Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Dulu kan sudah Bapak bilang. Jangan menikah dengan Bram. Dia itu lelaki tidak baik! Ganteng, iya. Kaya, memang! Tapi, kalau tidak bertanggung jawab buat apa, Kenanga?!" omel Handoko pada putrinya semata wayang yang baru saja selesai menidurkan kedua buah hatinya.
Baru sore tadi Kenanga tiba dari Jakarta setelah menyelesaikan sidang cerainya dengan Bram, pria yang dulu pernah dicintainya setengah mati. Ya, dulu. Sebelum ketahuan dia memiliki wanita lain, yang lebih muda dari Kenanga dan menjadikan gadis itu sebagai simpanan.
Wanita yang kini usianya ada di awal tiga puluh itu hanya menunduk. Apa yang dikatakan Bapaknya benar. Dulu, tak ada yang menyetujui ketika Bram melamarnya. Tetapi, Kenanga tetap bersikeras. Bagaimana pun juga dia harus menikah dengan Bram. Bukan lantaran hamil di luar nikah. Tetapi karena cinta.
"Kalau sudah begini, ke mana perginya cinta yang dulu kamu bangga-banggakan? Secepat itu kah cinta mu hilang ditelan lautan? Baru tujuh tahun kalian menikah dan kini sudah kandas!" lanjut Handoko lagi. Belum puas ia memarahi putrinya.
Lelaki yang sudah baya itu marah, kecewa, sekaligus prihatin dengan nasib putrinya. Rumah tangganya sedang guncang tapi sama sekali tidak memberi tahu orangtuanya. Setelah putusan cerai, tiba-tiba pulang kampung dengan memboyong dua anaknya yang masih berusia enam tahun.
"Kenapa baru pulang sekarang? Kenapa tidak pernah cerita pada Bapak dan Ibu mu? Apa kamu menganggap kami sudah mati? Jawab Bapak,Kenanga!"
Tak tahan melihat anak semata wayang dimarahi, Melati, Ibu Kenanga akhirnya ambil suara. "Sudahlah, Pak. Biarkan Kenanga istirahat dulu. Dia pasti lelah karena menyetir sendiri dari Jakarta."
"Ini karena Ibu terlalu memanjakan anak! Apa saja selalu dituruti!"
"Lho, kok jadi Ibu yang salah? Kalau bukan Ibu yang nuruti, siapa lagi? Kenanga anak kita satu-satunya. Sudah kewajiban Ibu memanjakan anak!"
Kenanga menarik napasnya dalam-dalam sebelum membuka mulut. Ia tahu akan begini kejadiannya. Bapak pasti akan menyalahkan pilihannya. "Maafkan Nanga, Pak, Bu. Cuma itu yang bisa Nanga ucapkan sekarang."
Handoko berdiri dari posisi duduknya dan mendekati Kenanga yang duduk di hadapannya. "Kamu?! Memangnya maaf bisa mengembalikan hidup mu?! Bisa menyatukan kembali rumah tangga mu yang sudah hancur berkeping-keping? Bisa mengobati rasa kecewa dan sakit hati Bapak?" sentak Handoko hendak menampar putrinya namun buru-buru dicegah oleh istrinya.
"Sudah, Pak! Sudah! Bukan cuma Bapak yang sakit hati dan kecewa! Ibu juga! Dan Kenanga juga sakitnya pasti melebihi kita!" teriak Ibu dengan cucuran air mata yang mau tak mau harus dikeluarkan.
"Huumph! Terserah apa kata Ibu! Sekarang, Bapak tidak mau lagi ikut campur dengan hidup mu!" balas Handoko melepaskan tangan istrinya dan langsung pergi dari ruang keluarga menuju kamarnya. Sedangkan Melati, tak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia mendekati Kenanga yang hanya tertunduk lesu namun tak menangis. Tak ada air mata yang keluar dari kelopa matanya yang indah. Air matanya telah terkuras habis. Tak ada yang tersisa.