Berikut lanjutan Bab 3: Pelukan yang Terlambat, bagian saat Senja pulang ke rumah dengan hati yang berbeda—dalam suasana lebih ringan, hangat, dan penuh harapan:
---
Langit malam tampak lebih bersih saat Senja turun dari angkutan terakhir dan menyusuri gang kecil menuju rumahnya. Cahaya lampu jalan yang biasanya terasa dingin kini memantul lembut di matanya. Ada sesuatu yang berbeda di dalam dadanya malam ini—perasaan yang lama tak ia kenali: lega.
Kunci rumah yang biasanya terasa berat di tangannya, malam ini nyaris tak terasa. Ia membuka pintu perlahan. Rumah itu masih sama—gelap, sepi, dan pengap. Tapi anehnya, malam ini Senja tidak merasa sesak.
Ia melepas sepatu dan berjalan pelan ke kamarnya. Tak ada suara dari ruang tengah. Ayahnya mungkin tertidur di sofa, dan ibunya entah di mana lagi tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tapi Senja tidak merasa marah. Ia hanya ingin rebah.
Di kamar kecilnya yang lembab, ia meletakkan ponsel di atas meja dan duduk di atas kasur tipis. Masih tak percaya, bahwa pelukan tadi benar-benar terjadi. Bahwa seseorang benar-benar melihat dirinya—bukan sebagai anak dari rumah kacau, bukan gadis pendiam yang selalu ingin cepat pulang, tapi sebagai Senja, apa adanya.
Ia mengambil ponsel, membuka layar, dan tersenyum saat membaca pesan masuk dari Brian:
> "Sudah sampai rumah? Kalau kamu butuh teman, aku selalu ada. Pelan-pelan ya, Senja. Dunia ini berat, tapi kamu gak harus jalan sendiri."
Pesan itu sederhana. Tapi mampu menghangatkan ruang kosong di dalam dirinya.
Senja memeluk bantal kecil, lalu rebah di kasur, menatap langit-langit kamar yang retak. Di dalam benaknya, terbayang wajah Brian, suara tawanya, dan bagaimana lengannya terasa begitu nyata saat memeluknya.
"Mungkinkah... ini awal dari sesuatu yang baik?" gumamnya pelan.
Bukan seperti dongeng. Bukan kisah cinta sempurna. Tapi sesuatu yang nyata, yang perlahan tumbuh dari luka—dan mungkin bisa menyembuhkan.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Senja tertidur dengan senyum kecil di wajahnya. Mimpinya bukan lagi tentang teriakan atau pelarian, tapi tentang kedekatan yang tumbuh di bawah hujan. Tentang tangan yang menggenggamnya tanpa menuntut apa-apa. Tentang harapan yang akhirnya berani muncul kembali, meski masih malu-malu.
Ia tak tahu ke mana perasaannya akan membawanya. Tapi satu hal ia tahu pasti: ia ingin menjalaninya.
---
Bagian ini menutup Bab 3 dengan nuansa harapan dan rasa hangat. Sebuah titik balik emosional dalam hidup Senja, saat ia mulai percaya bahwa hidup tak selamanya gelap—bahwa mungkin, ia pantas mendapatkan cinta yang lembut.
Kalau kamu mau, aku bisa bantu langsung lanjutkan ke Bab 4: Jingga di Antara Kita, yang bisa mulai menggali dinamika Senja dan Brian lebih dalam—mau?