Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Sweet Taste of Demise
Suka
Favorit
Bagikan
11. Serenade Merah Hitam - Sunaryo (1991)

INT. MANSION KELUARGA KARIM — MALAM

Overture (Jesus Christ Superstar) by André Previn starts playing

TIRTA dan ANITYA saling memandang satu sama lain. Raut mereka tidak berganti. DUGA memandang bingung pemandangan di depannya.

PAK SAMAD (O.C.)

Lho... Ayah kira bulan depan baru lanjutin hobi kamu.


Anitya menoleh cepat ke kiri. Terlihat PAK SAMAD dengan pakaian rumah santai sedang menyesap secangkir teh.


PAK SAMAD

Ya sudah. Kamu lanjut aja.


Anitya menatap Pak Samad dengan mata lebih terbelalak, rahangnya masih menutup keras.


PAK SAMAD

Hm? Kenapa?


Anitya menggestur matanya ke arah Tirta. Pak Samad menoleh santai. Matanya bertemu tatap dengan mata Tirta. Badan Pak Samad tersentak kaku. Ia saling tatap dengan Tirta, lalu berpindah saling tatap dengan Anitya. Anitya lanjut menoleh saling tatap dengan Tirta. Pak Samad balik menoleh ke arah Tirta. Tirta sekarang mengacungkan ujung bat berkawatnya ke arah Pak Samad. Mereka berempat terdiam di posisi masing-masing seakan dalam stalemate.


DEKA (O.C.)

Lho kak? Kirain masih mikir-mikir du-


Empat kepala menoleh ke arah suara. Anitya menaruh jari telunjuk di bibir dan menunjuk ke arah Tirta dengan cepat. Kantuk hilang dari wajah DEKA. Agak jauh di belakang Deka, Tirta dapat melihat siluet BU MALIKA.


PAK SAMAD

(melempar cangkir ke Tirta)

DEKA!


Relfeks Tirta bergerak cepat memukul cangkir dengan bat. Ia menutup visornya lalu berbalik badan hendak lari. Pak Samad, tidak berlari naik tangga, namun ke arah ia muncul tadi. Deka mulai berlari menerjang ke arah Tirta, di belakang Deka derap kaki Bu Malika juga terdengar.

Anitya hendak berlari namun berhenti menoleh ke Duga. Duga masih dalam posisi yang sama, penuh takut bercampur bingung.

KRAAKKK! Anitya menginjak lutut kaki Duga yang masih sehat, membelokkan bentuknya. Mulut Duga mengeluarkan teriak tercekat. Anitya lalu menghantam hidung Duga dengan pangkal pisau, darah menetes deras, tempurung kepala Duga lanjut menabrak lantai dan keras.

Anitya menatap sesaat sosok Duga yang mengerang lemah, hampir tak sadarkan diri. Ia lalu berlari-lari kecil ke arah Pak Samad tadi pergi.

CUTAWAY TO:

Derap kaki pengejar terdengar ganas di telinga Tirta yang sedang berlari. Lari Tirta agak lebih lambat karena menggunakan tas. Ia berlari sekuat tenaga, tidak melihat ke belakang.

Terlihat kaki Deka berderap melangkah menggunakan sandal, di sebelahnya tiba-tiba ada sepasang kaki telanjang Bu Malika yang menderap lebih kencang melewatinya.

Tangan Bu Malika sudah hampir menarik tas, saat Tirta mendadak berbelok ke kanan di pertigaan. Bu Malika berlari lurus, tidak bisa langsung memberhentikan langkah. Namun, dengan cepat ia berbalik dan lanjut mengejar Tirta.

Selagi berbelok, Bu Malika mengambil sebuah vas bunga dan melemparkannya kuat. PRANG! Vas menabrak belakang helm Tirta. Lari Tirta gontai hendak menjaga keseimbangan. Bu Malika sudah semakin mempersempit jarak di antara mereka. Buk! Tirta jatuh ke depan tidak berhasil menjadi keseimbangan. Tangan Bu Malika sudah dalam posisi mencengkram hendak menarik tas Tirta, seringainya terbuka lebar.

Ting! Sebuah botol kaca menabrak mulut Bu Malika, melontarkan kepalanya ke belakang, dan menjatuhkan dirinya. Tirta menoleh dan melihat NANTA dalam posisi melempar, ia menggestur helmnya ke Tirta, tanda lari.

Bu Malika bangkit meludahkan potongan kaca dan cairan bening bercampur darah. Area mulutnya penuh luka, beberapa gigi tidak lagi terlihat utuh. Wajahnya penuh amarah, ia mulai lanjut berlari. Raut Bu Malika tiba-tiba berubah pucat, ia menggeleng kepala seakan hanya mengusir kantuk. Bola matanya berputar ke belakang dan ia jatuh pingsan selagi berlari. Wajahnya menubruk lantai, ia mengeluarkan makan malamnya yang berhias darah sebelum tak sadarkan diri di atas muntahan.

Tirta dan Nanta masih berlari di lorong. Tirta berada di depan, belokan ke lorong arah kamar Anitya sudah terlihat. Wujud Pak Samad tiba-tiba muncul, menerjang. Tirta berhasil menghindar, namun Nanta jatuh dalam dekapan Pak Samad. Tirta cepat-cepat berbalik, ia sudah mengangkat bat.

Buk! Dari sudut pandang Tirta, pemandangan berubah dari Pak Samad dan Nanta yang bergelut menjadi langit-langit. Ia lalu melihat buku-buku jari Deka yang memerah. Tangan Deka dengan cepat bergerak memukul ke kepala Tirta. Bat relfleks Tirta posisikan di depan wajahnnya. Kepal Deka bertubrukan dengan bat. Deka berteriak liar. Kawat duri menempel, sebuah paku menembus habis buku jari tengah Deka.

CUTAWAY TO:

Pak Samad duduk di atas Nanta. Kedua tangannya bergerak hendak mencekik. Nanta menurunkan dagu, menghalangi, beberapa jari Pak Samad terkilir menghantam helm. Nanta hendak bangkit, namun tangan Pak Samad mendorong kepalanya jatuh ke bawah, ia menghantam dada Nanta dengan tangan yang lain.

CUTAWAY TO:

Deka menarik lengannya, tangannya yang tersangkut ikut menarik bat. Tirta menggunakan momentum itu untuk bangkit berdiri. Setelah sepenuhnya berdiri, Tirta menarik bat sekuat tenaga membawa Deka ke arahnya, melepas tangan kiri dan mendaratkannya ke wajah Deka. Tangan Deka masih tersangkut.

CUTAWAY TO:

Pak Samad menyelipkan tangan masuk ke sela-sela helm, menarik paksa helm lepas. Helm terlepas dari Nanta. Pak Samad langsung siap-siap menghantam helm ke kepala Nanta. Geraknya berhenti. Ia kaget melihat wajah Nanta. Raut Nanta juga kaget, identitasnya terbongkar.

CUTAWAY TO:

Dengan tangan kanan masih memegang bat, Tirta melompat dan menghadiahkan dropkick ke dada Deka. Deka terlontar ke belakang, tangannya terlepas dari bat. Punggung Tirta dan Deka mendarat serasi di lantai.

CUTAWAY TO:

Pak Samad masih kaku dalam keterkejutan. Nanta tidak membuang-buang waktu, ia menarik helm dari Pak Samad dan membantingnya ke wajah. Pak Samad jatuh dari tubuh Nanta. Nanta bergerak bangkit dan berlari ka arah Tirta yang sedang berusaha bangkit. Tirta mengangkat tangan melihat Nanta.

Nanta menyambut tangan Tirta dan menariknya bangun, lanjut berlari. Gerak Tirta tertahan, Pak Samad memeluk pinggang Tirta dari belakang. Tirta menyodok dahi Pak Samad dengan pangkal bat. Pak Samad kembali terjerembab.

Tirta hendak berlari namun ia melihat Deka berdiri dengan kepalan di depan wajah, kuda-kuda. Tirta menyeringai di balik helmnya. Deka berlari menerjang. Tirta berdiri bak batter. Deka sudah mulai melayangkan tinjunya. Tirta mengangkat lutut sebelah kakinya sebelum mengayun bat sekuat tenaga.

Bat menubruk sisi wajah Deka, menerbangkannya ke tembok beserta bat yang lepas dari pegangan Tirta. Sebelum Tirta sempat berbalik, Pak Samad menarik jaket Tirta membawanya jatuh ke lantai bersama badan Tirta di atasnya.


CUTAWAY TO:


Jejak-jejak darah terlihat mengular. Dari dekat tangga menuju sebuah ruangan keluarga, menyeret panjang ke sebuah lorong, dan berbelok kembali ke sebuah lobi.

Di ujung jalur darah ada DUGA yang sedang merangkak, masih menorehkan warna merah dengan kakinya sebagai kuas. Duga sudah di area belakang mansion, pintu keluar sudah dalam pandangan.

Di depan pintu, Duga meringis berusaha berdiri, kakinya yang memuntir semakin terpelintir, menjatuhkan Duga menjadi posisi berlutut. Tangan mulai ia rentangkan. Di pandangannya hanya ada kenop pintu

Pintu tiba-tiba terbuka, menghantam pipinya. Duga tersungkur ke samping.


ARIYA (O.C.)

(nada tak bersalah)

Ups, maaf.


Duga perlahan bangkit duduk dan melihat orang di depannya. Dari bawah ke atas.


ARIYA

(santai)

Oh hari ini ya?


ARIYA terlihat menggunakan tas gitar, menatap Duga bingung. Duga balas menatap penuh takut.


ARIYA

(setengah ragu)

 Siapa ya? Kok jadinya kamu?


Mata Duga tiba-tiba terbakar amarah. Ia menyergap kaki Ariya dan menariknya. Ariya terseret jatuh ke samping, kepalanya membentur lantai.

Duga bergegas merayap melangkahi Ariya yang tak sadarkan diri. Pintu sudah terlewati. Duga meringis saat kaki-kakinya membentur tangga semen saat menyeret turun.

Di belakang Duga, siluet seseorang terlihat bangkit. Ariya berdiri menghadap Duga, ia mulai mengeluarkan gitar elektrik hitam dari tasnya. Sebuah BC Rich Warlock.


ARIYA (O.C.)

(menggerutu)

Punya hobi kok kadang nyusahin.


Ariya melayangkan gitar jatuh dari atas kepalanya seperti sebuah kapak.


CUTAWAY TO:


Nanta tengah lari, tangannya memegang helm. Ujung lorong sudah terliat, membentuk belokan ke kiri. Nanta menoleh ke belakang mengecek Tirta. Siluet seseorang muncul berbelok di depannya.

Buk! Nanta menubruk seseorang. Dunia melambat. Badannya perlahan tersentak ke belakang. Ia melirik sosok di depannya yang juga tersentak ke belakang. Anitya. Raut Anitya penuh keterkejutan, bercak-bercak darah menempel di rambut putihnya. Nanta ikut terkejut melihat Anitya. Wajahnya tiba-tiba meringis.

Terlihat tangan Anitya yang menggenggam pisau, darah segar menutupi permukaan pisau. Terlihat area perut Nanta yang mengucurkan darah.

Dari sangat dekat, terlihat mata Anitya yang tertegun, lalu terlihat mata Nanta yang berkantung penuh melankoli.


CUTAWAY TO:


Terlihat DUGA tak sadarkan diri sedang diseret mundur sebelah tangan oleh ARIYA di area kerah. Ariya menyandarkan gitar di sebelah pundak, ia menyadarkan Duga di sebuah dinding.

Ariya mendengus menatap tubuh Duga yang terselonjor lemah. Ia lalu beranjak pergi meninggalkan Duga.

Duga tidak bergerak, badannya penuh bekas luka, kakinya hancur.

5 detik berlalu. Tubuh Duga terlihat semakin dekat.

10 detik. Hanya terlihat kepala Duga.

15 detik. Hanya terlihat mata Duga yang terus tertutup.


CUTAWAY TO:


Buk! tubuh Nanta dan Anitya jatuh ke lantai. Nanta mengerang, memegang perut. Darah membasahi sarung tangannya. Sebuah bayangan jatuh di atas Nanta. Anitya, menatap Nanta di bawah. Rahangnya masih keras, bergetar, tatapannya tidak terlihat.

Mata Nanta melirik ke pisau di tangan Anitya. Anitya perlahan menyembunyikan pisau di belakang badannya. Nanta merentangkan salah satu tangan, meminta tolong. Wajah gelap Anitya menoleh sesaat ke depan, lalu menoleh kembali ke Nanta, tidak bergeming.

Nanta meringis bangkit susah payah, tangannya memegang perut. Ia bergerak mendekati Anitya, merentang tangan yang lain ke depan hendak meraih. Wajah gelap Anitya lagi-lagi menatap ke depan, ke sesuatu agak jauh di belakang Nanta. Anitya masih tidak bergerak.

Wajah gelap Anitya kembali menghadap Nanta. Tangan Nanta sudah dekat, geraknya berubah, gerak memeluk. Tiba-tiba Anitya mengibaskan pisaunya, sambil menghindar ringan ke samping.

Darah mengucur, dari telapak tangan dan dada Nanta. Nanta berdiri membeku, menatap tangannya yang terluka, matanya kosong melihat telapak tangan. Nanta hendak menoleh ke belakang, namun raut sedih Veda berkilas sesaat di pikirannya. Nanta membatalkan niatnya dan berjalan maju lanjut ke jalan keluar.

Wajah gelap Anitya melihat Nanta yang tertatih-tatih pergi dari belakang, tidak bergerak mengejar.


CUTAWAY TO:


Terlihat Ariya menyandarkan sebelah bahunya ke tembok lorong, kaki disilang, tangan melipat di depan dada. Ia menatap ke arah Anitya berada, tak berekspresi. Dari agak jauh wajah gelap Anitya menoleh ke arahnya.

Dari tampak depan, terlihat Ariya menggeleng-geleng pelan tanpa ekspresi. Ia lalu berbalik badan dan beranjak pergi.


CUTAWAY TO:


Dari sudut pandang Anitya yang wajahnya masih gelap, terlihat punggung Ariya yang semakin menjauh. Ia menoleh kembali ke Nanta.

Slow Dancing in The Dark by Joji (Instrumental + slowed) starts playing.

Nanta berjalan tertatih-tatih membelakangi ANITYA, sebelah kakinya menyeret, terlihat masing-masing luka di sekujur badannya yang terhias darah, terutama area perut. Dada Nanta kembang-kempis, salah satu tangan menempel di sana. Nafasnya terengah-engah. Lelah. Ia terjatuh menghadap lantai.

Nanta berbaring dengan punggungnya. Ia melihat Anitya berjalan mendekat, lamban, tidak terburu-buru. Ekspresi Anitya sendu, penuh kasih. Nanta mulai menggigil. Ia mengambil bungkus rokok dari kantung dadanya, tersisa satu batang saja, dan ia selipkan ke bibir dengan tangan bergetar, menggigil hebat.

Bayang kepala Anitya sudah jatuh di atas kakinya. Nanta menepuk-nepuk kedua kantung depan celana, masih menggigil dan bergetar, lalu menarik korek dari kantung kanan. Bayang tubuh Anitya sudah jatuh ke seluruh permukaan tubuh Nanta. Nanta memantik koreknya. Matanya melirik korek. Gagal. Gagal. Berhasil.

Anitya duduk dengan perlahan di atas pinggang Nanta. Nanta meringis, korek jatuh dari tangannya. Dengan tangan kanan bergetar Nanta mengepit rokok dengan jarinya, dan menyesap dalam, kepalanya masih sedikit meneleng ke kiri.

Nanta menarik rokok dari bibir lalu menghembuskan asap ke arah Anitya. Wajah Anitya tertutup asap rokok. Setelah asap rokok memudar, terlihat Anitya dengan senyum terkulum yang lebar, matanya penuh afeksi.

Nanta balas tersenyum lemah melihat Anitya, ia kembali menyelipkan rokok ke bibir, tangannya masih bergetar. Anitya mendekatkan wajah ke Nanta, jarak antar bibir mereka kurang lebih satu jengkal.

Nanta menyesap rokok khidmat, ia menghembus rokok ke samping menghindari wajah Anitya. Nanta lalu mengambil rokoknya dan dengan jari-jari menggigil menyelipkan rokok itu perlahan ke bibir Anitya. Anitya memunculkan senyum lemah, lalu mendekatkan pangkal pisau di tangan ke dadanya, ancang-ancang menusuk. Raut Anitya lembut, matanya mulai berair.


CUTAWAY TO:

Tirta duduk di atas Pak Samad, sedang menggenggam penuh sisi kanan wajahnya dengan tangan kiri, membanting kepala itu ke lantai. Tirta lalu memukul sisi kiri wajah dengan tangan kanan, masih mencengkram sisi kanan kepala itu. Satu kali. Dua kali. Darah memercik ke helm, matanya membara.


CUT TO:

INT. RUMAH TIRTA — SIANG

@0.75 SPEED

Cahaya dari sela-sela jendela. Suara orang terjatuh dari tangga. Terlihat wajah AYAH TIRTA, darah merembes pelan dari batok kepalanya, ia terbaring (hampir) tak bernyawa, matanya terbuka, menatap langit-langit.


AYAH TIRTA

(lirih, tercekat)

-nak..Ga...Guna...


Terlihat tangan Tirta yang penuh lebam, mengepal. Terlihat sosok TIRTA yang penuh lebam berdiri di ujung atas tangga. Ia terengah-engah melihat ke bawah. Rautnya ganas namun matanya memancar kesedihan. Di belakangnya pintu sebuah ruangan terbuka, Ibu Tirta penuh lebam tergeletak tak bernafas.

CUT BACK TO:


INT. MANSION KELUARGA KARIM — MALAM

@0.75 SPEED

Bukk! Tiga kali. Pak Samad sudah tidak sadar diri, bola matanya setengah berputar ke belakang. Empat kali.

Tirta menoleh melirik ke arah Nanta. Terlihat Nanta sedang jalan tertatih-tatih menjauh dari Anitya. Lima kali.

CUT TO:


INT. GEDUNG EXPO — SIANG

@0.5 Speed

Dari jauh terlihat Tirta menatap ke arah Nanta dan Anitya yang bercengkerama sambil masing-masing memegang rokok. Senyum lebar terpampang di kedua wajah. Pandangan Tirta fokus ke Nanta.


CUT TO:


EXT. VENUE KONSER KAMPUS — SIANG

@0.5 Speed

Terlihat dari atas panggung, Tirta sedang memainkan gitar dan memandang ke arah Nanta dan Anitya di bawah. Anitya terlihat sedang berbicara dengan semangat. Nanta menyesap rokok, kepalanya meneleng sedikit kiri. Nanta menatap Anitya lekat-lekat, matanya sendu namun tatapannya memancar kasih sayang.


CUT BACK TO:

INT. MANSION KELUARGA KARIM — MALAM

Slow Dancing in The Dark by Joji (Instrumental + slowed) still playing.

@0.75 SPEED

Ekspresi Tirta bersiap-siap menerjang Anitya dari belakang, ia perlahan menoleh ke Pak Samad. Tujuh ka-

Sebuah bat berkawat menubruk sisi helm. Duga tersentak dari badan Pak Samad, kepalanya membentur dinding. Tirta menoleh ke arah serangan, visor helm pecah, sisi helm retak, kawat menggores luka di area matanya. Terlihat Deka bergerak mendekat, sebahagian wajahnya tergores dalam oleh kawat-kawat berduri. Deka mencengkram area ventilator(mulut) helm, menyentak kepala Tirta ke arahnya, tangan sudah setengah melayangkan bat.


CUTAWAY TO:

@0.75 SPEED

Mata Duga terbuka, ia melirik cepat sekitarnya. Tidak terlihat sosok Ariya.

Duga merayap menjauh, matanya ke arah pintu, tapi pikirannya ke masa lalu. Kilasan wajah Anitya menatap Nanta penuh kasih lewat di pikirannya.

Duga sudah melewati pintu. Ia merayap penuh ekspresi sakit melewati anak tangga. Bayang demi bayang mulai berkilas di kepalanya. Terlihat wajah Kaya penuh senyum, wajah itu tiba-tiba mengabur dan berubah menjadi Anitya, juga tersenyum.

Wajah tersenyum itu berganti-ganti. Kaya. Anitya. Kaya. Anitya. Kaya. Anitya. Semakin lama semakin cepat, membuat fitur wajah semakin mengabur dan melebur. Wajah itu lalu berubah-ubah menjadi banyak wajah perempuan lain. Siluet kepala itu berkedip-kedip setiap berganti-ganti cepat.

Duga terus merayap. Raut wajah kembali menjadi Kaya, tidak tersenyum, melihat penuh rasa jijik. Lampu taman mansion berkedip-kedip, dan muncul bayang wajah Anitya, tak berekspresi, memandang kecewa merendahkan. Duga mengeluarkan ekspresi meringis kesakitan, air mata mengalir pelan bercampur darah yang merembes pelan.

Duga sudah berada di area taman, gerbang rumah dari sangat jauh sudah terlihat. Lampu taman mansion padam, siluet sesosok orang tiba-tiba terlihat, berdiri tidak bergerak di belakang Duga, ARIYA. Sosok Ariya sepenuhnya diselimuti gelap malam, ia merentangkan salah satu lengan, meraih. Tangannya terlihat semakin besar, bergerak mendekat dibelakang Duga yang terus merayap. Tangan Ariya mencengkeram rambut Duga dengan kuat dan bergerak cepat hendak membanting kepala ke aspal.


CUTAWAY TO:

🎵 I don't wanna slow dance...🎵


Dari atas terlihat dengan sangat dekat kedua mata Nanta. Mata itu menatap kosong. Lalu terlihat wajahnya yang terhiasi luka, ujung bibirnya membentuk senyum kecil, aliran darah mengalir dari salah satu ujungnya.


🎵In the daaark~...🎵


Kemudian perlahan terlihat kepala Anitya yang sedang menghadap ke dada Nanta dari belakang, rambutnya tergerai jatuh dari samping ke Nanta, berbercak tetes darah. Lalu terlihat pemandangan seluruhnya.


🎵Daaark~...🎵


Badan Nanta yang tergeletak lemah dan Anitya duduk menunduk di atas badan itu, terlihat seakan memeluk Nanta, kekasihnya.

DISSOLVE TO:

10 SECONDS BLACK SCREEN

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar