Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
23. Perkampungan – Sekitar Rumah Kila – Minimarket – Malam
Marsden menunggu hingga antrian di kasir kosong.
Selain Marsden, hanya ada satu pembeli lain di minimarket. Dan pembeli itu masih sibuk berjalan dari satu rak ke rak lain.
Marsden menyerahkan keranjang belanja yang penuh dengan makanan dan minuman yang di ambil sembarangan.
Marsden
Maaf, mbak, boleh saya menanyakan sesuatu?
Kasir
Tentu saja. Apa yang ingin bapak tanyakan?
Marsden
Mbak tahu rumah di ujung jalan ini?
Kasir
Maaf, ujung jalan yang sebelah mana, pak?
Marsden
Ujung jalan sana.
(Menunjuk ke arah rumah Kila)
Rumah kecil berwarna kuning pucat.
Kasir minimarket belum sempat mengatakan apa-apa saat Marsden mendengar komentar dari arah belakangnya.
Pembeli
Rumah yang ada pohon bougenville kuning?
Marsden membalikkan badan dan melihat seorang perempuan paruh baya yang membuat matanya membelalak.
Perempuan itu mengenakan daster berwarna hijau terang, dengan bunga-bunga besar berwarna oranye. Rambut berwarna coklat kekuningan perempuan itu diikat sekenanya. Hingga cukup banyak anak rambut yang mencuat kesana kemari.
Marsden melirik cepat ke selop plastik berwarna oranye terang dan sedikit kotor, lalu kembali menatap perempuan paruh baya, yang menurut Marsden salah orang yang penuh rasa ingin tahu, akan kehidupan orang lain.
Marsden
(Mengatakan pada benaknya)
Dia pasti tahu banyak cerita tentang para tetangganya. Termasuk keluarga Kila. Dan, lebih mudah mendapatkan gosip darinya daripada kasir minimarket ini.
Marsden memberikan senyuman kecil pada perempuan paruh baya di depannya, lalu menganggukkan kepala.
Marsden
Iya, bu. Rumah itu yang saya maksud.
Pembeli
Itu rumah pak Yan. Tapi rumah itu sudah dijual.
Marsden
Dijual?
Pembeli
(Mengangguk. Berjalan mendekati Marsden)
Katanya untuk mengembalikan uang yang sudah pak Yan curi dari kantor.
(Mendesah sambil menggeleng-gelengkan kepala)
Seisi kampung heboh saat polisi datang dan menangkap pak Yan. Tidak ada yang menyangka, pak Yan yang baik, sopan, ramah, ternyata mencuri uang perusahaan. Enam ratus juta. Ya ampun.
(Kembali mendesah sambil menggeleng-gelengkan kepala)
Marsden
Jadi, rumah itu kosong?
Pembeli
Seringnya begitu, kosong. Sesekali ada orang yang datang untuk membersihkan. Tapi jarang sekali. Hanya satu atau dua kali dalam satu bulan. Makanya, rumah itu jadi tak terawat, kotor, rusak. Semua tanaman kering, mati. Satu-satunya tanaman yang masih hidup ya Bougenville kuning di pojok halaman.
Marsden mengangguk-anggukkan kepala.
Pembeli
Mas, namanya siapa?
Marsden sadar dia tidak mungkin memberitahu namanya. Kalau entah bagaimana Kila, atau kakaknya, atau adiknya, mendengar Marsden bertanya-tanya tentang rumah mereka, mereka bisa salah paham dan muncul masalah baru.
Jadi, Marsden menyebutkan nama pertama yang muncul di benaknya.
Marsden
Marshall.
Pembeli
Oooh, Marshall.
(Mengangguk-anggukkan kepala)
Mas Marshall, kenapa ingin tahu tentang rumah pak Yan? Apa mas Marshall kenal dengan pak Yan?
Otak Marsden berputar cepat, mencari jawaban yang masuk akal agar perempuan peruh baya dan kasir minimarket tidak mencurigainya.
Marsden
Tidak. Saya tidak kenal pak Yan, atau keluarganya. Kebetulan saja, beberapa bulan lalu saya sempat lewat jalan ini dan melihat papan bertuliskan ‘Dijual’ di depan rumah itu. Tadi, saat saya melewati rumah itu, papan itu tidak ada lagi. Makanya saya ingin tahu, apakah rumah itu sudah terjual, atau justru tidak jadi dijual.
Pembeli
Ooo, mas Marshall ingin membeli rumah pak Yan. Sayang sekali, rumah pak Yan sudah terjual. Kalau waktu itu mas Marshall langsung membeli rumah pak Yan, kita jadi tetangga.
(Tersenyum)
Itu rumah saya.
(Menunjuk rumah di seberang minimarket)
Hanya tiga rumah dari rumah pak Yan.
Marsden ingin kabur saat ini juga. Tapi dia masih membutuhkan beberapa informasi. Jadi, Marsden memaksakan senyuman di bibir.
Marsden
Pak Yan dan keluarganya, mereka tinggal dimana setelah rumah mereka dijual?
Pembeli
Pak Yan masih di penjara. Entah sampai kapan. Tidak enak kalau menanyakan hal sensitif seperti itu ke istri dan anaknya. Iya kan?
Marsden
(Mengangguk)
Iya.Lalu, keluarga pak Yan? Ibu tahu mereka tinggal dimana?
Pembeli
(Menggeleng)
Tidak. Mereka tidak pamit saat pindah. Mungkin malu. Jadi….
Kasir
Maaf, pak, belanjaan bapak sudah selesai saya hitung.
Pembeli
(Berdecak. Menatap kasir dengan sebal)
Mbak, jangan suka menyela pembicaraan orang. Tidak sopan itu.
Kasir
Maaf, bu Sri. Maaf, pak.
Marsden
Ah, tidak apa-apa, mbak.
(Marsden mengeluarkan dompet)
Berapa totalnya, mbak?
Kasir
Seratus enam puluh enam ribu tiga ratus lima puluh rupiah.
Marsden menyerahkan dua lembar uang seratus ribu pada kasir.
Marsden
Kembaliannya, tolong masukkan saja ke kotak itu ya, mbak.
(Marsden menunjuk kotak kaca untuk donasi yang ada di dekat kasir)
Kasir
(Mengangguk. Senyum tulus terbentuk di bibir)
Baik, pak. Terima kasih banyak untuk donasinya.
(Menyerahan kantong belanja Marsden)
Terima kasih sudah berbelanja di toko kami.
Marsden
(Menganggukkan kepala. Mengambil kantong belanja)
Terima kasih kembali.
(Menambahkan dengan suara lirih)
Dan, terima kasih sudah membantu saya.
(Memberikan senyum kecil)
Kasir minimarket mengerti maksud Marsden. Dia membalas senyum Marsden dan menganggukkan kepala.
Kasir
Sama-sama, pak.
Marsden berbalik, menatap perempuan berdaster hijau yang terlihat jelas masih ingin melanjutkan pembicaraan mereka.
Marsden
Ibu, terima kasih banyak atas informasi yang ibu berikan. Saya permisi dulu. Selamat malam.
Marsden memberikan senyum singkat dan anggukan kepala pada perempuan berdaster hijau, kemudian berbalik dan berjalan cepat ke pintu.
Namun Marsden mendengar gerutuan perempuan itu pada kasir minimarket.
Pembeli
Gara-gara kamu, mbak. Aku tidak sempat meminta nomor teleponnya. Padahal, aku ingin mengenalkan dia dengan Retno. Siapa tahu jodoh.
Kasir
Mbak Retno kan baru saja cerai, bu Sri.
Pembeli
Makanya itu, mbak. Retno mau aku kenalkan dengan mas Marshall, biar anakku itu tidak menjanda terlalu lama.
Seketika, Marsden mempercepat langkah-langkahnya.
Sepanjang perjalanan singkat menuju mobil, Marsden terus mengusap-usap tengkuknya yang bergidik karena mendengar rencana perjodohannya dengan anaka perempuan berdaster hijau.
Dengan tergesa, Marsden memasuki mobil, melempar kantong belanja ke kursi penumpang, menyalakan mesin, lalu memacu mobil.
CUT
24. Jalan Raya – Trafficlight – Lampu Merah – Malam
Marsden menatap dua remaja laki-laki yang berboncengan motor. Tidak ada yang aneh dengan mereka berdua. Tampak normal, biasa-biasa saja.
Hingga Marsden mendengar percakapan mereka.
Pram (Pengendara Motor 1)
Zein, kamu punya uang?
Zein (Pengendara Motor 2)
Ada. Enam ribu. Kenapa?
Pram
Yah, cuma enam ribu.
Zein
Uangmu sendiri berapa?
Pram
Lebih banyak darimu sih.
Zein
Berapa?
Pram
Tujuh ribu.
Zein
Yah, itu gak beda jauh, broooo.
Pram
Yang penting, uangku lebih banyak dari uangmu.
(Tertawa)
Zein
Iya, iya, kamu lebih kaya seribu rupiah dari aku.
Pram kembali tertawa.
Zein
Kenapa kamu tanya berapa uangku?
Pram
Aku lapar, juga haus. Maksudku, kalau kamu punya uang, aku pinjam untuk beli es teh dan nasi bungkus. Besok pagi, begitu uang makan mingguan cair, uangmu aku kembalikan. Tapi, kamu sama kayanya dengan aku.
(Tertawa)
Zein
(Tertawa)
Kita patungan saja. Beli es the dan nasi goreng, kita makan berdua.
Pram
Nasi goreng sepuluh ribu. Es teh dua ribu. Seribunya buat beli kerupuk. Pas dengan uang kita. Tiga belas ribu.
Zein
Alhamdulillah. Kita bisa makan.
Pram
(Mengangguk)
Alhamdulillah. Kita bisa makan walau tidak terlalu kenyang.
(Menyengir lebar)
Zein
(Menepuk bahu Pram)
Yang penting, yang kita makan, halal.
Pram
(Mengangguk)
Marsden mengambil kantong berisi aneka makanan yang dia beli di minimarket. Marsden tidak ingat apa saja yang dia beli. Tapi Marsden ingat dia membeli roti tawar, kornet, keju.
Marsden membuka kaca jendela mobil.