Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langkah demi langkah dilalui oleh Vano, menuju tempat parkiran yang berada tepat di depan sekolah. Banyak sekali siswa yang berhamburan ke arah gerbang utama sekolah. Mereka berbondong-bondong meninggalkan tempat menimba ilmu, karena jam pelajaran untuk hari ini telah usai dilaksanakan, dan akan dimulai kembali esok pagi. Ada yang menaiki kendaran bermotor, ada yang dijmeput, dan adapun yang memilih berjalan kaki karena rumah mereka yang tidak jauh dari sekolah.
Vano kini sudah menghentikan langkahnya di dekat motor vespa kesayangannya, dan menaikinya tanpa menyalakan mesin kendaraan tersebut terlebih dahulu. Vano memilih untuk berdiam diri terlebih dahulu, menunggu suasana sekolah agak sepi. Vano tidak suka jika harus berdesakan di gerbang sekolah, terlebih dirinya membawa kendaran bermotor yang membuatnya harus berdesakan pula dengan kendaran motor lainnya. Helm bergambarkan motor vespa kecil di samping kirinya sudah bertengker di kepalanya yang sudah sedikit panas karena sorotan matahari menembus kedalam setiap helai rambut.
Di sekolah Vano, diwajibkan menggunakan helm bagi siswa yang membawa kendaraan bermotor, jika tidak maka satpam yang bertugas di depan gerbang akan menyuruh siswa tersebut kembali ke rumah dan mengambil helm. Peraturan tersebut dibuat semata-mata demi keselamatan para siswa. Kecelakaan tidak ada yang tahu, jika terjadi apa-apa sekolah juga yang akan menjadi sorotan oranv tua murid.
Vano menunggu suasana sekolah sedikit sepi untuk melajukan sepeda motornya. Ketika suasana sudah terasa lebih sepi—hanya ada anak organisasi di sekitaran sekolah, Vano menyalakan mesin sepeda motornya dan melajukan ke arah gerbang utama—setelah melewati gerbang yang berada di dalam.
Mata Vano menangkap keberadaan wanita yang menjadi perhatiaannya sekarang, entah rasa semacam apa yang tengah dirasakan. Vano mendekati wanita tersebut yang tengah menunggu jemputan di pinggiran jalan tepat di depan sekolah, dengan tangan yang menenteng totebag yang berisi buku paket yang tidak masuk jika dimasukkan ke dalam tas gendongnya.
Vano dengan jahilnya meniup salah satu telinga wanita tersebut, dan membuat sang empunya bergerak kaget. Mendapati Vano yang menjahilinya, dia pun memelototkan matanya pertanda marah. “Mau gua anterin pulang gak, nih?” Tanya Vano menawari.
Wanita tersebut melipatkan tangannya di depan dada masih dengan parasaan kesalnya. “Ogah ah, pulang sama lo. Mendingan gue naik taxi aja.” Balas wanita tersebut dengan ketus.
“Yakin tidak mau? Setahu gue, disini kalau udah sore gini suka ada culik gitu, loh.” Ucap Vano menaku-nakuti.
“Mana ada, gua gak percaya.” Balas wanita tersebut masih dengan tangannya yang bertengker di depan dada.
“Dasar Edelweis keras kepala. Yaudah kalo gak peraya gue duluan yah. Hati-hati aja, gue masih mau ketemu lo besok.” Ucap Vano sambil mencoba untuk menyalakan mesin motornya dan bersiap akan melajukan.
Namun belum juga Vano me-ngegas motornya, Edelweis sudah mengacir duduk di jok belakang motor Vano dengan wajah yang sudah pias ketakutan. “Gue ikut aja ya sama, lo. Soalnya kayanya taxi-nya gak bakaan lewat deh.” Putus Edelweis dengan suara yang dia buat se-cool mungkin agar Vano tidak menertawainya karena ketakutan. Kasihan juga melihat Edelweis ketakutan seperti itu, tapi jika Vano tidak menakutinya Edelweis pasti berkukuh untuk tetap menunggu taxi.
“Gak ada taxi apa takut, neng?” Ejek Vano sambil mengeluarkan tawanya.
“Mana ada gue takut. Gu ... gue Cuma gak mau pulang terlambat terus dicariin sama orang tua.” Alibi Edelweis. “Lo mau nganterin gue gak, nih?” Tanya Edelweis agar Vano tidak semakin banyak bertanya dan segera mengantarnya pulang. Badannnya sudah sangat lelah, nyaman sepertinya jika merebahkan punggung sebentar saja, pikir Edelweis.
Vano sudah mulai menge-gas motornya degan kecepatan 40 km/jam, itu kecepatan yang sangat rendah dan membuat Edelweis bosan dengan perjalanannya. “Ih ... lama banget sih, Van?” Kesal Edelweis tidak sabaran. Memamng keadaan jalan di sore hari sangatlah macet, karena banyak sekali pelajar maupun pekerja yang baru saja menyelesaikan tugasnya dan bergegas untuk menemui keluarga di rumah, sehingga membuat Vano tidak bisa menggunakan kecepatan ekstara untuk mengendarai sepeda motornya.
Edelweis yang kini tengah mengarahkan ke arah rumahnya begitu kesulitan karena angin yang bertiup cukup kecang sehingga membuat perkataan Edelweis tersapu bersamaan dengan hembusan angin. Tidak terdengar ucapan Edelweis, Vano pun menghentikan laju sepeda motornya di pingir jalan yang terlihat kosong. Setelah itu Edelweis menjelaskan secara rinci arah rumahnya kepada Vano, dan untung saja Vano orang yang mudah ingat jika diberi tahu.
Kini motor Vano sudah terparkir di depan rumah bergaya Eropa yang didominasi oleh cat putih. Rumah tersebut memang tidak terlalu besar seperti istana yang sering diceritakan dalam sebuah dongeng, namun rumah tersebut masih terlihat elegan dan dipercayai banyak orang yang tertarik memiliki rumah seperti itu.
Vano masih terpelongo melihat megahnya rumah Edelweis, jika dibandingkan dengan rumahnya tidak ada apa-apanya. Rumah Vano begitu sederhana, rumah yang hanya hanya cukup ditempati oleh dua orang saja. Vano terlahir dari keluarga yang sederhana, nasib Vano tidak seindah nasib Edelweis. Untuk memasuki sekolah bergengsi saja dia mengandalkan beasiswa yang diberikan pemerintah.
Edelweis kini sudah turun dari sepeda moror milik Vano. “Lo, kenapa bengong?” Tanya Edelweis merasa heran sambil menyisir poninya ke samping karena berantakan terkibas oleh angin di jalanan. "Ngomong-ngomong makasih atas tumpangannya." Setelah berkata seperti itu, Edelweis pun melangkahkan kakinya ke arah gerbang rumahnya, tanpa menawari Vano untuk mampir—meskipun hanya sekedar basa-basi.
Tersadar dari lamunnya, Vano mengedarkan tatapannya ke arah Edelweis yang sudah sedikit menjauh darinya. “Makasih aja, nih?” Tanya Vano meminta lebih.
Edelweis menghentikan langkahnya dan kembali membalikan tubuhnya ke arah Vano yang berada di belakangnya. “Terus mau lo, apa?” Tanya Edelweis tidak mengerti.
“Gak diajak mampir dulu, misalnya?” Tanya Vano sambil menaik-turunkan sebelah alisnya yang cukup tebal.
Edelweis membuang napasnya kasar ketika mendengar pertanyaan Vano. “Ini ‘kan udah sore, nanti lo kemaleman lagi pulangnya.” Jawab Edelweis sambil melirikan matanya malas.
Vano sedikit menggaruk kepalanya dengan jari yang masih terbungkus oleh sarung tangan untuk berkendara. Tak lupa cengiran juga ditunjukkan. “Iya juga sih. Lo perhatian banget sih sama gue.” Ucap Vano yang kini sudah menangkupkan kedua tangannya di dagu—seperti gaya khas girlband Indonesia dulu. Edelweis hanya melirikkan matanya jijik kepada Vano. “Oh ya, besok, kan libur, jadi besok gue ke sini lagi, ya?” Tanya Vano meminta persetujuaan Edelweis.
Nampak wajah kebingungan dari Edelweis. Edelweis tidak paham, untuk apa Vano ke rumahnya lagi. “Mau apa lagi?” Tanya Edelweis sambil menyeritkan kedua alisnya yang beberapa senti lagi akan menyatu.
Vano terlihat kesal dengan Edelweis. bagaimana bisa Edelweis lupa dengan tugasnya. “Dasar. Umur memang tidak menjamin daya ingat seseorang. Lo pikun, ya? Kan kita ada tugas kelompok matematika, Edelweis.” Ucap Vano mencoba menjelaskan. Vano sangat gemas ketika melihat wajah kebingungan Edelweis, seakan dia ingin mencubit pipinya.
Mendengar penjelasan dari vano, Edelweis hanya ber ‘oh-oh’ ria dengan dirinya. Dan itu menandakan jika Edelweis setuju dengan usulan Vano. Melihat Edelweis seperti itu, Vano memilih untuk berpamitan dengan Edelweis dan melesatkan sepeda motornya membelah jalanan yang semakin malam semakin ramai.
Sepeninggalan Vano, Edelweis melangkahkan kakinya memasuki halaman rumahnya. Terlihat sudah ada Damian yang sedang berdiri menyandar ke tiang yang menjulang tingi dibagian teras. Damian tengah tersenyum memerhatikan adiknya yang sedang berjalan ke arahnya dengan tatapan risih kepada Damian karena terus saja memerhatikan.
“Cie ... yang baru dianterin sama cowok. Siapa, tuh? Kenalin dong sama Abang.” Goda Damian sambil mencolek pipi Edelweis dengan gemas. Edelweis melemparkan tatapan tidak sukannya kepada Damian. Sesekali Edelweis menepis tangan Damian yang terus saja mencolek pipinya.
“Apaan sih, Bang. Itu Cuma temen. Lagian Abang kepo banget, sih, sampe nongkrong merhatiin aku.” Jawab Edelweis kesal. Dan kini Edelweis sudah memasuki pintu utama rumahnya dengan Damian yang masih setia menggodanya dari belakang.
Karena begitu bahagiannya, Vano berlari mendahului Edelweis yang berjalan dengan pelannya, dan menghampiri Rianti dan Rehan yang sedang menonton tayangan televisi. “Bunda ... Ayah ... Edelweis tadi dianterin sama cowok, loh.” Teriak Damian dengan girangnya dan membuat Edelweis mem-blakan matanya kaget. Bagaimana bisa gue punya Abang seperti dia, pikir Edelweis.
Rianti dan Rehan yang tengah asik menonton tayangan televisi, mengalihkan perhatiannya ke arah Damian yang sedang berlari dan berteriak kencang. Di belakangnya Edelweis sudah bersiap mengejar Damian untuk membekam mulut lemes Damian. “Abang ...” Teriak Edelweis tidak kalah kencang dengan teriakan Damian.
Rianti berusaha menghentikan kelakuan kedua anaknya. Malu juga jika terdengar tetangga jika Damian dan Edelweis berteriak seperti itu. “Stop Damian, Edelweis.” Sergah Rianti menghentikan mereka, tidak ada yang berkutik satupun diantara mereka. “Ini ada apa?” Tanya Ranti kembali dengan nada lebutnya.
“Ini, Bun, tadi Edelweis dianterin sama cowok tau ...” Jelas Damian bergaya seperti ibu-ibu doyan rumpi. Dan itu membuat Edelweis ingin sekali mencomot bibirnya yang lentik itu.
“Emang bener, dek?” Tanya Rianti dan rehan berbarengan.
Edelweis sungguh risih jika harus ditanya seperti ini. dia tidak suka, mengapa urusannya bisa sepanjang ini, toh dia cuma diantar oleh Vano, mengapa harus segala ditanya-tanya begini. Ini semua gara-gara Damian, pikir Edelweis. Kini Edelweis sudah mendudukkan bokongnya di atas sopa empuk yang terpatri di ruang keluarganya. Edelweis dusuk di sebelah Rehan. “Iya ... tapi itu cuma temen kok, Bun, Yah.” Jelas Edelweis, agar orangtuannya tidak salah paham seperti Damian si cowok biang gosip.
“Temen kok mesra, sih.” Goda Damian lagi dan lagi.
“Mana ada, woy.”kl Kesal Edelweis yang kini sudah melayangkan bantal yang ada di sampingnya ke arah Damian sekuat tenaga. Namun Vano tidak menghentikan godaannya kepada Edelweis, sekarang pun dia sedang menjulurkan lidahnya kepada Edelweis karena bantal yang dilempar tidak sedikitpun menyentuh kulit dari tubuh Damian. “Ayah ... Bang Damiannya jahat.” Adu Edelweis dengan manjanya.
“Dasar anak Ayah, apa-apa ngadu.” Balas Damian ketus.
“Emang, aku anak Ayah. Emang Abang anak siapa? Anak kerbau?” Balas Edelweis tidak mau kalah dengan celotehan Damian.
“Dasar Adik durhaka kamu!” Kesal Damian.
“Biarin. Wle.” Balas Edelweis sambil menjulurkan lidahnya mengejek.
“Awas aja kamu, ya. Abang gelitikin, nih.” Ancam Damian yang kini sudah bersiap akan menangkap Edelweis. namun karena kecekatan Edelweis, diapun berlari lebih dulu ke lantai dua rumah, lebih tepatnya kamar Edelweis. Dengan cepat Edelweis mengunci pintu kamarnya dan meninggalan Damian yang sudah mendobrak-dobrak pintu kamarnya di sebrang sana. Rianti dan Rehan hanya menggelengkan kepala mereka ketika melihat kedua buah hatinya beradu mulut. Sudah biasa melihat pemandangn seperti itu bagi Damian dan Edelweis, namun percayalah beberapa menit lagi mereka akan berdamai.