Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Siapa Bapak Siapa
Suka
Favorit
Bagikan
12. BAGIAN TERAKHIR (Hal 107-121)

104. INT. RUMAH SAKIT - KAMAR PASIEN — NIGHT

Rusdi berbaring di atas ranjang. Dia sudah memakai masker oksigen di wajahnya. Tidak terdengar lagi suara napas sesak.

Di jari Rusdi terpasang oximeter jepit yang menunjukkan kadar oksigen dalam darah Rusdi sekitar 95%.

Indra, Arul dan Desi sedikit memojok ke dinding, menjauh dari ranjang Rusdi sembari dokter memeriksa Rusdi, memeriksa monitor pasien. Dokter bersama dua perawat lainnya.

Dokter selesai.

DESI
(terbata-bata)
B--Bapak saya kenapa, Dok?


DOKTER
Sesak napas yang tadi merupakan salah satu gejala hipoksia, kekurangan kadar oksigen dalam tubuh, masih juga bersinggungan karena penyakit tuberculosis yang diderita pasien. Tapi sekarang jalan napasnya sudah kembali normal. Kami sudah pasangkan masker oksigen untuk membantu menormalkan kadar oksigen pasien sekitar 40-60%. Pada alat oximeter di jarinya juga menunjukkan kadar oksigen dalam darahnya sudah membaik.


DESI
Intinya Bapak saya gak apa-apa, kan?


DOKTER
Kami akan terus memantau. Akan ada perawat yang datang secara kontinu untuk mengecek pak Rusdi, sampai dinyatakan semuanya kembali normal.

Dokter hanya tersenyum, lalu melangkah keluar kamar.

Arul memperhatikan dokter keluar. Lalu mengecek handphonenya, menunjukkan kita pukul 22:57.


105. INT. RUMAH SAKIT - LORONG — NIGHT

Desi terduduk di kursi-kursi besi yang diletakkan di lorong dekat pintu masuk kamar pasien Rusdi. Dia tengah tertunduk menangis, membendung suaranya. Indra tampak berjalan mendekat dari arah kamar pasien, lalu duduk di samping Desi.

INDRA
Kenapa lagi kamu?


DESI
(tersedu-sedu)
Aku kasihan aja sama Bapak. Orang yang dulunya keras, terbaring gak berdaya di atas ranjang. Selang di mana-mana. Bunyi-bunyi monitor itu ganggu pikiran aku tau gak. Aku takut Bapak pergi juga.

Indra menghela napas berat. Bersandar pada kepala kursi.

DESI (CONT'D)
Kamu gak kepikiran juga apa? Dulu pas Ibu dibawa dan meninggal kita semua lagi kayak biasa-biasanya.


INDRA
Mau Bapak gak sakit juga, kalo udah ajal bakal pergi juga. Kita cuman bisa nyiapin diri.


DESI
Itu masalahnya. Aku belum siap. Ibu udah pergi, masa Bapak juga.


INDRA
Cepat lambat, kita duluan, atau Bapak duluan.

Desi makin tumpah dalam tangisnya.

DESI
(makin tersedu)
Aku nyesel banget, Ndra, ninggalin Bapak sendirian. Harusnya waktu itu aku gak usah pergi. Aku terlalu iri sama kalian yang segampang itu dilepas sama Bapak. Ujung-ujungnya juga aku sampe sekarang belum jadi penyanyi betulan.


INDRA
Kamu kan pergi untuk ngelakuin apa yang kamu mau.


DESI
(menoleh ke Indra)
AKU GAK SALAH KAN?! Maksud aku, aku pergi ke Jakarta untuk buka jalan supaya aku bisa jadi penyanyi. Cita-cita aku dari kecil. Aku juga punya makna dan tujuan hidup yang harus aku cari. Karena siapa lagi yang mau nyariin kalo bukan aku sendiri? Aku gak bisa terjebak di dalam rumah, ngurusin Bapak terus.

Desi mengusap air matanya, ia masih sesegukan. Sementara air matanya terus mengalir keluar.

DESI (CONT'D)
(masih tersedu-sedu)
Tapi tetep aja aku ngerasa bersalah. Aku yang terakhir pergi dari rumah. Andai aja aku gak pergi. Aku bisa jagain Bapak. Jagain makannya, kesehatannya. Mungkin aja gak bakalan ada hari di mana kita semua duduk di sini.
(beat)
Aku selalu salahin Bapak karena egois, dia maunya kita semua harus mikirin dia. Tapi aku gak sadar, aku mikirin diri sendiri itu juga egois.
(beat)
TAPI MASALAHNYA BAPAK JUGA YANG NOLAK AKU AJAK KE JAKARTA! Pusing tau gak aku mikirin ini.


INDRA
Ya gak gampang lah, Des, asal main pindah. Bapak tinggal di rumah itu sejak awal menikah sama Ibu. Kenangannya susah dilupain gitu aja.

Desi berusaha menghentikan tangisnya. Bersandar pada kepala kursi.

DESI
Dari dulu kita cuman bisa anjing-anjingin Bapak, seakan-akan Bapak paling gagal jadi orang tua.
(beat)
Sekarang kita lagi yang gagal... jadi anak. Kira-kira Bapak anjing-anjingin kita gak yah?

Desi menyandarkan kepalanya ke pundak Indra yang terdiam mematung dengan tatapan yang kosong.

Tiba-tiba Arul keluar dengan panik dari dalam kamar. Ia bahkan tak menoleh atau berbicara sebentar ke Indra atau Desi. Ia berlari menyusuri lorong, berteriak meminta tolong. Desi dan Indra menjadi panik dan langsung berlari masuk ke kamar. Kita mengikuti mereka berlari dari belakang menuju ranjang Rusdi. Rusdi kejang di atas ranjang. Monitor pasien kembali berbunyi "bip" tempo cepat.

DESI (CONT'D)
(gelisah)
Bapak kenapa?? Bapak!!!

Kemudian seorang DOKTER dan tiga PERAWAT lainnya membawa peralatan mereka seperti steteskop, alat pengukur darah. Mereka datang dari arah luar dan langsung menuju ke ranjang Rusdi.

PERAWAT #1
(ke Indra, Arul, Desi)
Keluarga pasien bisa tunggu di lorong sebentar?

Langkah ketiga anak Rusdi terasa berat meninggalkan ruangan. Mereka masih sempat untuk terus melihat Rusdi dari jauh.

Tirai yang mengelilingi ranjang Rusdi, digeser menutup sehingga kita tidak bisa melihat Rusdi lagi.


106. INT. RUMAH SAKIT - LORONG — NIGHT

Insert : Arul membuka handphonennya, menunjukkan pukul 00:03.

Arul meletakkan kembali telepon genggamnya ke saku celana. Lalu bersandar ke tembok yang berada tepat di depan pintu kamar. Raut wajahnya seperti orang kebingungan. Matanya sendu.

Kita menunggu di lorong. Memperhatikan keputusan-asaan Desi yang terus berjalan tak tenang mengitari lorong, sembari menggigiti kukunya. Air matanya terus mengalir. Sementara Indra terduduk di kursi panjang, kakinya tak bisa diam, ia juga merasa gelisah. Mata Indra nampak merah.

INDRA
Desi duduk!


DESI
Gak bisa. Jantungku udah kayak mau pecah. Udah sejam lho mereka di dalam, Ndra. Bapak diapain coba? Mereka cuman bolak-balik tapi gak ngasih tahu kita apa-apa.

Desi berjalan mendekati pintu kamar, berusaha melihat ke dalam dari bagian kaca pada pintu masuk kamar. Hanya terlihat perawat yang pulang balik di sekitaran ranjang Rusdi.

Indra menjemput Desi, menarik tangannya untuk membantunya duduk di kursi panjang.

Desi tiba-tiba menangis sejadi-jadinya. Memeluk pinggang Indra yang berdiri di depannya. Indra mengelus-elus kepala Desi pelan-pelan.

Indra dan Arul hanya saling melempar tatapan kasihan.

Kemudian seorang perawat keluar dari kamar. Berdiri diam di depan kamar memperhatikan Desi. Desi mengangkat kepalanya. Tidak ada satupun dari mereka yang berbicara.


107. INT. RUMAH SAKIT - KAMAR PASIEN — NIGHT

Desi, Indra dan Arul berjalan beriringan masuk ke kamar. Mereka pelan-pelan dalam langkah. Raut wajah mereka memasang ekspresi sedih, gelisah, takut, khawatir. Mata Desi nampak sembab sekali.

Perawat membuka tirai yang mengitari ranjang Rusdi. Kita melihat Rusdi yang sudah memakai masker oksigen berkantung. Terbaring tak sadarkan diri.

Insert : Oximeter jepit di jari Rusdi menunjukkan angka 55% pada kadar oksigen dalam darahnya.

Dokter menghampiri mereka yang masih sedikit jauh dari ranjang Rusdi.

DOKTER
Kami sudah lakukan semua upaya yang bisa kita lakukan untuk membantu menaikkan kadar oksigen dalam tubuh pak Rusdi. Seperti yang bisa dilihat, masker oksigennya juga sudah kami ganti dengan arus yang lebih cepat. Namun hasilnya nihil. Kondisi fisiknya juga makin menurun. Meskipun sudah dibantu dengan oksigen tambahan, namun kadar oksigennya terus menurun dalam kurang dari satu jam.
(beat)
Kadar oksigen yang kurang dari 70%, bisa dikatakan pasien sedang dalam kondisi kritis. Kami tenaga medis hanya bisa membantu sampai di sini.

Ketiga anak Rusdi hanya mampu berdiri seperti patung. Tertunduk tak tahu harus bagaimana.

INDRA
Oksigennya dipasang atau dilepas, tidak ada perubahan?


DOKTER
Maaf.

Dokter hanya bisa tertunduk.

Desi melirik Indra yang nampak berpikir keras.

DESI
(ke Indra)
Kenapa? Mau minta oksigen Bapak dilepas?


INDRA
Bapak pernah bilang, dia minta dokter cabut oksigen Ibu, karena dia percaya, ada orang yang sudah mau mati, tapi dipaksa hidup dengan alat-alat modern. Sama aja kayak nyiksa mereka.

Ketiga anak Rusdi menoleh ke Rusdi dengan tatapan sedih.

DESI
Ya itu karena Bapak aja yang gampang nyerah. Kita buktiin kalau gak semua orang, nasibnya itu sama.
(memohon ke Indra)
Ya?

Indra tertunduk memikirkan ucapan Desi barusan.

DESI (CONT'D)
(ke Dokter) Makasih, Dok. Nanti kami panggil lagi.

Para Dokter hanya mengiyakan, lalu beranjak pergi.

Ketiga anak Rusdi masih saja berdiri mematung. Desi mulai bergerak mendekati ranjang.

Desi duduk di kursi di samping kiri Rusdi, menggenggam tangannya yang dipasang oximeter pada jarinya.

Desi hanya menatap Rusdi dengan hibah. Matanya berkaca dan merah. Ekspresinya menggambarkan kesedihan dan penyesalannya.

Arul bertumpu pada lututnya di lantai, di samping kanan Rusdi, memegang tangan Rusdi.

Indra berdiri di samping Desi yang duduk di kursi, merangkul bahunya.

Arul mendekatkan wajahnya ke telinga Rusdi.

ARUL
(berbisik ke telinga Rusdi)
La ilaha illallah.

Melihat Arul mengucap itu, Desi tumpah seketika dalam tangisnya lagi. Dia melepas tangisnya begitu saja. Menangis tersendu-sendu. Indra memeluknya erat, menenangkannya.

Arul terus mengulangi dengan lembut kalimat La ilaha ilallallah di telinga Rusdi.

NENEK (O.C.)
Maaf mengganggu!

Indra dan Desi menoleh ke sumber suara. Arul fokus dengan berbisik ke telinga Rusdi terus menerus.

Seorang NENEK duduk di ranjang pasien yang berseberangan dengan Rusdi. Dia sendirian di sana.

NENEK
Berapa umur Bapakmu?


INDRA
70 an.


NENEK
Sudah tua. Harusnya kalian sudah tahu sebentar lagi pergi. Jadi tidak boleh menangis. Sudah sepatutnya dari awal kalian persiapkan diri.

Indra dan Desi hanya diam mendengarkan.

NENEK (CONT'D)
Tapi Bapakmu sudah bahagia pasti. Dari kemarin saya lihat kalian rawat dia baik-baik. Kalian sudah berusaha jadi anak yang baik. Tugas Bapak kalian sudah selesai. Jadi jangan salahkan siapapun kalo Tuhan mau mengambilnya.

Indra seperti terharu, memikirkan perkataan nenek itu. Mengangguk dan men-senyumi nenek itu.


108. INT. RUMAH SAKIT - LORONG — NIGHT

Indra tengah menghubungi seseorang di teleponnya. Terdengar dering telepon.

INDRA
Assalamualaikum, Tante Mala. Maaf mengganggu malam-malam. Saya cuman mau kasih tahu... kalo Bapakku udah bentar lagi. Oksigennya tinggal sekitar 20%-an.
(beat)
Iya, tante. Udah dari jam 11 tadi mulai ada gangguan napas. Dokter udah coba bantu tapi yah, udah waktunya mungkin.
(beat)
Saya boleh minta tolong siapkan rumah? Supaya kalo jenazah Bapak saya datang udah siap.
(beat)
Iya, tante. Ambil kasur yang di kamar Bapak aja. Habis kucuci tadi pagi.
(beat)
Makasih banyak tante. Saya tutup ya telponnya. Saya mau temani Bapak.

Indra menutup panggilan teleponnya. Di layar terlihat sudah pukul 03:23.


109. INT. RUMAH SAKIT - KAMAR PASIEN — NIGHT

Desi masih duduk di kursi. Matanya sudah membengkak dan merah. Tangannya menutup alat oximeter di jari Rusdi. Ia sengaja menutupinya, tidak ingin melihatnya.

Sementara Arul masih berlutut di lantai dan fokus membisikkan kalimat La ilaha illallah di telinga Rusdi.

Indra berlutut di dekat Desi. Lalu memegang tangan Desi yang menutup alat oximeter Rusdi.

INDRA
(ke Desi)
Udah yah? Kasihan Bapak.

Desi merasa berat hati. Ia menjadi lemah seketika. Menangis tersedu-sedu lagi.

Indra menyingkirkan tangan Desi. Membuat kita bisa melihat angka 20% pada alat oximeter.

Insert : Monitor pasien Rusdi, menunjukkan garis lurus-lurus hanya dengan sedikit garis tidak beraturan yang muncul.

Indra perlahan membuka masker oksigen Rusdi. Mereka semua sudah nampak pasrah.

Kita fokus ke Arul, yang semakin dekat berbisik ke telinga Rusdi. Dia mulai menangis.

ARUL
(berbisik pelan)
La ilaha illallah...

Arul mengulanginya lagi. Namun bunyi "bip" tak berhenti tiba-tiba terdengar. Arul makin menangis.

Insert : Monitor pasien Rusdi menunjukkan garis lurus.

Kita melihat Arul dan Desi menangis tersedu-sedu. Sementara Indra berusaha menenangkan Desi.


110. EXT. JALAN — NIGHT

Arul dan Indra mengendarai motor mereka yang berjalan di belakang mobil ambulans. Sirine ambulan terdengar nyaring bersamaan dengan kumandang adzan subuh di mana-mana.


111. INT. RUMAH - RUANG TENGAH — NIGHT

Jenazah Rusdi diletakkan di tengah-tengah ruangan yang sudah disiapkan kasur di sana. Rusdi sudah ditutupi sarung di sekujur badannya. Ada qur-an di atas kepalanya. Juga sebuah kertas yang menujukkan nama RUSDIANTORO, 17 MARET 1949.


112. INT. RUMAH - KAMAR MANDI — DAY

Jenazah Rusdi dibawa masuk ke kamar mandi, lalu diletakkan ke lantai. Indra mulai menyirami jenazah Rusdi dengan air di timba.


113. INT. RUMAH - RUANG TENGAH — DAY

Mayat Rusdi tengah disholatkan. Ada cukup banyak orang di sana yang melakukan sholat jenazah.

INDRA (V.O.)
Bapak saya memang bukan Bapak yang baik sekali...

CUT TO:

114. EXT. RUMAH TERAS — DAY

INDRA
... tapi karena dia pekerja keras, makanya sejujurnya banyak sekali hal yang bisa kami ambil.

Para pelayat duduk sembari melihat Indra berbicara di atas teras dengan mic, sementara jenazah Rusdi sudah tertutup di atas keranda.

INDRA (CONT'D)
Bapak saya bukan orang kaya. Dia kerja serabutan untuk kehidupan kami. Terutama saya dan Almarhum Ibu saya, yang melihat Bapak saya berusaha begitu keras sampai akhirnya rumah ini bisa dibangun. Dibalik kerasnya sifat Bapak saya, sebenarnya dia adalah orang yang begitu peduli sama keluarganya. Dia hanya sedikit lepas kendali kadang-kadang.

Kita melihat ke barisan keluarga dekat dan jauh Rusdi yang ikut menangis. Kita melihat Desi, Siska, Santi, Mala dan Elma di sana.

INDRA (CONT'D)
Ada satu kebaikan yang tidak akan saya lupa, yang baru saja saya sadari ketika tadi pagi saya antar jenazah Bapak saya kembali ke rumah.
(beat)
Yaitu tentang meskipun kami anaknya selalu menuntutnya untuk jadi Bapak yang lebih baik, tapi almarhum Bapak saya tidak pernah menuntut balik kami agar bisa lebih baik dalam menjadi seorang anak.
(beat)
Dan saya akhirnya sadar bahwa saya masih punya alasan untuk berterima kasih kepada Bapak saya.

Desi nampak makin menangis, orang-orang di sekelilingnya berusaha menenangkannya.

INDRA (CONT'D)
Terakhir, saya mewakili keluarga saya kepada semua orang yang ada di sini, yang mungkin mengenal Bapak saya, dan pernah terlibat masalah atau konflik pribadi, kami memohon untuk sekiranya memaafkan apapun kesalahan Bapak say. Supaya Almarhum bisa tenang di sana. Karena bagaimanapun juga, kita semua manusia. Selamanya manusia tidak bisa menjadi baik secara utuh.

Arul berdiri di depan pintu, tersenyum haru kepada pelayat.


115. EXT. PEMAKAMAN UMUM — DAY

Orang-orang berkumpul di sekitar liang kubur. Isak tangis terdengar sana-sini. Desi masih menangis, disampingnya memegangi pundaknya ada Siska.

Jenazah Rusdi mulai diturunkan ke liang lahat. Sudah ada Indra, Arul dan satu orang PRIA lain di sana. Mereka menadah jenazah Rusdi.

Jenazah Rusdi dimasukkan ke liang jenazahnya. Lalu mulai ditutup dengan papan kecil.

Indra mengambil papan terakhir untuk menutupi bagian kepala. Sebelum menutupnya, Indra dengan perlahan membuka tali kafan yang mengikat di kepala Rusdi. Membuat wajah Rusdi terlihat.

Indra terdiam memperhatikan, mematung dengan wajah yang semakin menjadi sedih.

Indra tertunduk, menangis sejadi-jadinya. Dia berusaha meredam suara tangisnya. Dia menangis sebegitu parahnya tanpa suara.

Arul yang ada di belakangnya ikut menangis, mengelus pelan pundak Indra.

CUT TO BLACK.

116. MEJA MAKAN — VARIOUS TIME

INSERT : Jam dinding di dinding dapur sudah mati.

Dari sini, kita hanya mengambil satu shot, kita melihat semuanya dari ujung meja makan. Arul meletakkan tas ranselnya di atas meja makan, lalu duduk di samping Desi. Di atas meja sudah ada tiga ransel. Indra tengah memainkan handphone-nya. Desi melihat sesuatu di dinding dapur. Mereka semua duduk di kursi meja makan.

ARUL
Ini beneran gak bakal ada acara tujuh harian?
(beat)
Waktu tiga harian aja tante Mala sama tante Santi, nanyain lho. Hari ini hari ke tujuh Bapak.


DESI
Gak usah lah. Permintaannya Bapak kek gitu.

Arul hanya mengangguk mengikuti.

ARUL
Jadi rumah ini gimana? Ada Bapak aja kita jarang ke sini. Apalagi udah gak ada. Ngapain lagi ke sini?

Desi dan Indra memikirkan jawabannya.

INDRA
Yaudah biarin aja. Kalo kita mau datang, ya kita datang. Mungkin sekarang kita harusnya lebih sering datang. Karena cuman rumah ini yang jadi peninggalannya Bapak sama Ibu. Kita bakal bayar listriknya, supaya rumah ini tetep hidup meskipun kita udah gak tinggal di sini.

CUT TO:

Desi, Arul, Indra dan Siska duduk sembari menyantap makanan.

INDRA (V.O.) (CONT'D)
Jadi kita bisa terus datang untuk berkunjung ke sini. Mungkin tiap lebaran, datang untuk bersihin rumah. Supaya tetep terawat.

CUT TO:

Desi duduk sendirian di kursi meja makan sembari menangis.

INDRA (V.O.) (CONT'D)
Atau kalo gak, gak usah nunggu lebaran. Misal kita tiba-tiba rindu, mungkin pulang ke sini bisa sedikit mengobati. Sekedar mengenang lah. Karena mau bagaimana pun yang terjadi di rumah ini, gak selamanya buruk. Harusnya kita tahu itu.

CUT TO:

Arul bersama ISTRI-nya tengah memberi makan bayi mereka.

INDRA (V.O.) (CONT'D)
Kalo kita semua misal udah nikah. Kita bisa bawa pasangan kita ke sini untuk ngenalin mereka ke Ibu Bapak. Nyeritain masa kecil kita bersama orang tua supaya bisa lebih saling mengenal.

CUT TO:

Indra dan Siska tengah kerepotan mengurus tiga orang anak mereka yang masih kecil untuk makan di meja makan. Sangat rusuh keadaannya.

INDRA (V.O.) (CONT'D)
Dan suatu hari mungkin sepuluh tahun dari sekarang, kita akhirnya juga punya anak. Kita bisa sesekali datang untuk memperkenalkan anak-anak kita kepada kakek-neneknya.

CUT TO:

Meja makan terlihat kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana.

INDRA (V.O.) (CONT'D)
Dan akan ada momen di mana kita lupa tentang rumah ini. Bisa aja dalam beberapa tahun kita gak berkunjung lagi. Karena masing-masing dari kita udah sibuk ngebentuk keluarga baru, di rumah baru, di mana kita secara tiba-tiba berganti peran yang sedarinya adalah anak, menjadi orang tua. Kita bakal fokus untuk nyiptain kenangan yang baik kepada anak terhadap kita sebagai orang tua. Supaya disaat kita tua nanti, anak-anak kita bisa nganggep kita sebagai orang tua betulan. Seperti yang kita harapkan saat kita mengambil keputusan untuk menjadi orang tua.


CUT TO:

117. INT. RUMAH - RUANG TENGAH — DAY

INDRA (80) duduk di atas kursi roda. Rambutnya sudah memutih keseluruhan. Kulit wajahnya sudah mulai luntur. Badannya sudah membungkuk. Di sampingnya berdiri DUA ORANG ANAK INDRA, juga TIGA ORANG CUCU INDRA. Mereka berdiri memperhatikan sesuatu di depan mereka. Salah satu CUCU INDRA (23) memegang sebuah bingkai foto.

CUCU INDRA
(ke Indra)
Mau simpan di mana ini, Kek?

Indra fokus menatap sesuatu di depannya. Matanya menjadi berembun.

INDRA
Terserah kamu.

Cucu Indra beranjak.

Cucu Indra memajang foto DESI (74 TAHUN) di samping foto ARUL (55). Sementara kita bisa melihat di atas foto Desi dan Arul ada foto RUSDI (70) dan ARNI (55). Kesamaan di foto-foto mereka adalah mereka semua tengah memakai infus di tangan, dan memakai pose dua jari dan tersenyum ke kamera saat berfoto.

Indra masih menatap foto-foto itu. Seakan-akan mengingat kembali momen keluarganya saat masih hidup. Tiba-tiba dia menangis. Ke-TIGA CUCU INDRA sigap memeluknya. ANAK PERTAMA INDRA (40) mengelus punggungnya dari belakang.


118. INT. RUMAH SAKIT — DAY

POV KAMERA PONSEL

Kita melihat dari perspektif kamera ponsel, hanya gambar Indra yang terlihat. Dia terbaring di ranjang pasien rumah sakit. Tangannya diinfus. Wajahnya tampak pucat.

CUCU INDRA (O.C.)
Kakek... lihat kamera!

Indra melihat kamera, mengangkat dua jarinya dan memasang pose "v" dengan jarinya, sembari tersenyum ke kamera.

CUCU INDRA (O.C.) (CONT'D)
Satu... dua... tiga...

Foto terambil.

FADE OUT.

TITLE CARD : SIAPA-BAPAK-SIAPA

THE END.








Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar