Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Rumah Di Bukit Kelam
Suka
Favorit
Bagikan
2. SCENE 2 - MALAM PERTAMA DI DALAM RUMAH

INT. RUMAH TUA – MALAM


Udara di dalam rumah terasa lebih dingin daripada di luar.

Seolah-olah dindingnya menyerap setiap nafas, lalu mengembalikannya dalam bentuk bisikan samar.


Lampu kamera Sinta menjadi satu-satunya sumber cahaya. Cahaya putihnya bergoyang pelan, menyorot debu yang menari di udara.


SINTA
(merekam pelan)
“Tanggal 3 November... malam pertama di rumah Bukit Kelam. Gila, udaranya dingin banget.”

ADRIAN
(setengah bercanda)
“Mungkin karena kamu yang bawa hawa horror-nya.”


Tidak ada yang tertawa.

Suara kursi goyang di beranda berderit pelan, seperti mengikuti detak jantung mereka.


Raka memeriksa ruang tamu, menyentuh bingkai foto lama di dinding.

Foto keluarga — seorang pria, wanita, dan anak laki-laki kecil. Wajah sang anak… mirip dirinya.


Ia menelan ludah.


RAKA
(pelan, hampir tak terdengar)
“Ini masih di sini...”

TARI
(mendekat)
“Keluargamu ya?”


Raka tak menjawab.

Hanya menatap foto itu lama-lama, seolah menunggu seseorang dalam gambar untuk bergerak.


CUT TO..


INT. DAPUR – BEBERAPA SAAT KEMUDIAN


Mira menyalakan lilin di meja makan. Api kecil itu menari, menciptakan bayangan bergerak di dinding.


MIRA
(pelan berdoa)
“Ya Tuhan, lindungi kami malam ini…”

ADRIAN
(menggodanya)
“Santai aja, Mir. Ini cuma rumah kosong, bukan kuburan.”

GILANG
(dingin)
“Kuburan juga dulu cuma rumah kosong.”


Adrian menatap Gilang dengan wajah kesal.

Tapi sebelum sempat membalas, suara “duk!” keras terdengar dari loteng di atas mereka.


Semuanya terdiam.

Hanya api lilin yang bergoyang.


TARI
(menatap ke atas)
“Itu... tikus, kan?”

SINTA
(menyipitkan mata ke layar kamera)
“Kayaknya bukan.”


Ia memperbesar rekaman. Di layar, bayangan hitam samar terlihat bergerak cepat di ujung tangga.

Raka langsung mengambil senter dan menyorot ke arah itu (kosong) .


RAKA
(tegas)
“Udah, jangan panik. Mungkin cuma hewan.”

MIRA
(gelisah)
“Tapi... tadi aku dengar langkah, bukan suara jatuh.”


Gilang berdiri, menatap tangga. Matanya seolah mengenali arah suara itu.


GILANG
(pelan)
“Di atas… kamar utama masih terkunci?”


Raka menatapnya dengan tajam.


RAKA
“Iya. Dan biarin tetap terkunci.”


Semua menoleh ke Raka, tapi ia langsung berbalik, untuk memadamkan topik itu dengan dingin.


CUT TO..


INT. RUANG TAMU – BEBERAPA JAM KEMUDIAN


Mereka duduk melingkar di lantai. Sinta masih merekam, Adrian membuka beberapa botol minuman.


ADRIAN
(berusaha mencairkan suasana)
“Udah sepuluh tahun, ya. Dulu kita sering main petak umpet di sini.”

TARI
(tersenyum tipis)
“Iya, dan kamu selalu kalah.”

ADRIAN
(tertawa kecil)
“Gue kalah karena Raka selalu ngilang pas lampu mati.”


Hening mendadak.

Raka menatap Adrian, wajahnya kehilangan warna.


RAKA
(pelan dengan suara)
“Waktu itu... bukan gue yang ngilang.”


Semua terdiam.

Dari dapur, lilin tiba-tiba padam sendiri.

Suara napas berat terdengar dari arah lorong.


Sinta menyorot kamera ke arah suara itu — tapi tak ada siapa pun.

Cahaya dari layar kamera menyorot bekas jejak kaki basah di lantai kayu… menuju tangga ke lantai dua.


MIRA
(hampir menangis)
“Siapa yang naik ke atas barusan?”

TARI
(berusaha rasional)
“Nggak mungkin ada siapa-siapa.”

SINTA
(berbisik, gemetar)
“Tapi aku... aku baru aja liat seseorang berdiri di tangga. Pakai baju putih.”


Gilang perlahan berdiri.


GILANG
“Jangan lihat ke atas.”


Semua spontan menatap ke atas.

Di ujung tangga, seseorang berdiri.

Tubuhnya diam, dan wajahnya gelap. Tapi senyumnya terlalu lebar untuk manusia.


Lampu kamera Sinta bergetar. Layarnya berdenyut aneh, seperti rusak.

Saat cahaya stabil kembali sosok itu sudah menghilang.

CUT TO..


INT. KAMAR TAMU – BEBERAPA MENIT KEMUDIAN


Mereka berlindung di satu ruangan, menutup pintu rapat. Raka berjongkok di dekat jendela, memeriksa udara dari luar.

Semua tampak ketakutan, tapi tak ada yang berani mengucap kata “hantu”.


RAKA
(pelan dengan suara)
“Rumah ini... udah lama nunggu kita balik.”

MIRA
(gemetar)
“Ngapain nunggu?”

RAKA
(menatap kosong)
“Buat ngelanjutin yang dulu belum selesai.”


Sinta menyalakan kameranya lagi, untuk menatap layarnya.

Dalam pantulan kaca, ada enam wajah. Tapi di belakang merekaa, ada wajah ketujuh.

CUT TO..


FADE OUT..

Suara kursi goyang kembali berderit di kejauhan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)