Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Ketik Magic
Suka
Favorit
Bagikan
1. ACT 1

1. INT. RUMAH. RUANG UTAMA — MALAM

ADAM (28) pria berkulit putih dengan garis wajah tegas, menatap nanar dengan bibir yang bergetar penuh keraguan.

ADAM
Selesai... Hubungan ini selesai. Aku... Gak bisa nikahin kamu.

HAWA (26) wanita berkulit sawo matang, tersentak kaget hingga menelan ludahnya mentah-mentah.

Ternyata itu adalah adegan sinetron di TV. Tayangan terus berlanjut seiring kita melihat semakin luas ruangan itu.

Tampak meja dipenuhi bungkus sisa makanan, gelas bekas kopi, kaleng minuman energi, dan bungkus kaplet vitamin.

Sebuah laptop menampilkan dokumen naskah skenario dengan dialog yang sama dengan yang terdengar dari TV.

HAWA (O.S.)
Alasan apa lagi, Mas? Kalau Mas memang gak cinta Aku, jujur aja! Dibohongin terus, aku bisa mati!

Di samping laptop, tergeletak wajah ANNISA (31) dengan pipi menempel di meja, rambutnya berantakan, kantung matanya tebal, hembusan napasnya tipis.

Di sisi lain ruangan, ada seorang pria duduk di sofa, TARA (45) postur tubuh militer dengan gaya pakaian bussinessman sedang membaca lembaran naskah yang tebal.

Dia kemudian membanting naskah itu ke atas meja. Tampak sampul naskah berjudul, "ALKISAH CINTA Episode 1024".

TARA
Tamat?

Tara menatap tajam ke Pria yang duduk di hadapannya, ADI (38) berambut ikal, berkumis tak terurus, badannya kurus, memakai kaos bergambar Bung Tomo, "MERDEKA ATAU MATI!"

ADI
Saya udah gak kuat. Udah enam orang rekan saya yang tumbang.

Tara menunjuk ke TV yang kini menayangkan iklan.

TARA
Anda tahu berapa tarif buat pasang iklan sekejap itu?
(memajukan tubuhnya)
Seratus juta.

Tara menatap mengintimidasi. Adi mengepalkan tangannya.

ADI
Percuma uang banyak kalo akhirnya cuma buat berobat! Lihat rekan-rekan saya, mereka belum tidur tiga hari!

Tampak TIGA ORANG mengetik depan laptop seperti zombie. Lalu mereka tumbang dengan wajah menghantam keyboard laptop. Lalu terdengar suara dengkuran.

Tara hanya menatap mereka datar, lalu kembali menatap Adi.

TARA
Pak Adi, saya ini hanya menyampaikan pesan dari...

Tara menunjuk ke atas. Adi menelan ludah.

TARA
Anda sudah tanda tangan kontrak menulis sampai bungkus. Rating kita masih bagus. Kalau Anda kurang orang, ya cari yang baru.
ADI
Nyari penulis yang mau kejar tayang itu susah! Saya juga kan harus nulis skrip tiap hari.

Tara bangkit dari kursinya, lalu berjalan ke pintu keluar melangkahi 'mayat' para penulis yang tergeletak di lantai.

TARA
Besok slot kita dipakai acara perayaan ulang tahun channel. Anda bisa libur dan cari orang baru. Lusa, Anda nulis lagi.

Tara sampai di depan pintu, membuka banyak slot kunci.

TARA
Ingat, Pak Adi. Ini industri ratusan juta. Anda tidak bisa keluar begitu saja.

Tara membuka pintu, keluar, menutup pintu dengan keras.

Adi kesal, lalu menatap ke TV. Tampak Hawa menatap ke layar dengan air mata bercucuran.

HAWA
Pasti ada jalan, Mas! Pasti!

Adi menatap tajam ke TV, ritme napasnya semakin cepat. Dia mengambil remote TV lalu menekannya dengan kesal.

FADE TO BLACK.

2. INT. KANTOR PH — PAGI

Suasana hiruk-pikuk kantor. Para PEGAWAI sibuk berkutat dengan laptopnya, ada yang mengetik, ada yang video meeting, dan ada satu yang diam-diam nonton YouTube.

Di sisi lain ruangan, terpinggirkan dari area kerja, duduk seorang diri SATRIA (27), laki-laki berkemeja rapi, memakai tas selempang, menyender ke sofa, bosan. Dia memegang sebuah naskah tebal dengan sampul bertuliskan, "Kelak".

Satria melamun melihat ke dinding di hadapannya yang dipenuhi poster film serius, tapi lebih mirip parodi. Ada Ganteng-Ganteng Garuda, Garuda Gentayangan, dan Garuda Galau. Semua ditulis dan disutradarai oleh Raja Raharja.

Satria kembali sadar ketika dia melihat HERI (40) akhirnya muncul. Satria segera bangkit dan menghampirinya.

SATRIA
Pak Heri!

Heri bingung melihat Satria.

HERI
Satria? Kamu ngapain?
SATRIA
Saya mau ngasih ini, Pak.

Satria memberikan naskah yang ia bawa ke Heri.

HERI
Maaf, Saya gak bisa terima naskah dari kamu.

Satria kaget. Heri berjalan. Satria mengikuti berjalan di samping Heri. Mereka berjalan menuju area dinding poster.

SATRIA
Kenapa, Pak? Bulan lalu pas saya pitching, Bapak suka dan minta naskah penuhnya.
HERI
Iya, tapi itu sebelum Raja Raharja nawarin naskah barunya.

Satria melangkah ke hadapan Heri, membuat Heri berhenti. Kini mereka berhadapan di antara poster film Garuda Galau. Ekspresi karakter di poster sama dengan ekspresi Satria.

SATRIA
Memang kenapa, Pak? Bapak sendiri yang bilang cerita ini punya potensi box office.
HERI
Iya, tapi saya gak bisa yakinin produser untuk beli naskah dari orang yang belum punya nama di industri kayak kamu, sementara ada penawaran dari...

Heri menunjuk ke poster di sekitar mereka.

HERI
Penulis box office.

Satria menggeram kesal.

SATRIA
Tapi saya punya skill, Pak. Naskah saya gak kayak film-film itu yang berlindung pake embel-embel dukung karya anak bangsa, tapi kualitas sinetron.
(menatap tajam)
Saya cuma butuh kesempatan, Pak.

Heri menarik napas, lalu melangkah lebih dekat ke Satria.

HERI
Satria... Ini industri ratusan juta. Kamu gak bisa masuk begitu aja. Kamu harus buktiin diri kamu dulu. Bisa coba bikin film pendek, konten, novel, apapun.
(beat)
Setelah kamu punya nama, baru kita bicara soal kesempatan.

Satria terdiam, meremas naskah yang ia genggam. Heri menepuk bahunya lalu berjalan pergi meninggalkannya.

Satria menatap kesal ke poster Garuda Galau di dinding. Dia lalu memukul poster itu dengan naskahnya. BRAK!

3. EXT. CAFE — SIANG

BRAK! Satria menaruh nampan makanan ke atas meja dengan keras hingga mengagetkan BIMO (27), laki-laki berambut klimis dengan gaya sok hypebeast, yang duduk di hadapannya.

Bimo menatap Satria, tapi Satria melihat ke arah lain, sambil memakan burger dengan kesal. Bimo menghela napas.

BIMO
Kenapa? Jadi nyesel lu resign? Lagian udah dibilangin ekonomi lagi susah, orang-orang di-PHK, eh dia malah inisiatif mundur. Gimana rasanya mengejar passion? Enak?

Satria berhenti makan dan menatap Bimo kesal.

SATRIA
Ah lu bukannya bantuin malah ngatain.
BIMO
Ya kalau gua punya link ke situ, udah gua kasih lu dari kemarin kemarin lah.
SATRIA
Nah itu! Gua aja bisa kenal Pak Heri hitungannya hoki.
(beat)
Lagian kalau nyari PH lain juga, kayaknya mereka juga bakal nyuruh gua buat punya nama dulu.
(berpikir)
Butuh berapa lama coba buat gua sampai punya nama? Tabungan gua cuma sisa sampai bulan ini. 

Satria tampak pusing.

BIMO
Mungkin lu itu terlalu fokus sama satu jalan, Sat. Jadinya gak lihat ada jalan lain. Buktinya, lu susah move on kan dari mantan lu? 

Satria tersentak kesal.

SATRIA
Kenapa jadi bawa-bawa soal percintaan? Gua belum nemu yang pas aja. Lagian lu gaya ngatain gua, lu juga kan jomblo!
BIMO
Ya tapi gua sih jomblo udah usaha. Kenalan, tapi ditolak. Lah lu? Kenalan aja gak berani.
SATRIA
(tertawa)
Kenapa bangga dah lu?

Bimo tertawa, tapi kemudian perhatiannya teralihkan pada MIRA (27), wanita cantik yang baru masuk ke mobilnya.

