia merintah-merintah depan orang!" Marwan lanjut berjalan lagi menuju rumahnya. Tangannya mengepal dan gemetar.
----