Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Ngelumpati Mbakyu
Suka
Favorit
Bagikan
3. BABAK #3
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

SCENE #5

EXT. HALAMAN BELAKANG RUMAH BULIK SRI – ACARA SIRAMAN, PAGI

IBU, PENGANTIN WANITA, KELUARGA PENGANTIN

 

Upacara siraman baru saja berakhir. Pengantin dituntun masuk ke dalam rumah. Ibu menunggu semua orang masuk ke dalam rumah, celingak-celinguk kanan kiri, lalu mengeluarkan botol air mineral dan mengambil air bekas siraman. Tapi karena kurang Ibu lalu mengambil handuk kecil, menempel-nempelnya di lantai basah, lalu memerasnya untuk memasukkan airnya ke dalam botol.

 

CUT TO.

SCENE #6

INT. RUMAH MEI

MEI, IBU

 

Mei menyambut kedatangan Ibu dengan wajah penasaran.

 

MEI

Gimana Bu? Dapet?

 

IBU

(Tersenyum puas dan mengeluarkan botol berisi air siraman dari dalam tas, menyerahkan pada Mei.)

 

 

FADE OUT.

FADE IN.

SCENE #7

INT. RUMAH BULIK SRI – ACARA RESEPSI, MALAM

MEI, DENOK, IBU, BAPAK, PENGANTIN, FIGURAN (TAMU)

 

Mei menarik teman cowoknya, Sugeng, ke salah satu ruangan, lalu menunjuk Denok dari kejauhan yang sedang menikmati hidangan sambil berdiri.


MEI
Nah itu mbakyuku, Denok. Sepantaran Mas Sugeng, tipe penyabar dan setia. Pokoknya persis seperti yang Mas idam-idamkan dari dulu…

 

SUGENG

(Sambil mulai menyisir rambutnya yang klimis, bibirnya tersenyum dan matanya tampak tajam mengawasi Denok dari kejauhan.)

 

MEI

Mbakyuku itu sudah sering dicomblangin, mulai dari dosen, pengusaha, seniman, bahkan ustad, nggaaak ada yang nyantol. Nah, tipe yang macho kayak Mas Sugeng ini yang belum… Siapa tahu jodoh… ya to? Mang enak njomblo 5 tahun, hihihi…

 

SUGENG

(Tersenyum kecut sambil ngelirik ke Mei.)
Asyem… Aku tuh jomblo berkualitas yo.

 

MEI

Mbel… (Sambil menjulurkan lidahnya)

 

 

Mereka berdua pun mulai mendekati Denok.

 

MEI

Mbak, kenalin ini temanku, Mas Sugeng.

 

SUGENG

Sugeng! Setia, Gemesin dan Guanteng
(Mengulurkan jabat tangan sambil berpose sok ganteng.)


Denok menyambut jabat tangan Sugeng sambil tersenyum seperlunya. MC mengabarkan bahwa kedua mempelai sudah datang untuk menuju ke pelaminan.

 

 

MEI

Eh, bentar, aku tinggal ke toilet dulu ya….
(Mei hanya beralasan, karena dia harus menemui Ibu untuk memulai aksinya.)

 

DENOK

Pasti hobinya nge-gym ya mas?

 

SUGENG

Hobi saya… merajut

 

DENOK

(Mengernyitkan dahi.)
Me… ra… jut??

 

SUGENG

Merajut tali asmara. 

 

DENOK

Denok terlihat menahan tawa sambil membuang muka.

 

Mei menghampiri Ibu yang sedang mencicipi makanan.

 

MEI

(Berbisik.)
Bu, nanti kalau ada kehebohan, Ibu langsung sat set ambil roncen melatinya ya?

 

IBU

(Tampak terkejut.)
Kehebohan? Weh, Ojo aneh-aneh loh yo…

 

Mei hanya mengerlingkan mata ke arah Ibu. Lalu, Mei mengeluarkan tikus putih dari dalam tasnya dan meletakkannya diam-diam ke pundak seorang pria yang sedang menikmati hidangan. Menyadari ada sesuatu yang merambati pundaknya, pria itu melirik ke arah pundaknya, terkejut, dan berteriak histeris. Kehebohan pun mulai terjadi…. Para tamu, terutama perempuan berlarian sambil mengangkat kainnya. Ada yang naik ke atas kursi, bersembunyi di balik badan suaminya, dan seterusnya.

 

IBU

(Mencoba berteriak, tapi berusaha tidak terdengar para tamu undangan.)
Loh! Heh! Nduk! Piye toh iki??? (Ibu tampak panik bercampur bingung, menoleh kanan kiri.) Duh Gustii…. Aku kudu piye iki?

 

MEI

Bu, cepetaaan!!!... (Mei mengkode ibunya.)

 

Di tengah kehebohan, Ibu masih tidak percaya dengan ide Mei yang di luar dugaan. Ibu tampak shock, merasa bersalah, dan cemas berbaur jadi satu. Tapi akhirnya dengan terpaksa Ibu pun mendekati pengantin pria dengan perasaan takut dan cemas. Dia pun berhasil mencuri roncen melati, lalu mengajak Mei pulang.

Di sisi lain ruangan, Bapak tertawa geli melihat kejadian tikus, lalu dengan santai melanjutkan makan.

Beberapa saat kemudian, Bapak sang pengantin pria menenangkan para tamu dengan mikrofon organ tunggal.

 

BAPAK PENGANTIN PRIA

Tenang Bapak, Ibu! Tenang, tenang…. Masalah sudah teratasi. Acara kita lanjutkan kembali. Silakan Bapak Ibu menikmati hidangannya.

 

Tim organ tunggal memainkan musik dangdut campursari. Tanpa disadari, tikus biang keributan tadi masih mondar-mandir di bawah kaki bapak pengantin pria, lalu merambat kaki masuk ke dalam kain. Bapak pengantin pria kegelian dan menggoyang-goyangkan tubuhnya, seiring dengan irama dangdut. Beberapa tamu tampak tergoda, mengira sudah boleh berjoget, lalu ikut bergoyang bersama. 

 

CUT TO.

SCENE #8

INT. RUMAH MEI – MALAM

IBU, BAPAK, DENOK, MEI

 

Ibu dan Mei duduk di ruang tamu. Ibu memegang-megang melati hasil curian dengan ekspresi gamang. Senang berhasil mendapatkan roncen tapi merasa bersalah karena sudah ikut bikin keributan.

 

IBU

Mudah-mudahan berkhasiat. Coba panggilin mbakyumu ke sini.

 

Mei berjalan menuju kamar Denok, tapi ternyata Denok sudah ada di depan pintu kamarnya dan sedang menelepon seseorang. Melihat kedatangan Mei, Denok buru-buru menutup teleponnya dan cengar-cangir seperti maling kepergok.

 

MEI

Ciee…sama siapa tuh? Mas Sugeng ya? Hi hi hi…. Dipanggil Ibu tuh di depan.

 

 

Mei dan Denok berjalan ke ruang tamu dan duduk bersama Ibu.

 

IBU

Denok, tolong kali ini kamu jangan menolak, demi kamu dan adikmu juga. Ini ada syarat agar kamu segera dapat jodoh. Roncen melati buat disimpan, dan juga ada air siraman buat mandi. Mei, coba kamu ambil airnya, Nduk.

 

DENOK

Sudahlah Bu. Jodoh itu kan sudah diatur oleh Tuhan to?

 

IBU

Lho, bagaimana kalau ternyata Tuhanlah yang mengatur melati dan air siraman itu menjadi jalan menuju jodohmu? Wis to, gak ada salahnya dicoba.

 

Mei berjalan menuju ruang makan dan membuka kulkas. Ia kaget begitu melihat air siraman di dalam botol sudah berkurang dan tersisa sedikit. Diperiksanya botol itu untuk mencari kemungkinan bocor, tapi tidak ia temukan lubang sekecil apa pun. Mei berteriak panik memanggil Ibu, yang datang bersamaan dengan Bapak dan Denok. Mei menunjukkan botol kepada Ibu.

 

IBU

(Melihat botol yang dipegang Mei dengan heran.)
Wee lha… Sopo iki tertuduhe?
(Sambil melirik curiga ke arah Bapak.)

 

BAPAK

(Celingak-celinguk memandang Ibu, Mei, dan Denok bergantian.)
A… aku yang minum. Rasanya sepet-sepet seger gitu. Minuman opo to?

 

IBU

(Mendekati Bapak dengan gemas, lalu berkacak pinggang di depan Bapak, berlagak marah—padahal cuma bercanda)
Wah, wah, wah… Memangnya Bapak mau kawin lagi, ha?! Aku wis gak ayu maneh? Gak glowing? Mau coba diam-diam di belakangku?

 

BAPAK

(Salah tingkah.)
Kowe ki ngopo to Bu? Koyo bar mangan kroto wae.

 

IBU

(Memukul-mukul lengan Bapak.)

 

Denok dan Mei meninggalkan Bapak dan Ibu dengan senyum-senyum, tahu kalau ibunya cuma menggoda Bapak.

Di kamarnya, Denok memegang dan melihat-lihat ronce melati, lalu membuangnya ke tempat sampah sambil tersenyum penuh makna (karena sebenarnya dia sudah tahu siapa jodohnya).

 

CUT TO.

SCENE #9

INT. & EXT. RUMAH MEI – PAGI

MEI, IBU, DENOK, GALUH

 

Ibu sedang merapikan taplak di meja ruang tamu sambil menembang Jawa. Tiba-tiba Denok keluar dari ruang makan dan langsung pamit berangkat kantor dengan buru-buru.

 

DENOK

Bu, aku berangkat. Udah sarapan kok.

 

IBU

Yo, ati-ati.

 

Ibu melanjutkan rapi-rapi, lalu masuk ke ruang makan bermaksud membereskan meja makan. Tiba-tiba dilihatnya ponsel Denok tertinggal di meja makan. Bertepatan dengan itu Mei masuk mencari sarapan.

 

IBU

Wee lha… Nduk, Tulung susulen mbakyumu, hapenya ketinggalan. Mudah-mudahan belum jauh dia.

 

Mei berjalan cepat keluar rumah dengan membawa ponsel Denok. Sampai di pinggir jalan tiba-tiba dari kejauhan Mei melihat Denok sedang berdiri di depan sebuah gang. Tapi ia tidak sendiri. Di depan Denok, Galuh baru saja menghentikan sepeda motornya. Denok menyalami Galuh dan mencium tangannya. Mereka lalu tampak bercanda mesra.

Tepat ketika Galuh hendak memasangkan helm ke kepala Denok, ia kaget melihat Mei sudah berada di hadapannya. Denok memutar kepalanya perlahan dan melihat Mei dengan terkejut. 

Mei berbalik dan lari menuju rumah. Galuh dan Denok mengejar hingga sampai di depan rumah. Galuh menarik lengan Mei sebelum masuk rumah.

 

MEI

Ternyata kecurigaanku terbukti. Kamu sudah berpaling, tapi benar-benar gak nyangka kalau kamu berpaling sama… ohhh….
(Menggelengkan kepala dan sesenggukan.)

 

GALUH

Mei, dengarkan dulu. Kumohon, please…. Ada yang ingin kusampaikan.

 

Denok bergabung dengan Mei dan Galuh. Galuh dan Denok saling pandang. Denok menggeleng pelan, memberi isyarat bahwa dialah yang akan bicara dengan Mei.

 

DENOK

(Menarik napas.)
Mei… kebenaran itu kadang memang menyakitkan. Tapi percayalah, lebih baik tersakiti oleh kebenaran ketimbang terhibur dan terlena oleh kebohongan. Dan...

 

MEI

Sudah Mbak, aku gak mau nasihatmu. Jujur saja, sejak kapan kalian berhubungan di belakangku?

 

GALUH

(Wajahnya terlihat pasrah.)
Mmm… setahun lalu. Tapi sebenarnya aku sudah merasakan ketidakcocokan sama kamu jauh sebelum itu. Kamu mau menang sendiri, grasah grusuh, susah menerima kritik... 

 

MEI

Jadi kamu menemukan kecocokan di mbakyuku?

 

GALUH

(Mengangguk pelan.)

 

MEI

(Melirik Denok dan Galuh bergantian.)

 

Mei kembali menangis. Denok mencoba menenangkan dengan memegang pundaknya, tapi Mei menepisnya dan lari masuk rumah dan menuju kamarnya, melewati Ibu yang heran melihatnya menangis.

Di dalam kamar, Mei mengemasi baju dan barang-barangnya ke dalam back pack sambil menangis, lalu jalan keluar. Di pintu kamar ia berpapasan dengan Ibu.

 

IBU

Lho, mau ke mana, Nduk?

 

MEI

Tolong jangan mencari aku, Bu.
(Terus berlalu sambil mengusap air mata.)

 

Ibu berdiri kebingungan di depan pintu sambil memandangi Mei yang berjalan cepat ke jalanan. Bapak muncul dari dalam dan berdiri di samping Ibu.


CUT TO.

SCENE #10

EXT. JALAN RAYA – SIANG

MEI, FIGURAN

 

Mei berjalan menyusuri trotoar tanpa semangat. Perasaan hatinya campur aduk. Marah, sedih, kecewa, tapi tidak tahu pada siapa.

 

MEI (VO)

Kebenaran terdengar seperti kebencian, bagi yang membenci kebenaran. Apakah aku benci pada kebenaran? Atau sebenarnya kebenaranlah yang telah membenciku selama ini sehingga aku tidak bisa menemuinya?
Benar kata Mbak Denok, kebenaran itu menyakitkan. Karena kebenaran untukku saat ini adalah aku harus kehilangan.

 

Mei terus berjalan menyusuri trotoar, dan melihat kerumunan orang di pinggir jalan. Mei mendekat dan melihat seorang bapak pengemis sedang diinterogasi seorang satpam dan seorang ibu. Di sampingnya terlihat gerobak berisi seorang balita yang terbaring sakit.

 

SATPAM

(Mengambil dompet dari tangan pengemis, lalu memberikannya ke si Ibu.)
Ini dompet Ibu, Tolong diperiksa.

 

PENGEMIS

(Tertunduk lesu.)
Sekali lagi Pak, Bu, saya betul-betul minta maaf sudah mencuri dompet Ibu. Saya benar-benar terpaksa. Anak saya lagi butuh obat.

 

IBU

(Memegang kepala dan leher si anak, lalu wajahnya berubah simpatik.)
Jadi anaknya belum diberi obat atau dibawa ke dokter, Pak?

 

PENGEMIS

(Menggelengkan kepala pelan.)

 

IBU

(Mengambil uang 300 ribu di dompet dan diserahkan ke bapak pengemis.)
Ya sudah, Bapak terima ini. Bawa anaknya ke dokter ya.

 

PENGEMIS

(Memandang si Ibu tidak percaya, lalu sungkem ke Ibu dan menangis terharu.)

 

MEI (VO)

Kehilangan, itulah intinya. Bolehkah kita benci pada kehilangan kalau itu justru memberi kita pelajaran? Layakkah kita bersedih jika kita berharap memiliki, tapi yang kita inginkan ternyata ada yang lebih membutuhkan daripada kita?
Yang akan selalu kita miliki hanyalah cinta. Karena cinta adalah abadi, seperti yang menciptakannya, Sang Mahakuasa. Pertanyaannya, dapatkah aku menemukannya?

 

Tiba-tiba Mei terhenti karena kepalanya terantuk bagian belakang mobil boks parkir di depannya. Mei mundur dan tersentak dengan apa yang dilihatnya. Di bak belakang truk itu tertulis kalimat yang pas dengan kondisinya saat itu.

 

Sing wis lungo, lalekno (Ikhlaskan yang sudah pergi)

Sliramu dudu kanggoku (Kau tercipta bukan untukku)

 

Mei merenungi kalimat itu, dan tidak terasa air mata membasahi matanya.

 

MEI (VO)

Aku rasa inilah saat yang tepat untuk menentukan ke mana aku harus melangkah.

 

Mei kembali berjalan, dan kali ini menuju tepi jembatan.


FADE OUT

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)