BIMO
Ah gimana caranya ya biar tuh cewek mau kenalan sama gua?
SATRIA
Kalau di sinetron sinetron, lu ditabrak, nanti dia jatuh cinta.

Satria tertawa, tapi Bimo tampak memikirkannya serius. 

BIMO
Bener juga lu! Udah banyak cara gua coba, tapi gagal. Mungkin yang ini bakal berhasil.

Bimo beranjak dari kursinya dan segera berlari ke depan jalan dengan semangat. Satria kaget.

SATRIA
Bim! Gua bercanda, Bim! Bimo!

Satria memasukkan HP ke dalam tasnya lalu menyusul Bimo.

4. EXT. PINGGIR JALAN — CONTINUOUS

Bimo berdiri di pinggir jalan, menunggu mobil Mira. Satria mencoba menarik Bimo.

SATRIA
Bim, jangan ngide dah lu. Yang ada mati nanti lu. Udah ah!

Satria menengok tampak mobil Mira baru keluar dari area parkiran dan menuju ke arah mereka.

BIMO
Lebih baik gua mati udah usaha, daripada hidup tanpa usaha!

Bimo menepis tangan Satria dan berlari menyeberangi jalan. BRAK! Dia tertabrak oleh mobil Mira hingga terpental jatuh.

Mobil Mira langsung mengerem.

Satria melongo kaget.

Pintu depan kanan mobil terbuka, keluar Mira yang langsung menghampiri Bimo yang terbaring di aspal.

Mira dan Bimo tatap-tatapan ala sinetron. Bimo tersenyum.

MIRA
(marah)
Gila lu! Nyeberang gak lihat-lihat! Kalau mau mati jangan nyusahin orang!
(menunjuk ke mobilnya)
Liat tuh! Mobil gua penyok! Ganti rugi lu!

Bimo terperangah kaget.

BIMO
(gelagapan)
Eh... Itu... Anu...

Bimo menengok ke Satria, tampak Satria menertawakannya. Bimo melotot. Satria berhenti tertawa dan mendekati Mira.

SATRIA
Sorry, temen gua emang salah, tapi gua pastiin dia bakal gantiin biaya bengkelnya. Yang penting, lu gapapa kan?
MIRA
Luka sih nggak, tapi gue jadi trauma! Gue butuh healing. Ke Bali. Dua tiket ya, buat temen gue juga.

Pintu depan kiri mobil terbuka, keluar DINDA (27), gadis cantik dengan rambut panjang yang berkibas SLOW-MOTION.

Satria terpesona. Terdengar MUSIK ROMANCE.

Dinda menghampiri mereka.

DINDA
(ke Bimo)
Masnya gapapa?
SATRIA
(refleks)
Gapapa.

Dinda, Mira, dan Bimo menatap bingung ke Satria.

BIMO
Gua yang ditanya!
(ke Dinda)
Gakpapa, Mbak, cuma lecet dikit.

Bimo bangkit berdiri dan baru terlihat bahwa kakinya patah, menekuk ke arah yang tidak seharusnya. Semua melotot kaget dan teriak histeris. Bimo jatuh pingsan.

5. INT. RUMAH SAKIT. DEPAN UGD — SIANG

Satria, Mira, dan Dinda berdiri tegang di depan pintu ruang UGD. Mira berjalan mondar-mondir cemas.

MIRA
(bergumam)
Bukan salah lu... Kalau dia mati, Lu bukan pembunuh...
SATRIA
Tenang aja, dia cuma patah kaki, gak bakalan mati.

Pintu ruang UGD terbuka, keluar DOKTER (45). Satria, Mira dan Dinda langsung mengerubunginya.

MIRA
Gimana, Dok?!

Dokter menatap dengan raut wajah duka.

DOKTER
Saya sudah berusaha maksimal...

Satria, Mira, dan Dinda terperanjat kaget.

DOKTER
...sehingga teman Anda bisa selamat.

Satria, Mira, dan Dinda menghela napas lega. Mira terduduk lemas di lantai, menyender ke dinding, memejamkan matanya. Dokter tersenyum lalu pergi meninggalkan mereka.

Satria dan Dinda berdiri sebelahan.

SATRIA
Ah bikin jantungan aja, kalau di sinetron biasanya dokter bilang begitu kan pasiennya meningggal.

Dinda tertawa. Satria tersenyum berharap.

SATRIA
Di sinetron biasanya juga abis kecelakaan gini, jadi kenalan...

Dinda tersenyum menahan tawa.

DINDA
Bukannya abis kecelakaan biasanya amnesia ya?

Satria tersenyum menahan tawa. Keduanya lalu saling pandang.

DINDA
Kamu kayaknya ngerti banget soal sinetron, kamu scriptwriter-nya ya?
SATRIA
Lebih ke scriptwriter film sih.

Dinda tampak tertarik, dia menghadap ke Satria.

DINDA
Oh ya? Film kamu udah ada yang tayang?

Satria tersentak, bingung.

SATRIA
Belum ada sih. Masih on progress. Nanti kalau udah tayang, saya akan kasih tau kamu. Eh gak bisa deh, soalnya saya gak punya kontak kamu.

Dinda tersenyum lebar.

DINDA
Wow, gak pake nanya nama dulu ya, langsung minta kontak.

Satria tersenyum, lalu menjulurkan tangannya.

SATRIA
Satria.

Dinda tersipu, lalu menjabat tangan Satria.

DINDA
Dinda.

Satria dan Dinda saling memandang dengan senyuman.

MIRA (O.S.)
(teriak)
Aaaahhhhh!!

Mira bangkit sambil meregangkan tangannya. Dinda dan Satria kaget, melepaskan jabat tangan mereka.

MIRA
(ke Satria)
Yaudah, bilangin ke temen lu, ini gua anggap impas deh. Dia gak perlu ganti rugi. Jadi urusan kita udah selesai ya.
(ke Dinda)
Yuk, Din, cabut.

Mira berjalan pergi. Dinda mendekati Satria.

DINDA
Ternyata abis adegan kecelakaan, yang bener tuh bersambung.

Satria tersenyum sedih, tapi kemudian Dinda menunjukkan HP-nya yang menampilkan profil IG-nya ke Satria. 

DINDA
Ini kontak aku. Kalau film kamu udah rilis, kabarin ya.

Satria tersenyum senang. Dinda berjalan menyusul Mira.

SATRIA
Kalian gak mau lihat ke dalam dulu? Buat IG Story?
MIRA
(tanpa menengok)
Makasih!

Dinda tertawa, menengok ke belakang sambil melambaikan tangan. Satria balas melambaikan tangan, tersenyum senang.

6. INT. RUMAH SAKIT. RUANG UGD — SIANG

Tampak Bimo terbaring di kasur dengan kaki digips. Satria duduk di sampingnya, tersenyum mengingat Dinda.

BIMO
(melirik kesal)
Ah enak lu ya, gua yang cedera, lu yang dapet cewek.

Satria tertawa sambil menepuk kaki Bimo. Bimo meringis kesakitan.

SATRIA
Oh iya gua mesti follow akunnya, sebelum lupa username-nya.

Satria merogoh kantongnya. Panik.

SATRIA
HP gua di mana ya?

HP Satria berdering dari dalam tasnya.

SATRIA
Oh itu dia.

Satria merogoh ke dalam isi tasnya. Sulit mencari HP-nya.

SATRIA
Aduh, mana sih. Susah bener.

Satria mengeluarkan naskah yang ia bawa tadi dan menaruhnya ke atas lemari kecil di sampingnya. Akhirnya ia mendapatkan HP-nya. Namun, panggilan sudah berakhir.

SATRIA
Wah, Pak Heri nelpon gua. Kenapa ya? Apa soal naskah gua ya?
BIMO
Ya coba lu telpon balik aja. Jalan menuju mimpi itu harus lu kejar, gak mungkin jalannya yang nyamperin. 

Pintu terbuka, tampak Adi membantu SUSTER mendorong kasur pasien. Adi lalu membantu Suster mengangkat pasien yang ternyata adalah Annisa ke kasur di belakang Satria.

SATRIA
Yaudah, gua nelpon Pak Heri dulu ya.

Satria keluar kamar.

Adi yang selesai mengangkat Annisa, mundur dan menabrak lemari kecil. Dia menengok dan melihat naskah Satria.

7. INT. DEPAN KAMAR RAWAT — CONTINUOUS

Satria berdiri menelpon. Wajahnya tegang menunggu panggilan telepon diangkat. BEEP. Panggilan telepon diangkat.

SATRIA
Halo, Pak. Tadi Bapak nelpon saya, ada apa ya?
HERI (V.O.)
Oh Satria, begini, saya tadi rapat sama produser bahas naskah yang mau kita garap. Tapi, ternyata Raja Raharja minta bayaran terlalu tinggi, jadi naskahnya batal dibeli.

Satria tersentak, menggenggam HP-nya lebih erat.

SATRIA
Terus hubungannya sama saya apa ya, Pak?
HERI (V.O.)
Ya tadi pagi saya memang bilang kamu harus punya nama dulu, tapi tadi saya coba bilang soal naskah kamu. Mereka tertarik. Kamu bisa ke kantor sore ini untuk pitching?

Satria sumringah, mengepalkan tangannya, merasa menang.

SATRIA
Bisa, Pak! Saya nanti akan ke sana. Makasih banyak, Pak.
HERI (V.O.)
Oke, ditunggu ya.

Heri menutup telponnya. Satria memegang kepalanya, masih tidak percaya. Dia berjalan mondar-mandir senang, lalu bergegas kembali ke kamar.

8. INT. RUMAH SAKIT. RUANG UGD — CONTINUOUS

Satria masuk dan terkejut melihat Adi sedang membaca naskahnya. Dia bergegas merebut naskah itu.

SATRIA
Maaf, Mas. Ini punya saya. Jangan main asal baca.

Adi kaget dan tersadar.

ADI
Oh maaf, tadi saya lihat dan tertarik buat baca.
(tertawa)
Itu draft kamu yang nulis? Bagus loh itu.

Satria segera memasukkan naskah itu ke dalam tasnya, hendak pergi, tapi kemudian tersadar, dan menatap Adi.

SATRIA
Masnya tau draft film?
ADI
Oh iya, saya juga scriptwriter.

Satria tampak tertarik.

SATRIA
Oh ya? Saya Satria, Mas.

Satria menjulurkan tangannya. Adi menyambutnya.

ADI
Oh, Adi. Kebetulan saya lagi nyari drafter. Kamu mau gak?
SATRIA
Drafter?
ADI
Iya, Saya sekarang lagi ngerjain sinetron. Saya bikin plotnya dan butuh orang lain buat ngembangin jadi draft. Gak sendiri kok. Ada timnya. Gimana?

Satria melihat Annisa yang terbaring di kasur sambil diinfus menatap ke arahnya, menggelengkan kepala.

SATRIA
Maaf, Mas, tapi saya nulis naskah film, bukan sinetron.
ADI
Oh gitu? Emangnya film tulisan kamu apa aja?

Satria terdiam, dia gelagapan, bingung. Di belakangnya Bimo yang terbaring ikut mendengarkan, berusaha menahan tawa.

SATRIA
Ya sekarang sih belum ada... Tapi ini saya barusan dapet telepon dari PH, mereka minta naskah saya.

Bimo terkejut.

BIMO
Beneran, Sat?

Satria menengok ke Bimo kaget.

SATRIA
Iya, makanya gua cabut ya. Lu gapapa kan sendiri?
BIMO
Yah... Lama gak? Abis itu lu ke sini lagi kan?
SATRIA
Ya gatau juga, lihat nanti.

Adi mengeluarkan dompetnya, mengambil kartu nama, dan memberikannya ke Satria.

ADI
Eh ini, kalau kamu berubah pikiran, kontak saya aja.

Satria mengambil kartu nama Adi dan memasukkan ke saku dada kemejanya.

SATRIA
Makasih, Mas. Saya duluan ya.

Satria berlari pergi keluar ruangan. Sementara Adi memandanginya penuh harap.

BIMO
Mas, Sstt... Mas!

Adi menengok ke Bimo.

BIMO
Boleh minta tolong ambilin minum gak? Saya haus hehehe

9. INT. KANTOR PH — SORE

Satria berjalan masuk sambil menelpon.

SATRIA
Halo, Pak, saya udah di kantor. Ini saya harus ke mana ya?
HERI (V.O.)
Oh iya, saya di ruang meeting ini, kamu ke sini aja. ikutan lorong poster itu terus belok kanan.
SATRIA
Sebentar, Pak.

Satria berlari ke lorong poster sambil celingukan mencari. Dia melihat pintu ruang meeting.

SATRIA
Oh iya, udah ketemu, Pak. Saya tutup telponnya ya, Pak.

Satria menutup panggilan telpon, mengantonginya, lalu berlari ke depan pintu ruang meeting. Dia menarik napas lalu mengetuk pintu.

HERI (O.S.)
Ya, masuk.

Satria membuka pintu.

10. INT. KANTOR PH. RUANG MEETING — CONTINUOUS

Satria membuka pintu dan tegang melihat di dalam sudah ada PRODUSER (48) dan RAJA RAHARJA (42) Pria bergaya rockstar, duduk dengan pose angkuh. Mereka tengah berdiskusi.

Heri yang duduk di pinggir menyuruh Satria untuk duduk. Satria duduk dengan tegang, diam, menatap ke Para Produser yang tengah berdiskusi sampai akhirnya mereka berhenti dan menatap ke arahnya.

PRODUSER
Jadi kamu yang diceritain Heri?
SATRIA
Iya, Pak.

Satria kembali diam. Heri memberikan kode, Satria sadar lalu membuka tasnya dan mengeluarkan naskahnya. Dia lalu memberikannya kepada Produser.

SATRIA
Ini, Pak, naskahnya.

Produser membuka naskahnya, lalu membalikkan halaman demi halaman dengan cepat. Satria terkejut.

Produser lalu menggeser naskah ke Raja Raharja. Raja Raharja membacanya. Satria lebih terkejut.

PRODUSER
Jadi begini... Surya?
SATRIA
Satria, Pak.
PRODUSER
Oh Satria. Saya ini mau bikin film dan sudah lama kerja sama dengan orang di sebelah saya ini. Tapi biasa, orang makin terkenal makin mahal...

Raja Raharja tertawa kecil.

PRODUSER
Saya cuma bisa bayar dia buat jadi sutradara, gak bisa bayar buat jadi penulis juga. Maka itu saya akan beli naskah kamu ini dan akan digarap sama the one and only, Raja Raharja.

Satria tercengang.

RAJA RAHARJA
Hahaha sampai kaget gitu dia tau naskahnya bakal digarap sama saya. Jarang-jarang loh saya nyutradarain naskah orang lain. Kamu sangat beruntung!

Satria tersinggung. Heri menggelengkan kepalanya, menyuruh Satria menahannya.

RAJA RAHARJA
Tapi... Ini masih banyak yang perlu direvisi. Biar sesuai taste saya. Maklum lah, kamu kan masih amatir ya?

Satria menggeram, mengepalkan tangannya. Heri menurunkan tangannya, memberikan kode Satria untuk menurunkan emosinya. 

RAJA RAHARJA
Sama ya judulnya kurang menjual ini. Kelak? Apa itu? Harus diganti ini, yang lebih membumi. Gimana kalau... Garuda Gulana?

Satria berdiri dari kursinya. Marah.

SATRIA
Maaf, Naskah saya bukan naskah abal-abal seperti naskah Anda.

Raja Raharja dan Produser terkejut. Heri menepuk jidatnya.

RAJA RAHARJA
Maksud kamu?
SATRIA
Saya gak mau kalau naskah saya dibikin jadi kayak naskah Anda, yang kualitas sinetron dan cuma berlindung dibalik slogan dukung karya anak bangsa!

Raja Raharja terbelalak.

RAJA RAHARJA
(menunjuk Satria)
Hati-hati kamu kalau bicara!

Heri terpaksa bangkit untuk menengahi. Dia berdiri di antara Satria dan Raja Raharja.

HERI
Maaf, Mas Raja, dia gak maksud gitu.
(ke Satria)
Iya, kan?

Heri menatap tajam ke Satria. Satria mulai tenang dan kembali duduk.

Raja Raharja tersenyum, dia menatap rendah ke Satria.

RAJA RAHARJA
Anak muda kayak kamu bisanya cuma ngritik. Apalagi jaman sekarang udah enak, kamu gak ngerasain susahnya masuk ke industri seperti yang saya rasakan.

Satria kembali terpancing.

SATRIA
Bukannya Anda masuk karena Bapak Anda udah kerja di industri?

Raja Raharja tersentak.

RAJA RAHARJA
Kamu nuduh saya nepotisme?! Saya masuk ke industri ini karena bakat saya! Keahlian saya! Lihat karya saya, sudah banyak, dan box office semua. Kamu baru bisa nulis segini aja belagu.
(marah)
Nih bawa pulang naskah sampah kamu! Cari sana PH yang mau.

Raja Raharja melempar naskah ke pintu. Dia menggeram menatap marah ke Satria. Lalu menengok ke Produser.

RAJA RAHARJA
Ini kalian nemu orang gak ada etika gini dari mana sih? Kasih tau PH lain, biar gak ada yang mau nerima dia.

Produser tampak menatap marah ke Heri. Heri memohon maaf.

HERI
Maaf, Mas. Nanti saya kabarin semuanya.

Heri mendekati Satria dan menatapnya penuh amarah.

HERI
(berbisik)
Saya udah susah-susah bukain jalan buat kamu, tapi kamu malah ngehancurin jalan saya! Sekarang silakan kamu cari jalan sendiri.

Heri meninggalkan Satria yang masih terdiam, kalut.

Satria lalu berjalan, membungkuk hendak mengambil naskahnya di lantai. Di saat itu, kartu nama Adi jatuh dari saku bajunya. Dia menatapnya. Dalam.

RAJA RAHARJA (O.S.)
Ngatain tulisan saya kayak sinetron. Saya yakin kamu nulis sinetron aja gak bisa!

Satria mengambil kartu nama itu beserta naskahnya, lalu bangkit berdiri dengan tegar. Dia berbalik menatap tajam ke Raja Raharja.

SATRIA
Saya akan nulis sinetron yang lebih bagus dari film Anda!

Satria pergi meninggalkan ruangan.

11. EXT. KANTOR PH — CONTINUOS

Satria berjalan di lorong poster sambil menelepon nomor yang ada di kartu nama Adi. Telepon terhubung.

SATRIA
Halo, Mas, saya Satria yang tadi ketemu di rumah sakit. Apa tawarannya masih ada?
ADI (V.O.)
Oh, iya. Tapi saya belum jelasin ke kamu syaratnya. Kita kerja full time, nginep, kamu bisa?

Satria berhenti tepat di samping poster Garuda Gentayangan. Satria menatap tajam ke poster lalu ganti menatap tajam ke kartu nama di tangannya.

Kita semakin dekat melihat tangan Satria menggenggam kartu nama Adi.

12. EXT. HALAMAN RUMAH — MALAM

Tangan Satria menggenggam kartu nama Adi. Lalu ia menurunkan tangannya hingga tampak sebuah rumah besar di hadapannya.

Satria menenteng tas jinjing besar, dan mengenakan tas ransel, serta tas selempang berdiri di depan gerbang, gelap mencekam. Awan mendung. Suara petir menggelegar.

Satria menatap ke gedung itu, menarik napas, lalu menekan bel.

Tak lama kemudian, gerbang terbuka otomatis. Angin mencekam berhembus dari dalam halaman rumah ke wajah Satria.

Satria lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam gerbang. Satu langkah kakinya menginjak halaman rumah, terdengar suara petir menggelegar.

Satria menelan ludah.

SATRIA
Duh, perasaan gua gak enak. Tapi, bodo amat lah...

Satria melanjutkan langkahnya masuk ke halaman dan berjalan mendekati pintu. Satria dapat merasakan dadanya berdegup kencang.

Satria tiba di depan pintu. Satria berdiri tegang. Dia mengetuk pintu.

Terdengar suara kunci dibuka dari dalam. Terdengar beberapa suara kunci lainnya. Satria mengernyitkan alisnya bingung. Setelah terdengar beberapa suara kunci terbuka, baru kemudian pintu terbuka. Tampak Adi berdiri tersenyum.

ADI
Selamat datang.

Terdengar suara petir menyambar. Adi melihat ke langit.

ADI
Petirnya gede bener ya?
(tersenyum ke Satria)
Ayo masuk. Gak usah malu-malu. Anggap aja rumah sendiri.

Satria mengangguk, lalu masuk ke dalam, Adi lalu menutup pintu.

13. INT. RUMAH. RUANG UTAMA — CONTINUOUS.

Begitu menutup pintu, Adi langsung kembali mengunci dan mengaitkan beberapa jenis slot kunci, sampai ada rantai dan gembok segala. Satria terkejut melihat itu.

SATRIA
Kuncinya banyak amat, Mas?

Adi tersentak, panik.

ADI
(gelagapan)
Eh itu... Soalnya... Ah, di sini rawan maling. Jadi pengamanannya harus ekstra.

Adi tersenyum. Satria mengangguk canggung.

Satria kemudian melihat sekitarnya. Tampak ruangan yang luas memanjang seperti disekat oleh sofa. Di tengah ruangan tampak beralaskan karpet, ada TV dan sebuah meja panjang. Ada tiga orang duduk lesehan sambil mengetik di laptop di atas meja. Mereka adalah...

JAKA (29), pria kurus, lesu, kacamata, kupluk, sarung melingkar di badannya, tampak seperti orang mau ronda.

WIRA (35), pria buncit, brewok, telanjang dada dengan bekas kerokan. Dia meminum minuman energi dengan liar sampai tumpah-tumpah, lalu meremas kalengnya.

RANI (31), wanita berambut hitam panjang, masker wajah berwarna putih, kantung matanya hitam, dan memakai hoodie putih kebesaran, tampak seperti hantu.

Satria tercengang menatap mereka.

ADI
Semuanya, kenalin ini drafter baru kita, Satria.

Para Drafter menengok ke Satria, menunjukkan wajah iba. Satria kaget. Namun, Para Drafter terenyum dan melambaikan tangan. Satria balas tersenyum dan melambaikan tangan dengan canggung. Para Drafter lalu kembali mengetik.

Adi menunjuk ke para Drafter.

ADI
Itu yang kacamata, Jaka, yang brewokan Wira, sama yang perempuan, Rani. Nanti kamu bisa kenalan lebih jauh sama mereka. 

Satria mengangguk. HP Adi berdering.

ADI
(ke Satria)
Sebentar ya.

Adi mengangkat telepon.

ADI
Ya, ya, dikit lagi, Pak. Di lapangan udah take scene berapa? Delapan belas? Oke sebentar...

Adi berjalan menuju kursi dan meja yang terpisah. Satria celingukan bingung.

ADI
Ini saya lagi cek untuk scene 21-30. Kalau semua udah oke, langsung saya kirim...

Adi melihat layar laptopnya sambil tangannya men-scroll tombol mouse.

ADI
(teriak)
Scene 25! Siapa yang ngerjain?! Mana ini? Scene 25 belum?!
RANI
Belum ada, Mas, terakhir aku masih scene 24.

Adi berbalik menatap Satria.

ADI
Satria! Kamu bawa laptop kan?
SATRIA
Bawa, Mas. Kenapa?
ADI
Bisa tolong kerjain scene 25?

Satria terdiam, masih memproses.

ADI
Sini! Biar saya jelasin.

Satria tersadar dan buru-buru mendekati meja Adi. Dia menaruh semua barang bawaannya, lalu membuka tas ranselnya dan mengeluarkan laptopnya.

Adi menunjukkan layar laptopnya ke Satria.

ADI
Ini scene umum, gak perlu tau jelas karakter dan plot sebelumnya, harusnya kamu bisa. Ini saya kasih link dokumen bersamanya ya. Langsung kamu kerjain di situ aja.
SATRIA
O-oke, Mas.

Satria menyalakan laptopnya dan membaca.

ADI
(ke yang lain)
Yang lain lanjut kerjain scene selanjutnya ya.
WIRA
Oke, Gua scene 27.
JAKA
Saya scene 28.
RANI
Scene 24 udah ya, aku lanjut scene 29 ya.

Satria mengetik, masih banyak berpikir.

Tak lama kemudian...

WIRA
Scene 27 done! Gua lanjut 30 ya.

Satria kaget.

JAKA
Scene 28 juga udah.

Satria gelisah.

RANI
Scene 29 finish!

Satria panik.

ADI
Oke, makasih semua, berarti tinggal... scene 25.

Adi menengok ke Satria yang panik mengetik. Tangannya gemetaran. Adi menepuk bahu Satria.

ADI
Santai aja, mereka udah biasa kejar tayang gini. Saya ngerti kamu butuh adaptasi.

Satria mengangguk, tapi masih panik.

RANI
Mas, plot buat malam ini udah semua kan? Aku izin tidur ya.
ADI
Oh iya, Ran. Silakan.

Rani naik ke sofa, tiduran. Dia menutupi kepalanya dengan tudung, menarik talinya hingga hoodie mengerut dan menutupi hampir seluruh wajahnya. Tak lama terdengar suara ngorok.

JAKA
Saya juga, Mas.

Jaka rebahan di karpet lantai, lalu menarik sarung hingga menutupi badannya.

Satria semakin panik, dia mengetik semakin cepat.

Wira tampak duduk melotot.

WIRA
Aduh kebanyakan doping. Kagak bisa merem.

Wira lalu berjalan mendekat ke belakang Satria. Membuat Satria semakin panik karena merasa diawasi.

SATRIA
Done!
ADI
Sip, makasih. Silakan istirahat. Sisanya biar saya yang edit.

Satria menghela napas lega. Napasnya masih tersengal-sengal. Adi menenok ke Satria sejenak.

ADI
Oh iya, Satria, berarti kamu udah resmi bergabung di tim ini.

Wira menepuk bahu Satria dan tersenyum menyeringai. 

WIRA
Selamat datang di neraka.

Terdengar suara petir menyambar di luar.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar