Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Bianglala
Suka
Favorit
Bagikan
3. Skena 3 Mendaftar dan Berangkat
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Eksterior Kantor Transmigrasi

Utami dan Asih terlihat duduk-duduk di depan sebuah kursi kantor transmigrasi. Tak begitu banyak orang, namun lalu lalang pegawainya ternyata banyak menghiasi disekitar kantornya.

Paijo tergopoh-gopoh datang. Terlihat ia berjalan membawa stopmap dan duduk disamping Utami

Dengan senyum rekah, ia memerhatikan wajah Utami dan Asih sambil mencubit pipinya.

Paijo

"Berkas sudah kusiapkan."

Asih

"Apa tidak sebaiknya dipikir-pikir lagi. Lihatlah, aku bisa bekerja kok." (Asih masih tak mau berangkat transmigrasi)

Paijo

"Ini kan bagian dari usaha. Apa salahnya?"

Asih

"Iya, saya tahu."

Paijo

"Kita pasti kaya disana."

Asih hanya diam.

Paijo

"Tahu pak haji? dia cuma punya 1 hektar lahan. Lihatlah, dia bisa haji."

Paijo tersenyum dan tertawa senang.

"Kita nanti akan senang. Lihatlah Mas Bambang, sukses. Kita juga bisa"

Paijo dan Asih diam di depan kantor itu, entah mengapa tapi ia menunggu. Mulutnya kebas, sudah lama ia gak merokok. Ia hanya mengusap-usapnya.

Asih

"Sebaiknya, dipikir-pikir dulu. Kerjaan banyak kok disekitar sini." (sambil memelas)

Paijo

"Kerjaan apa?"

Asih

"Apalah,"

Paijo

"Mau jadi maling?"

Asih

"Ya jangan."

Paijo

"Nah, lalu kita mau hidup miskin terus?"

Asih

"Kalau memang begini adanya, mau bilang apa"

Paijo

"Nggaklah."

Seorang laki-laki berseragam PNS tiba-tiba datang menemui Paijo dan Asih.

PNS

"Bapak Paijo?" (katanya sambil membuka-buka kertas yang dibawanya)

Paijo

"Iya pak, saya"

PNS

"Oh, silahkan ke dalam pak."

Paijo dan PNS itu masuk kedalam. Asih dan Utami menunggunya diluar.

Interior Ruangan Gedung

Paijo dan PNS duduk berhadap-hadapan di sebuah ruangan. PNS itu terlihat membuka-buka lembaran yang diberikan Paijo.

Paijo terlihat diam dan bersemangat.

PNS

"Mas Paijo sehari-harinya bekerja sebagai?"

Paijo

"Buruh tani pak"

PNS

"Oh, buruh tani."

Paijo

"Iya pak."

PNS

"Pasti bapak enak ya kerja."

Paijo

"Enak? Maksudnya pak?"

PNS

"Sudah buruh, jadi petani lagi, haha" (tertawa dan bermaksud bercanda)

Paijo

"Nggak pak" (menggaruk-garuk kepalanya bingung)

PNS itu masih tertawa. Paijo diam bingung. PNS itu membolak-balik kertas milik Paijo.

PNS

"Anaknya dua?"

Paijo

"Iya pak."

PNS

"Ikut semua?"

Paijo

"Betul pak."

PNS

"Bukannya ini sekolah ya pak?" (sambil menunjuk nama Bejo)

Paijo

"Iya pak"

PNS

"Nanti sekolahnya gimana? Apa ditinggal disini saja?"

Paijo

"Kan disana juga ada sekolah pak"

PNS

"Ada. Ada. Ada kok." (katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya)

Paijo

"Biar sekolah disana saja"

PNS

"Kelas berapa pak memangnya?"

Paijo

"Kelas satu pak mungkin."

PNS itu heran, kok mungkin?

PNS

"Nanti disana daftar lagi saja. Kelas satu lagi. Ndakpapa"

Paijo

"Oh gitu pak?"

PNS

"Iya, ndakpapa"

"Orang cuma sekolah saja kok. Yang penting itu apa sih, duit pak. Sekolah zaman sekarang nomor 2"

Paijo

"Betul pak"

PNS

"Lah, kok betul. Penting pak sekolah pak."

Paijo

"Iya pak, itu penting."

PNS

"Bercanda pak." (sambil tertawa garing ala bapak-bapak)

Mereka berdua saling diam dan PNS tadi menyimpan berkas milik Paijo.

PNS

"Pak, ini bisa diurus cepat. Tapi butuh biaya."

Paijo

"Loh berapa pak biayanya?"

PNS

"Kalau ditotal dengan semua urusan. Paling nggak sepuluh juta."

Paijo

"Waduh, uang darimana pak. Orang kesana cari uang, malah disuruh bayar. Gimana sih pak?"

PNS

"Ya begitu pak adanya."

Paijo

"Lah, gimana sih pak?"

PNS

"Saya jujur saja deh sama bapak. Berkas ini nanti, masuk posnya banyak pak. Ke Kepala, ke Bagian, ke Provinsi, ke Pusat, kemanapun. Semua butuh biaya pak. Biaya ini" (sambil menunjukkan kantong sakunya)

Paijo

"Alah pak, nggak punya uang lho"

PNS

"Yasudah pak, nggak papa. Mungkin lama. Ada kok yang bisa nggak mbayar. Tapi nunggu waktu bertahun-tahun untuk berangkat."

Paijo

"Nggakpapa deh pak. Nggak masalah"

PNS

"Bener?"

Paijo

"Iya pak, uang 10 juta, perlu setahun pak untuk dapat uang segitu. Itu kalau nggak makan nggak minum."

PNS itu diam, dan Paijo juga diam. PNS itu akhirnya menutup berkas milik Paijo dan berjalan keluar mendekati pintu.

PNS

"Sudah Pak Paijo, silahkan keluar. Gantian"

Paijo

"Mohon diuruskan pak ya"

PNS

"Insyaallah."

PNS itu akhirnya keluar dan Paijo berjalan dibelakangnya. PNS itu memanggil orang lain yang duduk di kursi tunggu dan Paijo memanggil Asih sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Asih

"Bagaimana mas?"

Paijo

"Betul kata mas bambang, emang sulit"

Asih

"Kenapa?"

Paijo

"Mereka minta bayaran"

Suara Paijo yang keras diperhatikan orang-orang, termasuk PNS tadi. Namun seketika, semua orang menjadi biasa saja. Seperti itu bukan aib.

Paijo dan Asih akhirnya keluar kantor dan berjalan pulang.

Eksterior Teras Rumah Paijo

Paijo dan Asih sampai dirumahnya dengan jalan kaki. Mereka berdua jalan kaki sambil menggendong Utami.

Mungkin Bejo belum pulang, rumah masih rapat-rapat terkunci.

Paijo

"Mungkin aku harus nulis surat untuk Mas Prapto. Aku mungkin ikut ke Jakarta saja."

Asih

"Tak tuliskan saja mas"

Paijo

"Tak tulis e sendiri saja wis. Jadi tukang batu-pun tak masalah." (sambil menggosok-gosok kepalanya bingung dengan kedua tangannya)

"Ini juga gara-gara siapa. Haish, memang konyol transmigrasi itu. Masak orang butuh uang disuruh bayar"

Asih keluar rumah, memberikan kertas dan bolpen ada Paijo. Paijo mengambilnya dan menyiapkan diri duduk di atas meja bambu.

Asih terlihat sibuk didalam rumah, beres-beres. Sedang Paijo, ia mengambil kertas lusuh bekas undangan pernikahan. Menulis surat dengan bolpoin dan duduk kebingungan di atas kursi bambu itu.

Paijo menulis mungkin seperti ini.

"Mas Prapto. Mas Paijo butuh kerja. Mungkin Mas Prapto bisa bantu, di Jakarta kelihatannya banyak kerja. Uang disini nggak cukup untuk Utami dan Bejo sekolah. Kalau iya, tolong berikan alamat mas biar nanti Mas Paijo berangkat cari uang kesana."

Paijo melipat undangan pernikahan itu terbalik. Lalu menyimpannya di kantongnya. Terlihat ia pergi berjalan keluar rumah lalu belok diujung gang dan menghilang.

Asih terlihat menyapu-nyapu luaran rumah. Terlihat saat itu juga, Bejo pulang dari sekolah dengan wajah yang tertekuk. Ia sedih kelihatannya.

Bejo terlihat mengusap matanya, ia juga terlihat ingin menangis namun ditahannya.

Asih

"Sudah pulang?"

Bejo hanya diam duduk di kursi bambu singgasana bapaknya tadi. Tak menyahuti, ia hanya diam.

Asih juga terlihat sibuk dan bersiap untuk keluar. Dengan rapi-rapi, ia bilang kepada Bejo

Asih

"Tolong jaga adikmu, ibu mau ke rumah bu hajah"

Asih berjalan ke depan dengan tergesa-gesa dan menghilang ketika berbelok diujung gang.

Bejo diam saja, ia tak begitu menggubris omongan ibunya dan tak menggubris adiknya yang masih kecil didalam.

Adiknya memang pendiam, jadi adiknya tak begitu banyak teriak dan minta-minta.

Bejo yang bingung akhirnya tidur di kursi bambu tadi dengan airmata yang mengalir dipipi.

Wajah Bejo sangat sedih, ia sedih. Ia tertidur di kursi bambu.

Terlihat Paijo dari jauh berjalan datang, dengan menggosok-gosok kantongnya. Paijo sedikit tersenyum dengan itu. Mungkin ia sudah mengirim surat ke Mas Prapto.

Melihat Bejo ada di teras rumah tertidur. Paijo membangunkannya.

Paijo

"Mas, ngapain tidur diluar?"

Bejo mengernyit bangun tidur. Lalu memandangi sekitar dan melihat Paijo yang kebingungan.

Paijo

"Ngapain?"

Bejo

"Aku nggakmau sekolah lagi."

Paijo

"Loh kenapa?"

Bejo

"Aku ditertawakan teman kemarin, sekarang aku ditertawakan guru. Katanya bajunya harus bersih, sepatunya harus rapi, tasnya juga yang baik. Jangan seperti gembel."

Paijo

"Bilang to, nggakpunya bu."

Bejo

"Malu pak." (Bejo mengusap-usap matanya sambil menangis)

Paijo

"Iya, bilang saja. Apa bapak yang bilang"

Bejo

"Katanya nggak Nasionalis pak kalau bajunya kotor, kurang putih. Ndak menghargai pahlawan."

Paijo

"Diamlah, jangan menangis, pahlawan-pahlawan itu orang dulu. Pahlawan sekarang yang sebenarnya adalah dirimu sendiri."

Bejo hanya diam dan mengusap-usap matanya yang berair.

Paijo

"Sekolahlah, jangan sampai kamu kalah dalam hidup cuma karena hinaan, cacian dan makian seperti ini. Jangan sampai. Itu menghianati dirimu sendiri"

Bejo bersama bapaknya dibopoh masuk kedalam rumah sambil mengusap-usap matanya yang berair.

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar