Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
INT. RUMAH TUA – MALAM
Udara di dalam rumah terasa lebih dingin daripada di luar.
Seolah-olah dindingnya menyerap setiap nafas, lalu mengembalikannya dalam bentuk bisikan samar.
Lampu kamera Sinta menjadi satu-satunya sumber cahaya. Cahaya putihnya bergoyang pelan, menyorot debu yang menari di udara.
Tidak ada yang tertawa.
Suara kursi goyang di beranda berderit pelan, seperti mengikuti detak jantung mereka.
Raka memeriksa ruang tamu, menyentuh bingkai foto lama di dinding.
Foto keluarga — seorang pria, wanita, dan anak laki-laki kecil. Wajah sang anak… mirip dirinya.
Ia menelan ludah.
Raka tak menjawab.
Hanya menatap foto itu lama-lama, seolah menunggu seseorang dalam gambar untuk bergerak.
CUT TO..
INT. DAPUR – BEBERAPA SAAT KEMUDIAN
Mira menyalakan lilin di meja makan. Api kecil itu menari, menciptakan bayangan bergerak di dinding.
Adrian menatap Gilang dengan wajah kesal.
Tapi sebelum sempat membalas, suara “duk!” keras terdengar dari loteng di atas mereka.
Semuanya terdiam.
Hanya api lilin yang bergoyang.
Ia memperbesar rekaman. Di layar, bayangan hitam samar terlihat bergerak cepat di ujung tangga.
Raka langsung mengambil senter dan menyorot ke arah itu (kosong) .
Gilang berdiri, menatap tangga. Matanya seolah mengenali arah suara itu.
Raka menatapnya dengan tajam.
Semua menoleh ke Raka, tapi ia langsung berbalik, untuk memadamkan topik itu dengan dingin.
CUT TO..
INT. RUANG TAMU – BEBERAPA JAM KEMUDIAN
Mereka duduk melingkar di lantai. Sinta masih merekam, Adrian membuka beberapa botol minuman.
Hening mendadak.
Raka menatap Adrian, wajahnya kehilangan warna.
Semua terdiam.
Dari dapur, lilin tiba-tiba padam sendiri.
Suara napas berat terdengar dari arah lorong.
Sinta menyorot kamera ke arah suara itu — tapi tak ada siapa pun.
Cahaya dari layar kamera menyorot bekas jejak kaki basah di lantai kayu… menuju tangga ke lantai dua.
Gilang perlahan berdiri.
Semua spontan menatap ke atas.
Di ujung tangga, seseorang berdiri.
Tubuhnya diam, dan wajahnya gelap. Tapi senyumnya terlalu lebar untuk manusia.
Lampu kamera Sinta bergetar. Layarnya berdenyut aneh, seperti rusak.
Saat cahaya stabil kembali sosok itu sudah menghilang.
CUT TO..
INT. KAMAR TAMU – BEBERAPA MENIT KEMUDIAN
Mereka berlindung di satu ruangan, menutup pintu rapat. Raka berjongkok di dekat jendela, memeriksa udara dari luar.
Semua tampak ketakutan, tapi tak ada yang berani mengucap kata “hantu”.
Sinta menyalakan kameranya lagi, untuk menatap layarnya.
Dalam pantulan kaca, ada enam wajah. Tapi di belakang merekaa, ada wajah ketujuh.
CUT TO..
FADE OUT..
Suara kursi goyang kembali berderit di kejauhan.