Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
'Kring’
Suara bel berbunyi, menandakan jam mata pelajaran sudah selesai, dan dilanjutkan dengan istirahat yang berdurasi kurang-lebih setengah jam lamanya. Di saat jam istirahat, kantin adalah tempat favorit bagi para siswa, mereka berbondong-bondong menghampiri tempat tersebut untuk mengisi perut yang yang sudah berbunyi ingin diisi. Suasana kantin begitu ramai, sehingga banyak anak yang berdesakan untuk membeli makanan yang mereka incar sejak jam pelajaran berlangsung—dengan membayangkan makanan apa yang sedang mereka inginkan untuk hari ini. suasana kantin tidak pernah sepi setiap harinya, meskipun itu pada saat jam pelajaran berlangsung, pasti ada saja siswa yang nakal—bolos jam pelajaran. Namun hal itu tidak berlaku untuk Edelweis. Edelweis jarang sekali—mungkin bisa dihitung dengan jari—menginjakkan kakinya ke tempat tersebut. Edelweis lebih memilih membawa bekal dari rumah, karena menurutnya itu lebih sehat, dan tentunya dapat meminimalisir pengeluarannya juga. Meskipun Edelweis terlahir dari keluarga yang mampu, namun dia tidak lupa untuk menabung dan berhemat dalam pengeluarannya. Edelweis sering sekali menyisihkan uang jajannya untuk keperluannya pribadi, karena tidak enak juga jika harus terus meminta kepada orang tua, pikir Edelweis.
Edelweis lebih memilih menyantap makan yang dia bekal dari rumah di kelas yang sekarang sudah tidak ada penghuninya—para murid sedang keluar. Hanya tersisa dirinya dengan kotak makan yang berada dihadapan. Satu roti telah berhasil masuk kedalam perut, menurut Edelweis itu sudah lebih dari cukup, mengingat ukuran roti yag dia bawa lumayan besar, diatambah lagi isian yang cukup banyak seperti, sayuran, telur dan mayones.
Sebuah buku berukuran 11 x 16 dironggoh oleh Edelweis dari tas abu-abu yang dia bawa. Buku berwarna coklat dan bersampul tebal dia dekap dalam dada. Buku kesayang dengan banyak cerita di dalamnya. Terdapat ide pikiran yang selalu muncul di dalam diri, dan dijadikan sebuah karya yang dapat menyentuh hati.
Kata demi kata dibacanya, menelisik apakah ada adegan yang kurang pas untuk dipublikasikan di media. Terdapat satu adegan yang membuat Edelweis bimbang untuk memasukkannya kedalam cerita yang dia tulis, sebuah adegan yang selalu membuat hatinya berkata, apakah dia bisa merasaknnya. Adegan ciuman itulah yang tertera. Untuk menulis sebuah cerita wajib bagi Edelweis me-riset terlebih dahulu, baik itu dengan cara melihat ataupun mencobanya. Namun untuk adegan ciuman bagaimana? Sering Edelweis melihat adegan ciuman di drama-drama Korea yang sering dia tonton, namun hal itu tidak membuat Edelweis dapat merasakan sensasi dari ciuman itu sendiri, jadi bagaimana dia memasukan adegan tersebut kedalam cerita. Untuk mencobanya juga bagaimana bisa, toh pasanganpun tidak punya, dan sampai detik ini Edelweis belum pernah yang namanya pacaran.
Edelweis merupakan penulis di salah satu platfrom online. Sudah beberapa cerita yang dia publikasikan di media tersebut, dan lumayan banyak pembaca yang singgah di ceritanya, bahkan ada yang memberika like, dan komen yang positif untuk ceritanya. Hal tersebut memicu Edelweis untuk menulis lebih baik lagi, meskipun sampai detik ini belum ada satu pun penerbit yang melirik salah satu dari ceritanya. Pernah Edelweis mengajukkan ceritanya ke salah satu penerbit mayor yang cukup terkenal, namun berhakhir dengan kata penolakan, dan hal itu hampir membuat Edelweis putus asa untuk menulis, dan berfikir untuk berhenti menulis. Namun hal itu dia urungkan, karena Edelweis tidak mau menyerah begitu saja. Ketika perasaan itu datang, pasti Edelweis selalu teringat dengan mimpinya untuk membuktikan kepada dunia jika orang sepertinya bisa sukses. Ketika satu jalan tertutup, masih ada ribuan jalan yang terbuka menunggu dirinya, pikir Edelweis.
Rianti, Rehan, dan Damian tidak tahu jika Edelweis suka menulis. Edelweis tidak pernah menceritakan kepada mereka, karena terlalu malu untuk mengugkapakan, mengingat belum ada satupun cerita yang berhasil terbit. Edelweis akan menceritakan semuanya jika suatu hari nanti ceritanya berhasil terbit.
Sebuah karya yang dapat dihargai oleh khalayak ramai merupakan suatu kebanggaan tersendiri untuk Edelweis, meski hanya di platfrom online. Mimpi terbesar Edelweis adalah menerbitkan karya di penerbit mayor. Sebuah mimpi yang dia taruh sejak dia masih duduk di bangku kelas dua SMP.
Ketika sedang asyik dengan kerangka cerita yang dia susun rapi dari mulai prolog hingga epilog. Sebuah tangan kukuh dengan beraninya mengambil buku tersebut tanpa kata izin terlebih dahulu. Jangankan meminta izin berbasa-basi sjaa tidak. Edelweis pun baru menyadari keberadaannya kali ini.
Edelweis mencoba membalikakan badannya ke arah tangan kukuh tersebut, sebenarnya tanpa memembalikkan badan pun Edelweis tahu siapa yang berbuat usil kepadanya, namun Edelweis hanya ingin memastikan agar tidak salah orang. Namun memang dugaan awalnya sudah tepat, sang pemilik tangan kukuh yang berani mengambil bukunya adalah Vano, laki-laki yang beberapa hari ini resmi menjadi sahabatnya.
Edelweis dengan cepat mengambil kembali buku yang tengah di genggam oleh Vano. Dan mendekap buku tersebut dengan erat, takut Vano mengambil kembali buku tersebut. Edelweis tahu sikap Vano seperti apa, takut Vano membaca semua isi dari buku tersebut dan berakhir dengan teman-teman kelas yang sudah kembali ke kelas—dari kanti—mengetahui rahasia yang sudah lama tersimpan rapat. Hanya Vano yang mengetahui jika Edelweis tertarik dengan dunia kepenulisan.
Melihat tingkah Edelweis yang sangat berlebihan, membuat Vano melirikkan kembali tatapannya ke arah buku yang sedang Edelweis peluk erat. “Buku apaan, sih. Segitunya banget jaga buku, nya?” Tanya Vano penasaran.
“Rahasia.” Tegas Edelweis.
Karena tidak mau terlalu ikut campur perihal buku tersebut, yang diyakini tidak penting juga bagi Vano. Vano mulai memilih topik pembicaraan baru untuk diperbincangkan. Sebuah ingatan terlintas dipikiran Vano, perihal tugas matematika yang belum sempat mereka selesaikan. Karena pada saat itu mereka belum tuntas mengerjakannya. Pada hari kemarin, Edelweis dan Vano berakhir beradu mulut tentang siapa yang harus mengerjakan tugas, sehingga tidak ada satupun soal yang dikerjakan selain soal yang telah dikerjakan Vano sebelumnya. Vano yang keukeuh agar Edelweis yang menegrjakan sisa soal dari soal yang telah dia jawab, dan Edelweis keukeuh jika dia tidak mau menerjakan soal sendirian, dan menyalahkan Vano, mengapa dia mengerjakan soal duluan.
“Lo bisanya kapan, kira-kira? Kalo gue sih kapa aja bisa.” Jawab Edelweis dengan santainya.
“Palingan malem, kalo gue. Soalnya sepulang sekolah gue ada urusan yang gak bisa ditinggalkan.” Jawab Vano menanggapi.
“Malem, ya? Gue tanyain dulu ke orang tua gue, ya. Kalo malem takut gak diizinin. Emang habis seklolah mau kemana, lo?” Tanya Edelweis penasaran.
“Biasa urusan laki.” Jawab Vano sok misterius.
Padahal yang dilakukan Vano sepulang sekolah bukanlah seperti yang Vano katakan. Jika Vano mengatakan hal seperti itu, pasti edelweis akan berfikir jika Vano akan nongkrong bersama teman-temannya di cafe atau bermain sepak bola yang sering dilakukan oleh para anak laki-laki. Padahal kenyataannya, sehabis sekolah Vano akan menegerjakan pekerjaan rumah, seperti menyapu, mengepel, mencuci piring, dan mencuci baju jika belum dikerjakan oleh Diana. Terkadang jika mencuci baju Diana akan mengerjakanya sebelum berangkat kerja, karena jika Vano yang mengerjakannya sepulang sekolah, percuma saja, toh matahari sudah redup dan baju pasti tidak akan kering dan berakhir bau apek karena di malamkan.
Vano yang kini sudah duduk di kursinya kembali pensaran dengan buku yang sedari tadi didekap oleh Edelweis. Untuk menghilangkan semua rasa penasarnnya tentang isi dari buku tersebut, dengan cepat ketika Edelweis sedikir lengah, Vano mengambilnya. Dan buku tersebut kini sudah berhasil Vano dapatkan.
Edelweis cukup terkejut, dan ketika menyadari bukunya sudah tidak ada dalam dekapan, Edelweis mencoba mengambilnya dari tangan Vano. Namun dengan cepat Vano berlari agar tidak tertangkap oleh Edelweis. Sebuah taman yang berada di belakang sekolah yang menjadi tempat tuju Vano berlari, entah mengapa harus kesana. Taman tersebut jarang sekali disinggahi para siswa, karena tempatnya yang agak kumuh membuat mereka kurang nyaman berada di sana.
Lembar demi lembar dibaca oleh Vano, karena melihat Edelweis yang belum sampai mengejarkannya, mengingat langkah Vano dua kali lipat dari langkah Edelweis, sehingga membuat Edelweis tertinggal jauh. Vano terfokus terhadap kerangka cerita yang terdapat coretan di sana. Adegan berciuman?
Vano cukup geli membayangkan Edwlweis si cewek kaku berciuman. Bibirnya tersungging memikirkannya. Tidak lama Edelwesi datang dengan napas yang sudah tidak tertur. Peluhnya mengalir dengan bebasna di dahi yang ditutupi oleh sebagian rambut Edelweis yang tergerai. Sangat hobi Edelweis menggeraikan rambutnya. Untuk menenagkan dirinya, Edelweis beralih duduk di kursi panjang sebelah Vano. Dan menundukkan kepalanya mengatur derupan napas.
“Kenapa, sih, jauh banget larinya? Capek tau.” Kesal Edelweis yang sudah berhasil menstabilkan kembali hembusan napasnya.
“Siapa suruh kau megikutiku?” Tanya Vano kemabali.
“Lo ngambil buku gue. Jadi gue ikutin lo. Balikin sini!” Pinta Edelweis sambil menyodorkan tangan kananya menghadap Vano yang berada disampingnya.
“Sepenting itu, ya?” Tanya Vano yang tidak dijawab oleh Edelweis. “Oh, ya. Kenapa adegan ciuman di sini di hapus?” Tanya Vano sok polos, seakan dirinya tengah membahas tentang suatu hal yang biasa. Namun tidak biasa untuk Edelweis. Bagaimana bisa Vano menanyakan hal tersebut dengan lawan jenis. Apakah tidak malu, pikir Edelweis.
“Lo sudah membacanya?” Vano mengangguk sambil membolak-balikkan bulu Edelweis. “Karena gue gak pernah merasakannya. Jadi gue gak tahu rasanya bagaimana.” Jawab Edelwesi yang mendapatkan tawaaan dari Vano. Edelweis terlihat kesal melihat Vano seperti itu. “Emang lo udah rasaain?”.
Terlihat wajah gelagapan dari Vano ketika Edelweis menanyakan hal tersebut dengan gamblang. “Ya jelaslah... belum.” Tawa Edelweis tidak kalah kencang dari tawa Vano tadi. Mungkin karena tempatya sepi, jadi suara kecilpun akan terasa besar sekali, begitupun dengan tawa Edelweis.
Manis sekali, pikir Vano. Tawa Edelweis yang dikeluarkan sangat renyah terdengar di gendang pendengaran Vano. Baru kali ini dia melihat Edelweis tertawa terbahak seperti itu, kala itu hanya senyuman yang terlukis. Ternyata Edelweis tidak sekakau dengan apa yang dibayangkannya. Benar, Edelweis juga gadis biasa yang mempunyai humornya. Mengapa dia tidak bertingkah seperti itu saja kepada semua orang? Pikir Vano. Mungkin akan lebih banyak orang yang mau berteman dengannya, seperti Vano yang kini sudah terjatuh.
Vano tidak menampik jika kini hatinya sudah terjatuh kepada Edelweis, meskipun hanya baru beberapa hari mengenal Edelweis secara dekat, namun seakan hatinya sudah tersihir oleh sikap manis Edelweis. Marah pun terlihat manis di mata Vano.
Sebelumnya Vano belum pernah tertarik sedikitpun kepada lawan jenis. Bisa dibilang Edelweis adalah wanita kedua setelah Diana yang bisa mengambil hatinya. Hati yang selama ini dia tutup.
Sejak pertama masuk kelas XI sebenarnya Vano sudah tertarik dengan Edelweis karena sikapnya yang tertutup. Namun kala itu, tidak mungkin jika Vano bersikap sok dekat dengan Edelweis, yang ada Edelweis merasa risih. Vano memilih untuk mengganggu Edelweis agar bisa dekat denganya, meskipun membuat Edelweis memebencinya. Entah sudah takdir tuhan atau kebetulan, Vano dan Edelweis disatukan di sebuah kelompok yang sebelumnya Vano tidak pernah satu kelompok dengan Edelweis, kini kelompoknya berdua pula. Itu sebuah takdir baik bagi Vano.
“Kau mau mencobanya denganku?” Tanya Vano dengan alis yang dia angkat sebelah.
“Mencoba apa?” Vano menyatukan kedua tangannya yang di rapatkan, mengisaratkan orang yang berciuman. Mata Edelweis melotot ketika mengerti maksud dari Vano. “Lo gila, ya... sini balikin buku gue.” Teriak Edelweis. Namun Vano tidak mau untuk emmeberikannya sebelum Edelweis mengatakan ‘Iya’.
Tubuh Edelweis kini sudah berada tepat di atas tubuh Vano yang terpaku, karena kejar-kejaran untuk mendapatkan buku itu. Mereka berdua terpaku menyadari posisi mereka yang sangat intim ini. Dengan cepat Edelweis berdiri dan menunduk menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah.
“Edelweis, sedang apa di sini?” Tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba datang dari arah belakangnya. Edelweis membalikan tubuhnya dan cukup terkejut mendapati sosok itu. Jantungnya kembali berdebar.
“A ... Aku ini mau mengambil buku yang dibawa Vano.” Jawab Edelweis gelagapan. Dan kini Edelweis mengambil bukunya dari Vano yang masih belum mengumpulkan kesadarnnya setelah kejadian tadi. “Kakak sendiri sedang apa?” Tanya Edelwesi.
“Ini aku baru saja disuruh kepsek untuk mengambil benner yang disimpan di gudang belakan sekolah.” Edelweis hanya mengangguk paham. “Kalo gitu kita ke kelas, yu.” Ajak Azel. Edelweis hanya mengangguk menyetujui, dan kini Edelweis dan Azel meninggalakan Vano yang sedari tadi memerhatikan keduanya dengan perasaan penasarannya.
Vano teringat hari itu ketika dia marah kepada Edelweis yang berangkat bareng dengan Azel. Entah Vao tidak suka jika Edelweis dekat dengan Azel. Sebenarnya ada hubungan apa antara Edelweis dengan Azel? Ada yang spesial, kah? Tanya Vano pada dirinya sendiri.