Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Skala Manusia
Suka
Favorit
Bagikan
7. ACT 2 SEQUENCE 6

88. EXT. JALAN PERUMAHAN ERIL — SIANG

Bella berdiri di depan pagar rumah Eril, memastikan alamat di KTP Eril yang dipegangnya sama dengan nomor rumah yang menempel di rumah Eril, nomor 8.

BELLA

Permisi!! Permisi!! (jeda) Permisi!!!

Seorang ibu-ibu datang tiba-tiba mendekati Bella dari samping.

IBU-IBU TETANGG

Nyari Eril, Mba?

BELLA

Ohh, bukan bu. Kira-kira ibunya Eril ada di rumah engga ya?

IBU-IBU TETANGGA

Bu Susi? (jeda) Beliau sudah meninggal dua hari yang lalu, karena serangan jantung.

BELLA

(tercengang)

Hah? (berucap kecil)

Bella mematung. Melihat KTP Eril di tangannya dengan tercengang kasihan, khawatir.

Bella masuk ke dalam mobil. Memegang setir, termenung menatap ke depan. Kemudian ia melihat BU RATRI (P/42) keluar dari rumah seberang rumah Eril sambil berlari menangis sedih.

Bella melihatnya dengan ekpresi masih termenung hingga Ratri melewati mobilnya ke belakang.

BELLA

(termenung)

Bukankah, itu ibunya Bagas?! (jeda)

Menggeleng tersadar khawatir dan menjalankan mobilnya.

CUT TO:

89. INT. RUMAH SAKIT - RUANG RAWAT INAP — SIANG

Ruangan itu memiliki 4 kasur. Dua kasur seberang Eril, terisi.

Bella masuk, melihat dokter dengan seorang suster sedang memeriksa keadaan Eril yang masih tidak sadar. Bella menghampiri dan berdiri di seberang dokter dan suster, samping ranjang Eril.

BELLA

(kasihan)

Bagaimana keadaanya sekarang dok?

DOKTER

Setelah diperiksa lebih lanjut, sepertinya dia mengalami tekanan psikis yang berat. Ditambah bekas cedera luka berat dibagian belakang kepalanya, yang mungkin jadi pemicu traumanya. Dan karena kurangnya asupan gizi, makan yang tidak teratur, dan istirahat yang kurang membuat pikiran dan fisiknya lelah, dan mengakibatkan stress. (jeda) Apa kamu yakin, lebam di wajah, memar di jari tangan, dan pecahan kaca di telapak kakinya, tidak ada kaitannya?

BELLA

(khawatir)

Saya juga tidak yakin, Dok.

DOKTER

Dan jika diruntut, susah dijelaskan bagimana pecahan kaca itu masih menempel di saat Eril datang ke pantai tanpa kesakitan. Ini cukup mengherankan.

Menatap Eril, Bella berekspresi tak percaya, kasihan, takut.

JUMP CUT TO:

Ruangan sepi, tertinggal Bella dan Eril yang masih tidak sadar.

Bella duduk memangku tasnya di kursi samping kiri Eril. Menatap Eril.

BELLA

(kasihan, khawatir, sedih kesal)

Aku enggak tahu seberapa menyakitkannya hal yang kamu lalui sampai saat ini. Dan, hampir. Hampir saja kamu kehilangan nyawa, Eril (berkaca-kaca). Ibumu takkan pernah berharap kamu melakukan hal seperti itu. (jeda) Bodoh. Bodoh. Bodoh. Kamu bodoh.

Tertunduk menangis. Ia melihat satu gelang hitam buatan Eril di pergelangan tangan kirinya.

BELLA

(sendu)

Kamu butuh gelang ini. Jangan pernah melepasnya lagi (melingkarkan gelang itu di tangan kiri Eril).

Sesaat Bella menatap wajah Eril. Kemudian menyalakan ponsel. Ragu, cemburu, bimbang. Melihat foto-foto Eril dan Mira di akun instagram Eril. Bella menekan foto itu, dan muncul akun Mira yang di tag. Bella menekannya.

Ia ragu sesaat akan menulis pesan kepada Mira. Ia mulai menulis pesan.

BELLA (V.O.)

(ragu)

Hai Mira. Ini Bella, teman sekelas Eril. Eril sedang di rawat di Rumah Sakit, kalau kamu ingin menemuinya, datanglah. Rumah Sakit Herland, kamar melati no 4.

