Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Khayal
Suka
Favorit
Bagikan
7. ACT 5 (END)

49 INT. RUANG WAWANCARA - DALAM - MALAM

Kembali ketika Jurnalis mewawancarai Teresa.

 

TERESA

(Menghadap ke kamera) Karena nasib pekerjaan saya bergantung sama project Khayal ini, saya mutuskan buat sesekali ikut melihat sudah seperti apa geladi kotornya. Danila bilang gara-gara tinggal tiga minggu lagi pementasannya, mereka langsung ngegabungin geladi kotor Babak Pertama dan Babak Kedua. Artinya mereka harus geladi kotor sejak siangan dan selesainya lebih maleman tapi saya perhatiin para aktornya sama sekali enggak keberatan. Enggak tahu gimana caranya, tapi kayaknya udah enggak ada selekan lagi antara mereka semua.

 

JURNALIS

Boleh dijelaskan mengenai Babak Kedua Khayal?

 

TERESA

Di Babak Kedua, ceritanya ketegangan antara Dilla dan ibunya, Marsela, mencapai puncaknya. Marsela menilai cerita Dilla mengenai dia dibuntutin orang terus dikeroyok di gang kosong cuman karangan doang karena cerita Dilla itu enggak pernah konsisten. Di sisi lain, Dilla merasa dianaktirikan sama ibunya sendiri dan alhasil, tindak-tanduknya mulai... gimana ya, bilangnya... erratic. Mulai muncul elemen fisik pada Babak Kedua ini.

 

JURNALIS

Dan mengenai adegan yang ada kursinya itu?

 

TERESA

Tadinya adegan itu enggak ada di draf pertama.

 

CUT TO:

 

50 INT. DARWIS CONVENTION HALL - DALAM AULA - SIANG

Danila, Timo, dan para aktor berada di atas panggung sedang melanjutkan geladi kotor mereka.

 

DANILA

Oke, ini adegan yang paling penting yang ngejembatanin antara Babak Kedua dan Babak Ketiga nanti. Basically di adegan ini, Marsela (Sembari memandu blocking Laura) mulai mojokin Dilla dan di sini lo, Laura, mulai secara fisik nge-push lawan main lo. Gue pengen lo marah tapi ada keputusasaan juga di lidah lo. Kayak ada semacam insecurities.

 

LAURA

Jadi gue bilang... gue ngamuk ke ini anak lebih buat ngebuktiin kalo gue bener. Ngamuknya lebih karena ego gue.

 

DANILA

Betul. Tapi ngamuk lo jangan dibikin maksimal. Jangan lebay aja pokoknya. Nah! Buat Dilla... (Memandu blocking Miror) Kan ceritanya lo udah stress banget, nih. Di sini seolah-olah lo udah enggak bisa lagi berpikir rasional. Lo cuman pengen semua orang diem. Jadi lo angkat ini kursi (Memberikan peragaan dengan kursi kayu) kemudian lo banting ke tembok sana. Jangan ke Laura, jangan ke siapa-siapa, tapi ke tembok aja.

 

MIROR

Tapi itu enggak makes sense. Kenapa gue enggak sekalian lempar aja ke Emak gue ini?

 

LAURA

Karena gue masih pengen punya leher, cinta.

 

DANILA

Ini cuma drama, bukan WWE SmackDown. Cukup angkat kursinya, lalu banting ke tembok.

 

MIROR

Dan di sini gue naik pitam banget ya? Bener-bener tensi gue udah di ubun-ubun.

 

DANILA

Iya. Tapi tetep, lo harus inget kalo lo masih berseni peran. Yuk kita coba.

 

LAURA

(Menghayati karakter kemudian menyampaikan dialognya) “Ibu tidak capek-capek banting tulang di luar sana, diinjak dan diremehkan oleh dunia di luar sana, hanya untuk memberi makan bocah pembohong seperti kamu!”

 

 

MIROR

(Menyampaikan dialognya namun penyampaiannya datar dan berlebihan) “Jadi maksud Ibu... Ibu menyesal sudah melahirkan Dilla? Dilla cuma beban? Terserah Ibu mau percaya sama cerita Dilla atau tidak, tapi Ibu tidak kasihan melihat Dilla masih mengucurkan darah?”

 

LAURA

“Karena Ibu tahu betul kamu menginginkan darah kamu habis! Tidak ada yang membuntuti kamu! Tidak ada yang mencelakai kamu! Kamu pikir Ibu tidak tahu? Begitukah? Kamu pikir Ibu tidak tahu apa rahasiamu?” (Mulai mendorong Miror)

 

MIROR

“Dilla mohon! Tolong jangan bicara lagi, Ibu!”

 

LAURA

“Ibu baca buku harian di kolong tempat tidur kamu! Ibu tahu kamu benci hidup yang Ibu berikan buat kamu! Kalo kamu mau pergi, jangan jadi pengecut dan mengkhayal yang bukan-bukan! Silahkan cabut nyawamu sendiri! Di depan Ayah dan Ibumu sendiri kalo perlu!”

 

MIROR

(Menjerit sangat keras) “Cukup, Ibu!”

 

Miror mengangkat kursi kayu namun yang ia lakukan selanjutnya justru adalah menerjang Laura.

 

Miror kemudian terpeleset oleh kakinya sendiri. Kursi kayunya terhempas jatuh dari atas panggung bersama dengan Miror.

 

Semua orang dengan paniknya segera menghampiri Miror yang tidak sadarkan diri.

 

DANILA

(Panik) Gue bilang kursinya dilempar ke tembok aja!

 

TIMO

Saya segera panggil ambulans!

 

 

TERESA

Hati-hati! Jangan sampe ketangkep media!

 

Semua tampak menghitam dan buyar.

 

CUT TO:

 

51 INT. RUMAH SAKIT - DALAM KAMAR KELAS 1 - SIANG

Keesokkan harinya. Miror telah siuman namun lengan kirinya dibalut oleh gips. Terdapat lebam kebiruan pula di samping hidungnya. Miror tampak kesal, kelimpungan, dan berantakan.

 

Danila, Laura, Valen, dan Beta berdiri di samping brankar Miror.

 

MIROR

(Suaranya dingin dan muram) Gue kelihatan kayak sampah, ya?

 

VALEN

Gue saranin mending lo puasa pake cermin dulu sampe minggu depan.

 

Semua orang mengangguk. Miror mendesah.

 

BETA

Yang penting adalah bukan kepala kamu yang kena. Saya bilang mending kamu manfaatin waktu kamu di rumah sakit buat istirahat.

 

MIROR

Gue udah cukup istirahatnya.

 

BETA

Kita semua tahu kamu latihan terlalu keras, Miror. Ketika kamu kecapekan, kamu enggak bisa konsen.

 

MIROR

Oh, gue bisa konsen banget kemarin itu.

 

LAURA

Kemarin itu nyaris ada dua manusia yang dirawat di rumah sakit ini, cinta. Kok lo keras kepala banget sih orangnya?

 

DANILA

(Menepuk tangannya) Oke, boleh semuanya minggat dulu sebentar? Gue mau ngobrol sama Miror berdua aja.

 

Beta, Valen, dan Laura mematuhi Danila dan meninggalkan kamar.

 

Danila berdiri di hadapan Miror. Danila menahan kedua lengannya pada ujung brankar di dekat kaki Miror.

 

MIROR

Apa lo mau mecat gue?

 

DANILA

Kenapa lo berpikir gue mau mecat lo?

 

MIROR

Gue fucked up pas geladi kotor dan sekarang lead actress drama lo masuk rumah sakit. Apa lagi selain PHK?

 

DANILA

Bener juga. Harusnya gue mecat lo sekarang. Tapi masalahnya udah enggak ada waktu lagi buat re-casting.

 

MIROR

Sori.

 

DANILA

Lo masih inget pas kita terjerembab di rest area dan semua orang mulai bicara dari hati ke hati?

 

MIROR

Iya.

 

DANILA

Sekarang giliran lo.

 

MIROR

(Datar) Enggak deh. Thanks.

 

DANILA

Gue itu bos lo. Ini adalah perintah. Kenapa lo latihan kayak lo itu kerasukan sama arwahnya Marlia Hardi?

 

Miror menolak menjawab.

 

DANILA

(Mendesah) Gue pengen ngasih lo tips.

 

MIROR

Tips apaan?

 

DANILA

Tips buat meng-improve akting lo.

 

MIROR

Lo lagi ngejahilin gue ya?

 

DANILA

Cuy, kayaknya gue udah berurusan sama aktor jauh sebelum lo bahkan dilahirkan. Lo mau mutiara kebajikan dari gue atau enggak?

 

MIROR

(Mendesah) Apa itu tipsnya?

 

DANILA

Cobalah mencintai kekurangan karakter lo.

 

MIROR

Mencintai kekurangan?

 

DANILA

Gue tahu kemarin itu lo kehilangan konsentrasi lo. Akan tetapi, gue juga notice bahwa tanpa lo sadari, lo menolak ngikutin arahan dari gue. Deep down lo masih menentang ngelemparin kursi ke tembok dan kayaknya lebih afdol di hati lo buat ngelemparin itu kursi ke Emak sialan lo. Deep down lo berpikir ngelemparin kursi ke tembok adalah tindakan yang pengecut. Dan terakhir kali gue cek, lo enggak suka sama pengecut.

 

Miror berpaling ke arah lain. Tidak memberikan komentar.

 

DANILA

Lo sedang memerankan karakter yang wataknya enggak masuk akal dan enggak punya nyali. Itulah namanya manusia, cinta. Manusia punya kekurangan. Beda lagi ceritanya kalo lo disuruh jadi superhero atau dewa-dewi Yunani.

 

Miror membeku.

 

DANILA

Bagaimana? Apa tips gue--

 

MIROR

(Tidak menghiraukan) Gue enggak boleh punya kekurangan.

 

DANILA

Sori?

 

MIROR

Gue harus sempurna. Enggak boleh ada kompromi. Itu adalah standar yang gue patuhi dan cuma itu standar yang gue tahu.

 

DANILA

Kenapa? Karena lo adalah artis idola?

 

MIROR

Karena gue udah pernah ngerasain yang namanya kekurangan dan itu neraka. Semua orang... Semua orang ngira karena gue campuran Belgia itu artinya gue udah ningrat sejak lahir tapi... Bapak gue cuma montir bengkel di Belgia sana. Emak gue kerja serabutan. Gue punya tiga adek yang harusnya masuk SD tapi terpaksa homeschool.

 

DANILA

(Mengernyit) Bukannya lo dari keluarga diplomat?

 

MIROR

Itu cuman karangan yang dibuat sama label gue. Lo tahu lah dunia hiburan lebih suka fiksi dari pada fakta.

 

DANILA

(Melongo) I see...

 

MIROR

Di sana gue cuman cewek imigran yang dilempar kopi basi tiap hari cuma gara-gara gue terlahir setengah Asia. Tapi di Indonesia ini orang seneng sama gue karena di mata mereka gue sempurna dan jujur gue sangat membutuhkan yang namanya uang. Gue latihan vokal setengah mati biar nyanyian gue enggak fales. Gue bayar aktor terkenal buat jadi pacar gue biar gue jauh-jauh dari jebakan mucikari. Semakin tinggi tembok yang gue hadapin, gue harus semakin sempurna.

 

DANILA

Dan lo menilai itu enggak extreme buat lo?

 

MIROR

Gue enggak bisa nyanyi lagi.

 

Danila membeku.

 

MIROR

Berapa bulan yang lalu gitu, mereka nemu sesuatu di leher gue... Mereka bilang gara-gara kecapekan. Terlalu diforsir. Namanya juga dokter, bisanya cuman nyalahin pasien.

 

DANILA

Apa ada yang tahu mengenai ini?

 

MIROR

Kalo Miror Hanin nyaris jadi bisu? Kagak, lah! Tapi label gue minta gue belajar ngerap.

 

DANILA

Holy shit.

 

MIROR

Gue bahkan enggak bisa ngebawain monolog, apalagi puisi hip-hop.

 

DANILA

Gue memohon dengan amat sangat agar lo jangan coba-coba jadi rapper.

 

MIROR

Kemudian gue punya ide: mending gue banting setir jadi aktris. Publik enggak akan ngelemparin gue kopi basi dan gue enggak perlu takut dideportasi balik. Tapi gue enggak mau jadi telor ceplok setengah mateng. Apapun yang gue lakukan, gue harus sukses. Tragisnya so far gue sama sekali enggak having fun sama yang namanya akting.

 

DANILA

Well... (Menghela napas) kalo ngikutin apa yang Pak Beta kemarin, itu artinya lo memang ditakdirkan jadi seorang aktris.

 

MIROR

(Tertawa) Bahkan gue aware kalo gue masih terlalu hijau buat ditakdirkan jadi aktris. Lo beneran lagi ngejahilin gue, ya?

 

DANILA

Gue bakal ngomong satu hal dan kalo lo bocorin ini ke orang lain, gue bakal mencet lo kayak bakpao kacang merah.

 

Miror mengangkat kedua tangannya.

 

DANILA

Bukan bakat yang menjadikan aktor itu sukses, melainkan mentalitas. Lo enggak kayak Laura atau Valen atau Beta Karim. Lo orangnya arogan, keras kepala, sompral, enggak bisa diajak kompromi, enggak bisa dibilangin-- tapi di dunia di mana aktor bisa musnah dengan sekejap, diperlukan kekurangan yang kayak gitu biar lo bisa punya karier yang panjang sampe akhir hayat.

 

MIROR

Sebentar... Lo serius berpikir gue bisa punya karier sebagai aktor?

 

DANILA

Gue enggak akan lagi nuntut penampilan yang sempurna dari lo. Gue udah kapok. Tapi gue minta sama lo buat coba humble sedikit dan belajar dari sesama aktor lo. Laura Andini udah berakting sejak masih jadi embrio. (Miror mengernyit) Gue enggak bercanda. Pas hamil emaknya Laura jadi figuran di Ramadhan dan Ramona. (Miror mengangkat alis, terkejut) Beta Karim itu character actor yang sangat underrated. Bahkan lo bisa belajar banyak dari Valentino Rasyid. Di antara kalian semua, justru dia yang aktingnya paling natural.

 

MIROR

Serius?

 

DANILA

Valen dapet dialog paling dikit tapi dia menguasai yang namanya subtle acting. Lo bisa bayangin susahnya memancarkan karisma tanpa mengeluarkan suara?

 

MIROR

Gue kira si Valen cuman lagi nahan nangis aja.

 

DANILA

Next time lo cari pacar setting-an yang macho luar-dalem.

 

MIROR

Enggak deh. Mungkin next time gue bakal cari pacar sungguhan. Yang tulus nge-support gue dan enggak langsung jiper sama gue.

 

DANILA

Atau enggak coba pelihara kucing dulu. Baby steps aja.

 

Danila dan Miror tertawa.

 

Keduanya kembali terdiam. Kecanggungan terasa.

 

MIROR

(Mendeham) Gue masih enggak suka sama lo.

 

DANILA

(Ikut mendeham) Gue tetep bakal terus keras sama lo.

 

MIROR

Kita masih bukan temen.

 

DANILA

Setuju banget.

 

MIROR

Dokter bilang gue mungkin harus seminggu di sini.

 

DANILA

So what? Kita bawa aja geladi kotornya ke sini.

 

CUT TO:

 

52 EXT. RUMAH SAKIT - TAMAN - SIANG

Danila berjalan kaki mengelilingi taman. Udara terasa sejuk dan hawanya tidak terlalu panas. Tidak banyak pasien yang sedang menikmati taman.

 

Danila menengadah ke atas. Gumpalan awan gelap hendak membungkus matahari.

 

Dhalia, Fifi Young, dan Farida Arriany kembali ke radar Danila.

 

DHALIA

Asli, Danila, lo itu so sweet banget!

 

DANILA

(Mencemooh) Gue cuman kasihan aja sama itu anak.

 

FIFI YOUNG

Ah, gengsi aja harus dijaga! But seriously, we’re proud of you. (Tersenyum lebar)

 

FARIDA ARRIANY

Dan lo nawarin geladi kotornya di kamar rumah sakit Miror itu kayak next-level sweetness, you know. (Meloncat riang)

 

DANILA

(Mengepakkan tangannya, mencoba mengusir mereka) Udah, udah! Kalian cabut sana! Ini rumah sakit tahu! Berisik!

 

FIFI YOUNG

Oh iya! Ngomong-ngomong mantan laki gue bilang lo masih belum nulis Babak Terakhir lo.

 

DANILA

Nulis itu susah, tahu.

 

FIFI YOUNG

Mungkin kita-kita bisa bantu. Jadi gimana Babak Ketiganya? Sebelum Babak Terakhir Khayal.

 

DANILA

Udah, mending kalian cabut aja sana. Balik ke khayangan.

 

FARIDA ARRIANY

Ayolah! Asal lo tahu aja, gue bahkan udah pernah jadi produser pas masih hidup dulu. Gue bahkan punya rumah produksi gue sendiri.

 

DHALIA

Rumah produksi lu cuman bikin satu film doang!

 

FARIDA ARRIANY

Tetep aja. Dari pada enggak sama sekali. (Kepada Danila) Ijinin kita ngebantu lo juga.

 

DANILA

(Menyerah) Babak Ketiga itu ceritanya Dilla kabur dari rumah. Jadi syukurlah si Miror enggak perlu pusing-pusing amat buat Babak Ketiga. Di sini lebih banyak mengenai kondisi rumah sepeninggal si Dilla. Marsela dan Matias ngediskusiin bareng-bareng isi diarinya Dilla dan Marsela bersikeras Dilla dikirim ke panti. Tapi Matias, yang memang sejak awal lebih sayang sama anaknya dari pada sama bininya, menolak mentah-mentah. Terjadi cek-cok, meneteslah air mata, la-di-da. Intinya sih mereka akhirnya sadar kalo pernikahan mereka udah diujung tanduk. Di lain pihak, karakter Delvin mengungkapkan ke penonton lewat monolog kalo sebenarnya buku hariannya itu punya dia-- bukan punya Dilla.

 

FIFI YOUNG

(Terkesiap) Twist! Gue suka.

 

DANILA

Dia sengaja taroh di kolong tempat tidur adeknya biar enggak ketahuan sama bonyoknya. Semenjak cinta sejatinya tewas, dia diem-diem udah enggak punya lagi semangat buat hidup. Tapi dia enggak berani ngasih tahu kebenarannya ke orang tua dia. Dia sendiri juga berpendapat kalo mendingan Dilla dirawat di panti aja.

 

DHALIA

Whoa... Terus?

 

 

DANILA

Udah. Gue enggak tahu gimana nyelesaiinnya.

 

DHALIA

Pas draf pertama lo kayak gimana Babak Terakhir-nya?

 

DANILA

(Menggali memori) Dilla akhirnya pulang ke rumah dan dia pengen jelasin kebenarannya --alasan kenapa hari itu dia pulang luka-luka-- tapi satu rumah udah enggak peduli lagi sama masalah dia. Matias yang udah muak akhirnya minta pisah dari Marsela dan dia ajak Dilla bareng dia. Dilla kemudian ngasih monolog penutup ke penonton kalo dia tahu Delvin nyembunyiin diari dia di kolong ranjang Dilla. Tamat.

 

Dhalia, Fifi Young, dan Farida Arriany saling bertukar pandang.

 

DANILA

Enggak bagus kan Babak Terakhir-nya?

 

DHALIA

Ehm, gue bilang enggak jelek sih...

 

FIFI YOUNG

Tapi enggak masterpiece juga...

 

FARIDA ARRIANY

Kayaknya bukan sesuatu yang layak dikirim ke Venice.

 

DANILA

Ya, kan? Terus gimana enaknya?

 

Dhalia, Fifi Young, dan Farida Arriany menyeringai kemudian tertawa terbahak-bahak.

 

Danila mengernyit heran.

 

DANILA

Whoa, whoa, ada apa ini?

 

 

DHALIA

Cinta, cinta... Lo tahu betul Babak Terakhir-nya mesti kayak gimana.

 

FIFI YOUNG

Kita selama ini cuman ngecengin lo aja.

 

DANILA

Jadi lo nawarin bantuin gue brainstorming cuman usil-usilan doang?

 

FIFI YOUNG

Karena sebenernya lo tahu betul cara mengakhiri Khayal. Lo aja yang nyalinya masih mungil. Tapi kali ini kita serius, sis: udah saatnya buat lo buat memberanikan diri.

 

FARIDA ARRIANY

Khayal bukan mengenai keluarga.

 

DHALIA

Bukan juga mengenai kehilangan.

 

FIFI YOUNG

Bukan juga mengenai pernikahan.

 

Danila semakin ketakutan. Ia melipat tangannya dan wajahnya mulai pucat.

 

DANILA

Gue minta kalian cabut sekarang.

 

DHALIA

Ayolah, Danila. Beranikan diri lo. Apa susahnya sih mengutarakan isi hati lo?

 

Danila yang semakin ketakutan langsung menghentakkan kakinya dan meninggalkan taman.

 

CUT TO:

 

53 EXT. RUMAH SAKIT - LORONG TERBUKA - SIANG

Danila berjalan cepat menuju sayap depan rumah sakit. Dhalia, Fifi Young, dan Farida Arriany mengikutinya dengan langkah yang lincah dan tawa yang riang.

 

 

DANILA

(Matanya terpaku ke depan) Jangan ikutin gue.

 

DHALIA

Kita cuma pengen ngebantu lo, Danila Dago.

 

FIFI YOUNG

Kayak film-film Hollywood suka ajarkan: the truth will set you free!

 

FARIDA ARRIANY

Ambil laptop lo, Danila Dago. Jangan ragu. Tumpahkan segalanya. Tumpahkan.

 

DANILA

(Memejamkan matanya sambil lanjut melangkah) Hentikan...

 

DHALIA

Khayal adalah mengenai sang tokoh utama.

 

FIFI YOUNG

Seorang gadis remaja yang suka mengkhayal. Mengarang cerita ketika ada kesempatan. Dan semua orang percaya sama khayalannya.

 

FARIDA ARRIANY

     Sampai suatu ketika khayalannya membawa petaka.

 

DANILA

(Menutup kedua telinga) Gue mohon hentikan...

 

DHALIA

Khayalan Dilla menghancurkan keluarganya.

 

FIFI YOUNG

Menghancurkan pernikahan orang tuanya.

 

FARIDA ARRIANY

Menyeret kakaknya pula ke dalam pusaran air yang tidak mengenal dasar.

 

 

DHALIA

Uh, gue suka ungkapan itu. “Pusaran air yang tidak mengenal dasar”.

 

FIFI YOUNG

Dan masak iya lo mau kasih akhir yang bahagia sama karakter kayak gitu?

 

Langit semakin gelap.

 

Hujan mulai menetes.

 

FARIDA ARRIANY

Uh-oh! Saatnya panggil taksi!

 

CUT TO:

 

54 INT. TAKSI - DALAM - SIANG

Hujan turun cukup deras. Lutut Danila berguncang tidak karuan. Danila tidak sabar untuk segera tiba di apartemennya.

 

Danila berusaha menangkal benak tertentu agar tidak memasuki kepalanya. Danila memperhatikan, sebentar lagi ia tiba di gedung apartemennya.

 

Sjumandjaja muncul di sampingnya.

 

DANILA

(Matanya terpaku pada jendela. Ketakutan) Enggak. Gue enggak mau denger lo.

 

SJUMANDJAJA

Emangnya enggak diajarin apa di kampus film lo? Ada perbedaan antara “akhir yang bahagia” dan “akhir yang indah”. Akhir yang bahagia itu cuma buat sineas pemalas. Mereka lembek dan enggak punya nyali dan mereka takut memprovokasi penonton mereka. Konyol, gue bilang! Konyol! Tapi akhir yang bahagia? Itu yang harusnya menjadi aspirasi sineas kayak kalian semua!

 

DANILA

Enggak. Lo salah. Ini drama gue, bukan drama lo.

 

SJUMANDJAJA

Dan drama lo jelek banget.

 

DANILA

Gue enggak percaya sama lo.

 

SJUMANDJAJA

Kalo gitu yowess! Kembali aja lo bikin barang yang biasa-biasa aja! Balik lagi lo ke hari-hari menyedihkan ketika lo menjilat lubang anus penonton lo, menyuguhkan romansa yang enggak realistis, dongeng yang bikin IQ jongkok, adegan ciuman yang enggak relevan sama cerita--

 

DANILA

(Berpaling kepada Sjumandjaja) Rumah produksi gue yang mau itu! Bukan gue!

 

SJUMANDJAJA

Tapi tetep juga lo berkompromi. Lo selalu berkompromi. Gue pikir lo bakalan jadi ksatria wanita yang bakal mengibarkan bendera Indonesia ke tanah Venice tapi sepengetahuan gue, yang namanya ksatria itu enggak pernah berkompromi. Enggak apa-apa. Silahkan. Gue kasih keringanan sama lo. Maklum, gue kasihan sama lo.

 

DANILA

(Kepada supir taksi) Berhenti di sini aja, Pak!

 

SUPIR TAKSI

(Melihat dari spion depan) Tapi masih gerimis di luar, Mba. Lagipula kita bentar lagi nyampe kok--

 

DANILA

Dari pada saya di-bully sama hantu kayak gini, mending saya hujan-hujanan di luar. (Merogoh uang dari kantung celana lalu dilemparkan ke kursi depan di samping Supir Taksi) Terima kasih banyak, Pak! Maaf banget! (Membuka pintu taksi dan pergi)

 

CUT TO:

 

55 EXT. TROTOAR - LUAR - SORE

Gerimis sepanjang trotoar. Langit masih dirundung awan gelap.

 

Danila berjalan kaki secepat-cepatnya. Dia tampak ketakutan dan juga kedinginan.

 

Usmar Ismail muncul di hadapannya.

 

DANILA

(Tercengang) Ya, Tuhan!-- Tolong tinggalin gue. Pliss! (Melewati Usmar Ismail dan lanjut berjalan kaki)

 

Usmar Ismail mengikuti Danila dengan wajah ceria. Langkahnya centil dan riang. Berbeda dengan Danila, Usmar Ismail tampak tidak kebasahan oleh hujan.

 

USMAR ISMAIL

(Menyengir gembira) Gue enggak ngerti kenapa lo kelihatan sedih. Jangan sedih dong, Danila Dago. Harusnya lo bergembira! Lo akhirnya bisa nulis Babak Terakhir lo. Writer’s block bye-bye!

 

DANILA

Enggak! Gue enggak akan nulis Babak Terakhir yang kalian inginkan!

 

USMAR ISMAIL

Gue ngerti Sjumandjaja itu annoying tapi dia cuma pengen nge-push lo biar lo mengerahkan karya terbaik lo.

 

DANILA

Pasti ada cara lain! Pasti ada alternatif ending yang lain! Tolong tinggalin gue, pliss! Gue cuma pengen pulang!

 

Usmar Ismail menghentikan langkahnya. Danila tidak menghiraukan dan terus berjalan.

 

Usmar Ismail berseru dari kejauhan.

 

USMAR ISMAIL

Dilla harus mati, Danila Dago!

 

Syok, Danila akhirnya menghentikkan langkahnya. Namun ia tidak membalikkan badannya dan menghadap Usmar Ismail.

 

Usmar Ismail lanjut menyahut.

 

USMAR ISMAIL

Dilla kembali pulang, merasa bersalah atas apa yang telah ia lakukan, dan dia memutuskan buat menyilet tangannya di kamarnya. Dia berpikir itu juga akan sesuai dengan buku harian Delvin. Loncat ke beberapa tahun kemudian, Matias dan Marsela dan Delvin tidak lagi berduka namun menjadi keluarga yang lebih erat. Matias dan Marsela tidak jadi berpisah. Delvin akhirnya menyadari betapa berharganya suatu nyawa. Dilla adalah domba yang dikorbankan, Danila Dago. Satu pengorbanan untuk tiga kebahagiaan yang kekal.

 

DANILA

(Berbisik kepada dirinya) Tapi itu enggak adil. Hanya karena dia berbeda, dia enggak pantas untuk hidup?

 

USMAR ISMAIL

Tapi itu baru namanya “akhir yang indah”. Suatu narasi hanya bisa salah satu dari dua hal, Danila Dago: perayaan akan kehidupan atau keniscayaan akan kematian. Jadi apa pilihanmu, Danila Dago?

 

Danila lanjut berjalan kaki, semakin jauh dari Usmar Ismail.

 

CUT TO:

 

56 EXT. GEDUNG APARTEMEN - LUAR (ATAP) - SORE

Langit masih gelap namun hujan telah sepenuhnya mereda. Secercah cahaya matahari terbenam terpancar dari sela-sela awan badai yang gelap.

 

Danila berdiri dan merengkuh apa yang ada di depan matanya. Njoo Cheong Seng kembali berdiri di sampingnya.

 

NJOO CHEONG SENG

(Tersenyum ramah) Hai.

 

DANILA

(Masih terpaku pada langit senja) Hai.

 

NJOO CHEONG SENG

Bad day?

 

 

DANILA

Paling parah sepanjang sejarah.

 

NJOO CHEONG SENG

Kenapa bisa?

 

DANILA

Hantu dari masa lampau terus-terusan mojokin gue.

 

NJOO CHEONG SENG

(Terkekeh) Itu konyol.

 

DANILA

Jadi lo berpihak sama mereka?

 

NJOO CHEONG SENG

Gue bilang itu konyol karena enggak ada yang namanya hantu. Menurut lo seorang Usmar Ismail atau seorang Njoo Cheong Seng bicara gaul “gue-lo-gue-lo” dalam kehidupan nyata? Gue yakin Sjumandjaja enggak seserem itu dan gue juga yakin Usmar Ismail enggak se-perky itu. Kita cuma karakter fiktif di dalam narasi hidup lo, Danila Dago.

 

DANILA

Tapi kalian tampak sangat riil di mata gue. Kok bisa?

 

NJOO CHEONG SENG

Karena sama halnya dengan Dilla yang lo ciptakan, Danila Dago juga adalah... berbeda.

 

DANILA

Jadi itu artinya sama halnya dengan Dilla, gue enggak pantas buat hidup juga?

 

NJOO CHEONG SENG

Hidup lo adalah hidup lo. Gue enggak bisa menjawab pertanyaan itu, Nona.

 

Keduanya terdiam untuk sesaat.

 

DANILA

Cheong Seng?

 

NJOO CHEONG SENG

Iya?

 

DANILA

Gue khawatir gue udah enggak bisa lagi membedakan mana yang fiktif dan mana yang nyata.

 

NJOO CHEONG SENG

Apakah itu penting? Dengan menulis, semua yang fiktif akan menjadi fakta. Bukankah itu alasan kenapa kamu masih menulis hingga sekarang?

 

DANILA

Dari mana lo tahu itu alasan gue menulis?

 

NJOO CHEONG SENG

Kita semua adalah karakter yang lo ciptakan, Danila Dago. (Jeda) Kita semua adalah lo.

 

Danila membeku.

 

Njoo Cheong Seng kembali menghirup pemandangan di hadapan mereka.

 

NJOO CHEONG SENG

Kamu harus segera mengambil keputusan, Danila Dago. Sebentar lagi badai tiba.

 

DANILA

Tapi hujan baru aja reda.

 

NJOO CHEONG SENG

(Terkekeh) Ada badai yang tidak bisa dipendam manusia.

 

CUT TO:

 

57 INT. RUANG WAWANCARA - DALAM - PAGI

Kembali ketika Jurnalis mewawancarai Navelyn Prima.

 

NAVELYN

(Menghadap ke kamera. Wajahnya polos, seolah dia tidak merasa ada yang aneh dari ucapannya) Iya, Danila suka bicara sendiri waktu masih SMA. Emangnya itu aneh, ya?

 

CUT TO:

 

58 INT. RUMAH SAKIT - DALAM KAMAR KELAS 1 - PAGI

Tinggal satu minggu lagi menuju pementasan. Selama ini mereka melakukan geladi kotor di rumah sakit demi mengakomodir kondisi Miror yang masih diopname.

 

Miror, Laura, Valen, dan Beta baru saja selesai membaca Babak Terakhir yang baru dibagikan oleh Danila beberapa menit yang lalu.

 

MIROR

(Tercengang. Matanya bolak-balik dari skrip ke Danila) Mati? Jadinya gue malah mati?

 

DANILA

(Tenang. Sangat menguasai diri. Tampak damai) Gue tahu ini beda banget sama versi draf pertama tapi bukankah akhirnya jauh lebih indah?

 

MIROR

(Perasaannya berkecamuk) Mmm, enggak happy ending sih... tapi... gimana ya bilangnya? Ini memang lebih memorable... tapi...

 

LAURA

(Kelihatan cemas) Kak Dani yakin sama Babak Terakhir ini?

 

DANILA

Gue yakin seratus persen gue enggak akan berubah pikiran lagi.

 

LAURA

Tapi Kak Dani enggak khawatir ini bakalan jadi kontroversi? Maksud gue, enggak semua orang suka nonton cewek remaja nyilet tangannya sendiri di atas panggung.

 

BETA

(Ikut kelihatan cemas) Saya satu suara sama Laura. Jangan sampai publik malah berbalik melawan kita. Boleh Danila coba pertimbangkan kembali?

 

 

DANILA

 (Tersenyum ramah) Tumben-tumbennya nih seorang Beta Karim malah ogah menerima tantangan. Bapak setuju kan kalo ending yang baru ini lebih artistik?

 

BETA

Saya akui versi baru ini lebih menarik tapi saya sulit membayangkan penonton pulang ke rumah mereka dengan perasaan marah dan sedih. Bukankah yang namanya seni tetep harus bisa menghibur penontonnya?

 

VALEN

(Terpatah-patah) I-Iyaa, g-gue juga-- sori, Kak Dani. Gue bukannya pengen overstep, tapi gue juga jadi bingung apa pesan moral dari ini drama. Dan gue lihat ini bisa diartikan ofensif juga. Bukannya ini secara tidak langsung menstigmakan penyakit jiwa?

 

DANILA

Gue mengerti concern dari kalian. Sumpah, gue udah memikirkan ini masak-masak sejak lama banget dan pada akhirnya, tragis atau enggaknya drama ini tergantung dari penampilan kalian semua. (Menoleh kepada Miror) Gue percaya Miror bisa memberikan sedikit cahaya buat kegelapan Dilla dan (Menoleh ke wajah para aktornya satu per satu) gue juga percaya bahwa bakat-bakat yang ada di hadapan gue sekarang adalah yang terbaik di generasinya. Enggak ada yang mustahil buat kalian.

 

LAURA

Oke, sekarang Kak Dani malah jadi ngejilat--

 

DANILA

(Menyela) Gue enggak menjilat. Gue serius percaya sama kalian. Percaya sama tulisan gue dan gue bakal percaya sama akting kalian semua.

 

Laura, Miror, Beta, dan Valen saling bertukar pandang. Keraguan masih menyelimuti mereka namun pada akhirnya, masing-masing dari mereka memberikan anggukan kecil kepada Danila.

 

CUT TO:

 

59 INT. RUANG WAWANCARA - DALAM - PAGI

Kembali ketika Jurnalis mewawancarai Navelyn Prima. Navelyn sedang mengecek isi tasnya. Wawancaranya telah selesai namun Navelyn masih terduduk di sofa, tertangkap oleh kamera.

 

Jurnalis masih berada di belakang kamera, tidak terlihat oleh penonton.

 

NAVELYN

Bagian gue udah beneran selesai, kan?

 

JURNALIS

Sudah selesai. Terima kasih banyak sudah jauh-jauh kemari, Mba Navelyn.

 

Navelyn menyandang tasnya dan berdiri dari sofa.

 

NAVELYN

Gue boleh nanya sesuatu sama lo?

 

JURNALIS

Apa itu?

 

NAVELYN

Lo sendiri enggak ngasih testimoni lo di depan kamera?

 

JURNALIS

(Terdiam sesaat) Saya rasa itu kurang pantas.

 

NAVELYN

Oh, gue bilang lo sangat pantas muncul di depan kamera juga. Enggak adil dong. Masak cuma lo yang enggak ikutan?

 

JURNALIS

Ini bukan syuting drama, Mba. Peran saya di sini cuma mendokumentasi--

 

NAVELYN

(Menyela. Nadanya dingin dan kering) Akting lo payah banget. Kita semua tahu kok peran lo di sini enggak cuma sebagai jurnalis. Padahal lo yang memulai semua ini. (Tiba-tiba terdiam. Matanya menantang kepada sang manusia yang berdiri di belakang kamera. Air mukanya dingin dan menghakimi) Padahal lo yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi.

 

Jurnalis tidak mengucapkan apa-apa. Perlahan Navelyn meninggalkan sofa dan menghilang dari kamera.

 

CUT TO:

 

60 INT. GEDUNG APARTEMEN - LORONG LANTAI 17 - MALAM

Kembali ke masa lalu, ketika pementasan Khayal kini tinggal menghitung hari. Driando berjalan lesu sepanjang lorong menuju pintu apartemen miliknya. Melihat kemejanya yang lusuh dan agak urakan, tampaknya Driando baru saja melalui hari yang melelahkan dalam pekerjaannya. Matanya terpaku pada lantai dan konsentrasinya mulai buyar. Jari-jari tangan kanannya meraih kunci di dalam saku celana bahan yang dikenakannya. Dia nyaris menjatuhkan kuncinya. Mulutnya komat-kamit sendiri.

 

CUT TO:

 

61 INT. UNIT APARTEMEN DRIANDO - DALAM - MALAM

Driando lanjut terhuyung-huyung memasuki unit apartemen dan membanting tubuhnya sendiri ke atas sofa. Wajah dan mulut Driando tersumpal ke dalam bantal sofa. Air liur mulai menetes. Driando belum sempat menyalakan lampu.

 

DRIANDO

(Bicara ke diri sendiri dengan mulut masih tersumpal bantal) Telat nge-gym lagi. Busyet, busyet...

 

Ketukan pintu tertangkap oleh telinga Driando. Awalnya Driando mengacuhkannya namun ketukan pintu tersebut semakin kencang, semakin keras, dan semakin menggelisahkan di hati Driando. Dia pun kemudian menggunakan tenaganya yang tersisa untuk bangkit dari sofa dan kembali ke pintu.

 

DRIANDO

(Bicara ke diri sendiri lagi) Mungkin si Dani lagi.

 

CUT TO:

 

62 INT. GEDUNG APARTEMEN - LORONG LANTAI 17 (PERSIS DEPAN PINTU UNIT APARTEMEN MILIK DRIANDO) - MALAM

Driando membuka pintunya dan mendapati seorang pria dewasa yang tidak ia kenal. Pria tersebut tampak lebih tua dari pada Driando.

 

Pria tersebut adalah sang Jurnalis.

 

DRIANDO

(Mengernyit heran sambil merapikan kemejanya yang kusut) Uhm, halo. Anda siapa ya?

 

Jurnalis menyodorkan kartu nama. Driando meraih kartu nama tersebut dan membacanya. Johan Triwana. Jurnalis investigasi.

 

JURNALIS

Boleh saya minta waktu Mas sebentar?

 

DRIANDO

(Masih terperangah oleh kartu nama di tangannya) Maaf, waktu buat apa ya?

 

JURNALIS

Saya mau bertanya sedikit mengenai tetangga Mas. Sutradara Danila Dago. Mas betul adalah sahabat beliau?

 

CUT TO:

 

63 INT. UNIT APARTEMEN DRIANDO - DALAM - MALAM

Driando dan Jurnalis duduk saling berhadapan di meja makan mungil milik Driando. Terdapat gelas kopi tergeletak di hadapan masing-masing. Driando tampak tegang dan Jurnalis tampak serius.

 

DRIANDO

Apa terjadi sesuatu sama si Dani-- uhm, maksud saya Danila Dago?

 

JURNALIS

(Menarik napas kecil) Saya berharap Mas Driando bisa memberitahu saya apa betul terjadi sesuatu sama beliau.

 

 

DRIANDO

Maaf, Pak. Tapi saya baru pulang lembur dan saya lagi enggak fit buat diajak main mind games--

 

JURNALIS

Sumber kami mengatakan bahwa project terbaru Danila Dago yang akan dipentaskan akhir pekan nanti diadaptasi dari masa remaja Danila Dago sendiri. Betul?

 

DRIANDO

Dari mana Bapak tahu mengenai itu?

 

JURNALIS

Boleh Mas cukup jawab pertanyaan saya?

 

DRIANDO

I-itu memang betul. Setidaknya Danila memang bilang begitu sama saya.

 

Jurnalis menyodorkan naskah drama panggung Khayal.

 

DRIANDO

(Kembali tercengang) Dari mana Bapak dapet itu naskah?

 

JURNALIS

Jadi Danila Dago mengatakan kepada Mas bahwa apa yang tertulis di dalam naskah ini adalah murni kenyataannya?

 

DRIANDO

Y-yah, saya rasa enggak mungkin juga seratus persen kenyataan. Pasti ada elemen fiksinya juga--

 

JURNALIS

Dari angka nol sampai seratus persen, menurut Mas Driando berapa persen yang adalah kenyataannya?

 

DRIANDO

(Mulai melunjak) Pertanyaan sinting-gila-miring macam apa itu? Bapak tiba-tiba dateng ke apartemen saya, menginterogasi saya kayak agen FBI--

 

JURNALIS

Apa Anda familiar dengan kehidupan pribadi Danila Dago?

 

DRIANDO

Kehidupan pribadi?

 

JURNALIS

 Seharusnya Anda familiar, bukan? Mengingat Anda adalah sahabat sekaligus tetangga beliau.

 

DRIANDO

Kita baru kenalan satu bulanan. Sebelum ini dia lebih suka mengurung diri di dalam apartemen dia.

 

JURNALIS

Jadi kesimpulannya, Anda tidak tahu?

 

DRIANDO

Tidak tahu apa?

 

JURNALIS

Bahwa Danila Dago adalah seorang yatim piatu.

 

DRIANDO

(Terdiam. Wajahnya sulit dibaca) Orang tuanya baru aja meninggal?

 

JURNALIS

Danila Dago bahkan tidak mengenal orang tuanya. Dan dia juga adalah anak semata wayang. Sejak kecil hingga remaja dia besar di rumah kakek-neneknya.

 

DRIANDO

O-Oke...

 

JURNALIS

Apa Mas Driando tahu bahwa Danila Dago tidak semestinya kuliah film begitu lulus SMA?

 

DRIANDO

Jadi dia semestinya ada di mana?

 

JURNALIS

Pernah denger yang namanya sanatorium?

 

Driando terhenyak pada sandaran kursinya. Detak jantungnya mengencang. Akhirnya menyadari niat dari tamu tak diundang ini.

 

JURNALIS

(Melanjutkan pertanyaannya) Apa Mas Driando pernah melihat gelagat Danila Dago yang mencurigakan? Yang sulit dipahami oleh akal sehat Mas? Yang sekiranya mengkhawatirkan?

 

DRIANDO

(Menggeram) Apa mau Bapak sebenarnya?

 

JURNALIS

(Mendesah) Sudah cukup lama saya mengikuti perjalanan karier Danila Dago. Dia termasuk sineas yang lukratif namun belum dipandang kredibel oleh rekan sejawatnya. Namun entah kenapa setelah dia meluncurkan filmnya yang terakhir--

 

DRIANDO

Putih dan Salju?

 

JURNALIS

--yang juga adalah filmnya yang paling sukses di pasaran, Danila Dago justru mengamuk di tengah jalan, go viral, dan melenyapkan dirinya sendiri dari radar. Dia putus hubungan sama semua orang yang dia kenal dan rasa-rasanya, mustahil buat manusia biasa untuk sanggup enggak ke mana-mana selama dua tahun lamanya. Betul, kan? Kecuali kalo sejak awal dia bukan manusia biasa.

 

DRIANDO

Anda sedang mengejek sahabat saya?

 

JURNALIS

 Kebanyakan orang akan beranggapan bahwa memang seperti itulah seorang seniman. Tapi insting saya mengatakan bahwa ada cerita lain di balik cerita yang ditulisnya.

 

Driando segera beranjak dari kursinya. Dia tampak berjuang menahan amarahnya.

 

 

DRIANDO

Saya sangat minta maaf atas ketidaksopanan saya, tapi saya minta Bapak keluar dari apartemen saya.

 

JURNALIS

Apa Mas Driando pernah melihat Danila Dago menulis? Benar-benar menulis. Mengetik di komputer atau mesin tik. Apa Mas Driando yakin semua yang ada di atas kertas ini berasal dari khayalan Danila Dago?

 

DRIANDO

(Menggebrak meja) Jadi Anda menuduh sahabat saya adalah pembohong?

 

JURNALIS

(Ikut menggebrak meja) Karena sulit buat saya mempercayai kalo semua ini ditulis oleh pelarian RSJ!

 

Keduanya terdiam. Hanya nafas yang terdengar.

 

Dead air.

 

JURNALIS

(Menarik skrip Khayal dan memasukannya ke dalam tas ranselnya. Beranjak dari kursi dan meninggalkan meja) Saya akan menemui Mas Driando lagi begitu Mas sudah tenang. Saya permisi dulu.

 

Jurnalis meninggalkan Driando dan sedikit lagi meraih pintu.

 

DRIANDO

(Menyahut) Sebentar!

 

JURNALIS

(Berpaling ke arah Driando) Apa Mas Driando punya pertanyaan buat saya?

 

DRIANDO

Apa Bapak udah ketemu juga sama kakek-neneknya Dani?

 

JURNALIS

Sudah.

 

DRIANDO

Dan mereka bilang apa?

 

JURNALIS

(Menghela napas panjang) Mereka bilang tidak seharusnya Danila Dago menjadi seorang sutradara atau seorang penulis. (Menahan ucapannya sebentar) Dia seharusnya menjadi aktris.

 

Jurnalis meraih pintu dan menghilang dari unit apartemen Driando.

 

Driando hanya bisa mematung sambil menatap pintu, tidak yakin dengan apa yang harus ia lakukan.

 

CUT TO:

 

64 INT. RUANG WAWANCARA - DALAM - MALAM

Di hadapan kamera tampak Jurnalis sedang mengotak-atik kamera tersebut. Kemudian matanya terpaku pada lensa. Sesuatu terbersik di dalam benaknya.

 

Perlahan Jurnalis duduk di atas sofa di hadapan kamera. Tidak diketahui apakah kamera merekam atau tidak.

 

Jurnalis tampak kalut. Sorot matanya gelap terhadap lensa kamera. Air mukanya sulit dibaca.

 

Jurnalis kemudian membuka mulutnya.

 

JURNALIS

Bahkan sampe sekarang gue enggak habis pikir. Gue sengaja minta redaksi gue buat nerbitin liputan gue sebelum pementasan. Gue minta terbitin pas tanggal geladi bersih mereka. Tapi apa mereka enggak baca liputan gue? Apa mereka udah enggak lagi baca koran? Apa koran itu cuman alas kotoran anjing buat mereka? Asli, gue paling benci sama yang namanya selebriti!

 

Jurnalis mengambil jeda. Berusaha meluruskan pikirannya.

 

JURNALIS

(Melanjutkan) Mereka tetep mentasin Khayal sesuai jadwal padahal harusnya mereka hentikan semua omong-kosong itu. Semua bencana itu enggak akan kejadian andai aja mereka baca liputan gue. Bukan gue yang menciptakan bencana. Justru gue berusaha menyelamatkan para selebriti sialan itu dari bencana! Kurang baik apa coba?

 

Jurnalis mengambil napas. Kembang-kepis dadanya tidak beraturan.

 

JURNALIS

(Melanjutkan) Yang gue lakukan cuma menyingkap kebenaran. Dan kenapa gue bikin dokumenter ini? Karena pas pertama kali mereka enggak menyimak, jadi seharusnya kedua kalinya mereka menyimak gue. Gue udah capek-capek ngebujuk mereka semua buat kasih testimoni buat film dokumenter ini. Capek banget tahu ngebujuk mereka satu per satu! Gila, kok bikin film doang bisa sesusah ini, ya?

 

Jurnalis terdiam. Ia kemudian beranjak dari sofa dan mematikan kamera.

 

CUT TO:

 

65 INT. RUANG WAWANCARA - DALAM - MALAM

Kali ini Valentino Rasyid yang duduk di atas sofa, wajah menghadap kamera. Ia mengenakan kemeja dan celana formal. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Wajahnya tampak kaku dan tanpa ekspresi. Sulit menebak apakah Valen ingin berada di sini atau tidak.

 

Jurnalis kembali bersembunyi di belakang kamera.

 

JURNALIS

Mas Valen, sebelumnya terima kasih banyak sudah menyempatkan diri untuk--

 

VALEN

(Menyela. Nadanya dingin) Gue ikutan film dokumenter ini cuma biar gue bisa bantu meluruskan segala macem kesalahpahaman. Silahkan didokumentasikan di depan kamera menyala bahwa saya, Valentino Rasyid, masih mengecam sang jurnalis yang bisanya cuman bersembunyi di belakang kamera.

 

JURNALIS

Uhm, maaf-- kesalahpahaman? Kesalahpahaman apa yang perlu Mas luruskan?

 

VALEN

Kami baca apa yang Anda tulis di koran Anda. Pas kita lagi geladi bersih. Full makeup. Kami baca di atas panggung bersama Danila Dago, Teteh Teresa, dan Driando.

 

JURNALIS

Dan bagaimana reaksi kalian?

 

VALEN

Anda mau jawaban yang jujur atau jawaban yang sopan?

 

JURNALIS

Saya selalu mengutamakan kebenaran, Mas Valen.

 

VALEN

Jawaban yang jujur berarti. (Jeda) Kami tidak terkejut dengan liputan Anda.

 

JURNALIS

(Terdiam) Mas pasti bohong.

 

VALEN

Kami aktor, bukan pembohong. Kami sudah bisa menduga dari jauh-jauh hari. Beta Karim punya firasat kalo Kak Dani sangat tertekan. Laura Andini pernah lihat dia ngomong sendiri malem-malem di gedung teater. Kami semua melihat dari kamar opname Miror pas Kak Dani ngamuk sendiri di taman rumah sakit. Satu-satunya yang tidak sadar akan apa yang terjadi cuma Kak Dani dan Teteh Teresa. Buat Teteh Teresa sendiri, dia sudah pusing dengan krisis pribadinya jadi enggak bisa disalahkan juga. Tapi memang betul, saya dan yang lainnya tidak tahu-menahu mengenai masa remaja Kak Dani yang sesungguhnya.

 

JURNALIS

Apakah kemudian kalian mendiskusikan semua itu dengan Danila Dago?

 

VALEN

Anda mau jawaban yang jujur atau jawaban yang sopan?

 

JURNALIS

(Mulai semrawut. Suaranya meninggi) Cukup kasih testimoni Mas saja!

 

VALEN

(Tersenyum puas) Seperti yang udah saya bilang: kami itu adalah aktor, Bapak Jurnalis. Menurut Anda apa yang kami lakukan?

 

CUT TO:

 

66 INT. DARWIS CONVENTION HALL - DALAM - PAGI

Kembali ke masa lalu. Hari geladi bersih. Para aktor sudah mengenakan kostum dan tata rias masing-masing. Bersama Danila, Teresa, dan Driando, mereka semua duduk mengitari meja makan yang menjadi prop pementasan. Masing-masing dari mereka menggenggam koran hari ini.

 

Laura, Miror, Beta, dan Valen saling bertukar pandang namun tidak mengucapkan sepatah pun kata. Driando mengantisipasi perubahan air muka Danila. Anehnya Danila tampak tetap tenang sembari ia lanjut membaca artikel Jurnalis mengenai dia.

 

Teresa memutuskan untuk memecahkan keheningan.

 

TERESA

Kenapa seolah-olah semua orang di luar sana enggak suka sama kita? Media, fans, kakek kita sendiri...

 

BETA

Saya bilang itu cuma jurnalis yang pengen cari komisi.

 

TERESA

Masalahnya artikel aneh ini muncul di koran harian, bukan di tabloid gosip. Untung aja enggak di halaman pertama.

 

BETA

Bahkan seorang Danila Dago masih kalah pamor sama... (Membaca halaman pertama koran) tempe menjadi Warisan Dunia UNESCO.

 

 

VALEN

(Terkekeh geli) Kak Dani kalah pamor sama tempe!

 

Miror, Laura, dan Beta ikut tertawa.

 

Driando terheran-heran dengan reaksi mereka.

 

MIROR

Anyway, gue familiar sama nama ini orang. Temen gue bilang dia hobinya ngegali aib orang dan kayaknya ada semacem penghargaan jurnalisme apa gitu dan dia enggak pernah menang jadinya dia desperate gitu. Ngapain coba mendadak dia ngincer artis dan bukan koruptor?

 

LAURA

Gue lebih kaget ternyata lo punya temen selain kita-kita.

 

MIROR

Ha-ha.

 

LAURA

(Kepada Danila) Kak Dani enggak usah dibawa ke dalam hati. Ada pepatahnya juga, kan? Bad publicity is still good publicity.

 

Danila mengangkat wajahnya dan merekahkan senyuman ceria.

 

DANILA

Gue seneng malah. Akhirnya media ngebicarain gue.

 

Semua orang tertawa santai kecuali Driando. Dia masih mengamati air muka Danila, khawatir akan apa lagi yang Danila sembunyikan.

 

DANILA

(Beranjak dari kursi sambil menepukkan tangannya keras-keras. Wajahnya berseri-seri) Oke, semuanya! Kita mulai geladi bersih kita! Tetep semangat! Jangan ada lagi ngintip naskah dan jangan ada lagi yang kepeleset dari panggung! Let’s do this, bitches!

 

Semua orang beranjak dan meninggalkan meja. Namun sebelum Danila bangkit dari kursinya, ia menyadari sesuatu yang nyaris terlupakan.

 

DANILA

Owh, gue hampir aja lupa! (Menyahut) Miror! Boleh ke sini bentar?

 

Miror kembali ke meja makan.

 

DANILA

Gue mau ngasih hadiah buat lo. (Menyengir lebar)

 

Danila menyodorkan selembar kertas kepada Miror.

 

Miror membaca kertas tersebut lekat-lekat, kata demi kata. Apa yang ada di depan matanya adalah sesuatu yang sama sekali tidak familiar.

 

MIROR

Apa ini?

 

DANILA

Sori malah jadinya last minute, tapi itu monolog tambahan buat lo. Gue pengen Khayal ditutup sama monolog ini.

 

MIROR

Tapi bukannya gue bakalan mati duluan di tengah-tengah Babak Terakhir?

 

DANILA

I know... tapi gue pengen, pengen, pengen banget lo nutup Khayal dengan monolog ini. Dan enggak usah nervous atau begadang sampe jam tiga pagi. Gue percaya lo pasti bisa. (Berpaling kepada Laura) Laura! Boleh ke sini sebentar?

 

Laura menghampiri mereka berdua.

 

DANILA

(Kepada Laura) Gue kasih monolog penutup buat dibawain sama si Miror. Gue minta lo coba arahin dia, mulai dari lighting sampe blocking sampe diksi dan everything. Enggak masalah, kan? Gue perhatikan lo juga suka bantuin ngarahin anak-anak yang lain sama si Mas Timo.

 

LAURA

Kenapa enggak Kak Dani aja?

 

DANILA

Monolog yang satu ini sangat spesial di hati gue dan... anehnya gue punya firasat lo lebih piawai ngarahin yang satu ini dari pada gue. Jangan langsung rendah diri, Laura. Gue percaya sama lo.

 

Danila meninggalkan para aktornya di atas panggung dan mengambil posisi di salah satu kursi penonton. Ia tampak damai dan percaya diri.

 

DANILA

(Kepada semua orang) Kita mulai dari Babak Pertama.

 

CUT TO:

 

67 EXT. GEDUNG APARTEMEN - LUAR (ATAP) - MALAM

Opening night drama panggung Khayal hanya tinggal hitungan jam. Danila berada di atas atap, mengenakan dress yang sama yang ia kenakan ketika press conference. Matahari terbenam kembali menjadi pemandangannya. Angin yang kencang membuat ekor dress-nya berkibar.

 

Danila menatap langit sore yang merah namun menghitam. Dia tampak damai. Wajahnya lunak dan ia bisa merasakan embun yang terbuat dari napasnya. Danila tenggelam di dalam benaknya.

 

Driando membuka pintu atap. Ia mengenakan setelan yang tidak mewah, namun cukup formal. Driando ingin menghampiri Danila namun ia memutuskan untuk menjaga jarak. Ia tidak mau mengagetkan Danila.

 

DANILA

(Matanya masih terpaku pada matahari terbenam) Anak-anak pada nyariin gue, ya?

 

DRIANDO

Uhm, eh... Kayaknya dramanya sukses besar nih.

 

DANILA

Oh, ya? Tahu dari mana?

 

 

DRIANDO

Gedungnya membludak. Banyak banget wartawan sama artis sama orang-orang berduit ngebanjirin semua sayap kursi. Padahal pentasnya masih tiga jam lagi.

 

DANILA

(Tertawa kecil) Laura memang bener. Bad publicity is still good publicity.

 

DRIANDO

Dani?

 

DANILA

Lo tahu dari mana gue ada di sini?

 

Driando tidak menjawab.

 

DANILA

(Akhirnya menoleh ke arah Driando. Senyum merekah pada wajahnya) Enggak apa-apa. Gue janji gue enggak akan marah ataupun loncat dari ini atap. Tergantung yang mana yang paling lo takutkan.

 

DRIANDO

(Menggaruk belakang lehernya. Hatinya gundah) Pengurus gedung bilang Dani suka main di sini malem-malem. Sendirian.

 

DANILA

(Mengangguk) I see. Itu artinya akting gue masih kalah sama aktingnya Beta Karim. (Berpikir sejenak) Gimana kalo lo duduk di samping gue aja? Lo enggak perlu ansos sama gue.

 

DRIANDO

Dani yakin?

 

DANILA

Tenang aje. Gue enggak akan minta kita loncat bareng dari sini. (Ngeri segera membasuh wajah Driando) Gue cuma bercanda. Sebagai penulis, gue memang punya selera humor yang menjengkelkan. (Terkekeh geli)

 

Driando pun memutuskan untuk duduk di samping Danila. Bahasa tubuhnya mensignalkan kewaspadaan yang sangat ketat.

 

DRIANDO

Dani?

 

DANILA

Yap?

 

DRIANDO

Dani enggak akan loncat dari atap, kan?

 

DANILA

Gue gila, Driando, bukannya bego. (Terdiam sejenak) Tapi memang ada satu hal yang harus gue akhiri untuk selama-lamanya (Segera menambahkan) tapi enggak usah khawatir, Driando. Ini enggak ada kaitannya sama nyawa manusia. Ataupun nyawa hewan. Ataupun nyawa tumbuhan. Begini-begini gue concern sama global warming.

 

DRIANDO

Oke. Saya percaya sama Dani.

 

DANILA

(Menghempaskan napas sambil merentangkan tangan. Dagu dilempar ke belakang) Haaaa-aaaah! Seneng banget gue rasanya!

 

DRIANDO

Dani seneng karena opening night-nya melampaui harapan?

 

DANILA

Bukan. Anehnya bukan itu yang bikin gue seneng sekarang. Gue seneng karena akhirnya temen ngobrol gue di atap ini adalah manusia sungguhan. Udah bukan lagi hantu rekaan gue.

 

DRIANDO

Oh? Jadi... Jadi itu yang Dani suka lihat?

 

DANILA

Maksud gue, Njoo Cheong Seng sih orangnya baik banget--

 

DRIANDO

Siapa itu?

 

DANILA

 --dan kadang-kadang dia juga suka ngundang temennya yang lain. Pernah suatu hari dia ngundang juga Asrul Sani.

 

DRIANDO

Asrul Sani?

 

DANILA

Yap.

 

DRIANDO

Asrul Sani yang nulis Naga Bonar?

 

DANILA

Itu dia orangnya. Pernah nonton filmnya?

 

DRIANDO

Pas masih kecil. Di TV.

 

DANILA

Baguslah. Sayang kalo orang pada lupa.

 

DRIANDO

Orangnya kayak gimana?

 

DANILA

Lebih chill dari yang orang bilang.

 

DRIANDO

Seriusan?

 

DANILA

(Terkekeh heran) Mana gue tahu! Dia cuma halusinasi gue, Driando. Gue tetap pasang artistic license buat karakter dia. Memang konyol banget tapi setidaknya ketika gue ditinggal sendirian, gue enggak akan pernah ngerasa kesepian. Tapi pada akhirnya, itu semua cuman fatamorgana. Iya, kan? Dan sejak awal gue tahu betul itu cuman fatamorgana. Masalahnya enggak ada satu pun dokter yang pernah gue temui yang ngajarin gue kalo fatamorgana itu bisa menjadi candu.

 

DRIANDO

Kalo boleh tahu... sejak kapan Danila suka...

 

DANILA

Gue enggak inget sejak kapan persisnya. Anyway, kalo dilihat secara objektif ini sama sekali enggak surprising. Sad, but not surprising. Bokap kandung gue juga penulis waktu masih hidup.

 

DRIANDO

Oh, ya?

 

DANILA

Iya. Enggak terlalu jago, tapi. Kakek gue bilang dia selalu dikritik kalo tulisan dia kurang feel-nya. Suatu hari bokap lagi nulis adegan kecelakaan mobil lalu dia punya ide: “hey, gimana kalo gue bikin kecelakaan beneran aja? Biar gue tahu kayak gimana feel-nya. Biar lebih afdol lagi, gue tabrak aja bini gue sekalian!” Nah, itu baru yang namanya orang gila.

 

DRIANDO

Astaga... Saya ikut prihatin--

 

DANILA

Jangan. Jangan prihatin atau kasihan sama gue. Gue paling enggak suka dikasihani orang. Seolah-olah mereka melihat kalo gue lebih rendah dari pada manusia biasa.

 

Danila terdiam. Dia kembali menatap matahari sore, tampak kesal akan sesuatu yang ada di dalam kepalanya.

 

Driando tidak mengatakan apa-apa. Ia bisa menerka apa yang berkecamuk di dalam kepala Danila sekarang.

 

DANILA

(Lanjut menggembar-gembor ke udara kosong) Gue enggak kalah sama manusia biasa! Lihat aja! Gue bakal gunakan apa yang gue punya! Gue gunakan semua khayalan gue! Semua halusinasi gue! Persetan sama kehidupan nyata! Persetan sama perasaan! Yang penting film gue bagus! Bahwa Danila Dago yang rusak dan enggak ketolongan ini juga bisa bikin film yang bagus! Dan kalo mereka bilang film gue masih kurang bagus, gue tinggal mengkhayal lebih banyak lagi! Mengkhayal lebih lama lagi! Biarkan ilusi dan fatamorgana dan skizofrenia merasuki gue, memberitahu gue cerita apa yang harus gue tuangkan ke dalam laptop gue! Lo masih enggak puas? Lo masih enggak suka sama film gue? Kalo gitu gue tinggal ngelakuin apa yang manusia biasa enggak bisa lakuin. Gue tinggal ngelakuin apa yang bahkan pendahulu kita enggak bisa lakuin! Gue bakal menangin semua penghargaan! Semua yang enggak bisa lo menangin! Misalnya Golden Lion! Ya, gue bakal mencetak sejarah! Oh, lo pikir gue enggak denger apa yang lo omongin tentang gue? Hah? Johan Triwana? Lo pikir gue enggak tahu lo itu siapa? Lo pikir gue enggak tahu lo diem-diem datengin kakek-nenek gue, datengin semua bekas temen gue, datengin sahabat baru gue? Sekarang apa? Lo mau bilang kalo enggak mungkin orang gila kayak gue bisa menciptakan karya seni? Gue juga punya otak, Johan Triwana! Gue punya sepuluh jari tangan! Gue tahu cara pake komputer! Gue gila, bukannya bego! Gue bersumpah demi Tuhan kalo gue yang bakalan menang! Khayal bakal menjadi mahakarya lalu kemudian... (Napasnya tidak beraturan) lalu kemudian... (Menelan ludahnya. Napasnya semakin tidak beraturan. Dadanya berguncang. Suaranya bergetar)

 

Danila menoleh kepada Driando. Mata Danila berkaca-kaca.

 

DANILA

(Terisak)...Lalu kemudian... gue akhirnya bisa jadi manusia biasa. Iya, kan?

 

Driando ikut meneteskan air mata.

 

DRIANDO

(Ikut terisak) Saya sangat yakin... Dani bisa...pasti bisa... jadi manusia biasa.

 

Danila merengkuh lengan jas Driando erat-erat. Satu tangan Danila pada jas Driando dan tangan lainnya mengusap air mata dan lendir pada hidungnya.

 

DANILA

(Mengelap air matanya. Berusaha menahan isak tangis) Gue mau minta maaf sama lo.

 

DRIANDO

(Masih terisak) Kenapa harus minta maaf?

 

DANILA

Gue tahu lo sebenernya enggak kepengen jadi sahabat gue.

 

DRIANDO

Emang enggak. (Terisak namun tertawa)

 

DANILA

(Cemberut) Astaga, bohong dikit kek...

 

DRIANDO

 Tapi saya enggak nyesel. Sebelum ketemu Dani hidup saya cuma gitu-gitu aja. Saya selalu sendirian dan jujur saya memang selalu ngerasa kesepian. Kadang kejutan bombastis kayak Danila Dago malah bagus juga buat hidup saya.

 

DANILA

Kalo gitu gue tarik kata-kata gue kemarin. Judul film lo bukan Hampa. Mending Kejutan Bombastis aja. (Ikut tertawa sambil masih terisak-isak)

 

DRIANDO

Apapun judulnya enggak masalah, (Tersenyum hangat) selama Danila Dago yang nulis filmnya.

 

DANILA

(Mengusap tetes terakhir air matanya kemudian menarik napas dalam-dalam) Okedeh kalo begitu! Gue pengen minta tolong sama lo.

 

DRIANDO

Bakal saya lakuin. Apapun itu. Enggak usah khawatir, Dani.

 

DANILA

Adalah dosa besar... sekali lagi, dosa besar... kalo drama ini hancur justru gara-gara gue. Semua orang --Laura, Miror, Valen, Pak Beta-- udah kerja keras hanya buat muasin ego gue. Gue janji ini terakhir kalinya gue bikin hidup lo susah. (Akhirnya Danila kembali tenang. Kemantapan terpancar pada wajahnya) Gue minta lo buat sampein pesan ini sama anak-anak.

 

CUT TO:

 

68 INT. RUANG WAWANCARA - DALAM - SIANG

Kembali ke masa kini. Tiba waktunya untuk wawancara terakhir.

 

Laura Andini dan Miror Hanin tampak baru saja tiba di ruang wawancara. Mereka memposisikan diri mereka di atas sofa dan langsung menatap ke kamera. Laura kini lebih langsing dan mengenakan sweter hitam serta celana jeans. Miror tampak lebih dewasa, mengenakan gaun terusan berwarna hijau emerald.

 

Jurnalis masih bersembunyi di belakang kamera.

 

JURNALIS

Sebelumnya, terima kasih banyak sudah hadir--

 

MIROR

(Menyela) Diem lo. Kita di sini cuman buat Kak Dani aja. Lo diinjek gajah juga menurut lo kita peduli?

 

LAURA

(Menepuk lutut Miror) Coba lebih cool lagi, cinta. (Kepada Jurnalis) Tapi gue setuju sama doi. Kita di sini cuma buat Kak Dani. Jadi apa yang mau lo tanyain?

 

JURNALIS

(Mulai salah tingkah) Uhm, boleh diceritakan apa yang terjadi pas detik-detik terakhir pementasan?

 

LAURA

Temennya Kak Dani dateng ke kita-kita dan dia dititipin pesan dari Kak Dani.

 

JURNALIS

(Bingung) Dititipin pesan?

 

LAURA

Bahwa dia memutuskan buat mengundurkan diri dari drama Khayal.

 

 

MIROR

(Menambahkan) Kak Dani juga mutusin buat enggak hadir pas opening night. Termasuk pementasan-pementasan selanjutnya.

 

JURNALIS

(Jelas sekali terdengar bahwa ia tidak menyangka testimoni semacam ini) J-Jadi, uhm... Jadi Danila Dago sudah bilang ke kalian kalo dia tidak akan hadir?

 

LAURA

Yap. Dan masih ada lagi kejutan bombastisnya.

 

CUT TO:

 

69 INT. DARWIS CONVENTION HALL - DALAM DRESSING ROOM - MALAM

Semua aktor sudah mengenakan kostum dan tata rias masing-masing. Mereka, bersama dengan Teresa dan Timo, masih berjuang untuk mencerna pesan yang dibawakan oleh Driando dari Danila.

 

LAURA

(Terperangah) Kak Dani serius ngomong seperti itu?

 

DRIANDO

(Mengangkat bahunya) Dani bilang ketika kamu enggak dapet peran yang kamu pengenin, itu artinya saatnya kamu menciptakan sendiri peran yang kamu pengenin. Hikmah dari pensiun dini dari menjadi aktor adalah kamu bisa memulai karier yang baru.

 

LAURA

Tapi gue sama sekali enggak tahu cara jadi sutradara.

 

DRIANDO

Dani cuma bilang, gunakan imajinasi kamu.

 

CUT TO:

 

70 INT. RUANG WAWANCARA - DALAM - SIANG

Kembali ke masa kini, ketika Laura dan Miror diwawancarai oleh Jurnalis.

 

LAURA

Dengan sekejap gue langsung jadi sutradara barunya Khayal. Enggak cuma buat opening night tapi juga buat pementasan seterusnya. Terus ternyata... (Mendesah) Kak Dani juga menyerahkan hak cipta Khayal ke gue.

 

MIROR

(Menambahkan) Kak Dani menilai selama geladi kotor, Laura itu selalu yang paling proaktif dan gue juga harus akui, dia memang selalu bisa nge-take care kita-kita para aktor. Dia tegas tapi juga empatik.

 

LAURA

Sekarang gue sama Miror lagi ngerjain pre-production buat versi layar lebarnya Khayal.

 

MIROR

Laura jadi sutradara sekaligus penulis dan gue tetep jadi lead actress-nya. Tentunya kita tetep kasih credit buat Danila Dago. Mudah-mudahan bisa tayang perdana di Venice tahun depan. Banyak PR yang harus kita kerjain. Makanya gue udah bilang ke si Laura kalo buang-buang waktu kita ada di sini.

 

JURNALIS

Jadi itu artinya Danila Dago memang menyerahkan kemudi kepada Laura Andini? Tapi sumber saya mengatakan bahwa Danila Dago melarikan diri sehingga Laura terpaksa mengambil alih!

 

LAURA

Gue bilang (Jari membentuk air quote) “sumber” lo ini nge-hack laptop yang salah. Gue akui, awalnya gue juga enggak percaya sama pesan yang dititipin sama Driando. Tapi, yah... Apa aturan paling penting buat pementasan drama panggung, Miror?

 

MIROR

Kita harus siap sama revisi dalam bentuk apapun, bahkan di detik-detik terakhir sekalipun.

 

LAURA

Jujur, gue nyaris lupa apa yang terjadi sepanjang opening night.

 

MIROR

(Menambahkan) Kita semua terlalu sibuk akting sekaligus bantuin Laura ngarahin kita-kita. Gue enggak pernah secapek itu sepanjang hidup gue.

 

LAURA

Begitu opening night selesai kita semua udah terlalu capek buat ngapa-ngapain. Kita undur press-con jadi besok paginya aja dan kita semua langsung bobo di gedung teater.

 

MIROR

Kita baru ngeh pas bangun besok paginya kalo drama kita sukses besar. Paling mengejutkannya adalah penonton paling suka sama Babak Terakhir kita.

 

LAURA

Syukurlah Kak Dani sempilin monolog penutup buat si Miror. Gue bilang itu yang bikin hati penonton terhenyak.

 

JURNALIS

(Terdengar emosional) Dan kalian anggap semua itu adalah kesuksesan?

 

LAURA

(Tenang dan percaya diri) Penonton membludak, kita diliput di semua media, dan jadwal pentas kita bahkan diperpanjang jadi enam bulan saking gedenya demand. Bukannya itu definisi dari kesuksesan?

 

JURNALIS

Bagaimana dengan Danila Dago? Kalian tidak curiga sama dia? Fakta bahwa Danila Dago adalah--

 

LAURA

(Menyela) Adalah seniman yang membawa kita ke kesuksesan. Dan ternyata dia benar: gue enjoy jadi sutradara. Dan kalo gue kangen akting, well, gue enggak usah insecure lagi.

 

JURNALIS

Jadi kalian langsung menganggap Danila Dago bukan penipu?

 

Laura dan Miror saling bertukar pandangan. Kemudian mereka tertawa terbahak-bahak.

 

JURNALIS

(Semakin naik pitam) Enggak ada yang lucu!

 

LAURA

Itulah bedanya manusia biasa sama seniman sejati! Lo manusia biasa hanya mengikuti logika. Kalo enggak makes sense, lo langsung bilang itu penipuan. “Oh, otak dia enggak kayak orang kebanyakan. Dia pasti enggak bisa apa-apa. Pasti tulisannya curian dari siapa.” Tra-la-la, la-la-la, la-la-la-la-la-la-la!

 

MIROR

(Kepada Jurnalis) Lo aja yang enggak tahu drama sebenernya behind the scene. Justru gue bilang kita-kita lebih parah dari pada Kak Dani.

 

LAURA

(Kepada Jurnalis) Berhubung lo lagi bikin film juga, mending gue kasih tips langsung dari mulut sineas yang udah berpengalaman: semakin enggak makes sense, justru semakin asik! Seni itu adalah dunia di mana keanehan, kegilaan, dan kekacauan justru menjadi sesuatu yang kita rayakan. (Beralih ke ponsel di tangannya) Ups, jemputan kita udah nyampe! Sampe sini aja ya, Mas Jurnalis! (Segera beranjak dari sofa sambil menarik lengan Miror)

 

MIROR

Usahain film dokumenter lo jangan sampe boring, ya! Dan by the way, kalo ada pencemaran nama baik Danila Dago di film ini, siap-siap aja lo banting setir jadi rapper.

 

Laura dan Miror langsung menghilang dari kamera.

 

JURNALIS

Woy! Ending-nya enggak semestinya kayak gini--

 

Jurnalis berusaha menghentikan mereka namun gagal.

 

Kamera tiba-tiba mati.

 

CUT TO:

 

71 EXT. REST AREA - LUAR - SORE

Masih di masa kini. Driando, Laura, Miror, Beta, dan Valen berada di lapangan parkir rest area yang pernah mereka kunjungi satu tahun silam. Mereka semua duduk berselonjor di atas aspal sambil menyeruput segelas kopi hitam. Terdapat pula makanan ringan sebagai sampingan.

 

Mereka menyaksikan matahari yang sebentar lagi terbenam.

 

DRIANDO

Jadi kalian jauh-jauh ke Bogor cuman buat main di rest area?

 

VALEN

Ini bukan rest area biasa. Ini candi keramat kita sekarang.

 

LAURA

Baru sekarang gue bisa mengapresiasi yang namanya matahari terbenam. Kok bisa ya?

 

BETA

Mentang-mentang udah jadi sutradara langsung jadi sok artistik, euy!

 

MIROR

(Kepada Laura) Mertua lo masih komplain sama profesi baru lo sekarang, Kak Laura?

 

LAURA

Begitu mereka ngeh kalo honor sutradara itu sepuluh kali lipatnya honor aktor, mereka jadi amat sangat suportif. Gue juga perhatiin kayaknya Marwen lebih demen sama Cool Mom dari pada sama YouTube Mom.

 

VALEN

(Kepada Driando) Jadi... apa udah ada kabar lagi?

 

DRIANDO

(Menoleh ke Valen. Wajahnya berubah menjadi sedikit muram) Belum. Dari kalian sendiri? Apa udah ada kabar terbaru?

 

VALEN

(Menunduk ke gelas kopi di tangannya) Teteh Teresa udah sewa orang tapi sampe saat ini belum ada petunjuk.

 

MIROR

Rasanya mustahil deh Kak Dani ngilang begitu aja. Bagaimana caranya orang ninggalin literally segalanya terus move on begitu aja? Bahkan hape aja ditinggalin.

 

LAURA

Keahlian Kak Dani memang adalah bikin yang mustahil menjadi mungkin.

 

MIROR

Menurut kalian dia bakal balik lagi? Maksud gue... Seharusnya dia masih hidup kan, ya?

 

DRIANDO

Gue yakin dia ada di luar sana. Dia terlalu gila buat menyerah begitu aja.

 

LAURA

Setuju. (Tersenyum mantap) Dan begitu dia pulang, kita harus pastiin welcoming party-nya meriah.

 

MIROR

Kita bisa bikin party-nya di Venice!

 

VALEN

Keren banget tuh kalo ternyata selama ini Kak Dani di Venice!

 

BETA

Kita pasang layar tancep terus kita tayangin versi layar lebarnya Khayal. Janga lupa buat ngundang semua orang.

 

MIROR

Semua orang kecuali si Jurnalis itu.

 

BETA

Yep. Kecuali that fucking piece of shit.

 

Semua orang kecuali Beta langsung terdecak kagum.

 

MIROR

Whoaaa, Beta Karim udah ketularan kita-kita!

 

LAURA

Udah salah asuhan si Beta Karim sekarang!

 

VALEN

Kak Dani pasti bakal pingsan ketawa ngedengernya!

 

DRIANDO

(Mengangkat gelas kopinya) Ini kopi enggak basi kan, ya?

 

Driando, Laura, Miror, Beta, dan Valen lanjut tertawa dan bersenda gurau hingga matahari sepenuhnya terbenam. Kesedihan dan kerinduan terasa di antara senda gurau mereka, namun untuk saat ini juga, mereka baik-baik saja.

 

CUT TO:

 

72 INT. DARWIS CONVENTION HALL - DALAM AULA - SORE

Tidak jelas apakah adegan ini adalah bagian dari masa lalu atau masa kini. Tidak jelas pula apakah adegan ini termasuk fatamorgana atau kebenarannya.

 

Danila Dago, dengan rambut panjang bergelombang dan dress yang ia kenakan ketika press conference untuk drama panggung Khayal, menari dengan bebas di atas panggung. Bersama dengan Danila, para “hantu”-nya yakni Usmar Ismail, Sjumandjaja, Dhalia, Fifi Young, Farida Arriany, dan Njoo Cheong Seng turut menari di atas panggung. Seolah mereka semua sedang merayakan sesuatu, mereka menari dengan wajah yang bahagia. Di atas panggung kayu. Di bawah mentari sore.

 

Di latar belakang adalah monolog penutup yang dibawakan Miror di kala pementasan Khayal.

 

MIROR (B.G.)

“Suatu hari seseorang memintaku untuk memilih: antara perayaan akan kehidupan atau keniscayaan akan kematian. Percayalah padaku, aku tidak pernah berkhayal aku mengambil pilihan kedua. Masih banyak yang ingin aku lakukan. Karya yang ingin aku ciptakan. Piala yang ingin aku menangkan. Aku masih belum menemukan jawaban kenapa aku hidup dan sekarang aku harus mati? Itu konyol! Tapi ada satu hal yang akan aku bawa hingga keniscayaanku: khayalanku bukanlah yang membunuhku. Justru sebaliknya. Bahwa khayalanku justru adalah yang membuatku tetap hidup. Meskipun ini terdengar konyol, atau bahkan tidak bisa diterima, itulah kebenaranku. Khayalanku telah membuatku bahagia. Mencintaiku ketika tidak ada yang mau. Menghiburku ketika aku jemu. Melindungiku ketika aku takut. Silahkan ejek aku atas perbuatanku. Silahkan katakan apa yang kau mau. Aku tahu di lubuk hatiku, aku pantas menerima hujatanmu. Tapi setidaknya, dan kebenarannya juga adalah, kini Ayahku kembali mencintai Ibuku. Kini hati Ibuku tidak lagi membeku. Dan kini Kakakku tidak takut lagi menghadapi hidup. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan bertemu lagi dengan keluargaku. Dan begitu hari itu tiba, mungkin kita bisa mengkhayal bersama di atas atap. Sungguh konyol sekali kepalaku ini. Bahkan setelah semua ini, aku masih menuliskan akhir yang bahagia.”

 

Danila Dago menari dengan begitu lepasnya. Ia tampak bahagia.

 

 

 

 

THE END

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar