Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
EXT. BERANDA KANTOR VAN HINNE - SIANG
Van Hinne sedang menikmati bir dingin bersama dengan asistennya Hansen dan Martin. Pada halaman beranda itu ada sebuah taman kecil yang tertata apik. Van Hinne dan Hansen terlibat dalam pembicaraan. Sementara Martin lebih banyak diam sambil menikmati keindahan taman dan bir dinginnya
HANSEN
Verdomme Zeg Pitung. Selama dia masih hidup -- Bajingan-bajingan itu akan kembali muncul untuk merampok.
VAN HINNE
Orang-orang kaya melarikan diri dari Batavia. Tugas kita menegakkan Rust en orde. Keamanan dan ketertibana kota ini.
HANSEN
Orang-orang kaya, mereka selalu khawatir pada segala hal. Semakin kaya, mereka semakin khawatir.
VAN HINNE
Dengan melindungi mereka, kita menyelamatkan Batavia dari kebangkrutan.
HANSEN
Begitulah, mereka hanya mengenal kecurigaan, khawatir dan ketakutan --Mereka bahkan lebih busuk dari para bajingan itu.
CUT TO:
EXT. LAPANGAN DEPAN KANTOR
Van Hinne, Hansen dan Martin sedang menginspeksi sepasukan opas yang sedang berlatih baris berbaris. Beberapa opas lokal tampak bersenjatakan seadanya dan beberapa tidak bersepatu -- sesuai dengan jenjang kepangkatannya.
Hansen membetulkan posisi seorang opas lokal yang tidak berdiri sempurna dan menghardiknya dengan keras.
HANSEN
Pitung cuma omong kosong. Buat mereka, dia tampak seperti pahlawan. Jadi mereka memperlakukannya sebagai pahlawan.
VAN HINNE
Mereka hanya melihat apa yang ingin mereka lihat.
HANSEN
-- Atau mungkin sekedar untuk melupakan kemelaratan dan penderitaan hidup. Menghibur diri dengan dongeng ciptaan mereka sendiri.
CUT TO:
EXT. LAPANGAN LATIHAN MENEMBAK
Van Hinne, Hansen dan Martin kini berada di lapangan latihan menembak. Tampak persaingan ketangkasan menembak antara Van Hinne dan Hansen. Keduanya mampu mengenai semua sasaran tembak.
VAN HINNE
Setiap orang punya kelemahan. Dan kelemahan itulah yang harus kita manfaatkan. Harimau lapar akan turun gunung untuk makanan.
Sementara itu Martin tampak tidak berhasil mengenai satu pun sasaran tembaknya. Bahkan senapan laras panjangnya sesekali macet.
HANSEN
(menyindir)
Atau mungkin kita hanya perlu membuat orang-orangan sawah untuk menakuti-nakuti mereka --
VAN HINNE
Kita akan memberi Pitung tawaran yang tidak bisa dia tolak.
HANSEN
Negosiasi?
Hansen melihat pada Martin yang belum juga berhasil mengenai satu pun sasaran tembaknya.
HANSEN (cont’d)
Kita punya senapan. Untuk apa negosiasi?
Dengan cekatan Hansen mengambil pisau pendeknya dan dengan kekuatan penuh melempar tepat mengenai sasaran. Martin terkesima dengan keterampilan Hansen.
HANSEN (cont’d)
Apakah sudah luntur keberanian kita sebagai prajurit --
CUT TO:
INT. RUANG ANGGAR
Kini Van Hinne dan Hansen bertarung anggar untuk saling mengenai lawan. Tampak keahlian keduanya berimbang. Saat Hansen berhasil menusukkan anggarnya pada Van Hinne, begitu juga Van Hinne berhasil membalasnya. Seri.
VAN HINNE
Tidak cukup untuk menilai kesejatian seorang prajurit hanya dengan peluru dan senapan.
HANSEN
Satu-satunya alasan prajurit sejati terus bertarung adalah untuk kehormatannya.
CUT TO:
INT. PADA SEBUAH RUANGAN
Keduanya melanjutkan persaingan dengan adu panco. Hansen yang lebih muda berhasil mengalahkan Van Hinne. Meski Van Hinne masih mampu memberikan perlawanan yang sengit.
VAN HINNE
Kamu harus memahami, ada banyak jalan menuju kemenangan.
HANSEN
Jika saya menginginkan sesuatu, saya harus mendapatkannya.Titik.
VAN HINNE
Memahani hal terkecil dan hal terbesar, hal paling dangkal dan hal paling dalam --
HANSEN
Saya tidak suka negosiasi. Saya tidak suka berharap pada omong kosong.
VAN HINNE
Kerajaan Belanda bangkrut digerogoti perang, korupsi dan peredaran uang palsu.
CUT TO:
INT. RUANG OLAH RAGA
Van Hinne dan Hansen kini bersaing dalam permainan ping-pong. Keduanya memperlihatkan ketangkasan yang berimbang. Bola-bola cepat terarah, smash, saling serang, berkejar-kejaran point. Keduanya tampak sangat piawai.
VAN HINNE (cont’d)
Sekarang, mungkin kita tidak punya cukup uang untuk membayar gajih kita sendiri. Dengan kondisi seperti ini, kita tidak mungkin bisa mengalahkan Pitung.
HANSEN
Negosiasi? Memberikan kaki Anda pada harimau, hanya akan membuatnya meminta kepala anda.
VAN HINNE
Untuk menjadi musuh terbaik, jadikan dirimu, musuh dari musuhmu.
CUT TO:
EXT. HALAMAN BELAKANG KANTOR
Kini mereka bersaing dalam permainan lompat tali.
VAN HINNE (cont’d)
Hansen. Seandainya kamu tidak terlalu keras kepala, kamu bisa menjadi schout yang hebat--
CUT TO:
INT. RUANG PERPUSTAKAAN
Dalam ruang perpustakaan besar yang dipenuhi buku-buku, Van Hinne sedang melawan Hansen dalam permainan catur. Permainan catur itu menggunakan bidak-bidak besar setinggi satu meteran.
Setiap kali melangkahkan bidaknya, Van Hinne dibantu Martin untuk mengangkat dan menggerakkannya. Sementara Hansen memilih untuk melakukannya sendiri.
HANSEN
Aku akan menjadi schout yang hebat karena aku keras kepala. Dan karena seperti itulah yang aku inginkan, Meneer Albert Van Hinne –-
Kini tampaknya posisi bidak-bidak Van Hinne mulai terdesak.
VAN HINNE
Orang bijak belajar dari kekalahannya. Orang bodoh membiarkan dirinya dibutakan ambisi kemenangan.
(pada Martin)
Martin de Jong. Ik denk dat je al deze problemen kunt oplossen als ik terugkom in Nederland.
SUBTITLE: Martin de Jong. Aku percaya kamu bisa membereskan masalah ini saat aku pulang ke Belanda.
Dengan tenang Van Hinne melakukan pengorbanan bidak untuk mendapatkan SKAKMAT mengalahkan Hansen. Hansen terperangah. Dia masih tidak percaya bisa dikalahkan.
VAN HINNE (cont’d)
Dalam pertempuran, kalau kamu bisa membuat lawan lengah, kamu bisa menang —
CUT TO:
EXT. LAPANGAN PINGGIR KALI KRUKUT – KAMPUNG SAWAH - PAGI
Piih sedang melatih ilmu silat. Sementara Mat Sani duduk pada sebongkah batu memperhatikan mereka berlatih. Selesai memberi petunjuk pada salah satu muridnya, Piih berjalan menuju Mat Sani.
PIIH
Gimana Bang?
MAT SANI
Bagus Piih --
PIIH
Mungkin ada yang mau ditambahin dari Bang Pitung --
Mat Sani sedikit salah tingkah. Tetapi kemudian dengan pede menunjukkan beberapa jurus silat aneh -- seperti gerakan yang dia perankan di pertunjukkan lenong. Lalu mengakhiri jurusnya dengan posisi kuda-kuda yang juga aneh. Piih dan murid-muridnya memperhatikan dengan seksama.
CUT TO:
EXT. WARUNG NASI UDUK SAININ - PAGI
Ditemani Mariane, Sainin dengan cekatan melayani para pembeli nasi uduknya. Dari arah pinggir kali Mat Sani muncul.
SAININ
Gimana, udah enakan badannya?
MAT SANI
Udah entengan, Bang. Makasih, udah repot ngurusin ane.
SAININ
(menunjuk pada Mariane)
Tuh dia yang ngurusin lu. Gua mah bisanya cuma ngebacot--
MAT SANI
Makasih ya Noni --
MARIANE
(tersenyum)
Mariane, Bang. Mariane van Nijenroode.
MAT SANI
Makasih Noni Mariane --
(kesulitan mengeja nama belakang Mariane)
Mariane menyajikan sepiring nasi uduk lengkap dengan lauknya.
MARIANE
(berbisik)
Ane aja, Bang.
MAT SANI
Ane makasih Ane --
Keduanya tersenyum akrab. Mat Sani mulai makan. Sementara Sainin dan Mariane melanjutkan melayani pelanggan mereka.
SAININ
Makan yang banyak ya. Buat kita, orang Betawi. Tamu kita anggap saudara. Dari jamannya engkongnya engkong gua punya engkong juga udah begitu. Mau orang Tenabang, Sukabumi Udik, Rawabelong, Kampung Sawah -- meski beda-beda, tapi kalo hidup barengan pasti tentram.
MAT SANI
Kayak ini, Bang Sainin. Beras, santen, bumbu, diuduk barengan, dijodohin semur jengkol, pindang bandeng, dijabanin bawang goreng – sedepnya kaga ada lawan.
(pada Mariane)
Nasi uduknya wangi bener, kayak yang masak.
MARIANE
(berbisik)
Yang masak Bang Sainin --
Mat Sani agak terkejut. Dia menyeruput kopinya. Dari ekspresi spontan kita melihat dia merasa kopi itu terlalu pahit.
MAT SANI
Waahhh. Ini kopi apa --
MARIANE
(berbisik)
Kalo kopinye Ane yang bikin, Bang.
MAT SANI
Oh. Pantesan, sedep bener --
MARIANE
Kagak kepahitan?
MAT SANI
Manis. Kan ditemenin Ane --
CUT TO:
EXT. LAPANGAN PINGGIR KALI KRUKUT – KAMPUNG SAWAH
Setelah Mat Sani pergi, Piih mengajarkan kembali jurus-jurus silat. Tapi kali ini dia mengakhirinya dengan posisi kuda-kuda aneh seperti yang dipraktekkan Mat Sani -- sejak saat itu posisi kuda-kuda Piih dan murid-muridnya selalu begitu.
CUT TO:
EXT. DEPAN PASAR TENABANG - SIANG
Mat Sani, Mariane dan Piih turun dari sado. Mereka masuk menuju ke dalam pasar. Mat Sani meminjam baju Sainin, berpakaian seperti orang Betawi pada umumnya. Melihat banyak opas dan centeng yang dia kenali, Mat Sani berusaha menutupi wajahnya dan melipir ke tempat yang agak sepi, menuju ke pojok pasar.
CUT TO:
INT. POJOK PASAR TENABANG
Pada pojok pasar Mat Sani mendapati seorang pencopet sedang sibuk menghitung hasil copetannya. Kita mengenali pencopet itu sebagai Jenal. Mat Sani segera mengenali sahabatnya itu.
MAT SANI
Bujug buneng. Lu nyopet lagi, Nal?
JENAL
Bang Sani! Sukur deh. Ane kirain Abang udah tamat ditelen Kali Krukut. Ane kepepet, Bang.
MAT SANI
Emang lu kagak jualan obat lagi?
JENAL
Sekarang susah, Bang. Opas makin ganas aja. Udah kagak lagi minta uang rokok, mintanya uang makan. Barang belum ada yang laku udah diobrak-abrik.
MAT SANI
Udah kagak main lenong lagi?
JENAL
Sepi. Kagak ada yang nanggap. Musim kawinan kan udah lewat.
MAT SANI
Oh iya. Bulan depan juga kan musim haji. Makin sepi aja ya. Yang rame palingan musim jualin tanah.
JENAL
Yaelah Bang. Mati cuma butuh lobang dua meteran, ngapain juga ngumpul-ngumpulin tanah --
MAT SANI
Mikirnya orang kagak gablek duit ya kayak lu gitu. Emangnya hidup lu cuma buat dibrojolin, nyerocos, terus masuk kubur doang. Mikirnya jauhan dikit, Nal.
JENAL
Ane kagak paham lah. Bang Sani ngomongnya ketinggian sih.
PADA POSTER PITUNG DI TEMBOK PASAR.
Seorang opas sedang memasang POSTER PERBURUAN PITUNG yang baru, berhadiah 2000 gulden untuk menggantikan yang lama. Saat melewatinya, Jenal memperhatikan.
JENAL
Nyesel juga. Dulu kalo ane sekolahnya beneran --
(memperhatikan opas)
-- siapa tau bisa jadi opas.
MAT SANI
Apa enaknya jadi opas? Nanti malahan lu yang ngegeruduk gua jualan obat.
Jenal memperhatikan poster, kemudian berbalik memperhatikan Mat Sani lebih detail.
JENAL
(pada Poster Pitung)
Baru nyadar. Bang Sani mirip banget sama gambar itu-tuh --
CUT TO:
EXT. DEPAN PASAR TENABANG
Mat Sani dan Jenal duduk pada rumput di bagian depan halaman pasar Tenabang.
MAT SANI
Itu dia masalah gue, Nal. Orang Kampung Sawah terlanjur ngirain gue Bang Pitung. Gua sih maunya jujur, tapi gimana mesti jelasinnya. Kalo sampe gua diuber-uber kompeni, kan repot --
JENAL
Bukannya kita udah biasa diuber-uber opas di Tenabang.
MAT SANI
Gua kagak bisa silat. Jurus bodoran yang diajarin Bang Duloh kan cuma buat main lenong.
Tampaknya Mariane dan Piih sudah selesai dengan belanjaannya. Dari arah pasar Tenabang mereka berjalan menuju tempat Mat Sani dan Jenal.
MAT SANI (cont’d)
Gue kagak bisa ngelawan kompeni cuma modal bacot, Nal. Kena bogem sekali juga gua semaput.
JENAL
Bang Sani ga usah takut --
MAT SANI
(melihat kedatangan Mariane dan Piih)
Bukan kompeni. Ada yang lebih gua takutin. Kalo sampe dia tau sebenarnya —
JENAL
Tenang, Bang. Kan ada ane —
MAT SANI
Gua takut kehilangan Ane --
Jenal kebingungan tidak memahami arah pembicaraan Mat Sani. Sementara itu Mariane dan Piih telah bergabung bersama mereka. Mariane memperlihatkan barang belanjaannya pada Mat Sani.
MARIANE
Nih, Bang. Udah dapet kainnya. Nanti Ane bikinin baju buat Abang.
PIIH
Ngeliat tampang Mariane, nawarinnya mahal banget. Begitu ane turun tangan, langsung dikasih separoh.
MAT SANI
Muka Betawi lu emang kagak ada matinye, Piih.
Mereka tertawa. Sementara Jenal masih terpesona dengan kecantikan Mariane.
MAT SANI (cont’d)
(berbisik pada Jenal)
Ati-ati congor lu kemasukan laler.
JENAL
Kayak bidadari –
MAT SANI
Kayak udah pernah lihat aja —
JENAL
-- yang di gambar kalender, Bang.
CUT TO:
INT. RUANG TENGAH RUMAH SAININ – MALAM
Mariane sedang mengukur badan Mat Sani untuk menjahitkan bajunya. Sambil melingkarkan meteran ke beberapa bagian tubuh Mat Sani, sesekali dia menuliskan ukuran pada selembar kertas.
MAT SANI
Dari luarannya Ane udah cantik. Dalamnya lebih cantik lagi.
MARIANE
Ah, abang bisa aje—
MAT SANI
Kirain cuma bidadari yang cantiknya luar - dalam.
MARIANE
Emang bidadari tampangnya mesti bule --
MAT SANI
Kata Jenal, gambar yang di kalender sih gitu --
MARIANE
Ah, Abang ngegombal nih-- Bohong!
MAT SANI
(serius)
Beneran --
MARIANE
Serius amat, Bang. Emang ada rahasia apa sih?
MAT SANI
(seperti pada diri sendiri)
Susah jelasinnya --
Keduanya terdiam hingga Mariane selesai mengukur Mat Sani. Dia masuk ke dalam, lalu keluar membawakan kopi untuk Mat Sani.
MARIANE
Kadang sepahit apa juga, kenyataan tetep lebih baik daripada --
kebohongan--
(mengaduk gula pada kopi)
-- biar semanis apa juga
MAT SANI
Mestinya ane jelasin semuanya dari awal --
Keduanya kembali terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Mariane berusaha mengalahkan perasaannya, bersiap menghadapi kenyataan terburuk.
MARIANE
Abang udah punya bini?
MAT SANI
(terkejut dengan keterus-terangan Mariane)
Oh, kalo itu sih -- belum.
MARIANE
(tersenyum, lega)
Oh, kirain soal itu –
Mat Sani menyeruput kopinya. Pahit.
MAT SANI
Emangnya ada yang mau sama ane?
MARIANE
(tersenyum cantik sekali)
Emangnya abang mau sama Ane –
MAT SANI
(menunjuk dirinya)
Ane –
(menunjuk Mariane)
-- apa Ane?
CUT TO:
INT. RUMAH PIIH PONDOK PINGGIR HUTAN – PAGI
Mariane mengantarkan sarapan pagi dan kopi untuk Mat Sani. Dia tampak cantik dan segar dengan rambut ponytailnya. Wajahnya tampak ceria. Sementara Mat Sani tampil klimis dengan baju baru jahitan Mariane.
MAT SANI
Makasih ya. Ane udah ngurusin ane. Pingin diurusin begini terus. Rasanya hidup kayak pelangi pas habis hujan deres --
MARIANA
Abang keren pake baju ini.
MAT SANI
Parlente, kayak lelaki buaya ya--
Keduanya tertawa.
MAT SANI (cont’d)
Kalo ane dandan begini, Enyak di rumah pasti marah.
MARIANA
Enyak marah? Kenapa, Bang?
MAT SANI
(merapikan rambut klimisnya)
Kata enyak, ngabisin minyak jelantah –
CUT TO:
EXT. PANTAI ZANDPROORT - SORE
Pantai Zandpoort di wilayah utara Batavia. Pada saat air laut surut, pantai Zandpoort akan berupa hamparan pasir yang luas. Sepasangan kekasih tampak duduk-duduk di pasir beralaskan kain. Suara deburan ombak dan tiupan angin pada dedaunan melengkapi suasana romantis.
Mat Sani dan Mariane berjalan beriringan sepanjang tepian pantai. Mat Sani mengambil cangkang kerang dari pasir pantai dan memberikannya pada Mariane.
MAT SANI
Ane sayang Ane—
MARIANE
Apa Bang?
MAT SANI
(berteriak ke arah laut)
Ane sayang Ane—
MARIANE
Ane apa ane?
MAT SANI
Ane udah ngelengkapin hidup ane.
(menggengam tangan Mariane)
Ane rela mati buat Ane.
MARIANE
Abang rela mati buat Ane – atau Abang mau hidup buat Ane?
CUT TO:
INT. BALE-BALE RUANG TENGAH RUMAH SAININ - MALAM
Mat Sani sedang melaburi punggung Sainin dengan ramuan daun sirsak dan rempah untuk mengobati boyoknya yang kumat. Setelah itu dia memijit perlahan pada bagian yang sakit.
SAININ
Gua tau bacot lu gede, mulut lu manis. Tapi lu orang baik.
MAT SANI
Palingan besok pagi boyoknya udah enakan kali, Bang.
SAININ
Lu jangan kecewain Mariane ya. Dia udah gua anggep anak sendiri.
MAT SANI
Iya, Bang. Ane bakal jagain Ane.
SAINI
Kalo sampe lu bikin dia lecet, bakal gua uber sampe lobang kubur.
CUT TO:
EXT. KUBURAN PETAMBURAN - PAGI
Anen dan Muin sedang menggali kuburan. Sementara Muin menggali lubang, Anen hanya duduk-duduk di tepi galian sambil membolak-balik poster Pitung.
ANEN
Dua ribu gulden, Muin. Sampe boyok karatan kagak bakal punya duit segitu banyak.
MUIN
Kagak usah ketinggian ngayalnya, Bang Anen. nanti kesamber geledek.
ANEN
Gua bosen hidup begini terus.
MUIN
Emang Bang Anen bisa main silat?
ANEN
Kita sewa jawara. Hadiahnya parohan.
MUIN
Parohan? Cuma berdua dong. Ane kaga dihitung? Tega bener, Bang?
ANEN
Maksudnya parohannya bertiga --
Muin sedang memotong dan membersihkan rumput-rumput liar pada beberapa pusara. Sementara Anen mengumpulkan bunga tabur segar dari beberapa pusara untuk bisa dijual kembali.
MUIN
Emang ada jawara yang mau?
ANEN
Ada gula pasti ada semutnya, Muin.
MUIN
Kok muter-muter, Bang. Mau nyari jawara apa semut sih —
ANEN
Itu pribahasa, Muin. Selama ada duitnya --
MUIN
-- semua orang mau jadi semut?
ANEN
Waktu kecil pala lu keseringan dijedotin kali ya. Lemot banget--
MUIN
Yah, kalo ane waras mah, kagak bakalan mau kerja beginian, Bang.
ANEN
Mesti gali berapa ratus lobang buat punya duit segitu banyak –.
MUIN
Sampe mati, kerjaannya keluar masuk lobang kubur doang. Rasanya udah kayak belatung.
ANEN
Moga-moga banyak orang pada mati--
MUIN
Doa kok nyumpahin sih, Bang!
ANEN
Dasarnya emang kita belatung. Hidupnya dari orang mati--
MUIN
(mematutkan diri)
Kalo kayak ane gini, kepalanya laku berapa ya Bang? Lima puluh gulden?
ANEN
Yaelah, Muin. Kalo kepala lu laku lima gulden aja, udah lama gua setorin ke tangsi.
MUIN
Waduh. Bang Anen tega bener sama ane --
ANEN
Makanya. Sekarang kita bisa punya duit banyak.
(berhayal)
Gua bisa dapetin Imah jadi bini kedua --
MUIN
Hmm. Rogayah kagak bakal lagi buang muka sama kita, Bang--
ANEN
Nisa gua jadiin istri ketiga --
MUIN
Telat bang. Udah keburu disamber Ki Demang.
ANEN
Nggak apa-apa. Masih ada Aisah.
MUIN
Bang Anen banyak banget bininya?
ANEN
Kan belum empat --
MUIN
Kalo ane, Siti aja cukup --
ANEN
Siti? Itu kan bini gua -- Jangan Siti ah, yang lain aja.
MUIN
Emangnya cuma bini Bang Anen aja yang namanya Siti --
Anen mengumpulkan sesaji makanan yang dia pungut dari pusara yang baru dilawat keluarganya. Dia membersihkan sekedarnya lalu mulai makan.
ANEN
Dulu temennya temen gw punya temen, kenal sama jawara hebat
MUIN
Ah, sekarang semua juga pada ngakunya jawara--
ANEN
Semprul lu. Ini beneran. Katanya dia dulu yang ngalahin Macan Kemayoran. Dia tangkep sendirian. Tangan kosong. Ikut gua yuk--
MUIN
Galiannya kan belum dalam, Bang.
ANEN
Ah udahlah. Kagak perlu pake diukur segala. Yang penting ada lobang, masuk, terus uruk. Orang mati aja kok direpotin. Dua ribu gulden, Muin.
MUIN
Banyak bener ya Bang? Pegimane ngitungnya ya --
ANEN
Susah emang kalo kagak makan bangku sekolahan.
MUIN
Emangnya rayap?
ANEN
Itu pribahasa, Muin.
MUIN
Bang Anen udah ngabisin berapa bangku?
CUT TO:
INT. WARUNG MAKAN - SIANG
Anen dan Muin masuk ke dalam warung. Keduanya duduk di pojokan agar bisa mengamati orang yang lalu-lalang datang dan pergi. Muin yang kehausan langsung mminum dengan lahap, Anen menegurnya.
ANEN
Minumnya dikit-dikit aja.
MUIN
Kenapa, Bang?
ANEN
Kalo minumnya keburu habis, nanti kita diusir.
MUIN
Kita kagak pesen makan?
ANEN
Duit kita kagak cukup.
Sekarang Muin minum dengan perlahan-lahan dan berhati-hati. Anen bahkan hanya berpura-pura minum. Sampai akhirnya Pengkor dan dua anak buahnya muncul.
PADA PENGKOR DAN DUA ANAK BUAHNYA
Seperti biasa Pengkor berlagak sok jagoan. Mengunyah sirih, meludahkannya sembarangan sambil petentengan. Tangannya bersiap di atas goloknya yang kelihatan kebesaran.
Beberapa orang yang duduk di bangku yang mereka lewati bergegas bergeser agak ke dalam untuk memberi jalan.
PADA ANEN DAN MUIN
Sambil pura-pura minum keduanya memperhatikan sepak terjang Pengkor dan dua anak buahnya.
ANEN
Ini dia orangnya. Gayanya aja udah meyakinkan. Jagoan tulen.
MUIN
Goloknya gede bener kayak mau ngejagal --
ANEN
Jawara emang begitu. Lihat tuh jalannya aja ngengkang --
PADA PENGKOR DAN DUA ANAK BUAHNYA
Pengkor mendekat pada sebuah meja yang biasa dia duduki. Tampak di meja itu MARDUK, seorang pendekar, baru saja menyelesaikan makan siangnya. Pengkor menaikan kakinya pada bangku, meludahkan sirihnya sembarangan dan memegang golok besarnya. Menantang.
PENGKOR
Ini bangku gua. Kalo udah selesai makan, buruan lu minggat gih!
TUKANG WARUNG segera menghampiri Pengkor.
TUKANG WARUNG
Abang duduk di dalam aja. Banyak yang kosong.
PENGKOR
(pada Tukang Warung)
Diem lu. Gua maunya di sini. Lu udah tau kan jawara paling ditakutin seantero Betawi ini?
Merasakan gelagat buruk, Tukang Warung hanya mengangguk-angguk.
TUKANG WARUNG
Waduh. Jangan di sini dong, Bang Pengkor
MARDUK
(pada Tukang Warung)
Emang siapa jawaranya, Bang?
Pengkor tersinggung merasa gertakannya tidak digubris. Dia menggebrak meja. Tangannya menempel pada golok.
PENGKOR
Makdirabit! Lu kagak mandang gua. Mau ngebodor di sini lu --
TUKANG WARUNG
Baru kemaren warungnya ane beresin. Jangan diberantakin lagi dong, Bang Pengkor.
PENGKOR
Perlu gua buktiin golok ini tajam?
Pengkor hendak mencabut goloknya, tetapi dengan gerakan sangat cepat, Marduk berhasil mengambil golok itu lebih dulu. Pengkor terperangah. Kemudian dengan gerakan yang sangat cepat, Marduk memukul Pengkor hingga tubuhnya terpental menabrak meja dan menghancurkan sebuah kursi
Dua anak buah Pengkor yang mencoba mengeroyok Marduk, dengan sejurus sanggup dia tangkap punggung lehernya seperti memegang kucing. Kemudian Marduk mengguncang-guncangkan tubuh keduanya sehingga menumpahkan uang dan barang dari kantong mereka.
MARDUK
(pada Tukang Warung)
Ambil tuh. Gantiin kursi yang rusak
Tukang Warung mengangguk-angguk setuju. Kemudian Marduk melempar kedua anak buah Pengkor keluar. Marduk segera menyusul, siap dengan serangan berikutnya.
PADA PENGUNJUNG WARUNG
Pengunjung warung terperangah menyaksikan kejadian itu. Anen dan Muin segera ikut menyusul keluar.
CUT TO:
EXT. HALAMAN DEPAN WARUNG
Marduk mengusap-usapkan telapak tangannya, seperti baru saja membereskan sebuah pekerjaan ringan. Kemudian dia pergi sambil membawa POSTER PITUNG yang baru saja ditempel.
Anen dan Muin hanya mendapati Pengkor dan dua anak buahnya tersangkut di atas pohon. Muin memperhatikan Pengkor. Dia berusaha untuk mengingat sesuatu.
CUT TO:
EXT. SEBUAH LAPANGAN DI KAMPUNG
Anen dan Muin sedang beristirahat, duduk-duduk di pinggir lapangan.
MUIN
Ane inget sekarang, Bang. Si Pengkor itu namanya MANSUR. Dulu sering barengan cari ikan gabus di empang Haji Duloh.
ANEN
Lu siwer kali. Masa jawara cari ikan gabus. Dia pengkor kesabet golok Macan Kemayoran --
MUIN
Dia pengkornya jatuh dari pohon rambutan –
Di tengah lapangan mereka melihat seorang lelaki dikeroyok oleh beberapa orang. Dengan jurus beladiri yang unik, sempoyongan seperti orang mabuk, dia mampu menghindari serangan mereka.
PADA PENDEKAR KIKIM
Lelaki itu PENDEKAR KIKIM. Tampaknya dia berkelahi dengan jurus DEWA MABUK. Anen dan Muin mengagumi kehebatan Pendekar Kikim
ANEN
Ini dia yang kita cari. Gua bisa dapet bini muda bahenol, Muin.
MUIN
Ane bisa ngelamar Siti –
(meralat)
Siti, yang bukan bini Abang.
CUT TO:
INT. WARUNG MAKAN - SIANG
Kini Anen dan Muin duduk bersama dengan Pendekar Kikim yang tidak banyak omong. Dia tampaknya sangat lapar dan terus asik makan. Sementara keduanya hanya memperhatikan sambil minum dengan perlahan-lahan.
Ada bunyi perut keroncongan. Hal itu membuat Pendekar Kikim berhenti, mencari asal bunyi tersebut. Memandangi keduanya. Anen dan Muin saling melempar pandangan, saling menuduh.
ANEN
Jadi gini Koh Kikim —
PENDEKAR KIKIM
Qíshí wǒ shì--
SUBTITLE: Sebetulnya saya –
ANEN
Kagak usah dijelasin, Koh. Ane udah lihat sendiri jurus Dewa Mabuk Koh Kikim. Koh Kikim mau duit banyak kan?
Mendengar kata duit, Pendekar Kikim mengangguk-angguk penuh semangat. Anen tersenyum puas.
MUIN
Kalo ada gula, semutnya langsung semangat.
ANEN
Ane tau cara dapetin duit banyak!
Saat Tukang Warung menyodorkan tagihan, Anen mencari-cari uang untuk membayarnya. Tetapi kantongnya kosong.
ANEN
Muin, lu bayar dulu tuh makanannya.
MUIN
Lah, kok ane Bang.
ANEN
Tadi yang pesen siapa?
MUIN
Ane --
ANEN
Nah, tumben lu pinteran --
MUIN
Tapi kan –
ANEN
Tapi apa lagi?
MUIN
Ane sendiri kan belum makan.
ANEN
Lu ya, orang susah kalo diajak bisnis, yang dipikirin cuma ngebadok doang.
CUT TO:
EXT. DEPAN RUMAH SAININ, KAMPUNG SAWAH
Seorang anak lelaki delapan tahunan berlari cepat menuju rumah Sainin. Kemudian dia keluar bersama Mat Sani. Keduanya lalu menuju ke lapangan pinggir kali. Mat Sani yang sedang mencincang daging ayam keluar sambil masih mebawa golok potongnya.
CUT TO:
EXT. LAPANGAN PINGGIR KALI
Di lapangan pinggir kali telah menunggu Anen, Muin dan Pendekar Kikim. Siap mengajak duel.
MAT SANI
Hari gini, udah kesiangan. Lagian kagak enak dilihat sama anak-anak. Nanti dikirain kita mau berlagak jago-jagoan.
ANEN
Kalo gitu, Bang Pitung nyerah aja.
MAT SANI
Besok sore deh. Kita ketemuan di belokan pinggir hutan dekat pohon besar. Di samping kanannya ada tiga pohon duren. Di samping kirinya pohon rambutan rapiah.
ANEN
(pada Muin)
Catet.
MUIN
(ketus)
Ane kan kagak makan bangku, Bang.
ANEN
Pegimane ane yakin Bang Pitung pasti datang?
MAT SANI
Nih. Bawa golok gua buat jaminan. Kagak bakal gua kabur
Mat Sani mempertontonkan jurus andalannya, bergaya silat bodoran ala lenong dengan posisi kuda-kuda yang aneh.
MAT SANI (CONT'D)
Si Pitung jawara dari Rawabelong. Kagak bakal mundur sepetak. Lu jual, gue beli. Kontan
CUT TO:
INT. RUMAH PIIH PONDOK PINGGIR HUTAN – SORE
Mat Sani tampak sibuk mengikat tali-temali sedang mempersiapkan sesuatu. Jenal muncul dari hutan dengan beberapa ayam hutan hasil buruannya. Di lehernya tersangkut ketapel. Dia segera membantu Mat Sani menyiapkan tali-temali seperti yang biasa mereka pakai untuk pertunjukan akrobatik.
JENAL
(gembira)
Kita mau main lenong dimana, Bang
MAT SANI
Di sini --
JENAL
Di Hutan begini? Emang siapa yang bakal nonton? Monyet-monyet –
MAT SANI
Banyak bacot lu. Besok bantuin gua pasang ya.
JENAL
(semangat)
Siap, Bang Sani!
CUT TO:
EXT. KELOKAN DI PINGGIR HUTAN DEKAT SEBUAH POHON BESAR YANG DI SAMPING KANANNYA ADA TIGA POHON DUREN, DI SAMPING KIRINYA POHON RAMBUTAN RAPIAH – PAGI
JENAL
Serius nih Bang. Mau ngelenong di sini? Siapa yang bakal nyawer?
MAT SANI
Demit –
Sebentar kemudian tali-temali telah terpasang. Mat Sani menjajalnya dengan berakrobatik terbang dari satu pohon ke pohon lainnya.
Kebetulan saat itu, rombongan Pengkor dan beberapa opas melewati tempat itu. Mereka baru saja mengambil paksa uang dan menyita ternak warga yang telat membayar pajak tanah mereka.
Pengkor mengenali Mat Sani sebagai Pitung. Dia terkejut seperti melihat hantu. Apalagi saat dia melihat Mat Sani terbang dari satu pohon ke pohon lainnya.
PENGKOR
(ketakutan)
Waduh. Mati gua. Ada Bang Pi-tung.
Kegelisahan Pengkor membuat para opas ikut ketakutan. Mereka terperangah melihat aksi Mat Sani dan mulai khawatir resiko bertemu Pitung di pinggiran hutan ini.
PADA OPAS 1
Opas yang berjalan paling depan membawa KOTAK UANG, OPAS 1.
Dia bergegas memberikan barang bawaannya pada temannya.
OPAS 1
Lu gantian bawain ya. Gua kebelet.
Dia segera melarikan diri.
PADA OPAS 2
OPAS 2 secara refleks, seperti memegang barang yang panas, dia segera mengoper kotak uang itu ke teman berikutnya OPAS
OPAS 2
Waduh, gua dari tadi juga udah kebelet -
PADA OPAS 3
Dia menerima kotak uang itu. Memandang kasihan pada temannya OPAS 4 yang berbadan kerempeng.
OPAS 3
Lu nggak kebelet kan?
OPAS 4
Nggak sih Bang.
(bertampang sedih)
Tapi, anak ane masih bayi. Kalau sampe kenapa-kenapa kasihan bini ane, Bang.
Merasa kasihan, Opas 3 segera memberikan kotak uang itu pada Pengkor.
OPAS 3
Dia anaknya masih bayi. Bang Pengkor aja yang pegang ya.
PENGKOR
Lah, lu mau kemana?.
OPAS 3
Ane temenin dia. Kasihan bininya kalo sampe kenapa-kenapa —
Keduanya segera melarikan diri meninggalkan Pengkor sendirian.
PENGKOR
Woi, Masak cuman gua doang yang dijadiin tumbal --
Pengkor gemetar ketakutan sampai ngompol di celananya. Dia tidak sanggup berlari karena kakinya lemas. Dia segera melepas gespernya sebagai tanda menyerah.
PENGKOR
Ampunin ane, Bang Pitung
Mat Sani dan Jenal saling berpandangan, kebingungan. Jenal kemudian bisa membaca situasi. Dia membisikan sesuatu pada Mat Sani. Mat Sani segera siap beraksi.
MAT SANI
(bergaya teaterikal seperti saat main lenong)
Bacot comberan lu kagak guna. Bisanya cuma ngegragotin benggol kompeni. Pribasekate kagak bisa makan, pantang jadi coro kompeni!
Mat Sani mempertontonkan jurus andalannya, bergaya silat bodoran ala lenong dan kuda-kuda yang aneh.
MAT SANI (cont’d)
Si Pitung jawara dari Rawabelong. Kagak bakal mundur sepetak. Lu jual, gue beli. Kontan!
PENGKOR
Ampun, Bang Pitung. Kagak lagi-lagi dah.
MAT SANI
Kali ini lu gua ampunin. Besok-besok kalo lu masih majakin orang kampung.
(Tangannya disilangkan di leher seperti memotong)
PENGKOR
Ampun, Bang. Kagak lagi dah. Ane kapok--
Pengkor menyerahkan gespernya.
JENAL
Mending lu jualan kerak telor di Kemayoran. Gih!
PENGKOR
Iya, Bang.
Kemudian seperti kesetanan Pengkor berkelebat lari tunggang langgang. Jenal dan Mat Sani segera memeriksa barang rampasan tersebut. Kemudian keduanya menuntun kerbau, kambing dan ayam menuju kampung sebelah, dari arah tadi para opas muncul.
CUT TO:
EXT. KELOKAN DI PINGGIR HUTAN DEKAT SEBUAH POHON BESAR YANG DI SAMPING KANANNYA ADA TIGA POHON DUREN, DI SAMPING KIRINYA POHON RAMBUTAN RAPIAH – SORE
Anen, Muin dan Pendekar Kikim muncul dari arah pasar. Mereka berhenti pada sebuah pohon besar. Pendekar Kikim kini tampil lebih trendi. Dia memakai baju pendekar yang masih baru dan agak kekecilan. Ikat kepala warna norak melengkapi penampilannya.
ANEN
(merapikan lengan baju Pendekar Kikim)
Kalo gini kan bikin jiper --
MUIN
(sebel)
Gua makan pake garem lagi nih.
ANEN
Ini juga udah diskon separuh, Muin. Susah bener kasih pengertian sama orang susah.
(berfilosofi)
Kalo lu mau dapet duit banyak, lu mesti keliatan kayak banyak duit.
TIMELAPSE: Langit sore kini mulai agak gelap.
Mereka masih menunggu Pitung. Sementara itu karena bosan, Pendekar Kikim sudah menghabiskan tiga guci arak dan mulai kelihatan mabuk.
ANEN
(mulai tidak sabar)
Belum nongol juga.
(tetap percaya diri)
Apa dia jiper liat jagoan kita?
Saat mulai agak gelap, Mat Sani muncul. Dengan tali-temali dia turun seperti jatuh dari pohon -- ternyata pengait talinya ada yang belum terpasang. Tapi dengan gerakan akrobatik dia kembali menguasai keadaan. Bersiap dalam kuda-kuda yang aneh. Mereka terpukau melihat cara muncul Mat Sani.
MUIN
(kagum)
Wah, Ginkang –
MAT SANI
Si Pitung jawara dari Rawabelong. Kagak bakal mundur sepetak. Lu jual, gue beli. Kontan!
Kemudian dengan jarinya, Mat Sani seolah-olah menjentikkan sesuatu ke arah guci Pendekar Kikim. Seperti sebuah jurus tenaga dalam tingkat tinggi, guci arak yang dipegang Pendekar Kikim pecah berantakan -- terkena ketapel.
MUIN
(makin kagum)
Widih, Lweekang--
Bersiap dengan kuda-kudanya, kini Mat Sani mengarahkan pukulan tenaga dalamnya ke arah mereka.
MAT SANI
Nih cobain pukulan geledek rombeng gua -- Satu-dua-tiga.
(sebagai aba-aba pada Jenal)
Ciaaaatttt --
Sedetik kemudian segerombolan semak-semak di belakang mereka seperti terangkat terbang. Sebuah pohon ikut rubuh seperti terkena pukulan tenaga dalam yang sangat dahsyat
Mereka terperangah dan mulai ketakutan. Secara refleks, dan juga karena mulai mabuk, Pendekar Kikim bergerak menghindar gemulai seperti dewa mabuk. Sejurus kemudian dia ambruk ke tanah karena terlalu mabuk. Anen dan Muin berserobotan berusaha lari. Tetapi karena kebingungan, keduanya malah saling bertabrakan.
MAT SANI
Sekarang siapa yang mau gua geprek duluan --
MUIN
Ampun, Bang Pitung. Jangan ane. Ane belum punya bini.
MAT SANI
(pada Anen)
Kalau lu gimana?
MUIN
Dia udah punya bini, Bang. Namanya Siti.
ANEN
Ampun, Bang Pitung. Tapi bini ane galak banget. Pingin kawin lagi, kagak gablek duit. Kasihanin ane juga, Bang --
Jenal muncul.
JENAL
Kok jadi pada curhat sih--
Semua menoleh pada Jenal mendengar kata curhat.
CUT TO:
EXT. KUBURAN PETAMBURAN - SORE
Muin dan Pendekar Kikim sedang menggali lubang kuburan. Sementara Anen di pinggiran mengangkuti tanah dengan pengkinya.
MUIN
Kemaren Ko Kikim sebenernya mau jelasin, tapi Bang Anen merepet terus sih.
ANEN
Bukannya kemaren dia pake jurus dewa mabok?
MUIN
Itu bukan dewa mabuk, Bang. Bukan zui shen, tapi jie zhi shen
SUBTITLE:Dewa mabuk, Dewa kelaparan
ANEN
Lu bisa mandarin?
MUIN
Ane juga kan ngerayap, Bang.
ANEN
Lha gaya sempoyongannya itu --
MUIN
Dia keliyengan karena lapar. Udah tiga hari belum makan. Bukan mabuk.
CUT TO:
INT. KANTOR HANSEN
Hansen baru saja selesai mengecat rambutnya menjadi lebih pirang. Meski begitu tidak membuatnya tampak seperti Belanda tulen. Dia menyabuni wajahnya dengan sabun cukur bersiap merapikan kumis dan cambangnya, saat VAN HEUSEN masuk. Dia kelihatan sangat marah. Pengkor mengikut di belakangnya.
VAN HEUSEN
Voor dit soort dingen kun je niet rekenen op een rotte binnenvaart-
SUBTITLE:Kamu ga bisa mengandalkan inlander busuk untuk urusan seperti ini-
HANSEN
Stomme inlander
SUBTITLE:Inlander bodoh
VAN HEUSEN
Ik heb een oplossing--
SUBTITLE:Saya punya solusinya--
CUT TO:
INT. RUANG OLAHRAGA
Ruang olah raga itu merupakan sebuah aula terbuka dengan atap yang tinggi. Di tengah ruangan itu Marduk berdiri menghadap tembok, membelakangi pintu. Jubahnya anggun melambai-lambai tertiup angin dari sebuah blower kipas angin besar.
Hansen dan Van Heusen masuk.
HANSEN
Is dit de oplossing?
SUBTITLE:Ini solusinya?.
VAN HEUSEN
U kunt proberen –
SUBTITLE:Kamu boleh coba--
Marduk melepas jubahnya. Masih dengan memunggungi mereka, dia lalu memberi tanda TIGA JARI dengan tangan kanannya. Hansen segera merangsek dengan pukulan tangan kosong menyerang Marduk.
Namun dengan tenang Marduk melayaninya. Dengan keahlian silatnya dia dengan mudah menghindari pukulan-pukulan Hansen. Beberapa kali Hansen hanya memukul angin.
Marduk mengambil tongkat toya di dekatnya dan melempar pada Hansen. Dia kemudain member tanda DUA JARI. Kembali Hansen menyerang Marduk dengan bersenjayakan toya di tangannya.
Tetapi lagi-lagi dengan mudah Marduk menghindari serangan-serangan Hansen. Bahkan pada jurus pamungkasnya dia berhasil menjatuhkan Hansen.
Marduk mengambil pedang seorang opas di dekatnya. Melempar pada Hansen. Menunjukkan tanda SATU JARI. Hansen semakin brutal. Dengan pedang di tangan dia melabrak Marduk seperti seorang samurai.
Pedang terangkat di udara siap mengancam. Tetapi tampaknya Marduk masih terlalu lihai bagi Hansen. Dengan sebuah gerakan cepat dia mematahkan serangan Hansen. Pedang itu jatuh ke lantai terlapas dari tangan Hansen.
Hansen tampaknya puas dengan kemampuan Marduk.
HANSEN
Baik! Dua ratus gulden --
Diam-diam dengan gerakan secepat kilat Hansen mengambil pisau pendeknya dan melempar sekuat tenaga ke arah Marduk. Dengan tenang Marduk menangkap pisau terbang itu. Kali ini tampaknya Hansen benar-benar puas dengan keterampilan silat Marduk.
HANSEN
Itu baru persekotnya. Kalau bisa menangkap Pitung, kamu dapat lima kali lipat.
MARDUK
Dengan satu syarat.
(dia menunjukkan hitungan dengan dua jarinya)
Satu. Kagak perlu pakai senapan, Dua. Pitung, dia urusan gua.
CUT TO:
VARIOUS SHOTS
EXT. SEBUAH JALAN PINTAS PERKAMPUNGAN
Serombongan opas berjalan mengendap-endap penuh waspada. Mereka membawa hasil rampasan dari perkampungan dan mengambil jalan pintas untuk menghindari cegatan Pitung.
PADA PONDOK ISTIRAHAT
Para opas sampai pada sebuah pondok sederhana yang biasa dipakai penduduk untuk beristirahat. Di sana telah menunggu Mat Sani, Piih dan Jenal. Ketiganya terlihat santai. Melihat Mat Sani dan kawan-kawannya segera saja mereka lari terbirit-birit, meninggalkan seorang opas lokal.
Opas Lokal segera membawa barang-barang rampasan itu ke tempat Pitung. Tidak lupa, dia juga menyerahkan gespernya.
JENAL
Kambing, sapi, ayamnya balikin ke kampung sebelah ya!
Menurut bagai kerbau dicocok hidungnya, opas lokal itu membawa kembali ternak ke kampung tempat mereka tadi merampasnya.
EXT. SEBUAH JALAN KAMPUNG
Beberapa opas kompeni mendapat perlawanan dari penduduk kampung yang tidak rela ternaknya dirampas. Kali ini para opas bahkan mendapat beberapa pukulan dan pentungan dari mereka.
Beberapa dari mereka bahkan mengejar seorang opas yang berlari menyelamatkan diri. Ketika sang opas terjatuh, mereka menubruk saling bertindih jadi semacam timbunan manusia.
EXT. SEBUAH JALAN KAMPUNG LAINNYA
Serombongan opas lainnya dijarah penduduk habis-habisan, tinggal tersisa celana kolor dan topi yang mereka pakai. Mereka berlari menyelamatkan diri. Sementara di belakang mereka, lelaki, perempuan dan anak-anak mengejar mereka.
TRANSITION TO:
EXT. PONDOK ISTIRAHAT - SIANG
Hansen, Van Heusen dan beberapa opas meneliti tempat bekas kejadian mereka dirampok Pitung. Tampak Hansen sangat marah.
Van Heusen memerintahkan centengnya mengambil sesuatu dari sadonya. Sebentar kemudian dia membawa UANG PALSU dalam sebuah kotak besar dan menunjukkannya pada Hansen.
VAN HEUSEN
Ik heb een oplossing. Ik heb al een teken gegeven. De volgende keer dat ze hem beroven, kunnen we in zijn voetsporen treden. Dan kun je de Pitung-horde opruimen –
SUBTITLE: Saya punya solusinya. Sudah saya beri tanda. Kalau nanti mereka merampoknya, kita bisa menelusuri jejaknya. Selanjutnya kamu bisa membereskan gerombolan Pitung –
HANSEN
Uang palsu? Bagaimana saya bisa menegakkan rust en orde dengan melanggar hukum?
VAN HEUSEN
Omdat ik weet dat u nog steeds geïnteresseerd bent om tenabang schout te worden, toch?
SUBTITLE: Karena saya tahu kamu masih berminat untuk menjadi schout tenabang kan?
HANSEN
Ik zal Pitung vangen. Leven of dood
SUBTITLE:Saya akan menangkap Pitung.
Hidup atau mati.
CUT TO:
EXT. PASAR TENABANG - SIANG
Di depan pasar Tenabang, Pengkor menawarkan goloknya. Beberapa orang yang melihat tampaknya tidak tertarik.
PENGKOR
Ini bukan golok sembarangan. Udah ngeladenin banyak jawara Betawi.
Pengkor menawarkan goloknya pada LELAKI 1 yang kebetulan lewat.
PENGKOR
Coba dipantesin dulu – Tangannya taruh agak ke depan. Tuh keren. Bayarin deh! Ane kasih diskon gede!
Tetapi Lelaki 1 tampaknya hanya ingin bergaya tetapi tidak berniat untuk membeli. Kemudian Pengkor menawarkan goloknya pada LELAKI 2 yang sedang duduk di pojok pasar
PENGKOR
Bukan sembarangan golok. Dapetinnya mesti puasa tujuh puluh hari - tujuh puluh malam. Kelilingin tujuh gunung, nyeberangin tujuh lautan. Kayaknya Abang pantas. Bayarin deh!
LELAKI 2
Tujuh puluh hari, tujuh puluh malam --
Terinspirasi, Lelaki 2 mencoret-coret angka pada selembar kertas. Tampak dia sedang mengecak nomor judi buntut.
LELAKI 2 (cont’d)
Tujuh, kosong apa kosong tujuh ya. Sekarang tanggal berapa sih -
PENGKOR
Makdirabit. Sama aja lu. Bisanya cuma ngecak doang. Kagak gablek duit--
CUT TO:
INT. WARUNG MAKAN - SORE
Pengkor menaruh goloknya dihadapan Tukang Warung.
TUKANG WARUNG
(ketakutan)
Aduh, Bang. Kok jadi ane lagi yang disatronin? Ane salah apa?
PENGKOR
Kemaren lu ketawain gua kan --
TUKANG WARUNG
Kagak, Bang. Mana berani ane ngetawain Bang Pengkor.
PENGKOR
Makdirabit! Gue lihat kemaren lu ketawa-tawa. Ngaku aja lu--
TUKANG WARUNG
Tapi kan kagak sampe cewawakan.
PENGKOR
Nih! Lu gantiin dah golok gue.
TUKANG WARUNG
Golok? Ane buat apa, Bang?
PENGKOR
Terserah lu! Buat motong ayam, nyincang daging, ngecah sayur juga bisa.
TUKANG WARUNG
Kagak butuh, Bang.
PENGKOR
(menjewer kupingnya)
Perlu gua buktiin golok ini tajam?
TUKANG WARUNG
Jangan, Bang. Ampun!
PENGKOR
(meludah, menggebrak meja memamerkan goloknya)
Lu mau gantiin kagak?
Tukang Warung ketakutan, dia segera masuk ke dalam. Sebentar kemudian dia kembali membawa uang dan memberikannya pada Pengkor.
PENGKOR
Muke gile lu! Masak cuma segini!
TUKANG WARUNG
Uang ane cuma segitu-segitunya.
Pengkor merampas uang yang ada di laci meja kasir. Mendapatkan uang tambahan dia tertawa penuh kemenangan.
PENGKOR
Nah! Cukup deh. Ambil tuh golok.
Pengkor segera beranjak pergi, tetapi tiba-tiba Tukang Warung mengambil golok itu dan menghadang jalan Pengkor.
TUKANG WARUNG
Balikin duit gua!
(bergaya seperti Pengkor: meludah, memamerkan goloknya)
Perlu gua buktiin golok ini tajam?
CUT TO:
EXT. PONDOK SEDERHANA DI TENGAH HUTAN - MALAM
Hansen, Marduk dan sepasukan opas mengendap-endap mendekati pondok sederhana itu. Seorang opas berpakaian preman, sebagai mata-mata, menjadi penunjuk jalan paling di depan.
INT. DALAM PONDOK
Piih dan Jenal sedang asik main congklak. Terdengar suara kentut ngeberebet. Mat Sani segera beranjak dari tempat tidurnya di pojokan. Dia keluar lewat pintu belakang ke arah kali.
JENAL
Pasti gara-gara semur jengkol --
PIIH
Habis kondangan dari mana?
Keduanya tertawa.
PADA PINTU DEPAN
Pintu depan tiba-tiba saja didobrak. Dua opas muncul dengan senapan siap tembak. Marduk dan Hansen segera menyergap Piih dan Jenal. Dengan gerakan cepat, Jenal berhasil lolos. Dia berlari keluar lewat pintu belakang menuju pinggir kali mengejar Mat Sani. Hansen mengejarnya.
Sementara Piih dengan seadanya melakukan perlawanan membanting, meninju opas di dekatnya. Saat berhadapan dengan Marduk, dia tidak berdaya. Dengan sekali sergap, Marduk menjatuhkannya.
EXT. JALAN SETAPAK MENUJU PINGGIR KALI
Mat Sani sedang bersiap buang air besar di semak-semak pinggiran kali.
JENAL
Opas Bang. Ada Opas. Lari –
MAT SANI yang sudah berjongkok di pinggir kali kembali berdiri.
MAT SANI
Ngelindur lu, Nal. Kita udah kagak jualan di Tenabang lagi kan.
JENAL
Cepet lari Bang —
Hansen mengejar di belakang Jenal. Mat Sani berdiri pada jarak tembaknya. Hansen mengokang pistolnya. Jenal yang sampai lebih dulu di depan Mat Sani mengangkat tangannya, menyerah dan mencoba melindungi Mat Sani.
Tetapi pistol Hansen tetap menyalak. Tubuh Jenal dan Mat Sani terpental. Jenal tertelungkup di pinggiran kali memegangi dadanya. Mat sani terlempar jatuh ke Kali Krukut
Mat Sani hanyut terbawa arus. Hansen masih mengejar. Hansen terus menembaki tempat dimana Mat Sani jatuh. Sampai akhirnya Marduk muncul menangkap tangannya. Dengan kesal dia mendorong tubuh Hansen hingga jatuh.
MARDUK
Omongan lu kagak bisa dipegang! Pitung urusan gua –
CUT TO: