Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Banyak sekali kendaraan beroda empat melintas di jalanan, mengingat hari ini hari adalah hari libur, jadi banyak sekali keluarga yang pergi untuk bertamasya dengan keluarga tercinta. Mereka memanfaatkan hari libur sebagai ajang menjalin keakraban bersama anggota keluarga, setelah melewati lima hari penuh disibukkan dengan kewajiban masing-masing. Ayah bekerja mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istrinya, anak-anak disibukkan dengan kewajibannya sebagai seorang pelajar di sekolah, sedangkan Ibu bertugas mengatur semua kegiatan anggota keluarganya.
Vano yang menggunakan sepeda motor tidak sulit baginya untuk menyelempit diantara mobil-mobil yang terlihat mewah. Tatapannya begitu serius membelah jalanan, takut-takut menabrak kendaraan lain. Sebelah tangannya pun tidak terlepas dari rem untuk bersiap jika mengharuskannya untuk berhenti mendadak.
Setelah beberapa menit menghabiskan waktunya untuk bergerak ditengah kemacetan, kini Vano sudah memarkirkan sepeda motornya di depan rumah mewah yang disinggahinya sore tadi. Vano memencet bel yang berada di sebelah kanan atas gerbang rumah tersebut, memberitahu yang punya rumah jika dirinya sudah datang.
Tidak lama sang tuan rumah datang dengan wajah datarnya. Seperti biasa dia memang seperti itu. Siapa lagi jika bukan Edelweis. hari ini Edelweis mengenkan kaos putih yang dimasukkan kedalam hotpants berwarna hitam. Rambutnya tergerai menyembunyikan lehernya yang mulus tanpa ada sedikit nodapun di sana. Tanpa riasan make-up membuatnya terlihat lebih cantik, batin Vano.
Tanpa basa-basi Edelweis mempersilahkan Vano untuk meemasuki istananya. Desain dalam rumah Edelweis tidak kalah menarik dengan desain luarnya. Banyak sekali foto-foto Edelweis yang terpajang di dinding ruangan utama rumah tersebut. Dari mulai potret Edelweis sejak bayi hingga Edelweis sudah beranjak dewasa, terdapat tulisan nama Edelweis disetiap fotonya. Vano cukup terpukau dengan kecantikan Edelweis. Ternyata sejak kecil dia sudah secantik ini, batin Vano sambil terus memandangi foto-foto Edelweis.
Edelweis sudah datang dengan minuman yang berada dalam genggaman. Entah sejak kapan Edelweis pergi mengambil minum, pikir Vano, karena sejak masuk ke rumah Edelweis tidak sedetikpun Vano melepaskan pandangnya dari potret Edelweis.
“Cantik, ya, gue?” Tanya Edelweis sambil menaruh minuman yang telah dia buat di atas meja di hadapan Vano. Edelweis memposisiskan duduknya di kursi di hadapan Vano.
“Iya lo cantik banget, manis lagi, tapi itu pas lo lagi kecil. Sekarang? Entahlah.” Jawab Vano dengan wajah songongnya. Vano akui sekarangpun Edelweis masih terlihat cantik dan manis, apalagi jika tersenyum. Namun sayang Vano belum lagi melihat senyuman seperti waktu itu.
“Ih ... berarti menurut lo, sekarang gue jelek?” Kesal Edelweis. Pipi Edelweis sudah memerah, bukan karena malu ataupun tersanjung, melainkan marah kepada Vano yang tidak secara langsung mengatainya jelek. Tangannyapun sudah melipat di depan dada.
“Gue gak bilang gitu, loh ... itu lo sendiri yang ngaku.” Ucap Vano sambil terkekeh melihat wajah Edelweis yang sudah memerah. “Oh, ya ... bokap-nyokap lo gak ada emang? Kok sepi banget.” Tanya Vano mengalihkan pembicaraan mereka, bukan untuk hanya sekedar basa-basi namun faktanya tidak ada satu orangpun di rumah Edelweis—selain Edelweis.
“Orang tua gue lagi ke rumah Nenek, kalau Abang gue lagi main sama temennya.” Jawab Edelweis. Begitulah nasib Edelweis, sering ditiggalakan, karena jika Edelweis di ajak ikut kerumah Neneknya pun pasti dia tidak mau. Vano hanya menganggukkan kepalanya pelan ketika mendengar penjelasan dari Edelweis. Setelahnya dia menyeruput minuman yang telah Edelweis sajikan.
Tidak ada pembicaraan diantara mereka, hanya hembusan napas yang beradu di ruang yang hanya di isi oleh mereka. “Yaudah kita langsung ngerjain tugasnya aja, kali, ya?” Usul Vano memecahkan keheningan, dan disetujui oleh Edelwes. Edelweis beranjak dari kursi dan berjalan ke lantai atas untuk mengambil buku yang berada di kamarnya.
Sedikit canggung bagi Edelweis jika harus berduan seperti ini di ruangan dengan seorang laki-laki yang bukan keluarganya sendiri. Sebelumnya Edelweis tidak pernah dekat dengan laki-laki, jangankan dekat mengobrol saja seadanya.
Melihat kegusaran di wajah Edelweis, tidak segan untuk Vano menanyakan keadaan Edelweis. Namun Edelweis hanya menjawab dengan gelengan. Untuk menyembunyikan kegugupan yang dirasa, Edelweis memilih untuk berpamitan kepada Vano untuk ke kamar terlebih dahulu, dengan alasan ingin mengambil buku. Mendengar itu, Vano hanya mengangguk menyetujuinya. Mata Vano memerhatikan setiap langkah kecil kaki Edelweis, memastikan jika Edelweis benar-benar sudah naik ke lantai dua.
Hembusan napas Vano begitu keras terdengar, sekan dirinya tengah lolos dari hujaman para penjahat. Tangannya pun tidak henti-hentinya mengelus dada yang berbalut kaos berwarna hitam. Kenapa detak jantung gue berpacu kencang seperti ini? batin vano. Apa gue suka Edelweis? batin Vano lagi. Namun hal itu disangkal oleh dirinya. Terlalu cepat bagi dirinya untuk menyukai Edelweis.
Agar tidak berlama-lama memikirkan Edelweis, Vano lebih memilih mengerjakan sebagian tugas yang diberikan. Sudah hampir setengah dari soal yang diberikan terpecahkan oleh Vano, namun sedari tadi Edelweis belum kunjung datang juga. merasa penasaran dengan pa yang tengah gadis itu lakuan di kamar, Vano pun dengan beraninya melangkahkan kakinya ke lantai dua rumah Edelweis. Terlihat salah satu pintu bertuliskan nama Edelweis mengantung. Vano meyakini jika kamar itu kamar Edelweis.
Vano mengetuk daun pintu tersebut, namun tidak ada yang menyahuti. Ditatapnya daun pintu yang tidak kunjung membuka, tanpa memikirkan tata krama dalam bertamu, Vano dengan lancangnya membuka pintu kamar Edelweis tanpa seizin dari sang pemilik. Sungguh terkejut Vano ketika membuka kamar Edelweis, bagaimana tidak Vano melihat Edelweis yang tengah tertidur di kasurnya dengan posisi yang sungguh nayamannya. Bagaiman abisa Edelweis enak tertidur, sedangkan sedari tadi Vano pusing dengan soal matematika.
Vano membunyikan ringthone ponselnya untuk membangunkan Edelweis, dan usaha vano berhasil, kini Edelweis sudah terbangun dan mengucek mata yang sedari terpejam. Matanya membelak saat sadar Vano kini tengah berada di kamarnya. Edelweis langsung menutupi kedua dadanya, takut-takut Vano berbuat tidak senonoh kepadanya. “Lo mau ngapain kesini?” Tanya Edelweis yang kini sudah memegangi guling bersiap untuk memukuli Vano.
“Heh ... harusnya gue yang tanya, ngapain lo enak-enakan tidur, dari tadi gue nungguin lo ya, buat ngerjain tugas.” Kesal Vano karena Edelweis malah menuduhya yang tidak-tidak.
“Ya, maaf. tadi gue ketiduran.” Ucap Edelweis menyesal karena telah menuduh Vano yang tidak-tidak, padahal semua ini salah dirinya sendiri yang tidak kuat jika sudah bersentuhan dengan kasur, pasti bawaannya ingin tidur.
“Oke. Kali ini gue maafin, tapi awas aja kalo kapan-kapan gini lagi, ya.” Ucap Vano memeringati. Bukan Vano tidak suka jika Edelweis ketiduran, tapi dia tidak suka jika Edelweis menuduhnya yang tidak-tidak. “Oh ya, ngomong-ngomong buku lo banyak banget, Del." Tanya Vano sambil memerhatikan deretan buku yang bertengker di rak buku yang berada di kamar Edelweis. Puluhan buku berjejer berdasarkan tinggi buku disusun oleh Edelweis, dan terlihat tiap kotak terdapat tulisan diatasnya sesuai gendre masing-masing buku. Terdapat buku bergendre romance, fantasi, fiksi, dan lain sebagainya. “Lo kutu buku, ya?” Tanya Vano mencoba penasaran.
Edelweis beranjak dari kasurnya dan berjalan lebih dekat dengan rak buku yang tingginya lebih tinggi dari tubuhnya. “Iya, gue emang koleksi buku, terutama novel.” Jawab Edelweis sambil mengambil salah satu buku yang berada di kotak bergendre romance.
“Kenapa?” Tanya Vano penasaran.
“Karena dengan ini gue ngerasa punya temen.” Jawab edelweis.
“Teman? Kenapa lo gak nyari teman yang sesungguhnya aja, teman di kelas misalnya. Dan untuk apa membaca novel sebanyak ini, bukankah membaca buku pelajaran lebih bermanfaat?” Tanya Vano yang kini sudah sangat ingin tahu tentang gadis itu.
“Gak semudah itu, Van. Kadang gue juga pengen deket sama temen kelas, tapi gue terlalu kaku untuk mendekati mereka duluan. Gue takut mereka gak nyaman sama gue. Toh gue juga belum nemuin temen yang satu frekuensi sama gue, gue gak mau jadi orang lain demi mendapatkan teman banyak. Gue mau, gue berteman dengan orang yang mau memahami sikap gue, dan menerima semua kekurangan gue. Kadang mereka tidak memahami sikap gue, dan berfikir kalo gue orang yang anti sosial, lah. Dan gue gak pernah mau jika diajak jalan. Dan mungkin itu penyebab mereka gak mau temwnan sama gue.” Jelas Edelweis sambil tertunduk mendekap buku yang tadi dia ambil.
“Kenapa lo gak mau diajak jalan?” Tanya Vano yang kini sudah berdiri di samping Edelweis.
“seperti yang gue katakan. Gue ingin jadi diri sendiri, gue gak mau mengikuti apa yang mereka mau agar gue bisa diakui sama mereka. Jujur gue bingung, kenapa mereka hanya memandang pertemanan dari hal tersebut. Bukankah pertemanan adalah saling memahami satu sama lain. Gue orangnya gak suka jika harus nongkrong-nongkrong gitu, lebih baik gue di rumah dan baca buku.” Jawab Edelweis seadanya.
“Emang apa manfaat dari bacaan lo ini?” Tanya Vano sambil menunjuk rak yang berisi puluhan buku tersebut.
“Dari membaca gue mendapat ilmu baru. Bukan hanya sekedar novel, karena di setiap novel pasti ada makna yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Dan dengan membaca, gue tertarik dengan dunia kepenulisan, sehingga gue menemukan media untuk menumpahkan semua opini yang ada di kepala gue yang sering kali tidak pernah di dengar oleh orang lain.” Jawab Edelweis yang kini sudah beralih duduk di sopa yang disediakannya untuk tempat membaca buku.
“Lo suka nulis?” Tanya Vano memastikan dari perkataan Edelweis.
“Ya, betul. Dengan menulis gue bisa ber opini dan menuangkan semua ide di dalam kepala untuk dijadikan sebuah karya. Gue ingin menunjukkan kepada mereka yang sering memandang rendah gue, kalo gue juga bisa sukses.” Jelas Edelweis sambil mengusap bulir air mata yang tiba-tiba terjatuh dari pelupuk matanya. Ketika mengingat bagaimana orang-orang memandangnya rendah, dan tidak pernah menganggap dia ada.
Vano terenyuh ketika mendengar suara hati dari Edelweis yang paling dalam. Edelweis wanita yang tertutup dan tidak banyak orang yang menyadari keberadaannya. Vano kini suda mengusap kepala Edelweis dengan lembut. Vano tidak menyangka jika beban yang diderita Edelweis cukup berat.
“Apa orang tua lo tau tentang ini?” Tanya Vano dengan penuh kehati-hatian, takut Edelweis merasa tersinggung.
“Nggak. Mereka semua gak tahu, karena gue gak pernah cerita sama mereka. Gue akan belagak ceria dihadapan mereka, seolah tidak ada beban di pikiran.” Jawab Edelweis yang masih berurai air mata menggenangi pipi mulusnya.
“Gue pernah ngerasain apa yang lo rasa, ketika tidak ada seorang temanpun yang mau untuk berbagi cerita, dan untuk bercerita dengan orang tua pun terasa sulit.” Ucap vano memulai kisahnya.
“Kenapa? Setahu gue lo orang yang banyak disukai orang.” Jawab Edelweis yang kini sudah mengelap semua air matanya dan mengalihkan perhatiannya kepada Vano.
“Dulu gue sering banget di bully, karena mereka bilang gue anak haram yang gak punya ayah. Dari mulai SD sampai SMP tidak ada seoranpun yang mau berteman sama gue. Gue gak penah cerita tetang ini sam Ibu, karena gue takut dia sedih dan memikirkan hal ini terlalu dalam. Dan sampai ketika SMA gue meminta ke ibu untuk pindah dari tempat dulu, dan entah kebetuan atau ini semua sudah kehendak tuhan, gue mendapat beasisiwa di sekolah sekarang ini, dan akhirnya gue pindah dari kontrakan gue yang dulu.” Jelas Vano mengeluarkan semua yang ada di kepala.
“Maaf. Ayah lo emang kemana?” Tanya Edelweis mulai tertarik dengan alur dari kehidupan Vano.
Vano terduduk di kursi sebelah Edelweis dan menghembusakan napasnya keras. “Ayah gue pergi saat gue masih di dalam kandungan. Dan saat ini gue lagi cari Ayah gue. Gue harap ada kesempatan untuk gue bertemu dengan Ayah. Dia laki-laki baik.” Jawab Vano sambil tersenyum mengingat cerita Diana tadi malam.
“Kenapa lo seyakin itu? Kan lo belum pernah ketemu sama dia?” Tanya Edelweis.
“Karena gue yakin, Ayah gue orang yang baik, kalo gak percaya liat aja anaknya, baikkan?” Tanya Vano memuji dirinya sendiri, dan membuat Edelweis kesal dibuatnya. Bagaimana tidak sedari tadi dia sudah serius mendengar setiap kata yang dilontarkan Vano, namun diakhir dengan guyonan.
“Udah, ah ... kita kerjain tugas lagi aja yu...” Ajak Edelweis yang kini sudah beranjak dari kursinya menuju pintu kamarnya. Vano hanya tersenyum melihatnya.
“Soalnya tinggal lo yang ngerjain, kan gue udah.” Teriak Vano.
“Gak mau.” Bantah Edelweis.
“Curang , ya.” Teriak Vano dan kini sudah berlari melewati Edelweis sambil menjitak pelan kepala Edelweis.
“Vano...” Kesal Edelweis berteriak mengejar Vano yang sedang berlari sambil tertawa dengan kencangnya.