Bella menurunkan ponsel dan menatap Eril dengan cemburu, sedih, kasihan.

CUT TO:

90. INT. RUANG RAWAT INAP — MALAM

Bella tertidur duduk di kursi dan kepalanya di sisi ranjang, di atas tangan kirinya menghadap kanan. Tangan kanannya menggenggam tangan kiri Eril di ubun-ubun kepalanya.

SFX: Berbunyi ringtone telepon ponsel Bella, lagu romantis.

Bella membuka mata perlahan, menatap wajah Eril dengan mata ngantuk. Mengeratkan genggaman tangannya dan mengelus-eluskan jempolnya.

Sesaat kemudian Bella membuka mata lebar, melepaskan genggaman dan terbangun duduk tegak.

BELLA

(terkejut)

Astaga, Bella! Apa yang kamu lakukan?! (menepuk-nepuk pipinya)

Ia mengambil ponselnya, di ranjang.

BELLA

Halo, Mam. (melihat-lihat sekitar)

MAMA LIRA (O.S.)

(risau)

Bella, kamu dimana? Ini sudah malam, kenapa kamu masih belum pulang? Kamu pergi dari pagi loh. Jangan buat ibu khawatir.

BELLA

(risau)

Mira masih belum datang? (berbisik sendiri ditengah Mama mengomel)

MAMA LIRA (O.S.)

(risau)

Pulang sekarang.

BELLA

Iya, mama. Sekarang aku pulang (menutup panggilan)

Bella menatap Eril risau dan sedih. Kemudian melihat dua pasien lain di seberang yang masing-masing memiliki pendamping. Bella menatap Eril dengan kasihan.

BELLA

(teringat)

Ohhh, iya. Fiki!

CUT TO:

91. EXT. BERANDA RUMAH BELLA — MALAM

Mama berdiri di pintu, bersedekap, menatap tajam Bella yang keluar dari mobil yang terparkir dan berjalan ke arahnya agak tertunduk sedih.

MAMA LIRA

(agak marah)

Keasikan ya, sampai kamu lupa waktu!

Bella berdiri di hadapan Mama dan menatapnya berkaca-kaca.

Ekspresi Mama berubah menjadi khawatir menatap wajah Bella.

MAMA LIRA

Bella?! Kamu kenapa sayang?

Bella memeluk Mama dan menangis.

Surya datang dari dalam menghampiri mereka yang berpelukan di pintu.

BELLA

(merengek)

Makasih, Mam. Karena menjadi orang tua yang selalu peduli dan menyayangi Bella.

MAMA LIRA

Iya, sayang. (mengusap kepala Bella)

Surya ikut memeluk mereka tersenyum hangat dan agak menggoyang-goyangkan pelukan.

DISSOLVE TO:

92. INT. RUMAH SAKIT - RUANG RAWAT INAP — SIANG

Ruangan itu kini hanya ada Bella dan Eril yang masih terbaring tak sadar, tiga ranjang lainnya telah kosong. Bella duduk di kursi menatap Eril.

BELLA (V.O.)

(berharap, bimbang, gugup)

Apa disaat Eril bangun, dia akan langsung tersenyum padaku? Apakah ia akan langsung menyapaku? Atau malah lebih buruk seperti saat itu? (jeda) Apa yang harus aku lakukan? (menggigiti bibir gugup)

Pintu membuka perlahan, dan Fiki melangkah masuk agak menunduk menggendong tas kuliahnya. Ia melihat Bella yang juga melihat ke arahnya. Bella menegakkan duduknya.

Fiki duduk di seberang Bella, memandang Eril sendu. Duduknya agak bungkuk masih menggendong tas, kakinya rapat.

BELLA

(canggung)

Eeee, apa kabar Fik? (memainkan tali tas)

FIKI

(canggung, gugup)

A-aku, baik-baik saja. Gimana keadaannya sekarang? 

BELLA

Sekarang udah lebih baik.

FIKI

(canggung)

Apa dia.. eeuh, sa-sakit gara-gara ibunya meninggal?

Bella menatap Eril sendu.

BELLA

(sendu)

Sepertinya, lebih dari itu. (jeda) Depresi berat. Terlalu banyak tekanan yang diterimanya sendirian. Dan, dia hampir. (tidak sanggup melanjutkan perkataan).

Fiki mencoba memahami ikut sedih dan khawatir beberapa saat.

FIKI

(ragu, kaku)

Bella, euu, kayaknya aku harus beri tahu kamu sesuatu.

Bella menahan sedihnya dan sedikit mengusap mata, berusaha menyimak.

FIKI

Eril pernah menceritakan ingatannya yang ia kira menghilang. Ingatan tentang semester terakhir SMA-nya, yang saat itu satu sekolah dengan kamu bukan?! Di SMA Kencana?

Bella terkejut berusaha mencerna.

FIKI

Dan, ia kehilangan catatan harian tentang masa SMA-nya itu. Membuatnya semakin kebingungan dan heran.

Bella terkejut, menatap Eril tak percaya, melamun.

FIKI

Apa kalian satu kelas di SMA? (suaranya samar dalam lamunan Bella)

Bella masih melamun.

BELLA (V.O.)

(melamun menerka-nerka)

Jadi, Eril benar-benar amnesia? Dia bahkan tidak ingat memberikan catatan itu padaku?! Apa karena kecelakaan saat itu?

FIKI

Bella! Bella!

Bella tersadar dan melihat Fiki.

BELLA

Oh iya Fik (mengambil ponsel dalam tasnya). Apa Eril pernah ccerita tentang pacarnya yang namanya Mira?

FIKI

Pernah, satu kali. Tapi, saat menceritakannya, Eril sedih. Dia bilang, dia senang akan hubungan itu, tapi baginya terasa pura-pura.

Bella melihat ruang pesan pada Mira waktu itu, masih belum dibalas Mira.

Fiki menatap Bella ragu-ragu.

FIKI

Bella! Sebenarnya, Eril pernah cerita kalau dia selalu memperhatikan seseorang di kelasnya dulu. Ciri-cirinya seperti..

Jari telunjuk Eril bergerak-gerak, menarik perhatian Bella dan Fiki. Bella agak panik melihatnya.

BELLA

Sebentar, aku panggil dokter dulu!

Bella bergegas pergi membawa tasnya.

Eril membuka matanya perlahan. Setengah tersadar masih berbaring, melihat sekitar.

ERIL

(melantur)

Dimana ini? Apa aku sudah di surga? Kenapa tempatnya seperti rumah sakit?

FIKI

Eril! Hei! Lo di rumah sakit.

ERIL

(terkejut, pusing, marah)

Fiki?! Rumah sakit? (merasakan pusing). Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa gue belum MATI!!! SIALAAANN!!! (memukul-mukul kasur lalu perutnya)

FIKI

(berusaha tenang)

Eril! Eril! Berhenti! Berhenti!! (memegangi kedua tangan Eril)

Eril marah memberontak.

ERIL

Gua engga perlu diobatin. Gue mau PERGII!!! MINGGIR!! (mendorong Fiki hingga tersungkur)

Eril melepas infusan dan berdiri. Ia tersungkur lemas, memegangi kepalanya merintih kesakitan di lantai.

Fiki membantunya kembali ke ranjangnya dengan sabar.

FIKI

(agak cemas)

Ril, tenang. Sadar, kendaliin diri lo! Gue mohon, Ril.

Seorang dokter dan suster memasuki ruangan, menghampiri Eril.

CUT TO:

93. INT. RUMAH SAKIT - LORONG, LUAR RUANG INAP ERIL — SIANG

Bella berdiri mengintip sembunyi-sembunyi dari balik jendela. Memperhatikan Eril yang telah sadar berbaring ditangani dokter dengan kesakitan.

BELLA

(kasihan dan lega)

Syukurlah, dia sudah sadar. Lebih baik seperti ini dulu (tersenyum sangat tipis)

INSERT:

Di dalam ruangan Fiki mencari-cari Bella.

Bella menunduk bersembunyi sesaat melihat Fiki menengok ke arahnya.

Bella kemudian berbalik, dan berjalan pergi menjauhi ruangan itu memegangi tali tas dengan kedua tangannya. Agak menunduk.

CUT TO:

94. INT. RUMAH SAKIT - RUANG RAWAT INAP — SIANG

Dokter sudah pergi. Fiki duduk di samping ranjang Eril. Eril terbaring tenang masih memegangi kepalanya menatap kosong langit-langit.

FIKI

Ternyata perkiraan gue bener, lo Amnesia. Kenapa lo baru bilang sekarang?

ERIL

(putus asa)

Gue baru tahu itu sejak beberapa hari yang lalu (jeda). Gue harap amnesia sepenuhnya. Berharap semua ingatan gue menghilang selamanya (datar).

Fiki agak terkejut dan merasa sedih.

FIKI

(yakin)

Mungkin lo benar. Tapi mungkin juga itu salah. Ada yang belum sempat gue ceritain ke lo. Dulu gue selalu dianggap aneh, dihina, dipukulin, dijauhin, dan dianggap kotor. Gue benci itu semua. Tapi, kenangan buruk itu pasti akan selalu membututi gue. Waktu ke waktu, akhirnya gue mulai sadar. Ternyata, kenangan yang kita benci, tidak selalu memberi kesan buruk. Tapi ada hal yang tumbuh dibalik itu.

Eril masih menatap langit-langit dengan kekosongan.

FIKI

Walaupun terasa sangat menyakitkan, tapi tanpa sadar itu yang membuat kita tumbuh bertambah kuat. Gue juga yakin, masalah itu datang untuk di selesaikan, bukan ditinggalkan (menegakkan duduknya). (jeda) Enggak seperti kebanyakan orang di luar sana. Gue bahkan hidup bukan untuk menjadi bahagia, tapi gue hanya menjalaninya. Itu yang membuat gue bertahan sampai sekarang. Masalah sebanyak apapun, jalan keluar pasti ada. Kalo lo cuma mengharapkan kebahagiaan, lo harus siap kecewa.

Fiki menatap Eril dengan keyakinan. Eril masih menatap kosong langit-langit.

FIKI

Gue selalu yakin. Setiap manusia pasti punya masalah yang berat banget buat diri mereka sendiri. Merasa paling kesulitan dari siapapun. Sekarang gue sadar, enggak semua orang bisa menghadapi luka yang sedang mereka hadapi, kecuali diri mereka sendiri. Karena yang gue yakini, pilihan sulit akan datang, ketika lo siap untuk menghadapinya.

Eril menatap Fiki dengan ekspresi berterima kasih. Fiki tersenyum hangat.

CUT TO:

95. INT. KAMAR BELLA — MALAM

SFX: LAGU SENDU DISETEL BELLA DI HEADSETNYA.

Bella berbaring di kasur menutup mata, meresapi lagu yang didengar melalui headsetnya.

SFX: SUARA NOTIFIKASI PESAN MENURUNKAN SUARA LAGU.

Bella membuka pesan.

INSERT:

Pesan dari Fiki : Bella, kamu pergi kemana tadi? Eril sudah sadar. Besok dia sudah bisa pulang. Kamu harus menemuinya. Eril benar-benar amnesia.

Bella tercengang hingga terbangun duduk di kasur. Memahami situasi dan berpikir-pikir sesaat.

BELLA

(tercengang bingung)

Ternyata, dia bukan pura-pura tidak mengenaliku, tapi dia lupa siapa aku sebenarnya.

Bella membayangkan ada harapan.

CUT TO:

96. INT. RUMAH SAKIT - RUANG RAWAT INAP — MALAM

Suasana kamar sepi tanpa siapapun, hanya Eril sendirian.

SFX: SUARA TELEVISI MENYALA.

Eril setengah duduk menyandarkan punggung menatap sendu kosong lampu ruangan itu. Ekspresinya putus asa.

Ia mengangkat tangannya yang terlingkar gelang hitam miliknya.

ERIL

(penasaran)

Siapa yang melingkarkannya di tanganku? Apa Mira datang kesini? Ah mana mungkin, (menggeleng)

Eril menarik napas dan menghembuskannya jelas.

ERIL

Selanjutnya, apa yang akan aku lakukan? Apa aku akan baik-baik saja seperti yang Fiki bilang?!

Eril menghela napas, memejamkan matanya.

Ia menggerak-gerakkan punggungnya tidak nyaman. Ia membalikkan bantalnya dan terlihat catatan hariannya ada di bawah bantal. Ia terheran dan mengambil catatan itu.

ERIL

(terheran)

Hal yang Selalu Ingin Kuungkapkan (membaca cover catatan itu). (matanya melotot sadar) Catatanku?!

CUT TO:

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar