Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
11. EXT. LORONG KAMPUS - UNIVERSITAS JAYA ABADI - SIANG
Herman dan Fira sedang berjalan menyusuri lorong kampus. Mereka baru saja sampai di kampus. Sepanjang perjalanan, banyak mahasiswa yang menyapa dan menyalami Herman.
HERMAN
Kamu kelasnya sampai jam berapa sayang?
FIRA
Mungkin sampai jam tiga pa. Kenapa?
HERMAN
Nanti pulangnya bareng papa ya.
FIRA
Oh, kirain kenapa. Itu mah pasti, hemat ongkos juga kan
(terkekeh kecil)
LS. FIRA MELIHAT NASYA DARI KEJAUHAN
FIRA
(memanggil dengan suara lantang)
Nasya!
HERMAN
Siapa sayang?
FIRA
Teman aku pa.
Nasya melambaikan tangan kepada Fira lalu menghampirinya.
NASYA
Assalamualaikum Fir, pak.
HERMAN, FIRA
Waalaikumussalam.
FIRA
Pa, kenalin ini Nasya teman satu kelas aku.
Nasya menyalami tangan Herman. Herman merasakan sesuatu yang aneh saat tangannya bersentuhan dengan dahi Nasya.
HERMAN (VO)
Ya Allah, ada apa ini? Perasaan apa yang aku rasakan saat ini?
NASYA
Nasya, pak.
Herman melamun, membuat Nasya dan Fira heran. Sapaan Nasya pun tak dijawab oleh Herman.
Fira menyenggol lengan Herman membuat empunya terkesiap dari lamunannya.
FIRA
Papa kenapa bengong? Itu Nasya lagi kenalan sama papa.
HERMAN
Ah iya, nama saya Herman. Ayahnya Fira.
NASYA
Iya pak, salam kenal.
FIRA
Oh iya, tugas lo gimana Sya? Udah?
NASYA
Sudah dong, kalau belum bisa bisa beasiswa gua dicabut.
(terkekeh kecil)
FIRA
Bisa aja lo.
HERMAN
Hm, papa ke ruangan dulu ya sayang.
FIRA
Eh iya pa.
HERMAN
Mari, permisi.
NASYA
Silahkan pak.
Herman meninggalkan Fira dan Nasya berdua. Dengan perasaan yang tak bisa diuraikan, Herman berjalan menuju ruangannya. Sesekali menengok ke belakang dan memperhatikan Nasya dari kejauhan.
HERMAN (VO)
Siapa sebenarnya anak itu? Kenapa aku merasakan sesuatu yang berbeda?
Nasya melihat Herman dari kejauhan dengan perasaan yang sulit diartikan. Entah mengapa, ada satu hal yang mengganjal hatinya kala mencium tangan Herman tadi.
FIRA
Sekarang lo yang bengong, kenapa sih?
NASYA
Gak apa-apa kok. Yuk, ke kelas.
FIRA
Yuk.
CUT TO :
12. INT. RUANGAN REKTOR - UNIVERSITAS JAYA ABADI - SIANG
Herman duduk di kursinya sembari memijat pelan pelipisnya. Pikirannya tertuju pada sahabat dari Fira anaknya, Nasya. Herman termenung dan menyelami pikirannya.
HERMAN
Kenapa aku seperti melihat sosok dia di wajah anak tadi? Ada apa ini sebenarnya ya Allah?
Herman mengusap wajahnya kasar. Beberapa kali menggumamkan istighfar.
HERMAN
Mungkin perasaan aku saja. Aku harus cari tahu latar belakang anak itu.
Herman mengambil ponselnya dan menghubungi salah seorang asistennya untuk menyelidiki soal Nasya lebih dalam.
CUT TO :
13. INT. RUANG MAKAN RUMAH HERMAN - RUMAH HERMAN - MALAM
Keluarga Herman (Herman, Intan, dan Fira) sedang menikmati makan malam bersama. Herman teringat sesuatu akan Nasya. Ia pun meletakkan alat makannya sebentar.
HERMAN
Fir.
FIRA
Iya pa.
(menoleh ke arah Herman)
HERMAN
Teman kamu yang tadi, dia tinggal di mana?
Intan mengernyit bingung. Tak biasanya sang suami menanyakan soal teman-teman dari Fira, anaknya.
INTAN
Ada apa emang pa?
HERMAN
Gak apa-apa ma, papa cuma ingin tahu aja.
FIRA
Oh, Nasya itu tinggal di jalan kenanga kalo gak salah. Dia cuma tinggal sama ibunya. Katanya sih, ayahnya ninggalin dia waktu dia masih dalam kandungan ibunya.
Hening.
Herman diam. Entah mengapa, penjelasan yang keluar dari mulut anaknya itu seperti melemparnya ke masa lalu.
HERMAN (VO)
Mungkin hanya kebetulan. Gak mungkin anak itu, adalah anak dia. Gak mungkin.
Intan dan Fira saling tatap melihat Herman yang melamun. Intan melambaikan tangannya di depan wajah Herman, membuat Herman tersentak dari lamunannya.
INTAN
Papa kenapa? Kok malah melamun gitu?
HERMAN
Gak apa-apa ma.
INTAN
Yakin?
HERMAN
Iya ma, papa gak apa-apa.
FIRA
Papa kenapa tanya soal Nasya?
HERMAN
Gak apa-apa, papa cuma mau tahu aja siapa teman-teman kamu dan latar belakangnya.
FIRA
Oh.
INTAN
Yaudah, mending sekarang lanjut makannya.
Mereka bertiga melanjutkan makan malam dengan khidmat.
CUT TO :
14. INT. RUANG KELUARGA RUMAH RATIH - RUMAH RATIH - MALAM
Ratih sedang duduk di kursi ruang keluarga sambil melamun. Televisi yang dibiarkan menyala hanya ia pandang dengan tatapan kosong.
FLASHBACK
Ratih menatap lemah sebuah benda pipih di tangannya. Benda yang menunjukkan tanda dua garis merah itu, seketika menghancurkan hidupnya. Ia menangis, meraung, dan menyesali perbuatannya.
RATIH
Aku harus bagaimana ya Allah. Apa dia mau bertanggungjawab atas semua ini?
(beat)
Maafkan hamba-Mu yang kotor ini ya Allah.
CU. RATIH MENYENTUH PERUT DATARNYA DENGAN GEMETAR
RATIH
Ibu akan menjaga kamu. Kamu harus kuat sama ibu ya sayang.
(beat)
FLASHBACK OFF
Ratih keluar dari lamunannya. Ia menyeka air matanya yang sempat menetes. Kenangan dua puluh dua tahun silam, kembali mengusik pikirannya.
RATIH
Kamu dimana mas? Apa memang kamu gak pernah mau mengakui Nasya, setelah kamu tahu Nasya itu anak yang membanggakan?
(beat)
Nasya butuh kamu. Nasya butuh kasih sayang ayahnya.
Nasya berdiri di belakang sang ibu. Ia memperhatikan televisi yang dibiarkan menyala begitu saja. Ia pun memperhatikan Ratih yang menyeka wajahnya.
NASYA
Bu.
Nasya menghampiri Ratih yang duduk di kursi. Ratih menyeka air matanya yang masih tersisa di pipinya.
Nasya duduk di sebelah Ratih lalu Ratih menatap Nasya dengan tersenyum.
RATIH
Kamu kok belum tidur?
NASYA
Nasya belum ngantuk. Ibu sendiri kenapa belum tidur?
RATIH
Ini ibu mau nonton tv dulu.
NASYA
Tapi, tadi Nasya perhatikan kayaknya ibu melamun deh. Ibu melamunkan apa?
Hening.
Ratih diam. Ia tak mungkin memberitahukan semua ini pada Nasya sekarang. Belum saatnya, belum saatnya Nasya tahu yang sebenarnya.
NASYA
Bu.
RATIH
Ah iya. Gak kok, ibu gak melamun.
NASYA
Ibu yakin? Belakangan ini, Nasya sering lihat ibu melamun bahkan sampai nangis. Ada apa bu? Ibu ada masalah? Cerita sama Nasya, bu.
CU. TANGAN RATIH MENGGENGGAM TANGAN NASYA
RATIH
Ibu gak apa-apa. Kamu gak usah khawatir ya sayang.
NASYA
(menghela nafasnya)
Yaudah, kalau ibu belum mau cerita gak apa-apa. Tapi, ibu harus janji apapun itu yang mengusik pikiran ibu, kasih tahu ke Nasya. Nasya pasti mendengarkan semua curhatan ibu. Karena ibu, adalah orang yang paling Nasya sayangi.
(VO) dan juga ayah.
RATIH
Iya nak, ibu janji.
Nasya memeluk Ratih erat. Ratih menangis dalam diam. Menutupi kebenaran selama puluhan tahun bukan hal mudah bagi Ratih. Tapi, ini yang terbaik menurutnya.
CUT TO :