Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Selamat Tidur Pagi
Suka
Favorit
Bagikan
6. BAB 5 : Ali Part A

TEKS : BAB 5   ALI

 

FADE IN:

 

38. INT -    KAMAR INDEKOS NATASHA - SELANJUTNYA

 

Natasha mengambilkan Janus dan Siti segelas air mineral dari lemari pendinginnya.

Janus dan Siti lantas meminumnya cepat. Mereka menyodorkan dua gelas lagi kepada Natasha. Natasha menggeleng-geleng. Perempuan itu berlalu kembali ke lemari pendinginnya kemudian membawa sebotol air mineral dingin kepada dua tamunya itu. Siti lantas menerimanya dan menuang air ke gelasnya. Janus pun meraih botol itu dan menuang air ke gelasnya.

 

NATASHA

Duduklah.

 

Natasha duduk di sofa. Siti mengikutinya. Hanya Janus yang masih berdiri. Tangannya menopang sebuah bufet setelah meletakkan botol air dan gelas di situ.

Kecanggungan menyertai mereka.

 

SITI

Jadi, kalian?   Pernah ada hubungan?

 

NATASHA

Itu dulu sekali, Ti.

 

JANUS

Ya, sebaiknya nggak perlu dibahas.

 

Mereka kembali diam. Janus melihat-lihat kamar Natasha. Siti memainkan gelasnya. Sementara Natasha tampak serius melihat Janus, dan ada senyum tersirat di bibirnya.

 

JANUS

Apa?

 

NATASHA

Jadi, kalian tidak tahu orang-orang siapa itu?

 

JANUS

Jelas, itu anak buah dari seorang pebisnis kaya yang dompetnya dicuri oleh Siti.

 

NATASHA

Ke mana dompetnya sekarang?

 

SITI

Sudah kubuang.

 

NATASHA

Dasar bodoh.

 

JANUS

Kenapa kamu menjerumuskan adikku?

 

NATASHA

Aku tidak berniat menjerumuskannya. Aku cuma menawarinya, karena aku tahu dia hebat dalam melakukan pekerjaan itu sebelumnya... Makanan-makanan dan duit manajer restoran berhasil diambilnya selama enam bulan tanpa mereka tahu Siti pelakunya, meskipun ada CCTV di sana. Aku cuma mengakuinya.

 

JANUS

Tidak perlu dibahas juga, Rit.

Sejak lama kamu memang aneh dan

gila!

 

SITI

Aku tahu, ini salahku.

 

JANUS

Tidak. Ini salah Rita.

 

NATASHA

Lho, jangan menyalahkanku, dong. Aku cuma berusaha membantunya, karena dia katanya ingin melunasi hutang-hutangnya.

 

JANUS

Tapi, kenapa kamu memberikan saran yang salah padanya.

 

NATASHA

Kenapa harus salah. Yang salah itu kalau aku memberinya saran merampok bank atau menjual dirinya. Yang mungkin itu bukan kemampuan Siti! Ini bukan perihal salah dan benar, Janus. Seperti biasa, kamu selalu menghitam-putihkan segala persoalan!

 

SITI

(menunduk)

 

JANUS

Jaga mulutmu! ... Siti, sejak awal, seharusnya kamu tidak perlu berkawan dengan orang sepertinya.

 

NATASHA

Hoho, Janus Haryanto, sejak lama kamu memang orang yang paling merasa benar. Rupanya idealisme itu belum hilang ... Tapi oh tapi, sepertinya kamu pun butuh uang makannya pekerjaanmu sebagai wartawan tak cukup.

JANUS

Apa maksudmu?

 

NATASHA

Jangan pura-pura bodoh begitu,

Janus. Kamu kira aku tidak tahu

pekerjaanmu sebenarnya apa?

 

Siti lantas menatap Natasha dan Janus.

 

SITI

Apa kalian masih saling berhubungan sekarang? Mas?

 

JANUS

Jelas tidak, Siti! Aku bilang kan, itu dulu. Dia juga sudah menegaskan, kalau waktu dulu kami pernah... Ah, aku malas menjawabnya.

 

NATASHA

Aku jadi ingat dulu aku begitu mengagumi kepedeanmu saat berkoar-koar di kelembagaan mahasiswa. Membela kaum tertindas, karena tidak bisa bayar uang kuliah, dan tidak adanya beasiswa. Ah, rautmu sekarang itu lho. Membuat aku mengingat itu kembali. (terkekeh-kekeh)

 

JANUS

Lupakan... Rita ... Kita langsung ke topik. Pekerjaan apa yang sedang kamu lakukan sekarang?

 

Natasha terdiam. Siti masih terlihat kebingungan dengan percakapan kedua orang di depannya, yang tak pernah disangka-sangka.

Dalam bisu itu, mereka mendengar suara klakson mobil. Janus mengingat minibus dan dua motor yang masih ada di dekat indekos.

 

JANUS

Jawab!

 

NATASHA

Sekarang, kalau aku tanya balik, apa kamu mau menjawab? Kenapa kamu sekarang malah berbisnis di bidang ini? Apa alasannya? Ke mana idelismemu dan mimpimu menjadi jurnaslis hebat, yang memiliki kata-kata tajam? Apa kamu mau menjawabnya?

 

JANUS

Untuk apa aku menjawab pertanyaan tidak penting begitu. Itu tidak ada kaitannya dengan kasus ini, Rita.

 

NATASHA

Jelas harus ada. Supaya biar adil. Bukankah kamu senang disebut sebagai pejuang keadilan dulu? Sekarang, aku tanya lagi kamu kerja apa? ... Enak sekali kamu memojokkanku dengan pertanyaan, apa pekerjaanmu sekarang. Tanya Siti, apa pekerjaanku!

 

JANUS

Cukup! Kamu selalu

mengungkit-ungkit yang sudah

karatan. Semuanya sudah berubah.

 

NATASHA

Jadi, sekarang beda?

 

JANUS

Jelas. Karena kita terus

berkembang.

 

NATASHA

Oh, ya?

 

JANUS

Jangan membuatku tambah kesal, Rita... Kecuali kamu memang masih menyukaiku, karena kelihatannya kamu sangat perhatian padaku, sampai memedulikan pekerjaanku. (menyeringai)

 

NATASHA

(tertawa) Apa? Suka? Sudah berapa

lama, Janus. Pikiranmu secetek itu,

kah?! Kamu merasa menang, karena

kamu sudah menikah sementara aku

belum? Asal kamu tahu Janus, sudah

banyak lelaki, entah puluhan atau

ratusan yang mencicipi tubuhku ini.

Banyak! Apa kamu mau?! Kamu belum

pernah bermain denganku, kan?

 

SITI

Berhenti. Aku tidak mau dengar

lagi.

 

Wajah Siti tampak memerah. Air matanya mendesak ingin keluar.

 

SITI

Aku tidak ingin kalian malah jadi ribut karena kesalahanku.

 

JANUS

Sudah aku bilang Ti, jangan

meratapi kesalahanmu...

 

NATASHA

Siti. Jangan bilang begitu. Kamu yang memilih untuk menerima tawaranku. Sudah kubilang, jangan terlalu banyak meminta maaf. Itu menyebalkan.

 

Janus terlihat makin emosi. Ia berjalan cepat ke arah Natasha. Ia merengkuh wajahnya, hendak menampar perempuan itu.

 

NATASHA

Kenapa? Ayo tampar!

 

SITI

MAS!

 

Klakson berbunyi kembali.

Janus mengurungkan niatnya untuk menampar Natasha. Ia mendengus kesal, lalu melangkah menuju jendela. Janus menyeka sedikit gordennya dan melihat minibus itu telah ada di depan gerbang indekos.

Ia melihat satu motor pergi. Satu motor lagi berhenti di dekat minibus. Pengendaranya yang masih memakai helm yang sama dengan miliknya Janus perhatikan dengan serius.

Saat lelaki itu membuka helmnya. Janus terkejut. Ia mengenal wajah lelaki itu. Pengendara itu adalah orang yang ia temui saat menyelidiki Ali di plaza. Dia adalah lelaki penjaga parkir 2, yang tampak asyik memakan mie instan dan sempat menawarinya rokok.

Janus menutup gordennya. Ia mendengus kesal.

 

JANUS

Tolong, katakan Natasha. Apa hubungannya kamu dengan lelaki itu? Jawablah, ini demi keselamatan Siti, dan keluargaku.

 

Natasha memandang Janus serius.

 

NATASHA

Ini tidak ada kaitannya dengan

Siti.

 

JANUS

Maksudmu?! Jelas-jelas Siti mencuri dompet lelaki berengsek itu.

 

NATASHA

Dia belum memberikan perintah untuk mencari Siti.

 

JANUS

Lalu mereka?

 

NATASHA

Aku percaya kamu sudah tahu, Janus.

Siapa yang diburu lelaki itu.

 

SITI

Sebenarnya siapa lelaki itu. Apa

hubungannya dengan Mas Janus?

 

Janus tergeragap.

Natasha tersenyum melihat Janus tak bisa menjawab pertanyaan adik iparnya. Sebentar, Natasha beringsut dari duduknya, pergi ke ruang tidurnya, mengambil sesuatu.

Janus masih terus mengelak dari pertanyaan Siti.

Saat kembali, Natasha lantas berjalan di belakang Siti. Seketika pula, Natasha menyetrum Siti dengan alat listrik yang dibawanya dari kamarnya. Membuat Siti kesetrum: tubuhnya kejang-kejang, lalu perempuan itu pingsan, terjatuh ke lantai.

Janus sangat terkejut. Dengan cepat ia meraih tubuh Natasha lalu menamparnya dua kali. Natasha hanya menyodorkan alat setrum tersebut kepada Janus. Janus mundur.

 

JANUS

Gila kamu!

 

Janus segera meraih tubuh Siti. Ia merasa aliran listrik sedikit mengaliri tubuhnya sedikit.

 

NATASHA

(terkikik) Kamu bodoh banget.

 

JANUS

Berisik!

 

Janus lantas mengangkat tubuh adik iparnya ke sofa panjang. Ia merebahkannya di sana. Sebentar, Janus duduk di lantai, dekat sofa itu. Ia terlihat begitu kepusingan.

Natasha duduk di tempat semula.

 

NATASHA

Tenanglah. Dia tidak akan mati. Dia cuma pingsan, Janus. Kamu tahu itu.

 

JANUS

Aku tahu!

 

NATASHA

Lalu kenapa sampai semarah itu?

 

JANUS

Kamu yang seharusnya menjelaskan

padaku!

 

NATASHA

Aku tahu. Oleh karena itu aku mencoba membantumu, Janus... Kamu belum memberitahu Siti dan istrimu, kan, pekerjaanmu yang sebenarnya?

 

JANUS

Tahu dari mana kamu?

 

NATASHA

Karena kita sama, Janus! Sampai kapan kamu berlagak polos. Dan lagi kelihatan banget, Siti nggak tahu apa-apa soal pekerjaanmu.

 

JANUS

Sebelumnya, aku memang nggak tahu apa-apa soal ini!

 

NATASHA

Berarti memang kamu yang bego! Kamu tolol asli! Kamu nggak sadar, kita saling menyelidiki?!

 

JANUS

Oke, oke... Aku bekerja untuk Mbak

Santi. Kamu pasti sangat tahu dia.

 

NATASHA

(mengangguk-angguk) Aku bekerja

untuk Pak Ali. Dan dia tahu kamu

sedang menyelidikinya.

 

JANUS

Mbak Santi menyuruhku menyelidiki kamu juga... Sebenarnya, ada motif apa kamu berhubungan dengan si Ali berengsek itu.

 

NATASHA

(tertawa) Akhirnya kamu jujur juga... Aku nggak percaya, kita dipertemukan dalam keadaan begini. Apa kita ini sebenarnya jodoh, ya? Sayang, kamu sudah punya bini.

 

JANUS

Berhenti... Aku seharusnya menemani istriku malam ini. Dia sedang melahirkan.

 

NATASHA

Kamu memang kejam... Sejak dulu, kamu juga selalu meninggalkanku demi kepentingan organisasi kampus.

 

JANUS

Sudahlah! Jangan mengaitkan masalah ini dengan masa lalu!

 

NATASHA

Oke, oke. Kelihatannya kamu nggak mau bernostalgia.

 

JANUS

Kamu pikir, dong sekarang keadaannya bagaimana! Sejak tadi aku diikuti oleh orang-orang itu! Rasanya aku mau mampus!

 

NATASHA

(tertawa) Kamu tahu, mereka dikirim Ali untuk menyelidiki, bahkan mungkin untuk menghabisimu, Janus. Mereka sudah mengetahuinya. Tadi, Ali kelihatan gelisah sekali saat bersamaku di hotel.

 

JANUS

Bagaimana mereka nggak saling mengetahui, Santi dan Ali masih tidur bareng... Kita ini cuma jadi permainan mereka. Sialan, aku menyesal menerima pekerjaan ini.

 

NATASHA

Biar aku tebak. Kamu menerima

pekerjaan ini untuk membayar

persalinan istrimu, kan?

 

JANUS

Ya... Berikut beli popok, beli baju bayi, beli daleman istriku, beli bedak, beli susu, beli dot ... Puas kamu?!

 

NATASHA

(tertawa)Kamu benar-benar berubah.

 

JANUS

Aku rasa nggak adil kalau hanya aku yang menjawab... Untuk apa kamu menerima pekerjaan ini? Kenapa pula harus melibatkan Siti mencuri dompet Ali?!

 

NATASHA

Yah, kamu tahulah, aku malas berpikir lebih jauh untuk mencari cara yang lebih baik buat Siti. Aku hanya memanfaatkan keuntunganku dengan Ali. Lagipula, sepertinya Siti belum meraup semua uang dalam rekeningnya.

 

JANUS

Tapi, kamu membuat dia ketakutan bukan main!

 

NATASHA

Ya itu manusiawi...

 

JANUS

Goblok!

 

NATASHA

(tertawa) Mau wine?

 

JANUS

Boleh.

 

Natasha mengambil wine di dalam lemari pendinginnya, juga mengambil dua cangkir dari lemari dapurnya.

 

NATASHA

Aku menerima pekerjaan ini untuk bertahan hidup. Aku rasa sampai di sini sudah jelas... Aku hidup sendiri, dan harus berjuang sendiri. Sejak lama kamu tahu aku ini seperti apa. Aku bukan cewek cengeng yang selalu minta diantar cowoknya pulang-pergi kerja atau kuliah. Ngemis-ngemis minta sesuatu, atau terlena dibayarin makan pacar.

 

Natasha menuangkan wine ke cangkir, lalu memberikannya kepada Janus. Janus mencium wanginya. Ia pun menuangkan wine ke cangkirnya sendiri. Natasha kemudian duduk di tempat semula sambil menenggak minuman itu pelan-pelan.

 

JANUS

Aku curiga kamu meracuniku.

 

NATASHA

Jangan bodoh. Aku tidak segila itu.

Lagipula apa untungnya.

 

JANUS

Tentu ada. Kalau aku mampus, kamu bisa leluasa menjalankan tugasmu dari si Ali hidung belang itu.

 

NATASHA

Aku tidak berniat untuk lanjut. Aku cuma mengincar uangnya saja.

 

JANUS

Lalu kenapa?

 

NATASHA

Kenapa apanya?

 

JANUS

Memilih pekerjaan ini.

 

NATASHA

Anggaplah ini sisi lain diriku yang tak pernah kamu lihat dahulu. Atau mungkin juga kamu melihatnya dan sisi ini yang membuat hubungan kita berakhir...

 

JANUS

(mengembuskan napas) Kamu bermain

dengan lelaki tua itu di hotel

tadi?

 

NATASHA

(mengangguk) Dia keluar duluan.

Belum masuk padahal. (terkikik)

JANUS

Sialan...

 

NATASHA

Aku kerja sebagai pelayan bar, sebagai waiters restoran hotel, sales, dan apapun. Tapi, tetap saja hidupku kosong. Sejak lama aku merasakan begitu. Tak tahu arah hidupku mau ke mana. Setelah kamu lulus, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan, dan terlantung-lantung sendirian di kota ini... Berpacaran dengan beberapa lelaki, mencoba jadi parasit. Menggantungkan hidup kepada mereka, seperti kebanyakan perempuan sekarang... Tapi, aku malah merasa jijik pada diriku sendiri.

 

JANUS

Kenapa kamu tidak pernah

menghubungiku?

 

NATASHA

Aku pikir yang sudah lalu, biarlah berlalu.

 

JANUS

(mengangguk) Oke.

 

NATASHA

Ah, jangan-jangan kamu yang masih memikirkanku, Janus?

 

JANUS

Ya, kadang. (tersenyum)

 

NATASHA

Kamu ternyata memang nakal.

 

JANUS

Jangan salah paham. Aku nggak terlalu memikirkanmu serius, kok...

 

NATASHA

(memicingkan mata)

Kamu sangat mencintai istrimu?

 

JANUS

Ya. Maaf.

 

NATASHA

Kenapa minta maaf?

 

JANUS

Karena tidak ada ruang untukmu

(terkekeh)

 

NATASHA

Ih! Jijik. Mana mau aku denganmu yang sekarang. Kamu sekarang seperti ikan cupang dalam plastik bening.

 

JANUS

Cupang mahal apa murah?

 

NATASHA

Murah dong!

 

JANUS

(terkekeh)

 

Natasha sesaat melihat raut Siti yang tertidur pulas: lelap dalam pingsannya.

 

FADE OUT

FADE IN:

 

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar