Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cara Memutuskan Gadismu
Suka
Favorit
Bagikan
3. Scene 3

TIFFANI

Kak Carla gimana kabarnya? (senyumnya semakin lebar)

RAY (V.O)

(keningnya berkerut)

Dia kenal Lala, ah sudah pasti, hampir setiap orang mengenal gadis yang sepertinya ahli dalam segala bidang itu.

 

Ray tidak menjawab dan mendengar Tiffani yang seperti berbicara dengan teman dekatnya.

TIFFANI

Udah jarang ketemu yah kak? Padahal dulu kak Ray sama kak Lala kayak nggak bisa dipisahin gitu. Senang banget ngeliatnya. Tapi sekarang...

Tiffani tak melanjutkan, seperti menunggu kalimat Ray.

RAY (V.O, CONT’D)

Gue mesti ngomong apa? Kalau gue bilang, gue sama Lala masih saling menempel, kesempatan gue dengan Tiffani sudah pasti menghilang.

RAY

Lala yah...(menggaruk kepala)masih sering kontek-kontekan, kok.

RAY (V.O)

Tentu saja hampir setiap hari. (menambahkan dalam hati)

 

Tiffani mengangguk kecil, rambut panjangnya bergerak-gerak, terlihat lembut. Mereka lalu menuruni anak tangga, bergerak ke depan gedung fakultas.

Tiffani berhenti saat mereka akan bergerak ke parkiran.

RAY

Gue nggak tahu lo kuliahnya di sini. (nada kalimatnya hati-hati)

TIFFANI

Aku juga nggak tahu, kakak di sini.

Tapi aku emang baru pindah ke

(MORE)

 

TIFFANI (cont’d) desain interior , kak, (berfikir) hampir setahun yang lalu (menggerakkan kepala, yakin.

Tadinya kuliah di Bandung tapi, balik lagi ke sini, semenjak mama mutusin jadi chef dan buka toko kue gitu kak. (Nadanya ceria bercerita) Sekarang aku banyakan kuliah paginya, kak Ray pasti udah mau selesai kan, jadi mungkin udah nggak ada kuliah lagi.

RAY

Udah selesai kok.

Ray mengatakannya cepat, sepertinya takut terlambat lulus jadi nilai minus. Tahun ini hampir dua tahun lebih dari waktu normal masa kuliahnya.

TIFFANI

Udah sarjana yah? Selamat, kak. (mengulurkan tangan)

 

Ray dengan cepat menjabat, tersenyum, padahal ia belum yudisium. Ia merasakan tangan Tiffani yang halus. Dan saat itu, telepon genggam Ray mengeluarkan suara. Segera dikeluarkannya dan mendapati kata "my future" di layar.

RAY (V.O)

Gawat. Gue dalam masalah. Gadis ini nggak lagi matai-matain gue kan?

 

Ray memutuskan tidak menerima panggilan Lala. Digesernya tandah pana merah. Mengangkat kepalanya. Melihati Tiffani yang mengerjapkan mata, sepertinya masih menunggu berbicara dengan Ray.

 

RAY

Ohiya sekarang mau kemana?

TIFFANI

Ehm, aku masih ada kelas sore nanti. Kak Ray udah mau pulang yah? (nadanya terdengar kecewa)

RAY

Ah, nggak... eh iya (gelagapan). Ada janji sama teman. (bergumam beberapa saat, memberi jeda) Kalau ada perlu... (ragu)

 

 

 

 

 

 

 

Jeda.

TIFFANI

(menyela)

Kalau mau referensi kue yang enak, bilang ke aku aja. Aku sering bantu-bantuin mama juga di toko kalau lagi akhir pekan.

 

 

TIFFANI

Kak Ray, kalau mau, besok datang yah ke pembukaan toko baru mama yang ada di mall. Itu kalau nggak ada janji lain. (menyentuh pelipisnya, melihati telepon genggam di tangan Ray)

 

Mata Ray melebar, tersenyum. Mereka lalu bertukar nomor handphone. Ray lalu melihati Tiffani yang berjalan menjauh, sesekali berbalik, melambaikan tangan. Dan ia bergerak menuju parkiran motornya.

RAY (V.O)

Anehnya takdir. Apa lo nggak pernah mikirin gadis lain selain pacar lo? Maksud gue, gue nggak pernah punya gadis selain Lala dan karena itu, gue jadi pengen tahu gimana kehidupan gadis lain di luar sana. Dan saat pikiran ini muncul, muncul juga si Tiffani. Gadis cantik dan terlihat sangat baik hati. Kami tukaran nomor hape dan sepertinya akan bertemu lagi besok. Selesai.

 

Ray melihati telepon genggamnya. Melihati panggilan yang ditolaknya tadi.

 

RAY (V.O)

Gue pikir selesai. Tentu saja nggak.

 

INT. CAFE-MEJA SUDUT-SIANG

Ray telah berada di cafe yang sering ia dan Lala datangi. Ia tidak memesan apa pun dan hanya bermain game di hapenya, sambil sesekali mengikuti alunan musik yang terputar dari pengeras suara cafe. Berkali-kali perhatiannya teralih pada jam di tangannya. Lalu senyumnya mengembang saat ada pesan singkat masuk dari Tiffani. Sebuah nama mall, tempat toko baru mama Tiffani.

 

TIFFANI (O.S)

Datang yah kak.

Ray segera membalas. Tapi ia segera menghilangkan senyumnya saat Lala datang.

 

RAY

Kok baru datang?

Lala tidak bicara. Hanya meletakkan tas punggungnya yang terlihat sangat berat. Dan bergerak memesan makanan. Tak lama ia kembali dan duduk berhadapan dengan Ray. Tak ada yang bicara.

 

Ray memperhatikan Lala yang diam dan hanya kembali melihati gambar-gambar makanan di menu.

RAY (V.0)

Ah, kita emang jarang banyak bicara saat ketemu. (tangannya

bergerak-gerak di meja)

Lala mengangkat kepala, mendapati Ray yang kembali memasang senyum. Sepertinya menunggu Ray mengatakan sesuatu. Ia lalu kembali menyibukkan diri.

LALA

Kenapa? (menaikkan alis)

RAY (O.S)

Dia sepertinya malas berbicara, atau itu gue yang lagi malas? Ah sudahlah. Yang jelas sekarang otak gue ini berfikir beberapa cara yang bisa gue katakan pada Lala. Besok , gue bakalan ketemu dengan

Tiffani--gadis cantik, baik, murah senyum, dan sangat...cantik.

Ray memperhatikan Lala mengeluarkan telepon genggamnya.

RAY (V.O)

Karena ada kemungkinan orang akan bilang gue tukang selingkuh kalau Lala tidak tahu, tentang pertemuan yang akan datang. Dan juga saat ketemu dengan Tiffani nanti, gue nggak mau menyandang status pacar orang. Jadi gue putuskan untuk mengatakannya langsung pada Lala. Gue pikir saatnya gue meminta break darinya. Atau lebih tepatnya putus untuk sementara waktu. Lalu apa

(MORE)

RAY (V.O) (cont’d) pilihan yang bisa gue lakukan. Bagaimana cara memutuskan gadis yang selalu wara-wiri nggak tergantikan di kehidupan gue?

 

Lala mengerutkan kening. Melihati Ray yang mengambil minuman berwarna biru dari nampan.

LALA

Itu punyaku. (mencibir saat Ray meminum minumannya)

RAY

Sori.

Lala dengan cepat menukar minumannya dan meletakkan minuman berwarna pink di hadapan Ray. Mengambil botol air minum dari tasnya, meletakkannya tanpa ada perhatian dari Ray.

RAY (V.O)

Ah, lihat betapa keras kepalanya dia, seharusnya dia memberiku itu saja.

Ray berdehem, membuka percakapan.

RAY

Katanya mau datang jam dua (melihat jam tangan)

 

Jarumnya menunjuk angka tiga, melihat pergelangan tangan Lala yang tidak mengenakan jamnya. Ia sekali lagi berdehem, tak ingin terlalu excited, tak ingin terlalu kentara kalau ia sedang mencari-cari masalah.

LALA

Tadi mampir dulu.

 

Jeda.

 

Kemana?

 

RAY

 

Lala tak menjawab. Melirik telepon genggamnya yang kembali bergetar. Lala menghela nafas, melihati pesan masuk, dan mengetik beberapa saat.

RAY

La, aku lagi ngomong. (memajukan badan)

Lala mengangkat tangan, meminta Ray diam.

 

RAY (V.O)

Ah, lihat dia, sudah seperti meminta anjingnya saja untuk ngikutin setiap kata-katanya.

 

Ray mencibir. Diperhatikannya Lala yang berdiri kursinya, menjauh untuk berbicara.

RAY (V.O)

Ada apa? Dengan siapa? Ah, dia pasti sedang berbicara dengan pria lain.

Ray menghela nafas. Menunggu.

Intercut: Lala yang masih berbicara di telepon, dekat dengan jendela cafe.

 

Lima menit berlalu, saat Lala kembali duduk di kursinya dengan wajah yang lebih tenang.

RAY

Siapa?

Sebelah alis Lala terangkat. Keningnya lalu berkerut setelah melihati kening Ray yang juga mengerut.

LALA

Kenapa? Kamu lagi halangan yah? (mencibir)

Ray menyandarkan punggung. Melipat tangan di depan dada.

RAY

Tadi itu cowok kan?

Jeda. Lala tertawa kecil. Ray berfikir ia selalu mendapat tatapan merendahkan dari Lala.

LALA

Emang kenapa? Ini anak lagi beneran lagi keganggu pikirannya (mengabaikan Ray)

 

Ray menghela nafas. Menyeringai. Memperlihatkan ketidak sukaanku. Ia seperti menemukan saat yang tepat, berfikir gadis di hadapannya itu sudah terlihat sangat mencurigakan. Ia mulai berfikir mencari kesalahan Lala. Membuatnya menjadi marah dan Lala akan pergi setelah berteriak meminta putus darinya.

RAY

Kalau yang tadi itu cowok, yang jujur ajalah. Nggak usah ditutup-tutupin.

LALA

Emang tadi cowok (santai)

RAY

Terus kenapa mesti ngomong

jauh-jauh, takut ketahuan ngomongin sesuatu. (tatapan menuduh)

LALA

Kekanakan banget sih (mendesis). Kamu nggak dengar, lagu di sini udah kayak konser. (menunjuk pengeras suara)

 

Ray lalu mengalihkan pandangan saat matanya dan Lala bertemu.

 

RAY

Terus tadi ngomongin apa?

LALA

Kerja, Ray.

RAY

Iya, yang sudah punya kerja (bergumam)

 

LALA

Emang udah. Kamu tuh yang masih nyusahin.

 

Suara Lala menjadi kesal. Ia melipat tangan di depan dada. Orang-orang yang melihat sudah pasti tahu dengan jelas, kalau mereka sedang marahan. Lala lalu diam. Tak ada suara untuk beberapa saat.

 

RAY (V.O)

Apa yang harus gue lakuin sekarang? Sepertinya dia nggak bakalan mutusin gue saat ini.

Ray berdehem.

 

RAY

Tadi kenapa telat, sejam lagi (bergumam). Nggak pake jam kita... (kalimatnya mengambang)

Jeda. Pelayan menyajikan makanan.

 

Mata Ray mengikuti pelayan menjauh. Ia berdehem.

RAY

Kamu ketemuan sama cowok itu kan?

LALA

Kamu ngomongin cowok yang mana sih? (wajahnya memerah, menahan kesal). Bisa nggak ngomonnya santai aja, kalau kamu ada masalah yah cerita. Kenapa jadi ngelampiasinnya ke aku.

RAY

Emangnya cuman kamu yang boleh marah-marah. Ah, cewek tuh memang egois. (melihat ke arah lain) Kalian para cewek, cuman mau dimengerti, tapi nggak bisa ngertiin cowok.

LALA

(memajukan badan, melipat tangan di atas meja)

Terus mau kamu apa, Ray? Kamu dari tadi marah-marah, mancing emosi, mau ngajakin aku berantem? Kita di awal udah janji kan, kalau ada masalah diomongin, bukan dijadiin bahan omongan nggak jelas kayak gini.

 

RAY

Nggak jelas? (mendesah)

Sepertinya otak Ray sekarang tambah tidak karuan. Apalagi saat dilihatinya Lala nampak tenang-tenang saja. Ia fikir seharusnya Lala sudah marah atau melemparku dengan spaghetti di hadapannya. Tapi Lala malah mengetik pesan singkat.

RAY (V.O)

Baiklah sekarang gue nggak tahu harus ngomong apa lagi? Gue udah nyari kesalahannya, sudah mojokin dia, dan sekarang yang terlihat adalah gue yang punya masalah. Apa sekarang? Bagaimana gue mengakhiri semua ini? (melihati Lala yang masih menuggu kalimatnya) Kalau nggak ada cara lain yang tertinggal, seperti kata Tara, jujur adalah pilihan terbaik. Nah, bagaimana gue memulainya.

 

 

 

 

Jeda.

LALA

Nah sekarang kamu diam? (sinis, melihati Ray melamun)

 

 

LALA

Bagaimana?

 

Ray mengerutkan kening.

LALA

Kamu udah punya alasan kenapa jadi sewot kayak gini? Kamu (jeda), kamu nggak mau putus kan?

RAY

Apa? (volume suara naik, histeris)

Ray kembali diam. Seperti minta dituduh saja.

LALA

Jadi? (memancing)

Ray menaikkan sebelah alis. Melihati wajah Lala.

RAY

Apa sekarang kamu mau minta putus? (menelan ludah, merasa pertanyaannya konyol)

Lala diam, tak menjawab. Meyandarkan punggung.

RAY (V.O)

Apa yang sedang dia pikirin? Apa dia benar-benar ingin putus?

Kenapa? Apa dia juga sudah bosan?

Beberapa jenak kemudian, Lala mengggerakkan kepalanya ke atas-ke bawah, seperti telah memecahkan teka-teki.

 

Dan saat masa diam keduanya, seorang pria yang adalah adik dari Lala, Riri mendekat ke meja mereka. Pria itu tersenyum, menepuk bahu Lala dari belakang. Pria itu bergerak dan duduk di kursi kosong.

 

LALA

Udah datang, Li. (memaksakan senyum)

 

RIRI

Kenapa belum makan? (melihati makanan yang masih utuh)

 

Ray melihati Riri pria yang sangat dikenalnya. Tersenyum, menyapa.

 

RIRI

Kak, (melihat Lala) pesenin juga. Lapar.

 

LALA

Makan punyaku aja. Dari pada mubassir.

 

RIRI

Bener nih? (tersenyum lebar pada Lala yang telah memindahkan piring ke hadapannya). Kak Lala tadi SMS, minta aku jemput kak, (jeda, mengunyah), katanya ada cowok lagi coba bohong di depan matanya (menambahkan, tertawa)

RAY

Cowok?

RIRI

Untung lagi jalan sama temen, jadi bisa langsung ke sini. Tapi kenapa belum makan, kak?

 

Ray tersenyum, menyentuh piring, meminta Riri makan yang banyak.

 

RAY (V.O)

(melirik Lala)

Kita kebanyakan ngobrol nggak jelas. Dan ah, ternyata Lala kirimin adiknya pesan. Bagaimana ini? Tapi bukannya tadi dia bilang urusan kerja? Berarti dia bohongin gue.

 

Lala sejak tadi hanya menggigit bibir dan memandang kosong ke meja. Tak lama, telepon genggam Lala kembali berbunyi. Ia melihatinya beberapa saat sebelum menerimanya.

LALA

Tunggu sebentar, saya tahu, saya nggak bisa (setengah berteriak di telepon)

 

RIRI

(melirik Lala)

Dari kemarin si Dimas itu selalu nelponin kak Lala (bergumam). Minta

 

RIRI (cont’d)

kakak buat nemenin dia ke luar negeri, katanya sekalian untuk urusan kerja. Tapi kak Lala nggak mau, entar kak Ray salah paham. Kan bisa gawat. (tertawa, menggoda)

LALA

Udah, li. (kesal)

RAY (V.O)

Suara kesalnya (menelan ludah). Dia marah? Kenapa gue jadi takut kayak gini.

 

Riri melirik Lala. Ikut menelan ludah. Tahu Lala sedang kesal. Ia mempercepat makannya.

RIRI

Aku udah selesai, kak (meminum minuman Lala, dengan mata membesar)

 

Riri lalu menoleh pada Ray, menggerakkan bibir, bertanya ada apa.

 

LALA

Ayo pulang.

Wajah Riri nampak kebingungan. Melihati Lala yang sudah beranjak pergi. Riri dengan cepat mengikuti.

Ray tak bergerak dari duduknya.

RAY (V.O)

Bagaimana ini? Cara gue berhasil?

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar