Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
ARUH
Suka
Favorit
Bagikan
2. PRE-OPENING CREDIT SCENE
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

1. EXT. HUTAN MERATUS - MENJELANG MALAM

MUSTAQIM, seorang dokter muda berusia 27 tahun, berhenti untuk ke sekian kalinya. Ia membungkuk. Bertumpu pada lututnya seperti gerakan ruku. Wajahnya banjir keringat. Bajunya basah kuyup. Punggung dan dadanya naik turun saat Mustaqim membuang dan menarik napas untuk melepas lelah. Tak sengaja, mata Mustaqim menangkap pacet yang hinggap di lengan kirinya. Mustaqim mengambil botol spray kecil dari kantong celana kargonya lalu menyemprot pacet tersebut dengan lotion anti nyamuk yang telah dicairkan. Pacet itu jatuh ke tanah. Darah mengalir dari luka yang ditinggalkan pacet tersebut di lengan Mustaqim.

Di depan Mustaqim, SAHRIANSYAH (55 tahun) dan anaknya, NANANG (16 tahun) ikut berhenti. Mereka adalah penduduk Desa Bawah, pemandu Mustaqim menuju Desa Tanah Datu. Tak seperti Mustaqim yang tampak payah, Sahriansyah dan Nanang begitu tangkas, berjalan menyusuri rimba Meratus. Sahriansyah dan Nanang berbalik lantas mendapati Mustaqim tengah membungkuk. Nanang melangkah mendekati Mustaqim.

NANANG
Di depan ada sungai, Mang. Parak ai lagi. Kawa meisi banyu. Kawa mandi jua di sana.
SAHRIANSYAH
(Berkata sembari berjalan mendekati Mustaqim dan Nanang)
"Mang" pulang lihati. Dasar babal bujur kakanak ni. Sudah ditagur bekali-kali ya kada paasian.
SAHRIANSYAH (CONT'D)
(Menghadap Mustaqim)
Maaf lah, Pak Dokter. Nanang ini kada sekolah pang, makanya bebal sekali anaknya. Susah dikasih tahu.

Mustaqim memaksa diri mengukir seulas senyum yang tipis sekali di wajahnya.

MUSTAQIM
(Menjawab dengan terengah-engah)
Tidak. Apa. Apa.

Mustaqim kembali berdiri tegak. Tangannya sudah bergerak menuju botol air di kantong ransel, namun tidak jadi ia lakukan karena teringat bahwa air minumnya sudah habis.

NANANG
(Memegang lengan Mustaqim)
Lanjut kah kita, Mang?

Mustaqim mengangguk lalu kembali berjalan menyusuri belantara Kalimantan bersama Sahriansyah dan Nanang.


2. EXT. DI TEPI SUNGAI - MALAM

Mereka tiba di tepi sungai. Meskipun di ruang terbuka, suasana cukup gelap karena malam itu merupakan fase bulan baru.

NANANG
Sampai, Mang!

Nanang meletakkan senter di atas batu lalu berjongkok. Mengambil air dengan tangan lalu meminumnya.

Mustaqim tersenyum lega lanta mendekati Nanang. Ikut minum.

Sahriansyah duduk di atas batu besar, lalu merokok. Ia tersenyum mengamati Nanang dan Mustaqim yang begitu lahapnya menenggak air sungai.

NANANG
Sigar kalo, Mang? Becabur kah kita?
SAHRIANSYAH
(Berkata pada Nanang)
Beingat-ingat, Tuh! Kada baik mandi malam.
SAHRIANSYAH (CONT'D)
(Berkata pada Mustaqim)
Benar kan, Pak Dokter?
MUSTAQIM
Kalau keadaannya gerah seperti ini, ya sekali-kali tidak apa lah, Pak.

Nanang tersenyum menang.

NANANG
Tapi, Mang, ulun mau buang air dulu lah. Uyuh dah menahan sakit perut dari tadi.

Sahriansyah terlihat agak kesal.

SAHRIANSYAH
Uma bagusnya si Utuh seikung ni. Banyu sungai untuk minum sama mandi malah mau dijadikan jamban. Behera di tanah aja, pang. Kena bebasuh hanyar cibuk banyu sungai.
NANANG
Kaya itu jua ai, Bah ai. Ulun gen beakal.

Nanang menoleh pada Mustaqim.

NANANG
Ke sana dulu ulun, Mang, lah. Setelah itu baru kita mandian. Jangan bedahulu, Mang, lah. Ulun tekutan mandi sorangan kena ditarik hantu banyu.
SAHRIANSYAH
behera-behera sudah sana nah. Tepecirit di selawar kena ni.
NANANG
Inggih-inggih, Bah, ai.

Nanang berjalan ke arah hilir sungai.

Mustaqim mengambil botol kosongnya lalu mengisinya dengan air sungai. Setelah itu, ia menghampiri Sahriansyah yang asyik merokok.

MUSTAQIM
Bapak tidak minum?
SAHRIANSYAH
Nanti saja, Pak Dokter. Saya tidak terlalu haus.
MUSTAQIM
Sudah biasa masuk hutan ya, Pak. Jelas Bapak lebih kuat dari saya yang naik tangga ke lantai tiga saja perlu dibayar sebotol air mineral.
SAHRIANSYAH
Tapi kalau masuk Meratus apalagi ke arah Tanah Datu, sudah sangat jarang saya lakukan, Pak Dokter. Rasa-rasanya, baru Pak Dokter yang meminta saya untuk memandu sampai ke desa itu dalam 10 tahun terakhir ini.

Sahriansyah menyesap lalu menghembuskan asap rokoknya.

SAHRIANSYAH (CONT'D)
Mungkin Pak Dokter sudah tahu, Tanah Datu, meskipun terletak di tengah hutan, tetapi selalu ramai dikunjungi peziarah. Ada kubah alim ulama di sana. Namanya Guru Jamhari. Katanya, beliau adalah guru bagi banyak ulama-ulama Kalimantan Selatan saat ini. Beliau berdakwah sampai ke pelosok-pelosok hutan untuk mengislamkan orang-orang yang dulu masih menyembah leluhur. Dan, salah satu kampung yang berhasil diajak beliau masuk Islam adalah kampung Tanah Datu. Beliau pun tinggal di sana sampai akhir hayat beliau. Cuma, sejak sungai tiba-tiba mengering dalam sebulan terakhir ini, tidak ada lagi peziarah yang ke sana. Orang-orang pasti tidak akan mau menembus hutan selama sehari semalam seperti kita ini.
MUSTAQIM
Kalau lewat sungai ini tidak bisa sampai ke sana ya, Pak?
SAHRIANSYAH
Tidak bisa, Pak Dokter. Sungai ini memang melewati Tanah Datu tetapi hilirnya, setahu saya, ada di tengah hutan. Tidak sampai ke desa mana pun di kaki Meratus. Lagipula, sungai ini sangat dangkal.

Mustaqim manggut-manggut.

MUSTAQIM
Kalau Nanang, sudah berapa sering ke Tanah Datu, Pak?
SAHRIANSYAH
Kalau lewat hutan, baru sekali ini.
MUSTAQIM
Saya kira sudah sering. Soalnya Nanang kan tadi bilang sebentar lagi ada sungai. Jadi saya pikir dia sudah sering lewat sini.
SAHRIANSYAH
Kalau ke sungai sini, memang sudah beberapa kali. Tetapi sampai ke Tanah Datu, baru sekali ini. Cuma, kalau lewat Sungai Sampang, dia tiap tahun ke sana. Ikut rombongan peziarah yang jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan. Apalagi di bulan Rabiul Awal seperti sekarang. Banyak aruh di Tanah Datu. Aruh ganal-nya ya peringatan maulid Nabi sekaligus haul Guru Jamhari.
MUSTAQIM
Tidak disangka ya, Pak, desa terpencil seperti itu bisa menjadi magnet bagi banyak orang.
SAHRIANSYAH
Ya itulah salah satu keramat Guru Jamhari. Orang-orang di sana juga sangat religius. Jadi semakin terbekahilah tempat tersebut.
MUSTAQIM
Ngomong-ngomong, berapa lama lagi kita sampai, Pak?

Sahriansyah melirik jam tangannya.

SAHRIANSYAH
Kira-kira pukul sembilan kalau jalan lambat.

Cut to:


3. EXT. DI TEPI SUNGAI - MALAM

Nanang menutup kembali lubang tempat ia membuang tinja dengan tanah. Ia berjalan terkangkang-kangkang menuju sungai karena lututnya terhalang celana yang sengaja dilorotkan. Saat ia mencuci pantatnya, Nanang mendadak siaga saat mendengar SUARA KRESEK-KRESEK dari seberang. Ia mengamati dengan waspada dan sedikit takut. Nanang berdiri perlahan, menaikkan celana, dan meraba pinggang. Ia semakin panik saat tidak menemukan parang tersampir di pinggangnya.

Suara kresek-kresek terdengar kembali. Nanang dengan cepat melirik ke arah sana dan langsung mematung pucat saat melihat SESOSOK MAKHLUK muncul dalam gelap. Nanang bergerak mundur, lalu berlari ketakutan kembali pada Mustaqim dan Sahriansyah.

Cut to:

4. EXT. DI TEPI SUNGAI - MALAM

Sahriansyah dan Mustaqim masih asyik berbincang. Tiba-tiba Nanang muncul, berlari ketakutan. Melihat Nanang, Sahriansyah segera melompat dan mengeluarkan parang. Melihat Sahriansyah tampak waspada, Mustaqim ikut memegang hulu parang yang tersampir di pinggangnya, tetapi belum mencabutnya.

SAHRIANSYAH
(Dengan nada agak panik tapi waspada)
Kenapa, Nak?
NANANG
(Terengah-engah dan setengah ketakutan)
Anu... di sana.... ulun melihat hantu banyu!

Tak lama setelah mengatakan itu, terdengar suara kecipak air. Mustaqim, Sahriansyah, dan Nanang serentak menoleh ke sana. Makhluk itu ada di sana. Sahriansyah mengacungkan parang. Ekspresi Mustaqim panik dan bingung ingin berbuat apa. Tangannya terus tergenggam di hulu parang di pinggangnya. Nanang bersembunyi di belakang Mustaqim sembari merapalkan doa. Ia sangat ketakutan.

SAHRIANSYAH
(setengah berteriak dengan lantang)
Bejauh pian, Datu. Kami umpat istirahat aja di sini. Kada beulah macam-macam.

Makhluk itu malah berjalan mendekat. Mustaqim menahan napas dengan tegang. Nanang memejamkan mata sambil terus berdoa. Sahriansyah beringsut mundur.

SAHRIANSYAH
Anu, pian handak apa nah? Nyaman kami turuti. Tapi jangan ganggu kami. Kami kededa niat mengganggu.

Makhluk itu semakin mendekat. Saat senter kepala Mustaqim tak sengaja terarah pada makhluk tersebut, tampaklah bahwa ia sesosok manusia yang sedang terluka. Bibirnya pucat. Wajah dan tubuhnya kotor serta luka. Ia hanya memakai celana dalam sepaha. Kaos yang dipakainya penuh darah yang sudah mengering. Ia BARA (25 tahun).

BARA
Tolong saya.

Mustaqim berjalan mendekati Bara dengan wajah setengah takut setengah yakin. Ia mengulurkan tangan dengan gemetar untuk memegang Bara. Sadar bahwa tangannya tidak menembus sosok tersebut, Mustaqim langsung memapah Bara.

MUSTAQIM
Tolong, Pak. Dia terluka.

Sahriansyah memasukkan parang kembali ke sarungnya lalu membantu Mustaqim memapah Bara. Nanang masih agak ragu untuk mendekat.

Mustaqim dan Sahriansyah mendudukkan Bara di tanah kering.

Bara merintih lalu memegang bagian perutnya.

Mustaqim dengan sigap membuka kaos Bara. Ia terkesiap dan agak mundur sedikit saat melihat robekan besar di perut Bara dengan usus yang sudah terjulur ke luar.

Berbeda dengan Mustaqim, Sahriansyah dan Nanang malah berpandangan.

Mustaqim dengan ekspresi masih terheran-heran melihat orang terluka sebegitu parah tetapi masih bisa bertahan hidup segera membaringkan Bara.

MUSTAQIM
Pak, tolong ambil kotak P3K di tas saya ya.


Mustaqim melakukan prosedur medis gawat darurat ABCD dengan cepat.

Mustaqim berlutut di samping bara.

Mustaqim mengangkat dagu Bara, memintanya buka mulut, lalu melihat ke dalam rongga mulut Bara.

Mustaqim menekan dahi Bara, mendekatkan telinganya ke hidung Bara, sambil melihat ke arah dada Bara.

Mustaqim mengecek denyut nadi di leher Bara.

MUSTAQIM
Kamu harus secepatnya mendapat tindakan bedah di klinik desa. Saya tidak bisa melakukan itu di sini karena khawatir sepsis.

Sahriansyah mengangsurkan kotak P3K pada Mustaqim. Mustaqim membilas luka Bara dengan antiseptik lalu membalutnya dengan kain kasa.

MUSTAQIM
(Berkata pada Sahriansyah)
Pak, ini lukanya parah sekali. Kita perlu secepatnya sampai desa.
SAHRIANSYAH
Ayo, ayo. Kalau perlu tandu, kita bisa buat dulu dari bambu sebentar.
BARA
Tidak usah. Saya bisa jalan saja.

Mustaqim memandang Bara dengan tatapan tidak yakin.

Bara berdiri, agak lambat, tetapi tidak tampak kesakitan. Ia hanya terlihat seperti orang kelelahan.

Sahriansyah dan Nanang kembali berpandangan.

BARA
Ayo, Pak.
SAHRIANSYAH
Eh, iya iya.

Mereka melangkah bersama menuju desa. Sahriansyah di depan. Mustaqim, dengan sebelah tangan memapah Bara di belakang Sahriansyah. Sementara Nanang di paling belakang. Keningnya terus-terusan berkerut sembari menatap punggung Bara.

FADE IN

TITLE

OPENING CREDIT

Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar