Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Arga menatap pantulan dirinya di jendela kafe yang berembun. Wajahnya yang lelah terbingkai oleh rintik hujan yang menempel di kaca, seolah-olah waktu pun enggan bergerak maju. Kasus terakhir. Kata itu terus berputar di benaknya, sebuah janji yang ia buat pada dirinya sendiri, sebuah garis akhir yang ia nantikan dengan penuh kelelahan. Seorang wanita bernama Dinda duduk di hadapannya, menggenggam cangkir teh dengan tangan gemetar. Ia telah menceritakan kisah suaminya, Bima, yang hilang tiga hari lalu. Arga telah mendengar ratusan kisah serupa, tetapi yang satu ini terasa berbeda. Dinda memberinya alamat sebuah rumah tua di pinggir kota, sebuah tempat yang katanya menjadi lokasi terakhir Bima terlihat.
Arga menerima map dari Dinda. Di dalamnya, ada foto Bima: seorang pria muda dengan senyum ramah yang tampak tidak cocok dengan deskripsi tempat yang akan ia datangi. Alamat itu membawa Arga ke sebuah jalan setapak yang dikelilingi oleh pepohonan rindang. Hujan masih turun, membasahi jalanan tanah yang becek. Di ujung jalan, sebuah rumah tua berdiri tegak, tersembunyi di balik semak belukar yang tak terawat. Jendela-jendela kayu yang usang tampak seperti mata-mata kosong yang menatap ke arahnya.
Ia turun dari mobil, jaket kulitnya langsung basah oleh gerimis. Hawa dingin menyelinap masuk ke dalam tubuhnya, sebuah peringatan akan kesunyian yang menanti di depan. Pintu utama yang terbuat dari kayu jati tua berdecit pelan saat ia membukanya. Di dalam, bau apak dan lumut menyeruak, bercampur dengan aroma dupa yang aneh. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh sedikit cahaya yang masuk dari celah jendela.
Tiba-tiba, sebuah suara lirih memecah keheningan. "Siapa di sana?"
Arga menoleh. Di sudut ruangan, seorang wanita tua duduk di kursi roda, selimut menutupi kakinya. Ia memiliki mata yang bening, tetapi tatapannya kosong, seolah-olah ia melihat sesuatu yang tidak ada.
"Saya Arga, detektif swasta. Saya mencari Bima," jawab Arga.
"Bima... Bima... dia pergi," gumam wanita itu. "Dia pergi bersama bayangan di ujung koridor."
Arga merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Bayangan apa?"
"Bayangan itu selalu datang saat malam. Dia tertawa... dan mengambil semua yang kami miliki," katanya, matanya membelalak ketakutan.
Tiba-tiba, seorang wanita muda muncul dari balik tirai. Ia mengenakan seragam perawat berwarna putih. Wajahnya tenang, hampir tanpa ekspresi. "Maaf, Tuan. Nyonya Ratih memang sering bicara yang tidak-tidak. Dia menderita demensia."
Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Rani, perawat Nyonya Ratih. Rani menjelaskan bahwa Bima adalah perawat sebelumnya yang tiba-tiba menghilang. "Dia tidak meninggalkan pesan apa pun. Ponselnya mati. Dia hanya pergi begitu saja," kata Rani.
Arga menatap Rani. Ada sesuatu yang janggal dari ketenangan wanita ini. Ia tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali tentang hilangnya Bima. Arga meminta izin untuk melihat-lihat rumah. Rani mengangguk, lalu kembali ke sisi Nyonya Ratih.
Rumah itu adalah labirin yang membingungkan. Setiap koridor terlihat sama, setiap pintu tampak identik. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan lukisan-lukisan tua yang menggambarkan pemandangan yang sama: hutan yang gelap, danau yang tenang, dan sebuah rumah yang tampak persis seperti rumah ini. Arga tiba di ujung kor...