Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
22. EXT. PEKARANGAN RUMAH PAK SAMUDJI — PAGI
Pagi hari, di tepi jalanan desa menuju sebuah pekarangan rumah, ayam jago berkokok dan beberapa anak ayam sedang mencari makan bersama induknya. Tini berjalan dengan membawa sebuah tas kecil dan beralaskan sendal jepit.
Beberapa langkah di depannya terdapat sebuah pekarangan rumah yang cukup besar dan bagus, dinding rumahnya terbuat dari bata merah, jendela dan pintu kayu, serta tirai bambu yang digulung di depan teras, beberapa pot bunga menghiasi pekarangan tersebut. Suara Surti kembali terdengar mengiringi Tini yang tengah berjalan sendirian.
23. INT. TERAS RUMAH PAK SAMUDJI — CONTINUOUS
Pak Samudji yang tengah duduk santai di teras sambil minum kopi melihat Tini berjalan ke arah rumahnya.
Ia berhenti menyeruput kopi dan meletakkan cangkirnya di meja, setelahnya ia menghela nafas panjang serta mengusap kumis tebalnya.
Tini berhenti di depan rumah tersebut, Pak Samudji kemudian berdiri dan menghampirinya.
Pak Samudji mempersilahkan Tini untuk duduk di kursi terasnya dengan ramah. Tini duduk berhadap-hadapan dengan Pak Samudji yang melanjutkan menyeruput kopinya, kali ini Pak Samudji menyilangkan kakinya.
Tini ragu-ragu untuk berkata, ia menundukkan kepalanya. Tibatiba Pak Samudji langsung memotong pembicaraan tersebut
Pak Samudji menyela keterangan Tini
Pak Samudji menyeruput kopinya. Heri menguping pembicaraan bapaknya dan Tini dari belakang pintu rumah, ia sesekali mengintip ke arah Tini yang sedang duduk bersama bapaknya.
Pak Samudji membungkukkan sedikit badannya dan memajukan wajahnya ke arah Tini duduk, Tini merasa terintimidasi.
Tini tertegun, ia langsung menimpali omongan Pak Samudji
Argumen keduanya semakin memanas, Tini berusaha membujuk Pak Samudji hingga berlutut di sampingnya sementara Pak Samudji berusaha untuk menolak permohonan Tini.
Seketika Heri yang tengah menguping segera keluar dari rumah dan memotong argumen bapaknya dengan nada tinggi.
Pak Samudji dan Tini menoleh ke arah Heri. Pak Samudji dengan raut wajah marah langsung berdiri dan menghampiri Heri. Ia meraih bajunya serta menariknya ke dalam rumah agar Tini tak dapat melihat pertengkaran mereka.
Pak Samudji mendorong Heri ke dinding dan mendesaknya.
Pak Samudji menampar Heri. Suara tamparan tersebut terdengar oleh Tini yang khawatir akan perkelahian tersebut. Tini hanya bisa duduk pasrah di teras sembari mendengarkan argumen keduanya.
Suara tamparan kembali terdengar beberapa kali sampai ke ruang tamu.
Suara benturan terdengar sampai ke ruang tamu, Tini semakin prihatin mendengar perdebatan antara Pak Samudji dan Heri, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Saat Pak Samudji ingin menampar Heri untuk yang kesekian kalinya, Heri menangkap pergelangan tangan bapaknya dan menahan tamparannya.
Pak Samudji terkejut ketika Heri berkata demikian. Dirinya mematung dan tangannya bergetar, Heri melepas tangannya, ia kemudian mundur perlahan dan duduk di sofa. Heri menatapnya dengan sinis sambil berdiri.
Tini kemudian mengetuk pintu rumah, lalu keduanya menatap Tini secara bersamaan. Ekspresi kekecewaan tampak di wajah Pak Samudji ketika melihat Tini yang berdiri di depan pintu dengan raut wajah sedih. Heri segera menghampiri Tini dan pergi meninggalkan Pak Samudji sendirian di dalam rumah.
24. EXT. PEKARANGAN RUMAH PAK SAMUDJI — CONTINUOUS
Tini berjalan meninggalkan rumah Pak Samudji sambil menahan tangis, Heri menemani di sampingnya sembari merangkul pundaknya. Saat mereka sudah agak menjauh dan hampir keluar dari pekarangan rumah, Pak Samudji keluar dari rumah dan berteriak ke arah mereka.
Tini dan Heri menoleh ke belakang. Pak Samudji membenarkan posisi kopiah hitamnya dan berjalan ke arah motor yang diparkir di depan rumah lalu memanaskannya.
Tini dan Heri tersenyum, Tini mengusap kedua air mata di pipinya. Pak Samudji dengan raut wajah malu dan bersalah menatap keduanya. Pak Samudji kemudian menjalankan motornya menghampiri mereka.
Tini menggenggam tangan Heri dengan erat, Heri terkejut dan menatap wajah Tini dengan tatapan kosong. Tini lalu naik ke motor dan diboncengi oleh Pak Samudji.
Heri mengangguk mengiyakan perintah Pak Samudji, mereka berdua meninggalkan Heri sendirian di depan pekarangan rumah. Heri menatapi Tini pergi bersama bapaknya dengan sepeda motor dengan tatapan kosong, ia lantas tersenyum dan berteriak
25. EXT. (FLASHBACK) JALANAN PEDESAAN — PAGI
6 tahun lalu. Tini kecil terjatuh di jalanan desa, mobil pick up ibunya meninggalkan Tini seorang diri yang menangis dengan lutut berdarah.
Sebuah sepeda ontel dikayuh oleh seorang anak laki-laki tampan melintasi jalanan desa, sepeda itu berpapasan dengan mobil pick up dan anak laki-laki itu melihat Surti pergi meninggalkan desa. Ia adalah HERI KECIL (11).
Heri kecil terus mengayuh sepedanya, ia melihat Tini sedang menangis sendirian di tengah jalan, Heri segera memarkirkan sepedanya dan menghampirinya.
Tini hanya menangis sesengukan, Heri berusaha memenangkan Tini dengan meniup lukanya.
26. EXT. (FLASHBACK) JALANAN PEDESAAN — MOMENTS LATER
Heri mengayuh sepeda sementara Tini diboncengi di belakang dan memeluk Heri dengan erat. Air mata Tini masih berlinang, namun ia sudah tidak menangis sesengukan.
27. EXT. (FLASHBACK) DEPAN RUMAH TINI — MOMENTS LATER
Tini turun dari sepeda dan mengusap air matanya.
Heri tersenyum, Tini lalu berjalan ke dalam rumah. Heri memandangi Tini sampai ia masuk ke dalam rumah.
28. INT. RUANG TAHANAN — MALAM
Saudi Arabia. Cahaya lampu kuning yang remang-remang menerangi ruangan. Hembusan angin masuk melalui salah satu ventilasi kecil di dinding ruangan bercat putih. Jeruji besi membatasi ruangan satu dengan lainnya. Di dalam ruangan ini terdapat beberapa orang perempuan dengan niqab hitam yang menutupi seluruh badannya. Sebagian berkumpul dan duduk lesehan di atas tikar ruangan dan satu di antaranya duduk di ranjang seorang diri.
Perbincangan perempuan-perempuan itu terdengar secara bisikbisik dengan bahasa Arab, begitu pula dari ruangan lainnya yang dihubungkan dengan lorong panjang dengan pintu besi di bagian ujung.
Seorang perempuan yang duduk di ranjang itu tidak mengenakan niqab, hanya bercadar. Ia tertunduk lesu, pandangannya kosong, ia adalah SURTI (35), wajahnya masih tetap cantik, namun dibawah matanya terdapat kantung mata yang hitam dan beberapa kerutan telah tampak di wajahnya yang terlihat pesimis.
29. EXT. JALANAN PEDESAAN — PAGI
Pak Samudji mengendarai motor memboncengi Tini melewati gapura besar dari bambu berwarna merah putih dengan dekorasi burung garuda dan lambang lima sila di kanan dan kirinya. Di tengahnya terdapat tulisan HUT RI ke-47 MERDEKA!.
Jalanan yang dilalui motor sangat berbatu dan berlubang, Pak Samudji dengan perlahan dan berhati-hati menghindari lubang satu persatu.
Motor melaju melintasi jalanan di antara areal persawahan yang kering kerontang. Mereka berdua berpapasan dengan beberapa orang yang tengah mengayuh sepeda sambil membawa karung berisi kayu bakar, mereka menyapa Pak Samudji dengan senyuman ataupun lambaian tangan, dan Pak Samudji membalasnya dengan senyuman.
Tini yang duduk sembari mengamati pemandangan sepanjang jalan kembali terbayang akan suara ibunya yang kembali melanjutkan membaca isi surat tersebut.
30. EXT. DEPAN TOKO PAK UDIN — MOMENTS LATER
Tini tengah berdiri membelakangi sebuah toko kelontong di dekat pasar, ia menghadap ke arah jalan, sementara Pak Samudji sedang memarkirkan motornya di depan toko. Pak Samudji kemudian menghampiri Tini dan berbicara dengan nada cuek.
Tini mengangguk dengan canggung. Pak Samudji lalu pergi membelakanginya menuju toko kelontong tersebut dan bercakapcakap dengan pemilik toko yang memiliki perawakan kurus tapi perutnya buncit, ia hanya memakai kaos singlet dan sarung ketika menjaga tokonya, pria itu bernama PAK UDIN (40).
Tini yang tadinya menoleh ke belakang dan melihat Pak Samudji, lalu mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Tini termenung melihat suasana warga desa yang mondar mandir menuju dan meninggalkan pasar dari kiri dan kanannya. Ia kembali membayangkan suara ibunya membaca isi surat secara berangsur-angsur dengan nada lirih
Beberapa orang lalu-lalang di depan Tini. Ada yang membawa keranjang anyaman bambu berisi barang belanjaan, ada tukang jamu gendong, dan seorang pria yang menaiki sepeda motor dengan memboncengi anak laki-lakinya yang memeluk pinggangnya dari kursi belakang.
Tini melihat anak itu dengan tatapan cemburu, dan anak itu menatap Tini dengan heran, sementara motor terus melaju menjauhi tempat Tini berdiri.
Pak Samudji berdiri di depan Toko, tangannya disandarkan di atas etalase yang berisi barang dagangan.
Pak Samudji mengalihkan pandangan matanya ke arah Tini
Pak Samudji hanya diam dan ragu-ragu untuk menjawab, Pak Udin melihat Tini yang tengah berdiri di pinggir jalan di depan tokonya.
Pak Samudji mengangguk.
Pak Udin tersenyum kagum. Seorang pembeli datang ke toko untuk berbelanja.
Pak Udin melayani pembeli, ia mengambil barang yang ditunjuk oleh pembeli dan membungkusnya dengan kantong plastik. Pembeli itu membayar dan pergi.
Pak Samudji meninggalkan Pak Udin dan berjalan ke arah Tini.
Pak Samudji kemudian melirik jam tangannya. Mereka berdua menunggu bus. Dari kejauhan bus tua yang tidak terlalu besar datang mendekat ke arah tempat mereka berdua berdiri. Pak Samudji mengulurkan tangannya untuk memberhentikan bus, bus berhenti di depan Tini dan Pak Samudji. KENEK BUS segera berdiri di depan pintu.
Pak Samudji mengangguk, ia lalu menoleh ke belakang.
Pak Samudji naik lebih dulu, ia langsung masuk tanpa membantu Tini, Kenek yang berjaga di dekat pintu mengulurkan tangan dan membantu Tini yang agak kesulitan untuk naik ke dalam bus.
Setelah keduanya masuk, bus perlahan kembali berjalan, knalpotnya mengeluarkan kepulan asap hitam dan bunyi mesinnya berisik saat mulai berjalan agak kencang.
31. INT. RUANG TAHANAN — MALAM
Suara pintu dibuka menggema di lorong. Sebagian besar tahanan perempuan yang sedang berbincang-bincang seketika terdiam, sementara dari ruangan-ruangan lain beberapa tahanan perempuan bangkit dan menghampiri jeruji-jeruji ruangan mereka, mereka menggenggamnya dengan erat, beberapa mengulurkan tangan ke luar sambil menangis histeris dan memohon ampun dengan bahasa Arab kepada seseorang yang masuk dari pintu tersebut.
Sebuah sepatu boot melangkah maju menyusuri lorong. Bunyi langkahnya cepat dan keras. Seorang pria berperawakan Timur Tengah dengan brewok dan berbadan besar mengenakan seragam dan topi melintasi satu persatu kamar tahanan, ia adalah salah seorang SIPIR (35). Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, acuh terhadap tangisan wanita-wanita dari balik jeruji.
Surti masih diam dan tak menggubris suasana ruang tahanan yang riuh, tatapan matanya tetap kosong dan posisinya tetap duduk di pinggir ranjang seorang diri. Langkah kaki Sipir itu berhenti di depan kamar Surti.
Surti menoleh ke arah suara panggilan tersebut. Sipir itu memanggil nama Surti untuk kedua kalinya. Surti bangkit dan menghampiri Sipir yang berdiri di depan kamarnya, tahanan lain menatapinya.
Surti mengangguk. Sipir tersebut segera membuka pintu jeruji dengan kunci yang dibawanya. Surti kemudian diborgol dengan posisi tangan di belakang punggung dan dibawa meninggalkan ruang tahanan. Saat melintasi lorong, tahanan lain terdiam dan menatap Surti dengan tatapan prihatin.
32. INT. (FLASHBACK) RUMAH TINI — SIANG
6 tahun lalu. Di rumah yang ruang keluarga dan ruang makannya menyatu, Surti tengah duduk di dekat meja makan yang terbuat dari kayu yang sudah sedikit lapuk, ia memegang sebuah foto pernikahan dirinya dan suaminya. Surti menghela nafas panjang dan berkaca-kaca sambil mengusap-usap foto tersebut.
Pintu diketuk oleh Tini dari luar, Surti segera menyembunyikan foto itu ke dalam saku celananya dan membukakan pintu. Tini mengenakan seragam sekolah yang sudah lusuh dan tas selempang yang terbuat dari karung goni, ia berdiri di depan pintu. Surti menyambut Tini dengan tersenyum.
Tini menyalimi tangan ibunya lalu masuk ke dalam rumah.
Tini meletakkan tasnya di kursi dekat meja makan, ia lalu membuka seragamnya dan berganti pakaian sambil menjawab pertanyaan dari Surti
Tini menunjukkan sebuah pensil yang sudah sangat pendek seukuran kelingking kepada Surti, raut wajah Surti yang tadinya ceria ketika menyambut Tini berubah menjadi khawatir
Tini menggantung seragamnya di belakang pintu kamar. Ia kemudian melanjutkan ceritanya sambil menirukan mimik dan gaya bicara gurunya.
Tini menguncir rambutnya, Surti duduk di kursi di samping meja makan dan menyimak.
Tini bercerita dengan cengengesan.
Mbah Putri datang dari arah dapur menuju meja makan sambil membawa sebakul nasi yang baru saja matang dan masih mengeluarkan uap. Tini yang melihat Mbah Putri segera menghampirinya dan mengambil bakul tersebut untuk dibawa ke meja makan.
Setelah bakul diletakkan di meja. Surti, Tini, dan Mbah Putri duduk di kursi masing-masing dan bersiap untuk makan siang. Surti membuka tudung saji, di dalamnya terdapat dua jenis lauk, satu piring berisi tempe goreng dan satunya berisi sayur genjer.
Tini mengangguk. Surti mengambilkan nasi ke piring untuk Mbah Putri dan Tini dengan centong kayu.
Semua tertawa dan tersenyum bahagia sambil menyantap makan siang dengan lauk seadanya yang disajikan di meja makan.