Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
[Pertemuan pertama : 4 Januari 2016]
Tetes air yang berjatuhan dari langit belum juga berhenti. Awan kelabu masih bergelayut manja di angkasa. Tanda bahwa hujan tidak akan pergi dengan segera. Pemuda itu merapatkan jaketnya guna menghalau dingin. Seharusnya dia sudah sampai rumah jika bukan karena tugas sialan yang harus segera diselesaikan. Pulangnya jadi terlambat. Lalu kini, terjebaklah dia di emperan toko karena hujan. Untung saja tokonya tutup.
Waktu terus berjalan, rasa bosan berdatangan, belum lagi kenangan yang muncul ke permukaan. Matanya terpejam kala hela napas panjang berembus dari hidung. Dia mencoba menetralisir segala rasa benci yang mulai melingkupi hati, memori-memori menyakitkan datang bertubi, menyiksanya tanpa henti.
Suara decit rem juga tubrukan antara benda keras kini menggema dalam pikirannya. Lelaki muda itu memukul-mukul kepala sendiri dengan tangan. Berusaha sadar dan lepas dari jerat ingatan yang begitu menyakitkan.
Cepat-cepat dia mengambil ponsel di saku celana bagian kanan dan earphone dari saku lainnya. Disetelnya musik mengentak dengan volume yang tinggi. Setidaknya bising di kepala sirna meski bayarannya adalah sakit telinga.
"Suka hujan?"
Tepukan pada pundaknya mengalihkan atensi. Menoleh, yang didapati adalah seorang gadis dengan sebagian wajah tertutup rambut panjang nan basah. Pemuda itu tersentak, kaget, lantas mengelus dadanya karena dikira ada hantu yang mengganggu.
"Apa lo bilang?" Dilepasnya earphone yang melekat pada telinga. Pandangannya meneliti gadis yang sedang jongkok di sebelah. Pakaiannya basah kuyup.
"Kamu suka hujan?" Gadis itu mengulang pertanyaan. Suaranya terdengar lirih, dingin, juga terasa hampa.
Menggeleng, si pemuda mendengkus. "Gue benci hujan," akunya.
Seharusnya dia tidak mengatakan hal yang paling dibencinya pada gadis asing yang juga aneh itu. Menyesal pun percuma. Toh gadis itu acuh tak acuh ketika mendengarnya. Pandangannya beralih pada hujan yang kini berubah gerimis.
"Siapa namamu?" Gadis itu bertanya ketika pemuda itu sibuk merutuki diri yang seringkali berbicara tanpa kendali.
"Awan." Ia menoleh lagi. "Lo?"
"Hujan," jawab si gadis. Efeknya cukup untuk mengundang kedutan pada ujung bibir Awan.
"Hah? Emang lagi hujan, 'kan?" Senyumnya lolos begitu saja.
"Bukan." Gadis itu menyisipkan rambutnya ke belakang telinga hingga terlihatlah wajahnya yang pucat. "Namaku Hujan. Rinai Hujan."
"Apa lo kedinginan?" tanya Awan khawatir. Katakanlah, dia adalah seorang cowok yang terlalu peduli—pada apa pun juga siapa pun.
Rinai mengangguk. "Kenapa kamu nggak suka hujan?"
"Kok lo malah nanya yang lain, sih?" Pemuda itu melepas jaket lalu diberikannya pada Rinai. Gadis aneh, dengan nama yang unik? Atau katakan saja namanya aneh? Tapi Awan tetap Awan yang peduli pada apa saja. "Balikin besok-besok kalau ketemu aja," pesannya.
"Kenapa kamu benci hujan?" Gadis itu menyampirkan jaket Awan pada bahunya tapi pandangannya terus tertuju pada lelaki itu. Ada pertanyaan yang menuntut jawaban. Sungguh, gadis itu ingin tahu alasan seseorang membenci hujan.
Tetes air yang deras kini berganti gerimis, malu-malu secercah sinar matahari menyelinap dari gumpalan mega di atas sana. Awan tersenyum kecut lalu berdiri. Ia menengadah ke langit. Hujan telah sepenuhnya berhenti. "Gue nggak suka aja."
"Karena hujan udah buat gue kehilangan," imbuhnya dalam hati.
"Padahal hujan itu baik. Hujan bisa menyembunyikan semuanya." Rinai ikut berdiri. Tangannya menampung tetes air yang berjatuhan dari atap. Bibir pucatnya mengulas senyum manis.
"Lo memuji diri sendiri?" terkekeh, Awan menghampiri kendaraan roda dua miliknya dan menyeka sisa air hujan pada jok motor.
"Bukan." Gadis itu berjalan mendekat. "Hujan memang bisa menyembunyikan segalanya. Hujan itu sangat membantu. Jadi aku menyukainya."
"Apa sebab itu nama lo adalah Rinai Hujan?" tanyanya ingin tahu. Sayang, Rinai menggeleng sebagai tanggapan.
"Bukan. Mungkin ibuku juga suka hujan," ujarnya kemudian.
Mungkin?
Dahi Awan mengerut heran. Hendak saja sebuah tanya ia lontarkan, tapi yang ia lakukan kini hanya bungkam sembari menggigit bibir bawah.
Apa Rinai sama sepertinya?
"Aku pulang dulu," pamit gadis itu. Senyumnya masih terulas. Awan mengakui, gadis itu manis dengan dua lesung pipi ketika tersenyum meski tatapannya terasa hampa. Namun, jika dicermati maka akan ditemui bahwa ada sepasang bola mata dengan iris cokelat terang.
Karena merasa laki-laki gentle, Awan pun menawarkan tumpangan. "Mau gue anter?"
"Rumahku dekat. Kurang lebih dua ratus meter dari sini. Jadi, aku bisa sendiri," tolak gadis itu begitu halus.
"Beneran nggak mau gue anter?" Lelaki itu menawarkan sekali lagi. Tapi jawabannya tetap sama. Dia ditolak.
Hingga Rinai menghilang dari pandangannya di belokan jalan, Awan masih menduga bahwa ada yang mengganjal hatinya. Tentang Rinai yang misterius, manis, juga aneh.
Eh ... sepertinya Awan lupa bertanya di mana gadis itu bersekolah. Tapi ... ya sudahlah. Masa iya, Awan mengejar dan meminta Rinai untuk sebuah jawaban yang tidak penting sama sekali.
Tapi apa Awan bisa berjumpa dengan Rinai? Sekali lagi?
Bagaimana jika, tidak ada kebetulan yang mempertemukan keduanya?
Apa boleh Awan menyesal karena rasa peduli yang dimilikinya?
🌧️
[Pertemuan ke-dua : 12 Januari 2016]
Nabastala menangis lebih sering akhir-akhir ini. Tetes air yang turun dari langit kerapkali berlangsung lama juga tiba-tiba. Bisa saja pagi begitu cerah lalu selanjutnya awan kelabu menutupi mentari dan menghalau sinarnya yang hendak turun ke bumi.
Awan menggerutu karena hujan yang turun tiba-tiba sore ini. Seringkali dia terjebak ketika seharusnya sudah berada di rumah sepulang sekolah. Sekarang pemuda itu berada di depan minimarket, ia duduk di kursi yang tersedia, menekuri ponsel yang tidak menyala. Ya, dia kehabisan baterai di saat yang tidak tepat. Sialan. Membosankan—tentu saja—belum lagi kenangan yang datang bersamanya. Hujan selalu menguarkan kesedihan yang berusaha ia sembunyikan mati-matian. Dia akan selalu datang bersama kilas balik masa lalu yang menakutkan.
Kenapa tidak menerobos hujan saja?
Jika bisa, mungkin Awan sudah melakukannya sejak lama. Jas hujan selalu dia bawa, tapi tidak pernah ia gunakan. Tidak akan pernah. Terakhir kali pemuda itu menerobos hujan, hampir saja terjadi kecelakaan. Mendengkus kesal, memang sudah takdirnya tidak pernah bersahabat dengan hujan.
Dalam sepinya, Awan tidak berhenti menatap orang yang berlalu-lalang. Mengamati mereka satu-persatu bisa menghalau ingatan menyakitkan itu datang. Setidaknya isi pikiran sibuk pada hal lain.
Selama menatap apa pun yang bisa menyibukkan pikiran, ada satu hal yang menarik perhatian pemuda itu. Seorang gadis yang membatu di tempat, diguyur hujan tanpa perlindungan. Dibiarkannya basah tubuh yang lesu. Tampak rautnya yang kuyu, meski Awan mengamatinya dari jauh.
Tidak asing. Wajah pucat itu mengingatkannya pada seseorang yang ia temui beberapa hari lalu.
Mungkinkah dia Rinai?
Awan melambaikan tangannya tinggi-tinggi. "Rinai!" panggilnya lantang.
Namun, gadis itu tetap di sana. Tidak mengacuhkan Awan yang berusaha keras menarik perhatiannya.
"Rinai!" teriaknya lebih keras dari sebelumnya. Perlu beberapa saat hingga Rinai sadar dan akhirnya berjalan mendekat. Senyumnya terkembang di bibir yang pucat.
"Lo hujan-hujanan?" tanya Awan, retoris.
Gadis itu mengangguk antusias. "Mau coba?"
"Enggak." Awan menggeleng. Ada yang aneh. Tadi dapat terlihat jelas bahwa Rinai ada di sana, walau hanya raganya, sedang jiwanya melalang buana entah ke mana. Sekarang? Hanya butuh waktu sekejap untuk merubah ekspresinya agar tak lagi sendu.
Ditariknya pergelangan tangan Rinai agar gadis itu berteduh bersamanya. "Lo nggak takut—"
"Aw! Sakit!" Pekikan Rinai membuat Awan terhenyak.
Dibaliknya telapak tangan gadis itu, lantas yang didapatkan adalah luka sayatan melintang di sana. "Lo mau bunuh diri?!"
Rinai menarik kembali lengannya. Dia bungkam, tidak menjawab maupun mengelak.
"Lo mau bunuh diri?!" Awan masih terlalu shock atas apa yang baru ditemuinya. "Kenapa?"
"Bukan apa-apa," jawab gadis itu.
Awan bertanya lagi, "Apa enggak sakit?"
"Enggak."
Pemuda itu menyugar rambut dengan kedua tangannya. "Lo udah sering?"
"Apanya?"
"Begini?" Diraihnya tangan Rinai seraya memperlihatkan luka-luka pada pergelangan tangan gadis itu.
Mengangguk, Rinai menyempatkan diri untuk mengulas senyum. Tidak ada kata yang terlontar, tapi senyum itu cukup untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Awan.
Kini Awan tahu apa yang dimaksud Rinai hari itu. Perihal hujan yang mampu menyembunyikan segalanya. Benar, hujan mampu menyembunyikan semuanya. Bukan hanya air mata, tapi juga darah yang mengalir dari luka yang menganga.
Ingin rasanya pemuda itu bertanya banyak hal. Namun ia cukup sadar diri. Ada batas yang seharusnya tidak dia lewati. Memangnya siapa dia?
Mengenal Rinai saja baru beberapa hari.
"Apa aku terlihat menakutkan karena gemar melukai diri?" tanya Rinai, lebih pelan dari angin yang berembus meski hal itu sudah cukup untuk sampai ke telinga Awan.
Pemuda itu pun menggeleng. "Enggak sama sekali."
Sejak hari itu, atas izin takdir, mereka bersama. Berteman atas dasar sama-sama terlukanya.
🌧️
[Pertemuan kesekian kalinya di bulan Januari hingga pertengahan Febuari]
Awan selalu menghitung pertemuannya dengan Rinai. Menyadari setiap jumpa akan selalu ada hujan yang ikut serta. Gadis manis itu berdiam diri dalam hujan tanpa peduli akan sakit di kemudian hari. Selalu terlihat bibir yang pucat, rambut hitam panjang yang basah kuyup, ditambah luka sayatan pada pergelangan tangan. Awan sampai tidak tahu bagaimana rupa seorang Rinai yang tidak basah kuyup.
Pemuda itu selalu ingin tahu apa yang melatarbelakangi sebuah luka yang sengaja diciptakan, selalu ingin peduli dan berkeinginan menyembuhkan. Tapi Rinai tak pernah mengizinkannya untuk tahu lebih dalam. Ada sekat yang sengaja dibuat oleh gadis itu. Melarang Awan untuk masuk lebih dalam di hidupnya.
Pertemuan-pertemuan mereka hanya berbicara perihal hujan, hal-hal yang dibenci, bahkan kesedihan tiap manusia yang ada di bumi. Terkadang mereka tertawa, terkadang hanya menikmati tetes air yang membungkus bumi dengan isi pikiran yang sibuk sendiri, kadang juga mereka berbagi—meski lebih seringnya Awan yang bercerita. Tentu saja Rinai hanya mendengarkan dengan seksama dan sesekali melontar pertanyaan.
"Apa manusia akan sedih jika kehilangan seseorang?" Rinai bertanya pada Awan yang tengah menyeruput kopi hangatnya. Pertemuan kali ini masih sama. Rinai bermain hujan dan Awan sedang berteduh di minimarket. Tempatnya selalu sama, di dekat-dekat deretan pertokoan di mana mereka pertama kali bersua.
Pemuda itu menoleh dengan alis bertaut. "Siapa yang nggak sedih kalau kehilangan orang yang dicintainya?"
"Aku," jawab Rinai cepat.
"Kok?" Terheran, Awan tidak pernah mengerti isi pikiran Rinai. Meraba pun tak bisa. Dia adalah gadis dengan sejuta misteri yang dimiliki. Tidak tersentuh dan terasa jauh.
Gadis itu bergeming. Dipandangnya hujan tanpa fokus. Kopinya sudah habis sejak tadi. Sebab kedinginan setelah bermain hujan, Awan membelikan kopi untuk menghangatkan badan. "Karena aku tidak punya seseorang untuk dicintai bahkan yang mencintaiku. Lantas apa yang harus aku tangisi? Apa aku harus sedih?" ujarnya lirih.
"Temen?" Awan bertanya. Memastikan Rinai tidak benar-benar sendirian di dunia.
Sayang, pikirannya benar. Rinai tidak memiliki siapa pun. Tampak pada gelengan kepala sebagai jawaban bahwa teman pun dia tidak punya.
"Sepertinya cuma kamu." Senyumnya terulas. "Cuma kamu yang mau dekat-dekat dengan cewek aneh sepertiku."
"Lo unik, bukan aneh."
"Berbeda itu aneh," bantah Rinai.
"Enggak. Berbeda itu unik. Manusia juga enggak ada yang sama persis." Awan menatap Rinai lekat-lekat. "Tidak ada yang salah ketika lo atau gue menjadi berbeda."
Rinai menunduk dan menghindari kontak mata dengan pemuda itu. Baru kali ini ada seseorang yang mau menerima apa adanya. Biasanya orang-orang akan otomatis menjauhi karena tahu Rinai adalah orang yang suka menyakiti diri. Mengatai bahwa gadis itu terlalu alay juga lebay karena sering membuat luka sayat di tangan.
Awan mengulurkan tangan, lalu disisipkannya helai rambut gadis itu ke belakang telinga seraya berkata, "Mereka cuma enggak tau sebesar apa rasa sakit lo, mereka juga enggak tau bagaimana rasanya jadi lo."
Rinai mengangguk. "Boleh nggak aku minta sesuatu?"
"Apa?" Awan tersenyum tulus.
"Ketika tanggal lima Maret nanti, temui aku di taman dekat sini. Kamu tahu, 'kan?"
Pemuda tersebut bberpikir sejenak. Dia cuma mengingat sebuah taman yang berjarak sekitar lima ratus meter dari sini. Taman kecil yang memiliki perosotan, ayunan, dan sebuah gazebo. Mengangguk, Awan lalu bertanya, "Tahu. Memang kenapa?"
Rinai tersenyum. "Aku ingin kita bertemu di sana. Jam empat sore."
Pemuda itu bertanya, lagi, "Kenapa?"
"Hanya ingin menyampaikan beberapa hal." Rinai tersenyum begitu manis.
Awan tidak pernah curiga akan permintaan Rinai. Berpikir aneh pun tidak. Jadi, di emperan minimarket, dia menyanggupi sebuah pinta dengan hujan sebagai saksi.
🌧️
[Pertemuan di 5 Maret 2016]
"Kenapa gue deg-degan, ya?"
Awan mondar-mandir di dalam kamar. Menanti waktu lekas berjalan agar dia dan Rinai juga lekas bertemu. Pemuda itu penasaran apa yang akan dikatakan Rinai. Meniti hari demi hari dengan perasaan menggebu, Awan selalu bersabar meski keduanya sudah lama tidak berjumpa.
Aneh. Sudah seminggu lebih tidak ada hujan, Awan juga tidak bersua dengan Rinai.
Kenapa?
Percuma. Tanya yang dilontar takkan ditemui jawabannya. Lelaki itu menghela napas panjang. Apa ini ulah takdir? Atau memang Rinai yang penuh teka-teki?
Lagi, tidak akan ada jawaban dari segala pertanyaanya.
Tiba-tiba hujan turus begitu derasnya. Angin berembus dingin. Awan segera menghampiri jendela kamar guna mengintip ke luar.
Sial, mendung terlalu pekat. Dapat dipastikan jika hujannya akan bertahan lama. Padahal, satu jam lagi dia harus menemui Rinai di tempat yang sudah dijanjikan.
Awan gelisah. Jika hujan, dia tidak bisa menerobos, menunggunya reda juga buruk. Bagaimana jika Rinai melukai tangannya terlalu dalam? Di waktu yang lama?
Besar kemungkinan jika nyawanya tidak terselamatkan. Lalu apa yang harus Awan lakukan?
Menit demi menit terlewat dengan diselimuti resah. Di luar sana belum menunjukkan tanda hujan akan mereda. Awan mengesah. Dirinya sudah rapi, siap pergi. Tapi semesta seakan memusuhi, tidak merestui temu yang sudah ditunggunya dari hari ke hari.
"Kenapa perasaa gue nggak enak?" Awan bertanya pada diri sendiri. Ada gelisah yang ikut menyelinap di dalam hati. Mencipta perasaan tak nyaman akan hal yang belum diketahui.
Ditunggunya beberapa menit lagi supaya hujan berubah gerimis. Mungkin hanya saat itu dia bisa menerobos tetes-tetes air yang turun dari langit.
Benar saja. Hujan sedikit mereda setelahnya, Awan segera berpamitan pada bibinya untuk pergi menemui Rinai. Ia tergesa, mengendarai motor dengan gila. Satu hal yang ingin dia pastikan; Rinai baik-baik saja di sana.
Sial! Tetes-tetes air yang turun berubah deras seketika. Pandangan Awan mulai mengabur. Ingatan-ingatan itu kembali menyeruak. Kenangan akan kehilangan yang paling menyakitkan. Deru napasnya cepat, degubnya tak lagi teratur. Pemuda itu kacau.
Brak!
"Awan! Awas!"
Ingatan beberapa tahun silam itu masih segar di kepala. Suara benda saling bertubrukan yang amat keras. Darah merembes dari luka yang menganga lalu tersamarkan karena hujan sedang turun begitu derasnya.
"Ibuuu!"
Kepul asap tampak dari mobil yang menabrak tiang. Sang pengemudi tak sadarkan diri dengan luka di dahi.
Awan segera menghampiri ibunya yang terluka. Ia melolong, meracau, dengan terus memanggil sang ibu. Tangisnya pecah sejadi-jadinya. Dipeluknya wanita yang paling ia cinta. Nahas, sekeras apa pun Awan berteriak, tidak akan ada jawaban karena dia telah mengembuskan napas terakhirnya.
Tin! Tin!
Suara klakson mobil menyadarkan pemuda itu dari ingatan masa lalu. Terkejut dengan keberadaan mobil yang tinggal beberapa meter darinya membuat Awan berbelok secara mendadak lalu menekan rem kuat-kuat. Dia jatuh, terguling di aspal kasar. Baret-baret di beberapa bagian terasa perih karena air hujan yang mengguyur.
"Sial!" umpatnya. Ada janji yang harus dia tepati, tapi trauma sialan ini menghambatnya. Lekas pemuda itu berdiri, membangunkan motornya dengan susah payah, ia lalu melaju dengan segera. Secepat yang ia bisa meski tidak jarang kejadian itu masih terbayang. Darah, hujan, tubuh dingin ibu, juga tangis pilu.
Berulang kali ia mencoba mengalihkan pikirannya pada Rinai. Takut Awan akan kehilangan seseorang lagi di hidupnya.
Menggigil, pemuda itu sampai di tempat yang dituju. Sepi. Tidak ada Rainai yang biasa berdiri di tengah hujan. Awan berlari secepat yang dia bisa menuju gazebo yang ada di ujung sana.
Crap!
Hatinya mencelus sakit. Pasokan udara tiba-tiba saja menghilang hingga mencipta sesak di dada. Awan tidak percaya akan apa yang ditangkap mata. Air matanya meluruh begitu saja bersama hujan yang mengguyur tubuhnya. Dia terlambat. Sangat terlambat.
"Rinai!"
Awan merengkuh tubuh Rinai yang sudah dingin. Diperiksanya denyut nadi pada pergelangan tangan, tapi yang ditemukan adalah luka sayatan yang cukup dalam.
"Rinai!" teriaknya dengan suara parau. Didekapnya tubuh Rinai yang pucat dan beku.
Hari ini, di kala hujan, Awan kembali merasakan kehilangan.
🌧️
Perlu beberapa waktu untuk Awan menerima kehilangan. Selalu ada sesal di hati.
Hari itu seharusnya dia datang lebih awal.
Andai dia menerobos hujan dan tepat waktu untuk tiba di sana.
Andai dia bisa datang lebih cepat.
Pikirannya meliar pada kata andai. Berharap dapat memutar waktu dan menyelamatkan Rinai di hari itu.
Tangannya menggenggam sebuah kertas juga buku yang ia temukan bersama Rinai yang terbujur kaku. Ragu, tapi hari ini Awan memberanikan diri untuk membukanya.
Perlahan, pemuda itu membaca sebaris kalimat pembuka.
Untuk Awan. Seorang teman yang selalu ada ketika Hujan menangis.
Maaf.
Aku memutuskan untuk pergi tepat di hari ulang tahunku yang ke-15 tanpa mengucap selamat tinggal secara langsung.
Aku tidak kuat lagi. Mereka mengucilkanku setiap hari. Memberiku tatapan sinis penuh benci, belum lagi umpatan-umpatan menyakitkan serta mengatai bahwa aku pembawa sial, juga pelacur.
Tapi aku berterima kasih.
Untuk pertemuan pertama kita. Ketika aku baru saja dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan melakukan pelanggaran berat.
Terima kasih.
Untuk pertemuan kedua kita. Sekali lagi, aku ingin mengakhiri hidup, tapi kamu malah berlagak peduli padaku.
Terima kasih.
Untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya, aku sengaja berada di sana untuk waktu yang lama, berharap kamu datang dan kita bisa membicarakan banyak hal.
Mungkin kamu selalu menemukan aku bermain hujan dengan luka sayatan pada tangan. Aku memang gemar melukai tangan, namun akhir-akhir ini aku selalu mencoba bunuh diri ketika hujan. Aku bahkan berharap bisa ikut lenyap ketika hujan berubah senyap. Berharap bisa ke atas sana bersama pelangi.
Aku berterima kasih lagi. Berkatmu, akhir hidupku sedikit berwarna. Walau masih saja dominan kelabu, tapi kamu membuatnya sedikit berbeda. Tapi aku tetap memutuskan untuk pergi, berdua, bersama janin tidak bersalah dalam perutku.
Awan menggigit bibir bawahnya. Menghalau air mata agar tidak turun dan membuyarkan penglihatannya. Bagaimana bisa Rinai bertahan seorang diri?
Sembari menahan sesak di dada, pemuda itu pun memutuskan untuk tetap membaca dengan berpindah pada halaman ke dua.
Usianya sudah lima bulan. Cukup besar, bukan? Tapi pria brengsek itu masih saja mencoba melecehkan aku lagi. Bahkan aku diberi banyak uang untuk aborsi.
Orang tuaku sudah lama pergi meninggalkan aku dan Kak Guntur. Tapi dia harus bekerja jauh sekali. Jarang untuk pulang. Mungkin saja dia akan mengusirku dari rumah jika tahu kini aku berbadan dua.
Lalu keputusan untukku pergi semakin bulat. Aku rasa dengan pergi jalan ter