Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Surat dari Jakarta
2
Suka
20
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku dan Ron berjalan kaki di jalan yang asing. Google Maps di tangan kami menjadi kompas, menuntun langkah kaki yang semakin terasa berat. Tujuan kami sederhana: mencari panti-panti asuhan di seantero Bali untuk menyalurkan titipan donasi berupa makanan dan minuman bergizi dari kantor.

Sesekali kami berhenti di bawah rindangnya pohon atau di depan pura yang megah untuk sekadar meregangkan otot dan bertukar cerita. Obrolan ringan tentang kehidupan, tentang mimpi-mimpi yang kami rajut di tengah hiruk pikuk Jakarta, kini terasa lebih bermakna di tengah kesunyian jalanan Bali.

Hingga akhirnya, rasa lapar tak tertahankan membawa kami ke sebuah warung nasi sederhana. Beruntung, di tengah mayoritas hidangan babi guling, kami menemukan warung yang menjajakan makanan halal. Aroma nasi hangat dan lauk pauk langsung menyeruak, membangkitkan selera yang sudah lama tertahan.

Sambil menunggu pesanan datang, obrolan kami kembali mengalir. Kali ini, topik yang mendominasi adalah tentang uang dan ambisi ekonomi. Aku, dengan segala kecintaanku pada angka dan pundi-pundi rupiah, tanpa ragu menyuarakan ide untuk membangun bisnis. "Ron, kita nggak bisa selamanya jadi karyawan. Kita harus punya sesuatu yang bisa menghasilkan lebih," ujarku penuh semangat.

Ron, dengan tatapan menerawang, justru mengungkapkan mimpi yang jauh berbeda. "Aku justru ingin membangun pesantren dan panti asuhan sebelum usia 27. Menikah di usia 25, menerbitkan novel, dan... masuk surga tanpa hisab," katanya dengan nada yang begitu tulus.

Perbedaan pandangan antara aku dan Ron memang sudah menjadi warna dalam persahabatan kami. Dia selalu mencari jalan yang nyaman dan tidak merepotkan, sementara aku akan mengambil segala kesempatan asalkan imbalannya sepadan. Baginya, kenyamanan adalah prioritas, bagiku, penghasilan adalah segalanya.

Lucunya, meski kami berdua bekerja sebagai reporter makanan, tugas yang sering kami emban justru berkaitan dengan acara keagamaan. Kami seringkali menjadi relawan, berkumpul dengan ratusan anak muda yang memiliki minat yang sama. Mungkin di sanalah, di tengah nilai-nilai kebaikan, kami menemukan irisan yang mempererat persahabatan ini.

Pesanan kami akhirnya tiba. Aku memesan cumi dan udang yang tampak menggugah selera, sementara Ron memilih sate kambing yang aromanya langsung menusuk hidung. Kami makan dengan lahap, mengisi perut yang keroncongan setelah berjam-jam berjalan di bawah terik matahari. Aku bahkan sampai memesan es teh untuk meredakan dahaga, sementara Ron tampak santai dengan gelas air putihnya.

Di tengah nikmatnya makan siang, aku kembali terusik dengan mimpi-mimpi Ron yang menurutku terlalu tinggi. "Ron, bagaimana mungkin kamu bisa mendirikan panti asuhan dan pesantren di usia 25? Waktunya tinggal empat tahun lagi," tanyaku dengan nada skeptis.

Ron hanya tersenyum tipis. "Masih ada waktu, kan? Kita lihat saja nanti." Optimismenya selalu terasa menular, meski terkadang sulit untuk kupercaya. Aku sendiri lebih realistis. Bagiku, menabung untuk ibadah haji terasa jauh lebih mungkin daripada membangun sebuah institusi pendidikan dan sosial dalam waktu singkat.

"Lalu, bagaimana dengan pernikahan di usia 25 itu? Kriteria wanita idamanmu seperti apa? Bagaimana jika wanita yang kamu suka masih kuliah atau punya kesibukan lain?" cecarku, penasaran dengan rencana-rencananya yang seringkali terasa abstrak.

"Kriteriaku sederhana. Selama aku suka dia, ya dia kriteriaku," jawab Ron dengan enteng. Ia memang selalu menghindari jawaban yang terlalu spesifik, memilih jalur yang lebih mudah dan fleksibel. Berbeda denganku yang selalu menganalisis segala sesuatu dengan logika dan perhitungan yang matang.

Aku masih ingat ketika dulu kutanya tentang bagaimana caranya menerbitkan novel. Jawabannya pun sama simplenya: "Ya tinggal menulis saja." Ia tidak memikirkan proses pengiriman naskah ke penerbit, revisi, atau hal-hal teknis lainnya. Baginya, belajar adalah sebuah proses yang akan dijalani seiring berjalannya waktu. Ketika sebuah tujuan sudah di depan mata, ia akan mencari cara untuk mencapainya. Jika gagal, ia akan mencari cara lain.

Dua minggu sudah kami bertugas di Bali, jauh dari hiruk pikuk kantor di Jakarta. Ron tiba-tiba menambahkan, "Aku nggak pacaran, tapi aku ingin menikah." Lagi-lagi aku dibuat bingung dengan pola pikirnya yang unik. Obrolan kami memang sederhana, namun seringkali aku kesulitan untuk benar-benar memahaminya.

"Katanya, selalu ada cara lain. Seperti 5 + 5 = 10, 10 x 1 juga 10, atau 8 + 2 juga sepuluh," lanjutnya, seolah berusaha menjelaskan keyakinannya yang teguh.

Ron kemudian melanjutkan, "Aku akan memperjuangkan wanita yang kucintai. Tapi aku tidak akan memperjuangkan wanita yang tidak ingin diperjuangkan, dengan alasan apapun. Aku akan mundur, meskipun wanita itu bilang dia juga mencintaiku."

Ia membuat dua spekulasi. Pertama, jika wanita itu tidak ingin diperjuangkan, itu adalah haknya. Meskipun ia mengaku mencintai Ron, Ron akan tetap melepaskannya. Alasannya tidak dijelaskan secara gamblang, namun tersirat sebuah penghormatan terhadap pilihan dan batasan seseorang.

Kedua, jika wanita itu ingin diperjuangkan, Ron akan melakukan tindakan nyata. Bukan sekadar perhatian lewat pesan singkat, namun tindakan-tindakan yang konkret untuk membangun hubungan. Ia tampak lebih antusias saat menjelaskan bagian ini.

Pada akhirnya, baik dalam skenario pertama maupun kedua, Ron selalu berpegang pada keyakinan bahwa Tuhanlah yang menentukan segalanya. Ia akan berusaha menerima segala hasil dengan lapang dada.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, Ron juga memiliki pandangan yang unik. Ia akan tetap berbuat baik kepada orang lain, meskipun orang itu pernah menyakitinya. Baginya, kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan. Jika ada orang yang membuatnya kesal, ia akan menghindarinya. Namun, jika mereka bertemu secara tidak sengaja, Ron akan tetap bersikap baik.

Setelah makanan kami habis, Ron tiba-tiba mengungkapkan sebuah rencana yang membuatku semakin tidak mengerti. "Nanti kalau tugas di sini selesai, aku mau kembali ke desa. Mau buka warung kecil-kecilan, sambil sesekali main PS dan tadarus Al-Quran."

Bagian ini benar-benar di luar nalar pemikiranku. Meninggalkan Jakarta dengan segala peluangnya untuk kembali ke desa dan menjalani hidup yang sederhana?

Ron adalah sahabat yang tidak pernah membicarakan keburukan orang lain. Ia selalu bersemangat jika membahas tentang tulisan cinta atau bahkan keuangan, meskipun ide-idenya dalam hal keuangan seringkali terasa aneh. Aku masih ingat ketika ia menyarankan untuk membuat UKM sederhana, seperti produk makanan ringan dengan merek tertentu. Setelah itu, ia berencana membuat kartu nama sebagai entrepreneur dan mengisi seminar di kampus-kampus. Ia sama sekali tidak memikirkan detail produksi atau penjualan. Fokusnya justru pada seminar, pada kesempatan untuk berdiri di atas panggung dan menyampaikan pemikiran-pemikirannya yang sedikit berbeda. Katanya, urusan penjualan adalah keahlianku.

Kini, setelah tugas kami di Bali selesai, aku dan Ron kembali ke Jakarta. Tidak lama kemudian, Ron benar-benar mewujudkan rencananya. Ia kembali ke desa. Rasa rindu seringkali menghampiriku. Sudah berkali-kali kukirim pesan, memintanya untuk kembali ke Jakarta. Namun, ia tampaknya sudah menemukan kenyamanan di tengah kesederhanaan hidup di desa. Meskipun gajinya tidak besar, ia masih bisa makan dan tidak kelaparan.

Sosok Ron adalah sahabat yang sangat kurindukan. Ia adalah orang yang kompetitif, sayangnya, hampir di setiap kompetisi, akulah pemenangnya. Aku berhasil mengalahkannya dalam urusan asmara, dalam berbagai perlombaan menulis. Rasanya belum ada satu pun hal yang berhasil ia ungguli dariku.

Mungkin hanya sikap cerianya yang selalu ia pertahankan. Namun, setelah aku tahu rahasia di balik keceriaannya, aku pun bisa mengimbanginya. Sikap cerianya selalu muncul karena keyakinannya bahwa Tuhan tidak menyukai orang yang bersedih dan kecewa. Jadi, meskipun ia kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi, beberapa menit kemudian ia akan kembali ceria. Contohnya, ketika wanita yang ia suka tidak membalas pesannya dan justru membuat status di media sosial, ia akan tetap senang. Atau ketika ia kembali kalah dalam perlombaan denganku, ia akan kembali memegang prinsipnya.

Hubungan kami tetap terjaga meskipun ia tinggal jauh di desa. Terkadang aku memberinya beberapa proyek menulis yang mungkin ia sukai. Anehnya, ketika kuberikan pilihan antara proyek dengan hasil besar namun rumit, dan proyek dengan hasil kecil namun mudah dikerjakan, ia akan selalu memilih proyek yang mudah.

Ron memang orang yang santai, namun di balik kesantaiannya, tersimpan semangat yang berlipat ganda setiap kali ia merasa tertantang, terutama ketika ia kalah dariku. Sayangnya, entah mengapa, aku selalu selangkah lebih unggul darinya. Namun, justru perbedaan inilah yang membuat persahabatan kami terasa unik dan berwarna. Aku merindukan obrolan-obrolan kami yang sederhana namun penuh makna, di warung nasi Bali, di bawah terik matahari, sambil terus mencari jejak panti-panti asuhan di pulau dewata.

Berbagai cara sudah kucoba untuk membujuk Ron kembali ke Jakarta. Kuutarakan betapa sunyinya kantor tanpa celotehan dan lawakan khasnya. Kuceritakan bagaimana suasana kerja yang terkadang tegang, di mana perbedaan pendapat seringkali berujung pada perdebatan sengit. Biasanya, Ron-lah yang selalu menjadi penengah, dengan senang hati merendahkan diri sendiri demi mencairkan suasana dan membuat semua orang tertawa. Kehilangan sosoknya di kantor terasa seperti kehilangan oase di tengah gurun.

Namun, kini situasiku pun berubah. Aku telah menerima tawaran pekerjaan sebagai editor di sebuah stasiun televisi. Lingkungan kerja yang baru ini jauh berbeda dari sebelumnya. Hampir semua rekan kerjaku merokok. Awalnya aku berusaha menghindar, namun lama kelamaan, entah bagaimana, aku pun ikut terjerumus dalam kebiasaan yang dulu sangat kubenci. Aku merindukan Ron yang tidak pernah menyentuh rokok, sahabat yang selalu mengingatkanku untuk hidup sehat.

Selain itu, aku juga merindukan persaingan sehat yang selalu terjalin antara aku dan Ron. Di tempat kerja yang baru ini, semangat kompetitif itu terasa hambar. Tidak ada lagi sosok yang selalu kukalahkan namun tetap bisa tertawa lepas, sambil melontarkan ajakan untuk makan sate kambing sebagai "pelipur lara" kekalahan. "Kalah itu nggak enak, makanya aku makan sate kambing biar enak," begitu celetukannya yang selalu kuingat.

Kini, yang kurasakan hanyalah kekosongan. Aku merindukan Ron, bukan hanya sebagai sahabat, tetapi juga sebagai pemantik semangat. Aku merindukan tawanya, keoptimisannya yang terkadang naif, dan bahkan kekalahannya yang selalu ia sambut dengan lapang dada. Aku merindukan sosok yang selalu bisa membuatku merasa unggul, namun tidak pernah membuatku merasa sendiri. Entah bagaimana caranya, aku ingin membawanya kembali ke hiruk pikuk kota, kembali ke persahabatan kami yang penuh warna.

-Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Surat dari Jakarta
Ron Nee Soo
Cerpen
Idjah
Rahma Roshadi
Cerpen
Bronze
"Puss. . . Meong. . . "
Izzatunnisa Galih
Cerpen
Tokoh Saya yang Bernama Marya
Haryati SR
Cerpen
Bronze
Elysera Surga yang Terkurung
go han
Cerpen
Staf Admin (gak) Support
Maya Suci Ramadhani
Cerpen
Messi, Jangan Pindah!
Serenade
Cerpen
Bronze
Gara-gara Uang Panaik
Kim Sabu
Cerpen
Sibuk sedang Beristirahat
zain zuha
Cerpen
KALAU ADA YANG SULIT, KENAPA HARUS DIPERMUDAH?
Yunia Susanti
Cerpen
Bronze
Pagar Depan Rumah
spacekantor
Cerpen
Bronze
Alien
Cassandra Reina
Cerpen
Membaca Jiwa
Imas Hanifah N.
Cerpen
Hilang Akal
Yuli Harahap
Cerpen
Aku Tak Minta Dilahirkan
Jessy Margaret
Rekomendasi
Cerpen
Surat dari Jakarta
Ron Nee Soo
Flash
Alasan Pria Mudah Lelah
Ron Nee Soo
Flash
Rahma, Warnaku Abadi
Ron Nee Soo
Cerpen
Apakah Saat Ini, Aku Sedang Patah Hati
Ron Nee Soo
Cerpen
Setiap satu sendok bumbu kacang adalah satu kesempatan yang hilang
Ron Nee Soo
Cerpen
ada cinta luar biasa yang engkau terima tanpa harus bersusah payah mencarinya
Ron Nee Soo
Cerpen
Kenapa Dia tak Pernah Datang?
Ron Nee Soo
Cerpen
Sebuah Doa yang Bertabrakan
Ron Nee Soo
Flash
Ekspektasi
Ron Nee Soo
Cerpen
Ketika Musik Box Berhenti Bernyanyi
Ron Nee Soo
Flash
Nyanyian Kode
Ron Nee Soo
Cerpen
Jejak Kebaikan yang Tak Berujung
Ron Nee Soo
Flash
Sabar adalah Sungai, Senyumanmu adalah Muaranya
Ron Nee Soo
Flash
Tipu Daya Lelaki yang Sudah Berumur
Ron Nee Soo
Flash
Regulator Gas Elpiji
Ron Nee Soo