Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Latar : Selasar
Professor
"Ada kecenderungan memang, tapi aku tak melihatnya dominan."
Psikolog
"Bagaimana bisa?"
Professor
"Entahlah, ini memerlukan waktu. Aku butuh psikiater kalau begini"
Psikolog
"Apakah anda ingin masuk lagi?"
Professor
"Iya, mengapa tidak. Tapi aku ingin sendiri."
Professor itu berjalan kaki masuk kedalam ruangan tadi sendiri, tanpa ditemani psikolog itu.
Dari jendela, ia terlihat berjalan ke polisi notula. Dan polisi notula itu berjalan keluar ruangan. Ia membuka pintu dan menutupnya. Praktis hanya ada professor dan tersangka disana.
Psikolog itu melihat dari luar jendela, wajah professor yang tenang, serta wajah tersangka yang tenang pula.
Ia sudah bersih dari darah yang mengucur di wajahnya. Entah bagaimana bisa.
Polisi Interogator datang mendatangi Psikolog
Polisi Interogator
"Apa menurutmu dia orang yang bisa dipercaya?"
Psikolog
"Siapa?"
Polisi Interogator
"Professor"
Psikolog
"Bisa. Aku percaya."
Polisi Interogator
"Omong kosong. Aku tak percaya."
Psikolog itu juga berpikir.
Polisi Interogator juga melihat kedalam ruang interogasi dari jendela.
Polisi Interogator
"Lihatlah, apa yang mereka lakukan. Tertawa-tawa. Mereka tidak serius sama sekali. Padahal ini pembunuhan penting."
Psikolog itu berpikir.
Psikolog
"Iya, professor bisa juga salah. Ia juga manusia."
Polisi Interogator
"Iya."
Mereka berdua lumayan bingung dengan itu.
Psikolog
"Siapkan alat pendeteksi kebohongan. Kejut listrik jika perlu. Panggilkan Psikiater."
Polisi Interogator
"Iya."
Polisi itu berjalan tegap tenang ke ujung selasar. Psikolog itu dengan heboh membuka pintu dan masuk dalam ruangan kedap suara itu.
Latar : Ruang Interogasi
Professor dan tersangka terlihat tertawa-tawa bersama. Mereka seperti bertemu kawan lama.
Psikolog itu menutup pintunya dan berbisik mendekati professor
Psikolog
"Apa kesimpulan anda?"
Professor sedikit tersenyum
Professor
"Kau perlu mendengarnya sendiri."
Tersangka
"Aku membunuh karena diminta. Itu saja. Tidak lebih."
Professor
"Itulah pengakuannya."
Psikolog
"Anda percaya prof?"
Professor
"Tidak juga. Tapi, aku menghargai dia."
Psikolog
"Bagaimana kalau dia berbohong."
Professor
"Itu urusan hakim dan Tuhan. Bukan urusanku. Tidak mengapa."
Psikolog
"Lalu bagaimana jika dia memang membunuh banyak orang?"
Professor
"Tolong jawablah" (ia berkata pada tersangka)
Tersangka
"Buktikan saja" (mereka berdua tersenyum)
Professor
"Kita tidak perlu merasa benar disini. Meskipun ini menantang."
Psikolog
"Tapi. Ini pembunuhan, ini melawan hukum."
Professor
"Apakah anda bisa membuktikannya?" (tanyanya pada psikolog)
Psikolog
"Tiga orang mati dan tak terungkap"
Professor
"Apakah anda bisa membuktikannya?" (tanyanya pada tersangka)
Tersangka menggeleng-gelengkan kepalanya.
Professor
"Ambilah kursi, dan duduklah." (katanya pada psikolog)
Psikolog itu berjalan kearah meja milik notulensi dan mengambil kursi. Ia menaruh kursi di antara duduk tersangka dan professornya.
Professor
"Apakah anda sering berbohong?" (tanya pada tersangka)
Tersangka
"Saya yakin anda juga."
Professor
"Iya, saya terkadang berbohong."
Psikolog itu terlihat menahan emosi yang ingin ia utarakan. Ini terlalu lama dan bertele-tele.
Professor
"Kalau kejujuran. Apa pandanganmu tentang kejujuran?"
Tersangka
"Kejujuran adalah tipuan positif. Sedang kebohongan adalah tipuan negatif"
Professor
"Bagaimana anda memaknai sebagai tipuan?"
Tersangka
"Karena itu bukan apa adanya. Jujur itu bias. Bias itu menipu."
Professor itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Professor
"Aku setuju denganmu."
Tersangka
"Kalau anda? Kenapa anda berbohong?"
Professor
"Aku tidak berbohong. Aku hanya tidak berterus terang."
Tersangka
"Itu tidak berbohong."
Professor
"Tapi munafik?" (professor dan tersangka itu tertawa)
Psikolog itu semakin tak karu-karuan bingung. Ia dengan serius berbicara pada professor.
Psikolog
"Dengan segala hormat prof. Tolong tanyakan kenapa ia membunuh orang."
Professor
"Kenapa anda membunuh orang?"
Tersangka
"Karena aku diminta"
Psikolog
"Itu delusimu!"
Professor
"Kau sering berkhayal?"
Tersangka
"Tidak juga."
Professor
"Berekspektasi?"
Tersangka
"Aku sudah tidak berekspektasi apapun sejak aku SD."
Professor
"Anda tidak pernah kecewa?"
Tersangka
"Tidak. Aku selalu berkespektasi seperti apa yang terjadi sekarang."
Professor
"Lalu?"
Tersangka
"Aku bahagia dengan itu. Ekspektasiku adalah setelah kejadian. Apapun yang terjadi, aku selalu berkata. Ini sesuai dengan ekspektasiku. Padahal aku tidak merumuskannya sebelumnya."
Professor
"Kau sungguh gila." (Professor itu tertawa)
Tersangka juga tertawa
Professor
"Bagaimana dengan reputasi. Kau peduli dengan reputasimu?"
Tersangka hanya tertawa. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Professor
"Kenapa?"
Psikolog
"Ini terlalu bertele-tele prof. Dia sudah membunuh banyak orang. Aku yakin"
Professor
"Kenapa pak?" (ia tak menggubris professornya)
Psikolog
"Omong kosong." (ia ngambek dan diam)
Professor
"Apakah dia mengganggumu?" (tunjuknya pada psikolog)
Tersangka
"Tidak. Aku kasihan dengan dia."
Professor
"Kenapa?"
Tersangka
"Ia terbelenggu dengan reputasi."
Professor
"Benarkah?" (tanyanya pada psikolog)
Psikolog
"Whatever" (ia duduk malas disamping professornya)
Psikolog itu menulis di kertas halamannya. "Kalau anda bukan professorku, sudah kubejak-bejak kepala anda."
Professor
"Anda mengakui pembunuhan itu kan?"
Tersangka
"Iya."
Professor
"Anda siap bertanggung jawab?"
Tersangka
"Siap"
Professor
"Lahir batin?"
Tersangka
"Alam semesta"
Professor
"Meskipun itu hukuman mati?"
Tersangka
"Meskipun itu hukuman mati. Bahkan hukuman hidup." (ia tersenyum)
Professor itu tersenyum.
Professor
"Tahu kan. Sudah, tak ada yang perlu diungkit lagi?" (katanya pada psikolog)
Psikolog
"Tapi ia psikopat. Lihatlah cara bicaranya?"
Professor itu mulai menyentuh bibirnya berpikir.
Professor
"Iya, ada kecenderungan. Tapi dia orang yang jujur. Dia kooperatif."
Psikolog
"Dia manipulatif prof."
Professor
"Iya. Ada kemungkinannya."
Professor itu terdiam didepan tersangka.
Tersangka itu menatap professor dalam-dalam.
Tersangka
"Apa anda hendak kembali mengajar?"
Professor
"Tidak. Hari ini aku hanya mengajar satu pelajaran saja."
Tersangka
"Oh baiklah. Kita bisa ngopi disini"
Professor
"Tentu"
Tersangka tersenyum didepannya.
Professor
"Saya ingin tahu. Bagaimana lingkungan anda melihat anda?"
Tersangka
"Maksudnya?"
Professor
"Apa kata bos anda tentang anda?"
Tersangka
"Katanya saya baik. Teratur dan kerja dengan baik."
Professor
"Anda seorang akuntan tadi? Betul?"
Tersangka
"Betul."
Professor
"Pernah melakukan manipulasi?"
Tersangka
"Pernah. Tapi itu manipulasi semu. Itu tidak nyata."
Professor
"Sering?"
Tersangka
"Dulu sering. Sekarang jarang."
Professor
"Kapan itu?"
Tersangka
"Ketika saya kuliah." (tersangka itu tertawa)
Professor itu juga tertawa
Professor
"Kampus adalah rekayasa. Kampus adalah drama. Kau pasti paham itu?" (professor tersenyum)
Tersangka
"Katanya kampus miniatur kehidupan."
Professor
"Kau mengamininya?"
Tersangka
"Iya, terkadang. Karena kukira kampus itu bukan miniatur kehidupan. Tapi pengerdilan kehidupan."
Professor
"Menarik. Bagaimana memangnya?"
Tersangka
"Ketika di kampus. Seakan-akan semua yang dibicarakan itu baik. Mudah. dan seolah-olah dosen memegang semuanya. Ia mampu menguliti semua fenomena"
Professor
"Tapi?"
Tersangka
"Hidup di kampus dengan hidup di dunia nyata, sama. Hanya persepsi kita yang membedakan."
Professor
"Paham, betul, saya paham. Kampus seakan mengerdilkan fenomena-fenomena yang ada."
Tersangka
"Dan mereka merasa menjadi dewa."
Professor
"Kau masih percaya jargon itu?"
Tersangka
"Percaya."
Professor
"Iya. Mahasiswa adalah domba."
Tersangka
"Iya, begitulah realitanya."
Professor
"Iya, aku setuju denganmu. Tapi bukankah itu alamiah. Maksudku itu sudah hukum alam. Orang selalu merasa benar, apalagi ini menyangkut narsis dan reputasinya."
Tersangka
"Iya, betul. Tapi mereka akan lebih tinggi lagi reputasinya jika mereka tidak merasa paling benar."
Professor itu mengangguk-angguk.
Tersangka
"Bagaimana mereka mengerti, memahami, dan mengasihi mahasiswanya. Itu harusnya yang dilakukan mereka."
Professor
"Aku tak menyangka berbicara dengan orang sepertimu sekarang."
Tersangka
"Haha. (ia tertawa). Mungkin, aku percaya mereka adalah dewa. Jika mereka tidak merasa benar. Jiwa bijak dan benarnya mereka. Itu yang membuatku mual."
Psikolog itu makin menempelkan kepalanya diatas meja.
Tersangka
"Karena dewa itu mendengar, bukan memaksa."
Professor itu tersenyum senang.
"Kau dulu sering bentrok dengan orang-orang kampus?"
Tersangka menggeleng-gelengkan kepalanya.
Polisi interogasi tiba-tiba masuk bersama seorang perempuan membawa alat pendekteksi kebohongan.