Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Ibu siapkan makan dulu untuk mu. Kamu belum makan sejak tadi," ucap Ibu lembut melepaskan pelukannya lalu mengecup lembut kening putrinya.
"Nanga gak lapar, Bu," balas Kenanga memaksakan senyumnya. Ia tak ingin menambahkan kesedihan di hati Ibunya yang mulai menua dan matanya mulai rabun jauh jika tak mengenakan kacamata.
"Kamu harus makan. Lapar gak lapar yang penting makan! Kalau kamu sakit, siapa yang akan menjaga Magani dan Argani? Ibu sudah tua, gak kuat kalau disuruh momong!" jawab Ibu dengan suara serak lalu berjalan ke dapur dan lagi-lagi, air matanya merembes.
Disekanya cepat-cepat menggunakan ibu jari agar Kenanga tak melihatnya. Saat ini, anaknya lah yang paling hancur. Jiwanya yang paling lebur. Dan sebagi seorang Ibu, Melati harus tabah dan kuat. Ia harus bisa menjadi pilar untuk anaknya agar Kenanga tak jatuh dan bisa terus menjalani kehidupannya meski tanpa seorang suami.
Kenanga beranjak dari kursi dan berjalan pelan menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Ia melihat putra-putrinya yang sedang tertidur pulas. Dielusnya rambut Magani si putri kecilnya yang cerewet dan Argani anak lelakinya yang cenderung pendiam. Anak kembar yang malang. Di usia mereka yang baru enam tahun, sudah harus hidup tanpa kasih sayang seorang Papa.
"Maafkan Mama, sayang. Karena keegoisan Mama, kalian harus menderita," ucap Kenanga yang air matanya jatuh menitik. Ya. Karena keegoisannya yang meminta cerai lah Magani dan Argani harus hidup tanpa Bram. Padahal, mereka berdua sangat dekat dengan Papa mereka.
"Kamu tidak kasihan dengan anak-anak, Ma? Mereka masih kecil! Butuh kasih sayang dan keluarga yang utuh!" ujar Bram ketika Kenanga menemukan perselingkuhan suaminya untuk pertama kali. Ia langsung minta cerai. Tidak bisa tidak! Emosi sedang menguasai dirinya dan sama sekali tak bisa berpikir jernih.
"Kalau Mas kasihan dengan anak-anak, kenapa selingkuh dengan perempuan itu?! Sudah terlambat kalau Mas mau kasihan pada Maga dan Arga!"
"Kita bisa rundingkan soal ini, Nanga! Jangan sampai kita bercerai. Aku tidak mau Maga dan Arga punya Papa tiri!"
"Tapi Mas sendiri mau mencarikan mereka Mama Tiri?! Mas sudah janji kan mau menikahi Anggun?! Dia bahkan sudah hamil tiga bulan! Kalau tidak cerai, Mas mau poligami? Tidak! Sampai mati pun aku tidak sudi!" balas Kenanga berapi-api di dalam kamarnya. Suaranya bergetar dan dadanya naik turun dibakar amarah. Pipinya basah sampai tenggorokannya tercekat dan lidahnya susah untuk digerakkan.
"Aku bisa menyuruhnya aborsi, Ma." Bram memegangi pundak istrinya dan menatapnya lekat-lekat namun Kenanga berjalan mundur. Ia tak ingin disentuh oleh suaminya. Ia merasa risih. Jijik. Dan seketika itu juga sekelebat bayangan tentang suaminya yang bercumbu dengan Anggun terlintas di kepalanya, perut Kenanga mual serasa ingin muntah.
"Aborsi?" Kenanga memaksa tersenyum. Sinis. "Kalau Mas berniat aborsi, kenapa sampai janin itu berusia tiga bulan?!"
Bram diam. Ia kehabisan alasan. Namun dia juga tak ingin bercerai. Ia sangat menyayangi kedua anaknya. Dan dia juga masih mencintai Kenanga. Hanya saja ... hanya saja dia juga tak bisa melepaskan Angel. Sekretaris yang dua tahun terakhir bekerja sebagai bawahannya. Perempuan itu muda, cerdik,cantik, dan sangat sulit ditolak pesonanya.
"Sudah lah, Mas. Apapun aku tidak peduli lagi dengan semua alasan Mas. Dan aku tak percaya lagi dengan semua kebohongan yang keluar dari mulut Mas. Kita cerai!" Kenanga melangkahkan kaki keluar kamar menuju kamar anak-anaknya. Ia merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Keputusannya sudah final. Dan cinta yang selama ini bersemayam di hatinya, seketika menjadi benci. Ya, Bram lah yang mengubahnya.
***
"Biar Nanga yang mencuci piringnya, Bu," ucap Kenanga ketika Ibu hendak mengambil piring di hadapannya yang telah kosong.
"Ibu istirahat saja. Sudah malam," lanjut perempuan yang tengah mengenakan daster panjang bermotif batik keris tersebut.
Tubuhnya yang masih singset dan pinggulnya yang ramping, tidak nampak bahwa Kenanga telah melahirkan dua orang anak. Untuk urusan badan, ia memang sangat hati-hati. Makan teratur, dan juga cukup olahraga.
"Ya sudah. Kamu kalau tidur jangan malam-malam. Jaga kesehatan," sahut Ibu yang langsung berjalan ke arah kamar.
Selesai mencuci piring, Kenanga masuk lagi ke kamar anak-anaknya. Sebelum tidur, ia ingin melihat lagi Magani dan Argani. Dalam keadaan tidur saja, mereka begitu menggemaskan. Pipi yang putih dan halus, hidung mancung yang dituruni dari Bram. Sementara bibir tipis keduanya, mirip seperti Kenanga. Perempuan keturunan Jawa, Pakistan dan Eropa. Tentu saja wajah cantik dan tubuh setinggi 158 cm tak hanya didapat dari Bapak Ibunya melainkan dari nenek moyangnya. Ya, barangkali saat dulu saat Indonesia dijajah, nenek moyang Kenanga mulai diciptakan dari tanah dan mulai ditiupkan ruh nya.
Kenanga membetulkan selimut yang menutupi tubuh Magani. Anak gadisnya itu, kalau tidur memang selalu berpindah posisi dan tidak pernah anteng. Berbeda dengan Argani yang dari awal tidur sampai bangun di pagi hari, posisinya tetap sama. Tak berubah sedikit pun.
"Selamat mimpi indah kesayangan, Mama." Kenanga mengecup pipi mereka secara bergantian dan kembali ke kamarnya yang pernah dihuni saat belum menikah dulu. Kamar itu masih sama. Tidak berubah sedikit pun. Lemari yang sama, ranjang besi dengan cat warna biru, dan juga meja rias yang pernah Bram belikan untuknya saat lamaran dulu.
Kenanga membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Berusaha memejamkan mata namun sangat sulit. Dan ketika melihat cincin di jemari manisnya, ia baru ingat bahwa dia belum melepaskan cincin pernikahannya.
Dipandanginya cincin kualitas terbaik bertahtakan dengan batu berlian yang dipesan Bram dari desainer perhiasan terkenal. Bayangan Bram pun muncul. Dan pertanyaan-pertanyaan pun hinggap di dalam kepalanya.
Apakah kamu bahagia, sekarang? Apa kamu sudah tinggal dengan Anggun? Apakah dia lebih cantik dan bisa memuaskan mu daripada aku sehingga kamu tega mengkhianati pernikahan kita? Menyakiti aku dan juga anak-anak?
Kenanga terus-menerus menanyakan hal itu. Entah pada siapa. Ia tak habis pikir dan belum menemukan alasan yang masuk akal baginya kenapa suaminya berselingkuh!
Kenanga tak kalah cantiknya dengan Anggun. Tubuhnya masih seperti seorang perawan. Dan soal urusan tempat tidur, Kenanga selalu bisa memuaskan. Belum cukup kah semua itu? Pikir Kenanga gondok!
***
"Beib?" panggil Anggun dengan manja pada Bram yang sedang tidur di sebelahnya. Ia mengelus dada bidang lelaki dan hendak membuka kancing piyama yang dikenakannya.
"Tidak sekarang, Anggun. Aku sedang capek," balas Bram kemudian memiringkan tubuhnya ke arah tembok.
Tentu saja itu hanya alasan saja karena yang sebenarnya adalah dia rindu anak-anaknya. Rindu dengan Kenanga. Bram sebenarnya tak ingin bercerai tapi karena Kenanga adalah perempuan yang keras kepala saat marah, ia tak bisa dibujuk untuk bertahan. Ya, setidaknya saat ini. Saat kemarahan Kenanga mereda, biasanya perempuan itu akan berubah menjadi kucing betina yang penurut.
"Apa kamu menyesal bercerai dengan mantan istri mu?" tanya Anggun jengkel.
"Gak. Aku hanya capek."
"Alasan! Sejak tadi kamu memandangi foto Kenanga dan anak-anak mu!"
"Mereka anak-anak ku, Anggun. Darah daging ku!"
"Tapi Kenanga mantan istri mu! Dan kita akan segera menikah! Semua foto-fotonya harus kamu hapus atau aku akan menghapusnya sendiri?" geram Anggun yang sangat cemburu. Biasanya, lelaki itu lah yang terus-terusan ingin dimanjakan di tempat tidur! Ingin dilayani berkali-kali. Tapi, kini? Setelah tak perlu umpet-umpetan dari Kenanga malah dia yang loyo!