Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
67. RUANGAN PAK REGA - SIANG
Pak Rega duduk di meja kerjanya. Di hadapannya, Ibu Marsha lagi duduk mengamati wajahnya.
IBU
Kamu Rega yang waktu SMP hobi baku hantam bukan?
PAK REGA
Ya ampun... Kartika? Kamu kartika, kan? Kamu ingat saya?
IBU
Saya ingat, dulu kamu pernah kasih saya surat. Saya buang, nggak saya baca karena tulisan tangan kamu jelek banget.
PAK REGA
Anakmu kuliah di sini? Siapa namanya?
IBU
Iya, Rega. Anak saya Marsha, jurusan Manajemen Informatika. Kelas A kalau nggak salah.
PAK REGA
Ah iya, ya, saya kenal anak itu. Yang kuliah sambil kerja kan? Jadi make up artist? Tunggu, kalau benar, berarti... suami kamu udah nggak ada?
IBU
Sebentar, kuliah sambil kerja? Make up artist? Di kampus ini ada berapa banyak yang namanya Marsha?
CUT TO:
68. RUANG MAKAN RUMAH MARSHA - MALAM
Setelah selesai makan, ibu langsung menyuruh adik-adik Marsha untuk langsung masuk kamar. Ibu dan Marsha membereskan meja makan. Marsha agak terganggu dengan bahasa tubuh Ibu yang terasa agak kasar malam itu. Setelah selesai, Ibu meminta Marsha duduk di hadapannya.
IBU
Jawab jujur, jadi selama ini kamu jarang pulang itu... kerja?
MARSHA
I-iya, Bu.
Ibu menggebrak meja.
IBU
Ibu nggak percaya kamu sejahat itu sama ibu. Ibu nggak tahu siapa yang ngajarin kamu buat bohongin Ibu. Kenapa, Kak? Kenapa kamu tega sama Ibu?
Marsha mengangkat kepalanya, dia berusaha menatap Ibu meski matanya tiba-tiba panas.
MARSHA
Aku terpaksa bohong, karena Ibu nggak mau terima kenyataan.
IBU
Kenyataan apa? Kenyataan kalau keluarga kita nggak semampu dulu? Kenyataan kalau satu-satunya harapan Ibu ternyata tega mengecewakan Ibu?
MARSHA
Kenyataan kalau aku nggak mau dan nggak mampu jalanin rencananya Ibu. Aku udah bilang dari awal, tapi ibu nggak mau dengar. Ibu nggak mau percaya sama aku dan ibu lebih milih percaya sama ketakutan-ketakutan ibu... yang belum tentu kejadian.
IBU
Udah berani jawab ya kamu sekarang. Oke, bagus, udah kerja, udah bisa cari duit, terus jadi merasa punya kuasa buat ngelawan Ibu.
MARSHA
Aku nggak mau ngelawan Ibu.
IBU
Ya terus kenapa kamu tega bohongin Ibu? Kenapa kamu tega ngorbanin keluarga ini?
MARSHA
Aku nggak ngorbanin siapa-siapa, Bu. Aku sayang sama Ibu, sama adik-adik. Setiap keputusan yang aku ambil, selalu ada kalian di kepalaku.
IBU
Terus kenapa kamu ngorbanin kepastian di masa depan demi sesuatu yang sifatnya masih coba-coba?
MARSHA
Aku serius, Bu. Apa yang aku lakuin bukan cuma coba-coba. Aku berusaha keras di situ... Dan aku merasa aku mampu ngelewatin prosesnya.
IBU
Kamu ini masih belum paham ya. Terserah kamulah, Ibu nggak akan minta apa-apa lagi dari kamu.
Ibu berdiri dan masuk kamar dengan terburu-buru. Marsha melakukan hal yang sama.
CUT TO:
69. INT. KAMAR MARSHA - MALAM
Marsha masuk kamar, dan langsung menutup pintu. Marsha langsung melompat ke kasur dan membenamkan wajahnya di sana. Dia berusaha meredam suara tangisnya.
CUT TO:
70. HALAMAN BELAKANG RUMAH ASTI - MALAM
Asti lagi duduk melamun menatap langit. Ayah menghampiri dan duduk di samping Asti. Mereka cuma dipisahkan oleh meja bundar yang dipenuhi kudapan.
AYAH
Asti, maafin Bunda yah. Mungkin Bunda nggak sadar kalau dia udah menyinggung kamu.
ASTI
Maksud Ayah?
AYAH
Ayah tahu kamu tersinggung sama kata-katanya Bunda soal nilai kamu itu. Maafin Bunda ya?
ASTI
Aku nggak apa-apa Ayah.
CUT TO:
71. INT. RUANG PRAKTIK AYAH ASTI - SIANG
(Flashback momen waktu Ayah ngobrol berdua sama Bianca, Bianca mengatakan sesuatu yang terus menempel di kepala Ayahnya.)
Bianca mengantar Papa untuk kontrol rutin. Setelah Papa selesai diperiksa, Bianca minta Papanya untuk pergi duluan ke mobil.
BIANCA
Bapak tahu nggak apa kegagalan terbesar orang tua?
AYAH
Apa memangnya?
BIANCA
Waktu dia nggak kenal sama anaknya sendiri.
CUT TO:
72. INT. HALAMAN BELAKANG RUMAH ASTI - MALAM
Ayah menatap Asti dari samping.
AYAH
Kalau seandainya, kamu nggak jadi dokter, kamu mau jadi apa?
ASTI
Kok Ayah tiba-tiba nanya gitu? Aku kan udah jadi mahasiswa kedokteran sekarang.
AYAH
Nggak apa-apa, ayah pengin tahu aja. Siapa tahu anak Ayah punya cita-cita lain.
ASTI
Aku nggak tahu, yah.
AYAH
Kok nggak tahu?
ASTI
Nggak bakal kejadian juga, buat apa aku cari tahu.
CUT TO:
73. INT. KAMAR MARSHA - SUBUH
Marsha membereskan barang-barang yang akan dibawanya ke dalam satu koper dan satu tas ransel besar. Sambil membereskan barang, air mata Marsha nggak berhenti menetes. Dia bergegas pergi setelah semuanya selesai.
CUT TO:
74. EXT. DEPAN RUMAH MARSHA - SUBUH
Mobil Bianca tiba di rumah Marsha nggak lama setelah Marsha berdiri di depan pagar. Marsha langsung memasukkan barang bawaannya ke jok belakang mobil Bianca. Marsha duduk di sebelah Bianca. Mobil langsung maju setelah Marsha memasang safety belt.
CUT TO:
75. INT. KAMAR BARU MARSHA - PAGI
Marsha menempati satu kamar di apartemen Bianca. Dia menata barang-barang yang baru dibawanya di kamar itu. Kamar ini jadi terlihat seperti kamar Marsha, bukan lagi kamar tamu. Bianca dan Asti menatap Marsha yang sedang beberes. Mereka berdiri di pintu kamar.
CUT TO:
76. INT. RUANG TENGAH APARTEMEN BIANCA - SIANG
Bianca dan Asti selonjoran sambil menonton televisi.
BIANCA
Kita perlu bangunin Marsha nggak ya? Dia belum makan siang.
ASTI
Mending biarin aja dulu. Biar dia bangun sendiri aja. Toh udah aku masakin juga, tinggal dipanasin doang.
BIANCA
Ini kita harus ngapain ya? Kita harus nemuin Ibunya nggak sih?
ASTI
Nggak tahu juga sih aku. Tapi Marsha berani ya, pergi dari rumah gitu. Aku iri.
BIANCA
Ya tinggal ikut pergi aja, tuh masih ada kamar kosong kok.
ASTI
Suatu saat deh, ya.
77. INT. CAFEKINI - SORE
Pak Rega duduk di depan Ibu Marsha. Sejak tadi, Ibu Marsha cuma diam mengaduk-aduk kopi yang mulai dingin.
PAK REGA
Saya minta maaf, Tika.
IBU
Minta maaf buat apa?
PAK REGA
Gara-gara saya, kamu jadi berantem sama Marsha.
IBU
Anak jaman sekarang emang gitu semua kali ya? Susah dibilangin.
PAK REGA
Kamu harus tahu, Tika. Marsha itu anak baik. Dia masih mau berusaha untuk kamu.
IBU
Usaha apa? Dapat nilai jelek butuh usaha? Dia egois, mentingin kepentingannya sendiri.
PAK REGA
Gimana ternyata kamu yang egois?
IBU
Saya? Egois?
PAK REGA
Dengar cerita dari kamu, dan dari Marsha, kesimpulan saya cuma satu. Kamu terlalu membebankan semuanya di pundak Marsha.
IBU
Kesimpulan macam apa itu.
PAK REGA
Marsha nggak keberatan menganggung beban itu, tapi dia sangat berharap kalau kamu bisa diajak berbagi beban.
IBU
Kamu pikir saya nggak ikut nanggung bebannya? Saya leha-leha aja gitu? Nggak loh, Rega.
PAK REGA
Emang nggak, tapi kamu memaksa dia untuk menyelesaikan sesuatu dengan cara kamu. Padahal, dia juga punya cara sendiri.
IBU
Cara apa? Cara-cara egois yang penuh resiko? Itu yang kamu sebut cara? Ingat Rega, di rumahku masih ada dua orang anak yang harus bertahan hidup selain Marsha.
PAK REGA
Kamu lupa satu hal, Kartika. Kamu dan Marsha itu beda generasi, cara kamu dan cara dia itu beda. Bisa jadi cara yang kamu sebut egois itu cara terbaik yang dia yakini.
IBU
Kamu pikir keyakinan cukup untuk bikin kita hidup nyaman?
PAK REGA
Tika, Marsha itu kerja halal, bukan ngerampok. Kamu nggak seharusnya melarang dia sekeras itu.
IBU
Rega, keputusan dia sekarang itu punya pengaruh besar untuk masa depan dia nanti. Saya cuma takut hal-hal buruk terjadi sama anak-anak saya. Apa itu salah?
PAK REGA
Ketakutan itu nggak salah, ketakutan itu baru salah kalau sudah mendatangkan masalah. Kenapa sih kamu lebih percaya sama ketakutan kamu ketimbang sama usaha anakmu? Marsha lagi berusaha, bukan berleha-leha. Dan dia tulus.