Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
CUT IN
INT. KORIDOR KOSAN DAMAR - SORE HARI
Damar berjalan dengan tas travel jinjingnya menyusuri koridor kosannya, dan ia berhenti untuk mengetuk pintu seberang kamarnya.
Pintu itu dibukakan oleh Mara. Tanpa berkata-kata, Damar ngeleos masuk ke dalam, membuat Mara terlihat bingung sebelum mengikutinya masuk ke dalam.
CUT TO:
INT. KAMAR KOS MARA - KONTINU
Damar membanting tas jinjingnya ke tanah dan melemparkan diri ke atas ranjang Mara dalam posisi telentang. Ia menutup mukanya dengan kedua tangannya.
Mara berdiri di sebelah kasur, memandang ke bawah ke arah Damar sambil melipat kedua tangannya.
MARA
Ini ga mungkin pertanda baik...
DAMAR
Ngga, Mar. Semuanya memang ngga baik-baik aja.
Mara pun duduk di atas ranjangnya, di sebelah Damar.
MARA
Gimana Nenek di sana?
DAMAR
Dia sakit.
MARA
Tambah parah?
DAMAR
Kanker paru-paru.
MARA
(melotot; sangat terkejut)
Apa?
DAMAR
Ternyata sejak terakhir kali aku kunjungin Nenek, rumahnya ga keurus sama sekali. Begitu aku masuk sana, rumahnya ketutup sama debu. Entah berapa lama Nenek udah ngehirup udara itu...
MARA
Astaga, Damar... Inilah alesan kenapa dari dulu aku selalu nyuruh kamu buat cepet-cepet pulang... Kalau udah gini, mau gimana?
DAMAR
(mengambil posisi duduk di atas ranjang)
Mungkin ada cara, Mar, biar Nenek bisa cepet istirahat aja dengan tenang.
MARA
Maksud kamu?
Damar tampak berusaha keras mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya kepada Mara.
CUT TO:
INT. KORIDOR KOSAN DAMAR - LATER
Karena hari semakin mendung, koridor depan kamar Mara terlihat semakin gelap, tetapi masih kosong tidak ada orang.
MARA (V.O.)
APA??!!!
CUT TO:
INT. KAMAR MARA - KONTINU
Mara terlihat marah, berdiri di sebelah Damar yang masih duduk di atas ranjang, tertunduk lesu.
MARA
(tidak habis pikir)
Kamu bener-bener kepikiran buat ngelakuin ide jahatnya Paman kamu itu?!
DAMAR
Bukan ide jahat, Mar. Tapi aku mikirin keadaannya Nenek juga, dan keadaan kantongku pribadi...
Mara menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap Damar dengan tajam.
DAMAR
Ngga ada gunanya memperlama apa yang udah ga terhindarkan lagi...
MARA
Damar... Kamu ga punya hak buat main hakim dan juri soal berapa lama lagi Nenek kamu masih boleh hidup!
Damar berdiri seketika dengan kesal, lalu berjalan menuju jendela dan menghadap ke luar jendela sambil menggeleng-gelengkan kepala.
MARA
Aku ngerti mungkin kamu masih ada kepahitan sama Nenek kamu... Tapi bales dendam dengan cara kaya gini ngga akan bisa ngebalikin Ibu kamu.
Damar terhentak. Ia membalikkan badannya kembali menghadap Mara.
DAMAR
(tidak habis pikir)
Kamu seriusan mikir motivasi aku serendah itu, Mar..?
MARA
(penuh keyakinan; dengan sedih)
Aku kenal bener kamu itu kaya apa, Damar. Aku tau alesan kamu yang sebenarnya.
DAMAR
(menggeleng-gelengkan kepala)
Ngga. Kamu udah salah menilai aku. Aku udah cukup ngeliat penderitaannya Nenek. Bahkan sebelum didiagnosa dia udah hidup enggan, matipun tak mau. Sekarang... Aku punya kesempatan buat ngebebasin dia dari rasa sakit yang dia alamin. Dan aku harus ambil kesempatan itu.
MARA
(mengangguk-angguk, meneteskan air mata)
Ya... Sok lah, kasih tau itu ke diri kamu sendiri...
Damar menggelindingkan kedua matanya ke atas lalu kembali membalikkan badannya menghadap luar jendela, membelakangi Mara.
MARA
(berjalan mendekati Damar)
Aku udah ga bisa lagi ngedikte kamu, Mar. Tapi kalo kamu sampe lakuin ini... Kamu bakal kehilangan persahabatan kita, dan aku pastiin kamu bakalan nyesel pada akhirnya.
Damar tampak tetap berkeras hati. Mara menyerah, tampak kecewa. Ia berjalan menuju pintu depan kamar kosnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
MARA
(membukakan pintu)
Sisanya terserah kamu, Mar... Sekarang, sebaiknya kamu pergi.
Damar yang merasa dirinya diusir pun melakukan apa Mara minta. Ia berjalan menuju pintu keluar, tidak lupa mengambil kembali tas jinjingnya. Sebelum Damar berjalan melewati Mara yang menunggui di pintu, Mara mengangkat kunci kamar kos Damar yang Damar ambil sebelum ia keluar meninggalkan kamar Mara. Keduanya tidak membuat eye contact lagi hingga mereka berpisah. Mara menutup pintu kamar kosnya dengan membantingnya setelah Damar melangkah keluar dari pintu.
CUT TO BLACK
TITLE CARD: MINGGU
BEGINNING OF MONTAGE
PLAY SONG: YOU'RE NOT THE SAME ANYMORE - KARINA GRACE
FADE IN
INT. KAMAR KOS MARA - SIANG HARI
Mara duduk di depan cermin. Ia menatap dirinya sendiri dengan tatapan kecewa terhadap diri sendiri. Ia menggenggam sebuah gunting di tangannya. Ia mengangkat gunting itu dan memotong rambutnya menjadi hampir sependek rambut laki-laki. Selagi mencukur rambutnya sendiri, ia tidak merasakan apa-apa. Lantai di bawahnya menjadi dipenuhi dengan rambut.
CUT TO:
INT. KAMAR KOS DAMAR - KONTINU
Damar berjalan bulak-balik di kamarnya, seperti orang yang sedang bimbang dan kebingungan. Tangannya ia usap-usap pada dagunya, tampak seperti berdialog dengan dirinya sendiri, mempertimbangkan dengan keras harus melakukan apa.
Ia melihat handphonenya yang terletak di atas meja belajar. Awalnya ia tampak ragu untuk meraihnya, tetapi akhirnya ia pun meraihnya juga dan cepat-cepat membuka aplikasi LINE dan membuka chat dengan Mara.
Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetik "Mar... Aku mau minta maaf soal kemarin. Boleh ga aku mampir ke sana..?"
Ia tampak deg-degan untuk mengirim pesan itu. Jarinya perlahan-lahan ia dekatkan pada tombol send di layar handphonnenya, tetapi tiba-tiba ia mendapatkan notifikasi pesan WA dari Paman, sehingga ia membukanya terlebih dahulu tanpa mengirim pesan itu kepada Mara.
Paman berpesan lewat WA, "Damar, barangnya udah ready nih kata temenku... Tolong secepetnya telpon Paman ya biar kita bisa tentuin tanggal mainnya. Thanks."
Membaca pesan itu, Damar pun mengurungkan niatnya yang sebelumnya untuk mengirim pesan kepada Mara.
CUT TO:
INT. KAMAR KOS MARA - LATER
Mara menyapu bersih rambutnya yang berserakan di lantai dengan sapu dan pengki, lalu membawa pengkinya ke kamar mandi di dalam kamarnya.
CUT TO:
INT. KAMAR MANDI KOS MARA - KONTINU
Mara membuang rambut-rambut yang ada di dalam pengki ke dalam kloset, lalu menyiramnya hingga rambut-rambut itu tersedot ke dalam kloset dan tidak terlihat lagi.
CUT TO:
INT. KAMAR KOS MARA - LATER
Mara menghadapkan wajahnya ke cermin, merenung beberapa saat, kemudian, ia menyodorkan tangannya ke laci dimana ia menyimpang buku hariannya. Ia membuka buku hariannya itu perlahan-lahan dan ditemukannya buku harian miliknya di mana di dalamnya diselipkan selembar kertas berisi puisi yang pernah ia tuliskan saat dimana ia masih bersama-sama dengan Damar. Ia mulai membacanya secara cepat.
Mara meneteskan air mata perlahan, dan ia tidak mengusapnya sedikitpun.
Ia mengambil bollpoin lalu mulai menulis di halaman baru buku hariannya.
MARA (V.O.)
(sambil menuliskannya)
"Damar adalah cahaya yang perlahan mulai meredup, dan aku Mara adalah rasa pahit tempat ia menumpahkan sedih. Aku ingin sekali membuat hidupnya manis dan hangat seperti tetesan embun pagi. Namun aku hanyalah Mara. Aku berharap masih tersisa cahaya di dalam hatinya. Karena aku hanyalah aku Mara yang dapat mengerti segala kelabu dan luka masa lalunya."
Tulisan Mara terhenti dan ia menutup kembali bukunya.
CUT TO:
INT. KAMAR KOS MARA - LATER
Kini pakaiannya telah rapi seperti hendak pergi, Mara menaruh sebuah amplop bertuliskan "Damar" pada sisi depannya di atas meja belajarnya yang telah bersih dari barang-barang yang tadinya berserakan, lalu ia berjalan menuju kopernya yang telah dipak. Ia mengangkat tarikan koper tersebut dan membawanya keluar. Sebelum membuka pintu depan kamar kosnya, Mara membalikkan badan dan memandang ke dalam kamar kosnya sekali lagi, sebelum ia membuka pintu dan keluar dengan kopernya.
FADE TO BLACK
TITLE CARD: SENIN
CUT IN:
INT. KORIDOR KOSAN DAMAR - PAGI HARI
Damar keluar dari kamar kosannya, telah mengenakan ransel dan tangannya menggenggam kit mahasiswa arsitektur. Ia berjalan menuju pintu di seberang kamarnya, yaitu pintu kamar Mara. Ia tampak agak takut untuk mengetuknya. Tetapi kemudian ia memberanikan diri untuk mengetuk.
Ia mengetuk, tetapi pintu terbuka. Ia tampak bingung. Ia memutuskan untuk melihat ke dalam.
CUT TO:
INT. KAMAR KOS MARA - KONTINU
Damar berjalan masuk ke dalam, dan yang pertama dilihatnya adalah ranjang Mara. Tampaknya Mara ada di bawah selimut. Ia tersenyum.
Ia berjalan mendekati ranjang, lalu membuka kain selimut itu dengan semangat, hanya untuk menemukan bantal dan guling di bawahnya.
Ia menjadi tampak khawatir, menempelkan tangannya pada dahinya. Ia berjalan menuju kamar mandi, dan tidak ada siapa-siapa di sana. Ia melihat-lihat sekeliling dengan panik. Membuka lemari bajunya, dalamnya sudah kosong.
Damar mengunci pandangannya pada meja belajar Mara, yang juga telah kosong, kecuali untuk sebuah amplop. Ia berjalan mendekatinya, dan melihat namanya ditulis tangan pada amplop itu. Ia mengambilnya dan mengeluarkan surat yang ada di dalam amplop tersebut, lalu mulai membacanya.
MARA (V.O.)
Damar... Pas kamu baca surat ini, aku udah pergi ke tempat yang jauh. Aku bakalan tau kamu ada di mana, tapi kamu ga akan bisa nemuin aku. Aku pergi, karena Damar yang dulu aku kenal, sekarang udah ngga ada lagi. Sekarang kamu udah berubah jadi Damar yang penuh kepahitan, ga berbelas kasihan, gampang kepengaruh sama yang ga bener... Sekarang aku udah ga kenal lagi sama kamu, Mar. Dan aku udah ga tahan lagi harus nyaksiin kamu terjerumus makin dalem. Jadi aku pergi. Maafin aku. Mara.
Surat itu terlepas dari tangan Damar lalu jatuh ke lantai. Merasa hancur, Damar menyender pada tembok dan perlahan-lahan jatuh ke dalam posisi duduk. Ia mengangkat kedua lututnya, dan menenggelamkan wajahnya di sana.
FADE TO BLACK
TITLE CARD: SELASA
CUT IN
INT. RUANG KELAS PERKULIAHAN - SIANG HARI
Di kelas yang dipenuhi oleh para mahasiswa arsitektur, Damar menaruh tasnya di bawah bangku perkuliahan yang ia pilih, lalu duduk di sana. Ia menoleh ke samping ke bangku di sebelahnya, hendak mengujarkan sesuatu seperti ia kira ada orang di sana, padahal bangku di sebelahnya kosong. Ia menjadi teringat bahwa Mara telah pergi. Wajahnya menjadi sedih. Ia meraih dudukan bangku sampingnya, mengusap joknya dan lembut, tanda ia merindukan Mara.
FADE TO BLACK
TITLE CARD: RABU
CUT IN
INT. KAMAR KOS DAMAR - SORE HARI
Damar sedang membersihkan bagian atas rak televisinya dengan kemoceng. Di sana memang cukup berdebu. Damar mengenakan masker. Lalu secara tidak sengaja ia menyenggol sebuah figura foto dengan kemocengnya hingga terjatuh ke dalam posisi tidur.
Damar meraih figura tersebut untuk kembali memberdirikanya, tetapi ia melihat bahwa ternyata di dalamnya adalah fotonya bersama Mara yang melingkarkan tangannya di sekitar pundak Damar yang sedang mengancungkan jempol di sana. Keduanya dipotret dengan background pemandangan alam, dan mereka menggunakan jaket tebal seperti sedang berkemah atau hiking. Melihat foto itu, Damar menjadi moody. Ia secara harfiah memeluk figura foto itu dengan salah satu tangannya yang tidak sedang memegang kemoceng.
FADE TO BLACK
TITLE CARD: KAMIS
CUT IN
INT. KAMAR KOS DAMAR - SIANG HARI
Damar sedang memandang keluar jendela di hari yang mendung. Tatapannya kosong, tetapi sebenarnya ia sedang berpikir keras atau merenung.
Ia mengeluarkan handphone dari kantongnya, lalu mengirimkan voice note kepada seseorang. Ia membalikkan badannya dan menyender pada tembok di mana jendela itu berada.
DAMAR
(merekam voice note)
Halo Paman... Soal yang kemarin... Selasa depan saya ada waktu. Nanti saya mampir ke sana. Kita nyelinap masuk ke kamar rawat inapnya Nenek diam-diam ya. Tapi kita ketemuan dulu di tempatnya Paman aja. Dan jangan lupa bawa "racun"nya juga ya. Thank you.
Damar mengangguk dan menutup telponnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya.
FADE TO BLACK
TITLE CARD: JUMAT
FADE IN
EXT. ALUN-ALUN - SIANG HARI
Mara sedang berkelana sendirian di alun-alun kota yang ramai. Ia memperhatikan orang-orang di sekitarnya, ada yang sedang berjalan duaan sambil bergandengan, ada anak-anak yang sedang bermain kejar-kejaran dan orang tua mereka menyuruh mereka berhenti, dan ada juga yang sedang duduk di kursi-kursi yang disediakan, mengelap keringat.
Menikmati suasana, Mara mengangkat handphonenya yang memiliki casing hitam pekat yang terbuat dari kulit, lalu mulai memfoto-foto pemandangan alun-alun yang ada di sekitarnya.
CUT TO BLACK
TITLE CARD: SABTU
CUT IN
EXT. TAMAN KOTA - PAGI HARI
Mara sedang jogging mengikuti jalur pejalan kaki di taman kota. Earphone tercolok pada kedua telinganya, pertanda ia jogging sambil mendengarkan musik. Ia berlari dengan cukup cepat, mampu menyusul dan melewati orang-orang lain yang hanya jalan cepat atau berlari pelan di track tersebut.
CUT TO BLACK
END OF MONTAGE
TITLE CARD: MINGGU
CUT IN
EXT. FOOD COURT - MALAM HARI
Di sebuah food court yang ramai dengan atap terbuka, terlihat adanya sebuah billboard yang mengiklankan sebuah kompetisi perancangan robot AI, dengan gambar poster sebuah humanoid yang memiliki tubuh robot tetapi wajah yang amat menyerupai manusia.
Tidak jauh dari billboard itu, Gusti duduk sendirian di mejanya, memakan sebuah burger dan terdapat juga minuman soft drink di atas mejanya.
Gusti menggigit dan menguyah burgernya menatap kosong ke depan, tampak sedih.
PAK RIDWAN (V.O.)
Maaf, tadi kamu bilang nama kamu siapa?
FLASH TO:
INT. RUANGAN PAK RIDWAN - SIANG HARI
Ketika sedang memproposalkan idenya kepada Pak Ridwan hari itu, Gusti duduk berseberangan dengan Pak Ridwan. Gusti sedang membuka map coklatnya untuk menyerahkan dokumennya kepada Pak Ridwan.
GUSTI
Gusti, Pak.
PAK RIDWAN
(mencoba mengingat-ingat)
Hmm... Gusti, Gusti. Kamu mahasiswanya Pak Angga ya?
GUSTI
Betul, Pak.
Pak Ridwan langsung tampak tidak senang. Gusti mencoba menyerahkan isi amplop coklatnya berupa dokumen kepada Pak Ridwan.
GUSTI
Ini proposalnya, Pak. Mungkin bisa dibaca-baca dulu.
PAK RIDWAN
(langsung menolak)
Maaf, saya ga nerima proposal apapun dari mahasiswa yang kata dosennya kurang kompeten.
Gusti terhentak. Ia tidak jadi menyerahkan dokumen itu kepada Pak Ridwan, pelan-pelan tubuhnya mundur ke belakang hingga menyender pada kursinya.
PAK RIDWAN
Saya berteman baik dengan Pak Angga. Beliau suka sharing sama saya tentang mahasiswanya yang menurut dia brilian, seperti Damar yang barusan saya tawarin magang.
Wajah Gusti menjadi kusam.
PAK RIDWAN
Tapi dia juga suka ngeluh tentang mahasiswanya yang dia rasa kurang... Seperti kamu contohnya, Gusti.
Gusti hanya bisa tertunduk malu.
FLASH TO:
INT. FOOD COURT - MALAM HARI
Gusti hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat kejadian itu.
Tidak jauh di belakang Gusti, kita melihat Mara sedang berjalan mencari meja kosong sambil membawa-bawa tempayan berisi makanan. Handphone Mara yang memiliki casing berwarna hitam itu juga diletakkan di atas tempayan tersebut di sebelah makanannya. Mara berjalan melewati Gusti sambil terus melihat-lihat ketersediaan meja kosong, tetapi ia tidak kunjung dapat menemukannya.
Gusti menyadari keberadaan Mara di sana. Melihat tingkahnya, Gusti peka apa yang Mara butuhkan.
GUSTI
(berdiri, memanggil Mara)
Emm, cari tempat duduk? Di sini kosong kok.
MARA
(tampak senang, merasa lega, duduk di seberang Gusti)
Oh, iya. Makasih banyak ya.
Gusti tersenyum ramah kepada Mara. Mara mengulurkan tangannya untuk menyalami Gusti.
MARA
Mara.
GUSTI
(menyalami Mara)
Gusti.
Keduanya kembali menyantap makanan mereka masing-masing. Gusti memandang Mara yang ada di depannya dengan teliti, seperti pernah mengenalinya.
GUSTI
Kita udah pernah ketemu sebelumnya apa ngga ya?
MARA
(sambil mengunyah)
Mungkin... Tapi aku kurang tau juga sih. Aku ini orangnya agak pelupa.
GUSTI
Di kampus apa ya? Kamu... Kuliah?
MARA
Sebelumnya iya. Jurusan arsitek di Singosari, tapi aku berenti sejak minggu lalu.
GUSTI
(terkejut)
Oh ya? Aku juga anak arsitek di Singosari lho! Siapa namamu tadi-- Mara? Tapi kok aku asa belum pernah denger ya... Kamu juga sekarang harusnya di taun terakhir kan?
Gusti tertawa canggung.
MARA
(menganggukan kepala)
Mungkin karena aku ga pernah terkenal aja selama lagi di sana.
GUSTI
Kenapa kamu berenti? Apa ngga sayang tinggal dikit lagi lulus?
MARA
(merenung, mengembuskan napas)
Ada lah... Masalah pribadi sama orang lain.
Gusti mengangguk-anggukan kepala, memahami apabila Mara tidak mau membicarakannya.
MARA
(mengubah topik)
Emm... Ke sini nyari makan doang? Atau..?
GUSTI
Iya... Sama sekalian nenggelamin kegalauan juga.
Gusti tertawa kecil.
MARA
(penuh rasa penasaran)
Galau apa nih..? Tugas akhir? Atau jangan-jangan pacar?
GUSTI
(merasa senang karena ditanya)
Boro-boro aku kepikiran soal pacar... Urusan kuliah aja masih berantakan.
MARA
Dosen rese?
GUSTI
Kalo semua dosen resenya sama aku doang, kayanya sih yang salah bukan mereka ya.
Mara tertawa.
GUSTI
Entahlah... Bingung aku juga... Kadang aku mikir aku ini sebetulnya salah jurusan apa gimana. Aku ga ngerti kenapa aku gagal melulu padahal aku udah belajar mati-matian, nyari referensi dari luaran sana sebanyak-banyaknya. Tapi aku emang ga cukup kreatif aja.
MARA
(bersimpati)
Tapi buktinya kamu udah lewatin tiga taun pertama. Meskipun ga gampang, tapi semuanya masih baik-baik aja kan?
Gusti menjadi tersadarkan. Ia mengangguk-angguk.
MARA
(menyemangati)
Sedikit lagi kamu lulus kok, Gusti. Bertahan aja ya.
GUSTI
Makasih ya...
Keduanya saling bertatapan dan tersenyum. Koneksi yang lebih dalam mulai terjalin antara keduanya.
GUSTI
Kamu tau... Aku baru aja kenal sama kamu, tapi aku ngerasa kaya kita udah temenen sejak lama. Di lain sisi, aku punya temen yang udah kenal dari awal kuliah... Orangnya pinter banget, kreatif pula. Semua dosen senang sama dia... Baru-baru ini dia udah dapet kerjaan lagi padahal belum lulus. Tapi entahlah... Menurutku dia orangnya tertutup, dan ngga gitu suportif. Keliatannya kamu tipe temen yang jauh lebih baik dari dia sih... Aku seneng kita bisa kenalan, walaupun baru sekarang.
MARA
(tersanjung)
Makasih Gusti. Aku juga seneng kita bisa kenalan.
GUSTI
Mungkin kapan-kapan aku bakal kenalin kamu sama temenku yang jenius ini... Siapa tau kamu bisa bikin dia jadi lebih terbuka gitu... Soalnya kadang aku suka gemes gitu kalo dia main sok-sok misterius mulu tiap-tiap...
Mara tertawa kecil.
MARA
Boleh, Gus.
Mara telah selesai menghabiskan makanannya. Ia menghabiskan minumnya dan mengelap minumnya dengan tissue, lalu bersiap-siap untuk pergi lagi.
MARA
(berdiri)
Aku cabut duluan ya, Gusti. Makasih sekali lagi buat sharing-sharingnya.
GUSTI
(ikut berdiri)
Oh, iya. Ehm, ngomong-ngomong, boleh minta nomormu? Supaya kita bisa terus kontak-kontakan...
MARA
(mengambil handphonenya)
Oh iya. Bentar ya...
Mara membuka daftar kontaknya di smartphonenya, lalu memperlihatkan layar smartphonenya yang berisi nomornya itu kepada Gusti. Gusti mengambil handphonenya Mara dari tangannya, dan mencatat nomor Mara dalam HPnya sendiri dengan tangan yang satunya lagi, dan dalam prosesnya menyadari keberadaan retakan-retakan kaca pelindung layar HPnya Mara serta merasakan tekstur casing kulit yang dipakai HP Mara.
CUT TO BLACK.