Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pintu ruangan terketuk-ketuk.
Polisi interogator berjalan keluar, lalu membuka pintunya. Terlihat seorang tua nampak diantara sela-sela pintu yang terbuka.
Itu adalah professor. Guru dari psikolog ini.
Pintu dibukanya dan mereka berdua masuk.
Professor itu mendongak bingung melihat seseorang bersimbah darah duduk didepannya.
Professor itu berbisik kepada psikolog.
Professor
"Bisa keluar sebentar. Kita bicarakan dulu diluar."
Psikolog
"Baik."
Psikolog itu membereskan beberapa berkas yang berserakan didepan tersangka. Lalu berjalan keluar ruangan bersama professor.
Polisi Interogator berjalan dibelakangnya. Sedang polisi intel duduk di kursi psikolog tadi.
Polisi interogator menutup pintunya dari dalam.
Latar : Selasar
Professor
"Apa yang terjadi? Kenapa bisa sampai seperti itu?"
Psikolog
"Dia dari tadi mengelak"
Professor
"Apa kau sudah menjalankan semua protokolnya?"
Psikolog
"Sudah pak."
Professor
"Apa yang kau temukan?"
Psikolog
"Dia pintar. Dia ada kecenderungan machiavelis. Dia juga mungkin sudah tidak merasakan kenikmatan dan penderitaan, menurutnya itu sama. Kematian bukan tragedi lagi. Itu dianggapnya biasa."
Professor
"Lalu, apa tujuanmu sampai ia berdarah-darah tadi?"
Psikolog
"Prof, ini (sambil membuka berkas) ada tiga kasus pembunuhan yang mirip-mirip dan kasus ini belum jelas."
Professor itu mendengarkan.
Psikolog
"Ketika ia ditanya, ia berbelit. Tapi ia berkata menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa ia melihat pembunuhan. Itu mungkin ia cerita diri sendiri, dengan persona orang ketiga."
Professor itu menggaruk-garuk pelipisnya.
Professor
"Dia mengaku?"
Psikolog menggeleng-gelengkan kepalanya.
Professor
"Baiklah. Mari kita masuk. Aku perlu melihatnya."
Psikolog
"Baik, mari pak."
Mereka berdua berjalan kedalam pintu besi itu.
Psikolog mengetuk-ngetuk pintunya, pintu itu terbuka dan mereka berdua masuk kedalam.
Latar : Ruang interogasi
Psikolog dan Professor berjalan kedalam, ia memersilahkan duduk professornya.
Professor itu duduk dan mengangguk hormat didepan tersangka.
Tersangka diam saja.
Professor
"Terimakasih bapak-bapak (sapanya pada kedua polisi disamping kanan dan kiri). Anda bisa pergi sebentar keluar."
Polisi itu saling pandang
Professor
"Mohon maaf, ini untuk ketenangan ruangan ini."
Kedua polisi itu berjalan keluar ruangan. Mereka membuka pintu, pintu terbuka. Mereka keluar dan menutupnya dari luar.
Professor
"Bagaimana kabar anda bapak?"
Tersangka
"Anda bisa melihatnya sendiri."
Professor itu menghela nafas
Professor
"Saya hanya orang lewat yang kebetulan mampir kesini. Saya melihat ada kegaduhan tadi disini." (psikolog memandanginya sedikit bingung)
Tersangka
"Apa anda juga berkomplot dengan orang-orang ini?"
Professor
"Iya. Saya berkomplot dengan orang-orang ini. Tapi saya juga berkomplot dengan anda."
Tersangka
"Anda bukan orang yang bisa dipercaya."
Professor
"Betul. Anda tidak perlu percaya dengan saya."
Professor itu tak mengeluarkan kertasnya sama sekali.
Professor
"Memang ada apa tadi pak?"
Psikolog itu mencolek-colek punggung professor.
Tersangka
"Kau mengenalnya?" (ia menunjuk dengan wajahnya pada psikolog)
Professor
"Oh orang ini? Iya, aku mengenalnya. Dia temanku dulu"
Tersangka
"Oh. Baiklah. Apakah dia memang seperti itu?"
Professor
"Ya, setiap hari dia seperti itu." (professor sendiri juga tak tahu apa sebenarnya bahasan ini)
"Apakah anda ingin dia pergi?" (professor menunjuk psikolog)
Tersangka
"Tidak juga. Sesuka hatinya saja."
Professor
"Oh baiklah."
Tersangka
"Apakah anda professor?"
Professor
"Aku hanya orang lewat tadi. Lihat ada kegaduhan, loh ada apa. Lalu saya kesini" (jawab professor sambil tersenyum. Tersangka juga)
Professor itu dengan tenang melihati orang ini dari atas kebawah, dari atas kebawah.
Professor
"Memang anda sering ikut bela diri?" (psikolog yang berdiri dibelakangnya lumayan bingung)
Tersangka
"Tidak juga. Bela diri adalah hal yang paling kubenci"
Professor
"Kenapa?"
Tersangka
"Yang ada bukan membela diri. Tapi menyerang."
Professor
"Saya setuju. Tepat sekali."
Tersangka
"Memangnya anda juga suka bela diri?"
Professor
"Tidak juga. Biasa saja lah. Mirip-mirip dengan sampean."
Tersangka
"Haha. Memang tidak perlu seperti ini jadinya."
Professor
"Ada apa memangnya?"
Tersangka
"Aku tadi sudah menjelaskan banyak hal. Tak didengar. Lalu, buat apa kujelaskan. Kalau mereka tidak dengar."
Professor
"Lalu?"
Tersangka
"Mereka marah-marah dong."
Professor
"Lalu anda dipukuli?"
Tersangka
"Iya."
Professor
"Wah. Kurang ajar dong kalau begitu."
Tersangka hanya tersenyum.
Professor
"Memang rumahnya dimana pak?"
Tersangka
"Saya?"
Professor
"Iya"
Tersangka
"Dibelakang pelacuran."
Professor
"Oh rumah anda disana. Dekatnya stasiun?"
Tersangka
"Tepat sekali"
Professor
"Memang bapak dulu kerja apa?"
Tersangka
"Kerja di kereta api. Biasa-lah, menjaga loket"
Professor
"Kalau ibu?"
Tersangka
"Dirumah."
Professor
"Disana lingkungannya baik-baik saja ya?"
Tersangka
"Tidak juga."
Professor
"Apa yang sering anda lihat?"
Tersangka
"Tentu preman. Tentu juga perempuan-perempuan itu."
Professor
"Anda takut atau?"
Tersangka tersenyum mendengarnya.
Tersangka
"Awalnya takut, lalu biasa saja."
Professor
"Memang apa yang membuat anda takut?"
Tersangka
"Berapa kali memangnya orang pulang pagi-pagi bersimbah darah disana. Banyak sekali. Tak terhitung."
Professor
"Reaksi pertama anda bagaimana?"
Tersangka
"Kasihan." (sambil memelankan tempo dan mengangguk)
Professor
"Kenapa kasihan?"
Tersangka
"Karena ia pasti kesakitan."
Professor
"Kalau sekarang?"
Tersangka
"Sakit itu adanya hanya disini. (menunjuk kepalanya dengan mata keatas, otak). Kalau ditubuh, itu hanya lewat saja"
Professor
"Apa yang membuat anda berpikir begitu?"
Tersangka
"Karena memang semua ini hanya lewat. Ini tipuan."
Professor itu mengangguk-angguk. Dari bahasanya, orang ini terlihat intelek.
Professor
"Sepertinya anda senang membaca juga?"
Tersangka
"Kalau ada waktu saja."
Professor
"Sayapun juga begitu. Buku apa? Nietzsche? Camus? 1984?"
Tersangka
"Ya mungkin kita punya selera yang mirip"
Professor
"Anda seorang nihilist?"
Tersangka menggeleng-gelengkan kepalanya
Tersangka
"Saya adalah anda."
Professor itu tersenyum.
Professor
"Anda tidak percaya bahwa orang itu otentik?"
Tersangka
"Tidak. Karena kita adalah rangkaian jalan. Yang asli hanyalah jalan, bukan perjalanannya."
Professor
"Baru pertama kali ini saya menemui orang seperti anda."
Tersangka
"Baru kali ini juga saya bertemu dengan anda."
Professor
"Baiklah. Kapan-kapan kita beli kopi didepan."
Tersangka
"Saya sangat menantikan hal itu."
Professor
"Iya saya juga."
Professor itu bergaya untuk bersiap berdiri pergi.
Professor
"Pak, saya tadi mendengar anda membunuh orang apakah benar?"
Tersangka tertawa
Tersangka
"Kau diberitahu oleh dia?" (menunjuk psikolog dengan kepalanya)
Professor itu duduk kembali
Professor
"Iya, dia juga memberitahuku."
Tersangka itu tersenyum.
Tersangka
"Iya, aku membunuh orang."
Professor
"Kenapa?"
Tersangka
"Karena dia memintaku untuk dibunuh"
Professor
"Apa iya?"
Tersangka
"Kau tidak percaya kan? Aku juga tidak percaya"
Professor
"Tapi kenapa anda yang diminta. Apa pentingnya anda?"
Tersangka
"Aku tak tahu."
Professor
"Tapi anda penting kan?"
Tersangka
"Kepentingan kita ini sama. Kalau tidak penting, ya kita tidak bercengkrama sekarang."
Professor
"Iya, berarti bagaimana anda melihat anda sendiri kalau begitu?"
Tersangka
"Sudah tak ada rupanya lagi. Seperti yang kubilang. Aku adalah anda."
Professor
"Jadi anda sering membahasakan diri anda sebagai orang lain juga?"
Tersangka
"Bisa jadi, tapi itu sangat jarang."
Professor
"Kapan biasanya?"
Tersangka
"Saat aku bicara dengan anak, dengan istri. Aku jarang berterus terang dengan mereka"
Professor
"Saat-saat seperti ini juga?"
Tersangka
"Aku jarang berbicara seperti itu disaat-saat seperti ini."
Professor
"Iya, jangan bicara macam-macam. Nanti mereka tak mengerti"
Tersangka itu tertawa. Professor tersenyum.
Professor
"Terimakasih atas penjelasannya. Nanti akan dilanjutkan, mungkin sama mbaknya lagi. Mungkin juga dengan saya."
Tersangka
"Sama-sama"
Professor
"Katanya ada tiga pembunuhan di pelacuran. Anda menyaksikan itu?"
Tersangka
"Iya. Aku melihatnya."
Professor
"Seperti apa ciri-ciri pelakunya? Apakah mirip dengan anda?"
Tersangka
"Iya, mirip dengan saya."
Professor mulai menggelitik, ia juga terlihat bingung dengan itu.
Professor
"Terimakasih, saya keluar dulu"
Profesor dan piskolog berjalan bersama keluar.