Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
FADE IN
EXT. RUMAH NENEK - PAGI HARI
Kita melihat rumah Nenek dari kejauhan, menyamping. Matahari sudah terbit dan sudah cukup panas di luar.
NENEK (V.O.)
Damarwi... Nenek beli sayur dulu ya ke pasar.
DAMAR (V.O.)
Baik Nek.
Tidak lama kemudian, Nenek terlihat keluar dari rumah dan berjalan menjauh hingga keluar dari frame.
CUT TO:
INT. KAMAR MANDI RUMAH NENEK - LATER
Damar sedang menyikat giginya, ketika ia mendengar suara ketukan pintu dari luar. Ia mengambil waktunya untuk menyelesaikan sikat giginya terlebih dahulu hingga kumur-kumur dan mengelap mulutnya pakai handuk.
CUT TO:
EXT. RUMAH NENEK - LATER
Damar membukakan pintu, dan mendapati Paman sedang berdiri di sana. Motornya terlihat diparkir di belakang tubuhnya. Paman hanya tersenyum sambil mengangguk ke arah Damar.
Damar menggelindingkan kedua matanya ke atas dan menutup kembali pintunya seketika.
Tetapi pintu terhalang sesuatu. Damar melihat ke bawah: sepatu Paman menghalangi. Damar mencoba mendorongnya lagi lebih keras, tetapi tentunya pintu tetap tidak bisa tertutup dengan adanya kaki Paman yang menghalangi di sana.
PAMAN
Damar... Paman ke sini bukan buat minta uang sama Nenek.
Damar menendang kaki Paman hingga tidak lagi menghalangi pintu, sehingga ia dapat menutup pintunya.
PAMAN
(dengan suara pelan)
Aw!
CUT TO:
INT. RUMAH NENEK - KONTINU
Damar dengan acuh tak acuh mengunci pintunya dan berjalan masuk kembali ke dalam.
PAMAN (V.O.)
Ini menyangkut ibu kamu!
Langkah Damar terhenti. Kedua matanya berbinar. Ia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya. Ia membalikkan badannya dan berjalan menuju pintu depan.
CUT TO:
EXT. RUMAH NENEK - KONTINU
Damar kembali membukakan pintunya untuk Paman.
PAMAN
Nenek ngga pernah cerita kan sama kamu?
Damar hanya bisa mengangguk.
PAMAN
(menarik napas dalam-dalam)
Paman bakalan perlu kopi nih kayanya.
Paman berjalan ngeleos masuk melewati Damar. Damar menutup pintu rumahnya dan kembali berjalan ke dalam.
CUT TO:
INT. KAMAR DAMAR - LATER
Damar duduk anteng di atas ranjangnya. Paman masuk ke dalam dengan secangkir kopi, lalu duduk di samping Damar di atas ranjang. Keduanya menghadap ke arah meja belajar Damar.
PAMAN
Selama ini pasti kamu pikir Paman yang jahat...
Damar tidak bereaksi, tidak juga ingin melihat Pamannya langsung di kedua matanya.
PAMAN
(mengembuskan napas, menoleh ke arah Damar)
Kamu punya cita-cita, Mar?
Damar tidak menjawab, hanya menatap kosong ke depan. Paman akhirnya menyerah, tetapi ia memutuskan untuk melihat-lihat sekelilingnya, hingga tatapannya terkunci pada barang-barang yang ada di atas meja belajar Damar. Di sana ia melihat ada milimeter block yang terbuka dengan sketsa gambar rumah, jangka sorong, pensil dan penggaris di atas kertas milimeter block itu, serta dua buku arsitektur yang berdiri di sana.
PAMAN
Kamu mau jadi arsitek?
Damar masih bungkam, tidak memberikan tanda apapun.
PAMAN
(meminum seteguk kopi)
Itu bagus... Kamu tau dulu Ibumu cita-citanya jadi apa?
Kali ini, Damar akhirnya menoleh ke arah Paman.
PAMAN
(dengan penuh kekaguman)
Jadi pe-na-ri... Dan dia emang punya bakat juga di sana.
Untuk pertama kalinya, Damar dan Paman membuat eye contact.
FLASH TO:
INT. RUMAH NENEK - MALAM HARI - TIGA BELAS TAHUN SEBELUMNYA
SUHENDI (14) dengan kagum menonton kakaknya, SILVI (16) yang sedang menari di depannya. Karena ruang tamu rumah Nenek itu sempit, Silvi tidak dapat menari dengan terlalu lincah. Sebuah kaset sedang diputar yang menghasilkan suara musik tradisional untuk mengiringi tarian Silvi.
Pandangan Suhendi tidak dapat lepas dari Kakaknya, yang menari dengan begitu lentur: tubuhnya langsing dan lentik, gerakannya dapat dengan mudah merayu lelaki manapun.
Terdengar langkah kaki seseorang mendekat pintu depan rumah. Suara kencrengan kunci juga terdengar. Silvi dan Suhendi dengan reflek langsung menatap satu sama lain, dan Silvi buru-buru langsung bergegas mencabut kasetnya hingga musik berhenti, sementara Suhendi membenarkan posisi duduknya.
Pintu depan terbuka dan Nenek yang terlihat lebih mudah berjalan masuk ke dalam dengan menjinjing sebuah kantong keresek.
Nenek mendapati Silvi berdiri saja di sana di sebelah pemutar kaset dalam keadaan agak ngos-ngosan. Kemudian ia melihat Suhendi yang hanya tertunduk saja di sana.
NENEK
(kepada Silvi)
Kamu kira Ibu ngga denger barusan?
Perkataan Nenek membuat Silvi tertunduk lesu.
NENEK
Suhendi...
Suhendi menoleh ke arah ibunya.
NENEK
Barusan kakak kamu nari lagi. Iya kan?
Suhendi menatap ke arah Silvi. Wajah Silvi sudah pasrah saja. Dengan ragu dan terpaksa, Suhendi menganggukan kepalanya.
Nenek menatap Silvi dengan tajam. Silvi tidak dapat membalas tatapan Nenek. Kedua tangan Silvi berada di depan tubuhnya, dengan tangan yang satu menggenggam sikut tangannya yang lain.
Nenek berjalan mendekati Silvi hingga jarak mereka hanya terpisah setengah meter, sementara Suhendi hanya duduk menyaksikan saja di sana.
NENEK
(dengan tegas)
Udah berapa kali Ibu bilang sama kamu Silvi... Kamu harus hentiin mimpi gila kamu ini!
Kedua mata Silvi mulai berkaca-kaca.
NENEK
Ibu ngga ngerti. Memangnya apa yang salah sih kalo kamu tetep tinggal di sini aja bantuin Ibu? Selama ini kita selalu berkecukupan toh. Kamu ga pernah tidur dengan perut kelaparan kan?
Silvi dengan perlahan mengangguk-angguk. Agak terpaksa.
NENEK
Kamu nari-nari gini... Ibu ngga tau lagi masa depanmu bakalan kaya gimana.
Silvi untuk pertama kalinya membuat eye contact dengan ibunya.
NENEK
(dengan nada memaksa, tepat di depan wajah Silvi)
Jadi untuk yang terakhir kalinya, Silvi... Kamu bakal berenti menari, di sini dan dimanapun. Semakin lama kamu tinggalin tari-tarian, akan semakin sulit juga buat kamu untuk ngelupainnya.
Nenek akhirnya berjalan melewati Silvi dan menuju bagian rumah yang lebih dalam. Di sini Silvi akhirnya dapat mengambil napas kembali.
NENEK
(menghentikan langkahnya, membalikan badan)
Begitu kamu belajar buat menahan diri, Ibu yakin kamu juga bakal bisa nemuin cita-cita lain yang lebih masuk akal, Sil.
Nenek kembali membalikan badannya dan berjalan masuk ke dalam sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Silvi memandang kepada Suhendi, yang dari tadi hanya menyaksikan saja dengan tidak berdaya. Suhendi menatap Silvi dengan penuh simpati.
CUT TO:
INT. KAMAR SILVI & SUHENDI - MALAM HARI
Silvi dan Suhendi sedang berbaring menjelang tidur. Silvi berbaring di ranjang atas, Suhendi di ranjang bawah yang letaknya agak di samping ranjang atas. Keduanya menatap langit-langit.
SUHENDI
Kak...
SILVI
Ya?
SUHENDI
Ibu keliru banget soal Kakak tadi.
Silvi memiringkan posisi tidurnya supaya dapat melihat adiknya yang tidur di bawah.
SUHENDI
Aku yakin Kakak bisa jadi penari yang hebat. Terserah Ibu mau bilang apa.
Silvi tersenyum karena pujian adiknya. Tetapi, senyuman itu tidak bertahan lama, dan lama-kelamaan pudar.
SILVI
Aku juga kepengen percaya gitu, Hen. Tapi... Aku harus gimana kalau Ibu ga ngizinin? Tanpa restu Ibu, pasti nantinya aku bakalan tersesat juga.
Suhendi mengembuskan napas kekecewaan.
SUHENDI
Ini semua ga adil... Kakak pantes dapetin yang lebih dari ini.
Keduanya diam termenung saja untuk beberapa saat... Hingga Suhendi tampak seperti mendapatkan sebuah ide dan kedua matanya langsung berbinar-binar. Ia pun mengambil posisi duduk hingga ia dapat melihat Silvi secara langsung di sampingnya.
SUHENDI
Kak, aku tau apa yang Kakak butuhin...
Silvi menatap Suhendi aneh.
SUHENDI
Kita harus nunjukkin bakat nari Kakak ke orang-orang di luar sana. Dengan begitu, Kakak bakalan dicari-cari sama semua orang, dan kita bisa buktiin sama Ibu Kakak bisa sukses kok jadi penari...
Tatapan Silvi terhadap Suhendi penuh dengan harapan, tetapi ia hanya bisa menutupi wajahnya dengan kedua tangannya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Suhendi tidak mengerti.
SUHENDI
Kenapa Kak?? Harusnya Kakak seneng...
SILVI
(menunjukkan kembali wajahnya dan setetes air mata jatuh dari pipinya)
Aku mau banget, Hen. Aku mau itu lebih dari apapun juga. Tapi gimana caranya? Kita tinggal di tempat antah-berantah kaya gini dan entah apa yang bakal Ibu lakuin kalo aku sampe ketauan lagi...
Silvi mengambil posisi duduk dan bersandar pada tembok yang menempel pada ranjangnya.
SUHENDI
(mengambil posisi berlutut pada ranjangnya sendiri; meraih dan menggenggam tangan Silvi)
Nanti kita rekam tarian Kakak yang paling bagus buat ditunjukkin ke orang-orang. Bikin Kakak terkenal di sekitar sini dulu.
CUT TO:
INT. RUANG KELAS - SIANG HARI
Suhendi yang mengenakan seragam SMP sedang belajar di kelas. Anak-anak anteng memperhatikan guru. Ketika guru sedang menghadap papan tulis, teman laki-laki yang duduk di sebelah Suhendi meraih tasnya yang ada di bawah meja, mengambil sebuah kamera jadul dan mengopernya dengan diam-diam kepada Suhendi, yang tangannya sudah siap di bawah meja dari tadi. Suhendi menerimanya dan memasukannya ke dalam tasnya.
SUHENDI (V.O.)
Temenku ada yang punya kamera video murahan, nanti aku bisa pinjem, dan kita rekaman pas Ibu lagi pergi ke luar.
CUT TO:
INT. KAMAR SILVI & SUHENDI - MALAM HARI
Suhendi tampak semangat dan percaya diri dengan idenya.
SUHENDI
Oke, Kak?
Kakak tampak amat senang dengan ide Suhendi tersebut, tetapi ia juga penuh keraguan dan ketakutan.
SILVI
Entahlah, Hen... Aku kurang yakin.
SUHENDI
Percaya aja sama aku, Kak. Aku cuma pengen yang terbaik buat Kakak.
Suhendi memberikan tatapan memohon kepada Silvi. Silvi membalasnya dengan tatapan penuh kasih. Silvi menarik napas dalam-dalam, seperti untuk mengumpulkan keberanian, lalu mengembuskannya. Akhirnya Silvi pun dengan percaya diri mengangguk-angguk kepada Suhendi. Suhendi tersenyum.
FADE TO:
INT. RUMAH NENEK - PAGI HARI
Terdengar suara seboran dari dalam kamar mandi. Suhendi membuka pintu kamar mandi dan keluar dari sana, dan ia bertemu ibunya yang telah mengenakan baju pergi dan sedang berjalan menuju pintu depan rumah.
NENEK
(tetap berjalan, menoleh ke arah Suhendi)
Ibu ke pasar dulu ya.
SUHENDI
(mengelap tangan ke celana, sambil mengangguk)
Iya Bu.
Ibu pun keluar rumah. Dengan hati-hati Suhendi berjalan ke jendela depan dan mengintip ke luar, memastikan bahwa ibunya sudah berjalan cukup jauh dari rumah.
Suhendi menutup gorden jendelanya kembali dan bergegas menuju kamarnya.
CUT TO:
INT. KAMAR SILVI & SUHENDI - KONTINU
Silvi masih terlelap di atas ranjang. Suhendi menggoyang-goyang tubuhnya, membangunkannya.
SUHENDI
Kak... Bangun Kak.
Silvi yang masih ngantuk merasakan tubuhnya menempel pada ranjang.
SILVI
Apa sih, Hen? Ini hari Sabtu...
SUHENDI
Ibu barusan pergi ke pasar, Kak. Cepet... Ini kesempatan kita buat rekaman.
Kedua mata Silvi langsung melek seketika. Ia pun bangun dan langsung berlari ke kamar mandi, sementara Suhendi meraih ranselnya yang duduk di atas meja belajarnya untuk mengeluarkan kamera yang ia pinjam.
CUT TO:
INT. RUMAH NENEK (RUANG DEPAN) - LATER
Suhendi telah mengarahkan kameranya pada Silvi, yang kini telah mengenakan pakaiannya yang terbaik yang ia miliki di rumah. Ia juga telah berdandan sedikit.
Silvi memasang kaset lagunya pada pemutar kaset terlebih dahulu, lalu dengan cepat mengambil posisi untuk mulai menari. Selagi lagunya masih pada bagian pendahuluan, sebelum mulai menari, ia menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Silvi menatap Suhendi di belakang kamera, yang membalas pandangannya dengan senyuman yang memberikan Silvi kepercayaan diri.
Bagian utama lagu kini sudah mulai dialunkan. Silvi pun menari mengikuti irama lagu. Di ruangan yang relatif sempit itu, Silvi mampu tetap bergoyang dan bergerak ke kiri ke kanan, ke depan dan ke belakang dengan penuh pesona dan elegansi. Tubuhnya amat lentik dan ia mampu berputar-putar dengan sangat lancar. Tidak sekalipun Silvi dalam tariannya menunjukkan tanda-tanda keraguan terhadap diri sendiri; ia menampilkannya dengan penuh kepercayaan diri dan keterampilan.
Suhendi yang berdiri di belakang kamera hanya bisa menganga dalam keterkaguman. Ia tahu kakaknya sangat berbakat, tetapi belum pernah ia sebelumnya menyaksikan penampilan Silvi yang begitu sempurna tanpa ada cacat cela sedikitpun. Dengan penuh rasa bangga dan kepercayaan diri Suhendi mulai mengangguk-angguk. Kedua matarnya berbinar-binar.
NENEK
(membuka pintu depan dan membantingnya terhadap tembok)
SILVI!!!
Silvi dan Suhendi yang amat terkejut langsung menoleh ke arah ibu mereka yang telah kembali dan berada di pintu masuk. Mulut keduanya terbuka, tetapi Silvi terutama terlihat sangat ketakutan. Tubuhnya terlihat gemetaran.
NENEK
(dengan menakutkan berjalan pelan mendekat kepada Silvi)
Ibu ninggalin kamu sebentar...
CUT TO:
INT. RUMAH NENEK - PAGI HARI
Suhendi melihat ibunya berjalan menjauh dari rumah, lalu ia kembali menutup gorden jendelanya dan berjalan menuju kamar.
CUT TO:
EXT. KEBUN TANDUS - KONTINU
Nenek membalikan badannya dan memandang kembali ke arah rumahnya. Dengan tatapan curiga, ia berjalan kembali menuju rumahnya.
NENEK (V.O.)
Cuma buat ngetes apa yang bakal kamu lakuin kalo Ibu ga ada di rumah...
CUT TO:
EXT. RUMAH NENEK - LATER
Nenek telah sampai pada halaman depan rumahnya. Semakin dekat dengan pintu depan, semakin terdengar olehnya bahwa musik tarian sedang diputar.
Ia menjadi geram seketika, dan ia sudah tidak sabar untuk melabrak Silvi.
NENEK (V.O.)
Dan kamu jadiin ini sebagai kesempatan dalam kesempitan.
CUT TO:
INT. RUMAH NENEK - PAGI HARI
Wajah Nenek menjadi semakin merah. Ia berjalan semakin mendekat ke arah Silvi, yang hanya bisa pasrah saja berdiri di sana, gemetaran.
NENEK
Harusnya Ibu udah nyangka kamu ga bisa dipercaya...
Nenek menghentikan langkahnya di depan Silvi. Ia kini menoleh ke samping, ke arah Suhendi yang masih memegang kameranya.
NENEK
Dan kamu... Malah ngebantuin kakak kamu yang ga bener!
Nenek tiba-tiba merampas kamera itu dari tangan Suhendi dan MEMBANTINGNYA ke lantai hingga hancur berantakan, sementara Suhendi yang amat terkejut hanya dapat menyaksikannya tidak berdaya. Tubuh Silvi semakin bergetar, ia langsung memejamkan kedua matanya.
Nenek menatap tajam ke arah pemutar kaset yang sedang memaikan musik, dan berjalan ke arahnya.
NENEK
Kalo kamu ngga bisa nurut...
Nenek mencabut kasetnya, membalikan badannya dan membelah kaset itu menjadi dua dengan kedua tangannya di depan Silvi dan Suhendi, yang hanya bisa menyaksikan dengan horor.
NENEK
Ibu akan maksa kamu buat nurut.
Nenek tidak terlihat puas dengan perbuatannya ini, tetapi ia tidak tampak tidak enak atau menyesalinya juga. Nenek lalu meraih alat pemutar kaset itu dan menjatuhkannya dari meja hingga patah.
NENEK
(membuat gesture membersihkan tangan)
Nah... Sekarang kamu ga punya pilihan lain selain nurut.
Suhendi jatuh berlutut meratapi kamera temannya yang hancur. Silvi yang awalnya hanya tertunduk kini mulai menangis. Ia menangis terisak-isak, kemudian menjadi tersedu-sedu. Silvi memalingkan wajahnya kepada tembok di dekatnya dan menguburnya di sana.
Nenek mulai menurunkan emosinya. Ia melihat Suhendi yang berlutut di tanah, memegang kameranya yang rusak dengan kedua tangannya sambil menangis. Lalu ia memandang ke arah Silvi, yang sedang menangis dengan amat keras, air matanya menetes-netes ke lantai. Ia juga melihat ke lantai di bawahnya, di mana tergeletak di sana dua keping kaset yang telah ia potong dengan sengaja dan alat pemutar kaset yang juga telah ia rusak. Kini ia menyadari bahwa mungkin ia telah kelewatan batas. Wajahnya barulah menunjukkan sedikit penyesalan.
Dengan penuh perasaan tidak enak Nenek berjalan mendekati Silvi yang membelakanginya, dengan wajah menempel pada tembok.
NENEK
(menarik napas dalam-dalam, meraih bahu Silvi)
S--Sil...
Begitu merasa pundaknya disentuh, secara instan Silvi langsung bereaksi seketika dan menjauhkan tubuhnya dari ibunya.
SILVI
(tangisannya berubah menjadi amarah)
Jangan sentuh aku!!!
Nenek langsung menarik kembali tangannya. Wajahnya tampak sedih.
SILVI
(dengan emosional; matanya bengkak; menghapus air matanya)
Ibu kali ini udah keterlaluan!
Ibu bungkam saja, tidak dapat mengelak. Silvi menunjuk ke arah Suhendi.
SILVI
Itu bukan kameranya Suhendi, Ibu tau?! Dia pinjem ke temennya!
Ibunya tertunduk lesu dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangan Silvi terkepal dengan keras.
Ibunya dengan amat sedih berjalan kembali mendekat kepada Silvi dengan tangan terbuka.
NENEK
(mendekat untuk merangkul Silvi)
Maafin Ibu Sil...
Tidak mau membiarkan dirinya dipeluk oleh ibunya, Silvi dengan keras MENDORONG ibunya hingga ia terpental ke belakang dan berakhir dalam posisi duduk di atas sofa yang ada di sana.
Suhendi tercengang. Tangisannya semakin keras.
Ibunya pun amat kaget. Napasnya terengah-engah sembari ia duduk di sana sehabis didorong oleh Silvi. Silvi pun menyaksikan dengan horor tatapan ibunya yang merasa ketakutan terhadap dirinya itu. Ia melihat Suhendi, dan ia merasa malu akan contoh yang ia berikan kepada adiknya itu. Ia kembali melayangkan pandangannya kepada ibunya, sebelum membalikkan badan dan berlari keluar rumah dengan cepat.
Suhendi langsung berdiri.
SUHENDI
Kak... Kakak mau ke mana?!
Suhendi mencoba menyusul. Nenek juga berdiri seketika dan mencoba mengejar keduanya.
CUT TO:
EXT. RUMAH NENEK - KONTINU
Larinya Silvi begitu cepat, kini ia telah berada di luar rumah dan terus berlari menjauh, sementara Suhendi baru sampai di depan pintu dan menyaksikan Silvi berlari begitu cepat, ia pun mulai berlari ketika--
Nenek menangkap Suhendi dari belakang, merangkulnya dengan erat sementara ia menyaksikan Silvi berlari menjauh darinya.
SUHENDI
(mengangkat tangannya ke depan)
KAK!!!
CUT TO:
EXT. KEBUN TANDUS - KONTINU
Silvi tidak menghiraukan suara panggilan adiknya. Ia terus saja berlari dan berlari, tetapi tetes-tetes air mata tidak dapat berhenti keluar dan membasahi seluruh mukanya.
CUT TO:
EXT. RUMAH NENEK - KONTINU
Suhendi mencoba melepaskan diri dari rangkulan Nenek, ia memberontak sekuat tenaga, tetapi rangkulan Nenek justru semakin kuat hingga Suhendi tidak dapat melepaskan diri untuk mengejar Silvi. Nenek merangkul Suhendi begitu kuat dari belakang sambil memejamkan kedua matanya, pipinya tertempel pada punggungnya. Suhendi terus mencoba melepaskan diri, tetapi ia tidak bisa hingga Silvi sudah tidak kelihatan lagi. Suhendi tidak dapat menahan kesedihannya. Ia merasakan bahwa tadi adalah terakhir kalinya ia akan melihat wajah kakaknya.
FADE TO:
EXT. KEDAI - SENJA
Hari sudah mulai gelap, matahari sedang dalam proses terbenam. Perjalanan Silvi yang tak berarah telah membawanya pada suatu kedai di antah berantah. Silvi tampak lelah, rambutnya berantakan, kulitnya seperti habis terbakar sinar matahari. Ia berjalan pelan-pelan. Ia merasakan perutnya keroncongan. Ia memegang perutnya, dan menoleh ke samping, terdapat kedai di sana. Ia pun berjalan memasukinya.
CUT TO:
INT. KEDAI - KONTINU
Begitu masuk, ia tidak melihat ada siapa-siapa di sana. Dalam kedai itu terdapat beberapa meja, dan di ujung paling dalam, terdapat sebuah meja bar dan botol-botol miras terpajang di sana.
Pada saat itu, SEORANG PRIA (30) dengan celemek berjalan dari dalam dan menampakkan dirinya di dalam bar tersebut. Ia menyadari kedatangan Silvi.
PRIA
Halo.
Silvi berjalan perlahan masuk mendekati meja bar. Melihat wajah Silvi dengan jelas, ia tampak tertarik oleh parasnya yang cantik, meskipun ia terlihat berantakan.
PRIA
Kamu datang dari mana?
SILVI
(duduk di kursi bar)
Saya kayanya... tersesat.
Kedua mata pria itu berbinar.
SILVI
Saya udah jalan seharian Pak... Belum makan dari kemarin. Tapi saya ngga punya uang...
Pria itu menyipitkan kedua matanya.
SILVI
Kalau boleh... Nanti saya bantu cuci piring aja Pak, di dapur. Karena saya bener-bener kelaparan dan saya ga punya apa-apa.
Pria itu tersenyum dengan penuh rasa pengertian.
PRIA
Ngga ada piring yang bisa kamu cuci di dapur, De... Coba lihat sekelilingmu. Apa kamu ngeliat ada orang yang makan?
Silvi melihat sekitarnya dan mendapati tempat itu memang kosong sekosong-kosongnya.
PRIA
(memperlihatkan menu)
Tapi ngga apa-apa. Kamu pilihlah apapun yang kamu suka. Karena kamu baru di sini, semuanya gratis.
Silvi merasa lega sekali, tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya.
SILVI
Aduh, Pak... Saya jadi ngga enak banget nih sama Bapak. Nanti begitu saya punya uang saya balik lagi deh ke sini buat bayar Bapak.
PRIA
(tidak memikirkannya sama sekali)
Ngga usah, santai aja lah... Mangga mangga.. Pilih menu apapun yang kamu suka. Sama minumnya juga ya.
Silvi tersenyum lebar pada pria itu dan mulai melihat-lihat menunya dengan semangat.
CUT TO:
INT. DAPUR KEDAI - LATER
Pria itu baru saja selesai menggoreng nasi. Ia memindahkanya ke atas piring, dengan topping telor mata sapi di atas. Di sebelah piring itu, telah tersedia segelas teh. Ia meneteskan suatu cairan ke dalamnya dari kontainer yang bentuknya seperti wadah imunisasi. Ia membawa sepiring nasi goreng dan segelas teh itu ke luar dapur.
CUT TO:
INT. KEDAI (BAR) - KONTINU
Silvi tersenyum begitu melihat pria itu keluar membawa makanan dan minumannya, yang ia sajikan di meja bar di depan Silvi dengan senyuman manis.
PRIA
Silakan... Selamat makan.
SILVI
Terima kasih banyak ya Pak.
Tanpa berlama-lama Silvi langsung menyantap nasi gorengnya dengan lahap karena ia sudah sangat lapar. Pria itu menunggui Silvi sambil mengelap gelas-gelas wine dengan santai.
PRIA
Jadi... Gimana ceritanya sampe kamu bisa tersesat gini?
SILVI
Saya... Kabur dari rumah.
PRIA
Oh ya? Kenapa?
SILVI
(mengembuskan napas, menatap kosong)
Saya ngerasa sesek tinggal di rumah itu. Saya udah muak sama ibu saya sendiri.
Silvi mengangkat gelas teh itu dan meneguknya. Sang pria memperhatikannya dan tersenyum.
SILVI
(menaruh kembali gelas tehnya)
Saya pengen jadi penari... Ibu ngga akan pernah ngebiarin saya, walaupun cuma buat hobi. Walaupun cuma buat ngisi waktu kosong. Walaupun cuma buat ngehibur adik saya.
Pria itu menunjukkan simpati.
SILVI
Ya... Sebenernya saya ngerasa bersalah sih karena udah ninggalin Suhendi sendirian sama Ibu... Aku harap dia bakalan baik-baik aja.
Pria itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
Silvi mengambil lagi sesendok nasi goreng, tetapi tiba-tiba ia merasa pusing. Penglihatannya menjadi kabur, telinganya berdenging. Sendoknya terlepas dari tangannya. Kedua matanya menjadi sayu. Napasnya terengah-engah.
Silvi pun pingsan dan kepalanya terjatuh tepat di atas piring nasi goreng di depannya.
FADE TO:
INT. KAMAR - MALAM HARI
Silvi membuka kedua matanya, tetapi matanya terasa berat. Ia terbangun di sebuah ruangan yang pencahayaannya remang-remang. Ia mencoba untuk bangun dan duduk, tetapi ia dengan cepat menyadari bahwa kedua tangannya terikat ke kepala ranjang dengan tali. Ia mencoba menggerakan-gerakan tangannya, tetapi ikatannya amat kencang. Mulutnya pun ditutup oleh lakban sehingga ia tidak dapat berkata-kata.
PRIA
Kamu bilang kamu pengen jadi penari...
Silvi menyadari bahwa pria tadi sedang duduk di pojok ruangan. Ketakutan, ia mencoba untuk melepaskan tangannya dengan lebih keras lagi.
Pria itu mulai berdiri dan berjalan perlahan mendekati Silvi, yang terus mencoba menggoyang-goyangkan kedua tangannya dengan harapan ikatannya dapat terlepas.
PRIA
(sambil membuka ikat pinggangnya)
Dan demi bisa jadi penari, kamu cukup berani buat ninggalin rumah dan pergi ke tempat yang ga kamu kenal...
Silvi mencoba teriak minta tolong, tetapi lakban yang menutupi mulutnya membuatnya terdengar merengek-merengek tidak karuan saja.
PRIA
(membuka baju atasannya)
Kalau begitu... Kamu akan menari buat saya.
Kini pria itu berdiri tepat di atas Silvi yang telah menghentikan rengekannya, membayang-bayanginya. Kedua mata Silvi berkaca-kaca, seakan memohon kepada pria itu untuk mengurungkan niatnya. Tetapi, Silvi hanya dapat pasrah dan mempersiapkan diri untuk apa yang pria itu akan lakukan kepadanya.
FADE TO BLACK
PAMAN (V.O.)
Ga lama setelah itu, Kak Silvi ngelahirin kamu, Damar...
CUT IN
INT. KAMAR DAMAR - PAGI HARI
Damar menatap Paman dengan horor setelah mendengar cerita itu. Kedua matanya terbuka lebar, tetapi tatapannya kosong ke depan.
PAMAN
Tapi Kak Silvi ga selamat.
Paman terlihat sedih. Ia menundukan kepalanya.
PAMAN
Nenek yang udah bikin ibumu pergi dari rumah.
Damar memandang Paman. Mata Damar berkaca-kaca.
PAMAN
Jadi sekarang kamu ngerti... Kenapa Paman ga bisa hormat sama Nenek. Ngga setelah apa yang udah dia perbuat sama Paman... Sama Ibumu...
Tetesan air mata mulai mengalir dan membanjiri pipi Damar. Ia mulai menangis tersedu-sedu. Setiap air mata yang menetes, ia langsung hapus. Ia terlihat berusaha sangat keras untuk menghentikan tangisannya dan menjadi kuat, tetapi itu amatlah sulit.
Paman menaruh cangkir kopinya di atas meja Damar, lalu merangkul Damar dan membiarkan Damar menangis dalam pelukannya. Paman pun merasakan kesedihan yang sama, hanya saja ia sudah dapat meresponinya dengan lebih tegar. Mata Paman pun berkaca-kaca.
PAMAN
(mengusap-ngusap punggung Damar sambil memeluknya)
Maafin Paman ya, Mar. Hanya saja... Ini udah saatnya kamu tau apa yang sebenernya terjadi sama ibu kamu.
Damar masih terus anteng menangis di dalam pelukan Paman. Paman membiarkan Damar mengambil waktunya.
PAMAN
Ya, ya... Gapapa... Paman juga sedih kok.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Damar dapat merasa terkoneksi dengan Pamannya.
CUT TO:
EXT. RUMAH NENEK - LATER
Paman berjalan keluar dari rumah Nenek, melewati pintu depan dan menuju motornya. Ia disusul oleh Damar, yang menungguinya di teras rumah.
Paman terlihat baru saja teringat akan sesuatu. Ia membalikkan badannya dan kembali berjalan mendekat kepada Damar sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya.
PAMAN
Oh iya Mar... Paman hampir lupa.
(menyerahkan amplop coklat)
Nitip ini buat Nenek ya.
Damar menerimanya. Ia mengintip ke dalam: isinya sejumlah uang tunai.
PAMAN
Paman udah ngga lagi butuh uang Nenek... Paman bakal buktiin sama dia... Paman bisa berhasil tanpa bantuannya.
Paman mengelus-ngelus rambut Damar dan berjalan menuju motornya.
Paman mengenakan helmnya dan menyalakan mesin motornya. Ia tersenyum dan melambai kepada Damar, yang juga dibalas Damar dengan lambaian. Paman pun pergi dengan motornya. Damar menyaksikan kepergian Paman dari depan rumahnya.
CUT TO:
INT. RUMAH NENEK - SIANG HARI
Pintu depan terbuka, Nenek yang baru saja kembali dari pasar membawa kantong keresek berisi sayur yang ia jinjing berjalan masuk ke dalam rumah. Ia berjalan menuju dapur untuk menaruh belanjaannya.
CUT TO:
INT. RUANG MAKAN RUMAH NENEK - KONTINU
Damar duduk diam di balik meja makan. Wajahnya kusam. Melihati Damar sedang duduk di sana, langkah Nenek terhenti.
NENEK
Marwi?
Damar menoleh ke arah Nenek, tetapi tatapannya tajam, yang membuat Nenek terkejut. Mulutnya sedikit menganga. Perasaannya menjadi tidak enak.
NENEK
Mar... Ada apa?
Damar tidak menjawab, hanya terus menatap Nenek semakin dan semakin tajam. Ia menyipitkan kedua matanya, dan napasnya menjadi dalam. Kedua tangannya yang ada di atas meja menjadi terkepal dengan keras.
Nenek yang bingung mengalihkan pandangannya pada amplop coklat yang terletak di tengah-tengah meja. Memperhatikannya dengan dekat, Nenek secara tidak langsung tahu apa itu artinya.
Kombinasi antara tatapan Damar itu dan amplop coklat di atas meja membuat Nenek hanya dapat menelan ludahnya, tertunduk lesu dan menggeleng-gelengkan kepala.
FADE TO BLACK.